Jumat, 30 Desember 2011

Dibalik Gelap Yang Membasahi

Hujan, titik demi titik air turun membasahi permukaan tanah tempat kita berpijak. Hawa dingin turut serta mengikuti air yang semakin lama semakin mengalir di jalan. Anak-anak kecil berlarian ingin bermain dengan percikan-percikan air yang deras. Hujan seperti berkah kepada kita yang turun langsung dari langit. Banyak orang begitu menantikan datangnya hujan. Namun dibalik itu, hujan menyimpan sisi kelam dari sebuah kehidupan.

Semua tampak indah dan baik adanya di saat matahari menyengat dan jejak-jejak kaki begitu kering. Suasana yang ada terlihat begitu indah. Tampak tak ada kesulitan yang berarti. Sama sekali tak ada kekurangan yang terlihat perlu untuk diurus. Tapi tunggu dulu. Hujan akan datang. Lihatlah apa yang akan terjadi ketika hujan datang. Benarkah hujan dinanti? Atau ditakuti?

Mereka yang terpuruk hidupnya, setiap hujan layaknya siksaan. Tak bisa keluar dari gubuk-gubuk ataupun triplek-triplek yang terpaku mengotak. Terkunci sembari hujan yang menembus atap seadanya. Hujan membuat kesulitan dalam hidup mereka begitu terasa. Hujan akan selalu membuat mereka menengadah ke atas. Berharap tumpahan air tak semakin membanjiri tanah tak berlantai mereka.

Namun bukan kesedihan mereka saja yang akan nampak. Kebobrokan sebuah kota besar yang tersembunyi saat keringpun akan terlihat. Memiliki kemampuan mengatur pembangunan ratusan gedung-gedung namun jalan yang baik saja tak bisa. Lubang-lubang disana-sini akan menonjol. Tingkat keselamatan lalu lintas akan menjadi genting di tengah lintasan yang buruk. Saat kering, semua terlihat baik.

Masuki saja satu-persatu halte bus berjalur sendiri itu. Temukanlah atap yang tak kalah buruknya dengan atap mereka yang terpuruk hidupnya. Bahkan ada yang tidak lagi cocok disebut bocor, melainkan tumpah! Ya, air tumpah begitu saja dari atap membuat banjirlah halte itu. Inikah kualitas pembangunan si ahli itu?

Hujanpun tak jarang menenggelamkan komplek-komplek mulai dari yang kelas bawah sampai atas. Tanpa ampun fenomena itu membuat semua setara, banjir. "Jakarta siap menghadapi banjir!" Tidakkah begitu menyedihkannya tulisan itu? Siap? Hei, itu bukanlah sesuatu dari alam yang tak bisa kita rubah. Hujan yang berasal dari alam, banjir ciptaan kita. Jangan malah menjadikan itu sebuah fenomena yang harus terjadi. Kota besar jangan hanya diartikan jalan raya atau gedung-gedung tinggi. 

Hujan juga akan membuat manusia begitu takut air. Menjadi basah sangat dihindari. Hujan juga akan membatasi gerak mereka yang tak memiliki roda empat. Tak jarang juga hujan membuat segala sesuatu menjadi terlambat. Dan tak jarang juga kita mengumpat karena hujan, bukankah demikian?

Tak selalu hujan itu ditunggu. Ada banyak kesulitan yang tersimpan di balik turunnya hujan. Namun tetap saja, hujan memberi kita semua kesejukan. Itu semua hanyalah sisi lain di balik hujan yang selama ini mungkin terbayang dengan anak-anak kecil yang berlarian di tengah air yang mengguyur dengan cerianya. Dan bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Selamat Tahun Baru 2012, selalu ada terang yang menunggu dibalik gelapnya hujan...

Penulis

Jumat, 23 Desember 2011

Biar Aman Atau Takut ?

Banyak aparat telah dikerahkan. Satuan-satuan pengamanan telah dikoordinasikan. Tenda-tenda polisi telah didirikan di beberapa titik beserta petugas-petugas patroli yang siap untuk berjaga-jaga. Pengamanan diperketat disana-sini. Itu semua dikerahkan untuk mengamankan, Natal?

Banyak media yang mempublikasikan berita dikerahkannya aparat-aparat seakan-akan itu adalah hal yang besar. Hampir semua gereja-gereja, terutama yang besar, bekerja sama dengan polisi untuk membuat suatu pengamanan yang ketat di seluruh penjuru gereja. Memasuki gereja seperti memasuki suatu daerah steril. Boleh-boleh saja mengamankan saat Natal, tapi pertanyaannya adalah, setidak aman itukah Natal?

Mungkin anda senang dengan pengamanan super ketat di tempat-tempat ibadah umat kristiani tersebut. Tapi saya mencoba mengajak anda melihat dari sisi yang lain. Tidakkah penjagaan tersebut malah mencerminkan ketakutan kita serta ketidak percayaan kita terhadap kondisi masyarakat kita sendiri?

Bisa saja itu dikarenakan trauma yang mendalam terhadap perilaku terorisme yang menyerang gereja-gereja pada waktu-waktu yang lalu. Namun, mau sampai kapan kita berada pada kekangan itu? Suka cita yang ingin dirasakan saat Natal seperti dicampur dengan perasaan berhati-hati dan waspada. Pandangan negatif yang telah tertanam terhadap unsur luar terus-menerus ada dan tak tergerus setiap tahunnya. Dan pengamanan itu terus saja dilakukan.

Sesungguhnya ini perlu kita sikapi bersama-sama. Apakah kita tidak mau keluar dari rasa tidak percaya dan takut ini? Ataukah kita mau keluar dan dengan berani percaya pada saudara-saudara sebangsa kita yang lain bahwa bisa menciptakan rasa aman kepada kita. 

Media juga menurut saya cukup berlebihan saat memberitakan masalah pengamanan Natal. Itu bukanlah hal yang harus diberitakan seolah itu adalah hal besar. Yah, mungkin juga itu adalah salah satu bahan yang bisa dijadikan berita oleh mereka, namun tetap saja menurut saya itu tidak perlu.

Cara melawan yang paling baik adalah menyerang. Tapi seranglah dengan rasa tidak takut. Kalau kita terus-menerus takut maka kita akan terus dirundung rasa was-was serta takut itu sendiri. Mereka yang memang berusaha untuk memprovokasi juga akan tenang karena melihat kita yang masih rapuh. Rasa tidak percaya kita akan semakin membuat mereka kuat. Tunjukkan bahwa kita tidak takut terhadap hal-hal provokatif maupun serangan-serangan lainnya. Ini bukan saja untuk umat kristiani, namun untuk seluruh masyarakat. Tunjukan bahwa kita memang telah menghargai keberagaman di antara kita.

Walaupun begitu semua ini membutuhkan proses. Butuh waktu. Dan juga butuh keberanian dari semua pihak. Ini adalah suatu kondisi yang tidak boleh selamanya seperti ini. Harus ada perubahan. Tapi kalau anda senang-senang saja dan menganggap itu sah-sah saja ya terserah anda, karena bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Selamat Natal 2011 bagi anda yang merayakan.

Penulis

Kamis, 15 Desember 2011

Sejarah Itu Berada di 502

Di posting kali ini saya ingin berbagi kisah kesialan saya. Tepatnya hari Sabtu minggu lalu, sekitar pukul setengah 12 siang, saya kecopetan. Itu merupakan pengalaman yang akan saya catat seumur hidup saya. Mengapa? Karena itu pertama kalinya saya kecopetan seumur hidup saya. Hari yang bersejarah.

Kesal, sedih, dan pasrah. Itulah yang bisa mendeskripsikan perasaan saya ketika harus menerima kepergian BB saya. Ya, barang yang dirogoh oleh pencopet adalah BB saya. Betapa kejamnya mereka mencopet BB saya yang bahkan cicilannya pun belum lunas. Bahkan barang itu belum lebih dari dua bulan saya pakai. Miris memang.

Saya ingin berbagi kepada anda pengalaman kecopetan saya itu. Semoga bisa berguna bagi anda.

Hari itu teman wanita saya sedang ngambek. Saya dengan maksud baik ingin mengajak berdamai dengan menghampiri tempat lesnya di bilangan Salemba. Saya yang sedang berada di daerah Menteng ingin menemuinya setelah jam pulang lesnya. Maksud saya ingin tampak keren dengan tiba-tiba menghampiri dia saat keluar dari tempat les.

Saya naik kopaja 502 dan berniat untuk turun di depan RS St. Carolus. Sebelum naik saya tidak memiliki firasat buruk apapun. Dengan tenang saya menghentikan 502 yang melintas dan naik ke dalam kopaja tersebut.

Saat saya naik saya langsung mencari-cari tempat kosong yang bisa saya duduki. Tiba-tiba para lelaki yang duduk di bagian belakang saling bergeseran untuk memberikan saya tempat untuk duduk. Tapa berpikir apa-apa saya langsung menduduki tempat yang diberikan itu. 
Posisi duduk saya seperti ini, satu orang lelaki di sebelah kanan saya, dan dua orang lainnya di sisi kiri saya. Mereka tampak sudah bapak-bapak dengan kisaran usia 30-40 tahun.

Sejauh ingatan saya, saya hanya sekali memeriksa kantong saya dimana BB saya simpan dengan meraba kantong saya. Setelah memastikannya ada saya tidak lagi memegang-megang kantong saya sampai saya turun.
Ketika sudah mendekati Carolus, saya pun berdiri untuk bersiap-siap turun. Namun saat saya berdiri, seketika juga pria di sebelah kanan saya juga ikut berdiri dengan posisi tubuh seperti mendesak saya ke arah kiri. Saya hanya berpikir kalau dia terburu-buru dan ingin keluar dari kopaja lebih dulu dari saya.

Saya mendekati pintu keluar bagian belakang kopaja tersebut. Saat saya berniat turun tiba-tiba orang yang tadi duduk selang satu orang dari saya di sebelah kiri berdiri dan menghalangi pintu keluar. Orang ini tadinya duduk di bagian paling kiri sehingga paling dekat dari pintu.

Orang itu seperti menutup jalur keluar, namun sekali lagi saya hanya berpiir ia juga ingin keluar dari kopaja. Posisi saya terjepit karena dempetan orang di kanan dan kiri saya itu.

Setelah semakin mendekati Carolus, orang yang tadi menutup jalur saya tiba-tiba duduk kembali seperti salah mengira tempat turun. Saya pun merasa tindakan orang itu menyebalkan. Tadi menghalangi saya, namun ternyata tidak jadi turun. Sungguh menyebalkan. Saya pun turun dari kopaja itu.

Saat menuruni kopaja itu sya merasa seperti ada yang keluar dari kantong celana saya. Dan benar saja.

Saat baru menginjakan kaki di aspal, saya langsung meraba kantong kiri celana tempat terakhir BB saya simpan. Saya terkejut ketika ternyata kantong saya sudah kosong. Saya langsung menaiki lagi kopaja yang masih berhenti itu. Saya berteriak ke orang-orang di dalam "Woi! Copet-copet! Saya kecopetan! Copet!" Saya berteriak dalam kepanikan. Namun saya langsung terfokus pada orang-orang yang tadi duduk di samping-samping saya.

Tiba-tiba orang yang tadi berada di sebelah kanan saya berkata "Baju merah! Tuh kaos merah tuh!" Ia berkata demikian sambil menunjuk jauh ke arah luar. Seketika orang-orang yang tadi berada di sebelah kiri saya juga berkata demikian dan menyuruh saya mengejar orang berkaos merah.

Saya sempat beberapa detik memikirkan kata-kata orang itu dan melihat ke arah luar. Dan dengan sangat bodoh saya turun lagi dari kopaja itu dengan berniat mengejar orang berkaos merah yang bahan saya tidak tahu yang mana orangnya. Ketika saya telah turun dan ditinggalkan oleh kopaja yang telah melaju saya baru sadar, saya ditipu. 

Orang-orang yang tadi meneriakan orang berkaos merah adalah komplotan yang mencopet BB saya. Saya yakin demikian karena sadar bahwa sebelum saya turun, tak ada orang yang turun di tempat itu, apalagi berkaos merah. Saya mentah-mentah dicopet sekaligus ditipu oleh komplotan itu.

Orang di sebelah kanan dan orang yang berada paling dekat dengan pintu bertugas untuk mengapit serta membatasi ruang gerak saya. Dengan tubuh saya yang terjepit maka respon saya menjadi berkurang. Dan orang yang duduk tepat di samping kiri sya tentu saja yang bertugas untuk merogoh BB saya. Dia saya yakini mengambiol BB saya saat saya sedang terjepit oleh kedua orang lainnya. Pembagian tugas yang sangat cerdas, cerdik, dan penuh perhitungan

Saya begitu kesal dengan kebodohan saya. Kebodohan menghilangkan kesempatan di depan mata untuk menangkap pencopet BB saya. Saya telah diberikan kesadaran seketika oleh Tuhan namun tidak bisa berpikir secara jernih. Padahal kalau saya pikirkan sekarang, orang-orang itu sudah tampak panik ketika saya berteriak kecopetan. Satu orang secara spontan dengan rasa takutnya berusaha mengacaukan tuduhan saya ke mereka dengan mengalihkan subjek diikuti dengan yang lainnya. Namun saya malah mempercayai omongan mereka. Ya, kebodohan yang sangat memalukan.

Kalau diibaratkan situasi saya itu seperti acara satu lawan banyak yang sempat ada di salah satu stasiun TV. Daya pikir saya dikalahkan oleh tekanan psikologis dari beberapa orang, yang tentunya para pencopet itu.

Saya yang tadinya berniat tampak keren saat bertemu pasangan saya malah sangat murung dan emosi. Saat bertemu bukan kata maaf atau semacamnya yang terucap, melainkan 'BB Gani dicopet...' Saya tidak tahu apa perasaan pacar saya itu saat mendengar demikian. Kalau saya jadi dia, saya pasti tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Saya ingin berbagi beberapa saran untuk menjaga keamanan barang anda ketika di dalam angkot berdasarkan pengalaman saya ini, antara lain:
1. Jangan mengeluarkan barang-barang berharga anda seperti hp saat berada di dalam angkot.
2. Usahakan sebelum naik angkot, taruhlah barang-barang berharga anda di dalam tas jika anda membawanya. Jangan taruh di dalam kantong karena akan memudahkan untuk dicopet.
3. Jangan duduk di bagian belakang yang dipenuhi oleh orang-orang laki-laki yang seperti dalam satu kelompok apalagi jika mereka memberikan tempat duduk. Atau turun saja dari angkot ketika ada gerombolan yang masuk dan tampak mencurigakan.
4. Sebisa mungkin jika memungkinkan, pilihlah kendaraan lainnya selain kopaja atau sejenisnya. Keamanan anda dipertaruhkan.

Itu beberapa saran dari saya yang telah menjadi korban pencopetan. Karena kejadian ini mungkin saya akan menjauhi naik angkot untuk beberapa saat. 

Perlu saya akui, para pencopet itu sangat pintar. Andai saja kepintaran para pencopet itu untuk merencanakan aksi pencopetan yang begitu terencana itu digunakan untuk hal yang lebih baik. Sayang rasanya keterampilan mereka malah digunakan untuk mencopet. Tapi tetap saja, saya benci mereka.

Saya harap anda yang membaca posting ini belajar dari pengalaman saya ini. Setidaknya ketidakberuntungan saya ini bisa berguna untuk anda agar bisa lebih berhati-hati. Di luar sana, tak ada jaminan untuk keamanan anda.

Ada satu lagi yang menjadi pelajaran bagi saya. Dengan pengalaman itu saya membuktikan bahwa pengorbanan untuk berdamai dengan pacar itu sangat mahal. Saya harus kehilangan BB saya untuk bisa berdamai dengan pacar saya. Sungguh mahal bukan? Yah, bagaimanapun juga ini hanya kesialan saya.

Jumat, 09 Desember 2011

Dengar Tapi Tuli

Ada orang yang dibilang cerewet. Ada juga yang begitu suka untuk ngomong tak berhenti-berhenti. Entah karena memang hobinya itu berbicara, senang melihat orang lain mendengar ceritanya, atau faktor lainnya. Banyak orang seperti itu, yang bisa berbicara dengan sangat lama. Namun , bisakah  orang mendengar dengan sangat lama?

Mendengar lebih sulit daripada berbicara. Orang lebih sulit untuk dinasehati daripada dinasehati. Ini ada realita yang tak perlu untuk ditutup-tutupi. Mulut kita begitu aktif dipergunakan dibandingkan dengan telinga kita. Kita hanya mau untuk didengar, tapi jangan harap mau mendengar. Kita semua, termasuk saya, termasuk yang bersikap demikian, entah sering ataupun jarang.

Anak muda seringkali sangat tidak ingin untuk didikte dalam perilakunya. Omongan orangtua seringkali tidak digubris. Walaupun saya juga setuju kalau omongan orangtua itu pasti baik dan jika tidak dijalankan akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik. Namun sikap memberontak dari seorang anak muda akan membuat pendengaran mereka sangat buruk untuk hal nasehat-nasehat. Tapi apakah itu berarti orangtua lebih mau mendengar? Tidak juga.

Semakin bertambahnya umur seseorang tidak menjamin dia lebih dewasa untuk mau mendengar. Malahan tak jarang mereka yang sudah tua lebih keras kepala dan tidak mau mendengar perkataan orang lain. Mereka akan terus memakai pemikirannya sendiri dan tidak akan ada satupun yang bisa merubahnya. Meskipun perilakunya sudah jelas-jelas salah atau harus diperbaiki, orang itu akan ngotot. Apalagi jika yang menasehati mereka adalah orang yang lebih muda, tak akan berhasil.

Pertengkaran antar pasangan juga salah satu contoh buruknya kemauan untuk mendengarkan. Suami-istri yang sering bertengkar salah satunya adalah karena masing-masing pihak tidak bisa saling mendengar. Tidak mendengar akan mengakibatkan tidak mengerti keinginan dari pasangan. Nantinya akan berdampak pada pertengkaran yang tak jarang masalahnya itu-itu saja. Padahal jika salah satu mau untuk mendengar, mungkin akan lain ceritanya. Hal ini juga termasuk dalam hubungan pacaran. Mendengar adalah satu bentuk perhatian bukan?

Di luar sana, budaya mendengarkan yang buruk terdapat di segala ruang kehidupan. Entah itu di sekolah, masyarakat, atau pemerintahan. Guru meminta didengarkan oleh siswanya, namun kadang guru tak peduli keinginan muridnya. Kelompok masyarakat tertentu tak mau mendengar penjelasan kelompok yang lain karena menganggap kelompoknyalah yang paling benar. Pemerintah meminta dukungan dari rakyat sedangkan keluhan rakyat tidak mau didengarkan.
Saat orang lain sedang berbicara, yang kita lakukan seringkali bukanlah mendengarkan perkataannya, melainkan hanya menunggu orang itu sampai selesai dengan pembicaraannya sampai akhirnya giliran kita untuk berbicara. Benar demikian? Anda bisa membuktikannya sendiri dari gelagat orangtua anda saat berbicara satu sama lain. Kenapa tidak dari gelagat kita sendiri? Karena kita seringkali menutupi kekurangan diri kita. Biar orang lain menjadi cermin bagi diri kita.

Saya terkadang juga capek mendengar politisi yang sedang berdebat ataupun berdiskusi di TV. Mereka berkoar-koar dengan pendapatnya namun banyak di antaranya malah begitu ingin memotong pembicaraan orang sehingga ia mendapat kesempatan untuk berbicara. Terkadang hal yang dibicarakan sebenarnya itu-itu saja namun diputar-putar dengan gaya bahasa semau mereka. Terkesan bahwa mereka hanya ingin terlihat berbicara padahal isinya ya itu-itu saja. Dengarlah dahulu pendapat orang, cerna, lalu baru tanggapi dengan pemikiran yang benar. Kalau sama saja, tak perlulah berkoar-koar hanya untuk mencari muka.

Bagaimana bangsa ini bisa maju jika para politisi ataupun pemerintah hanya mau berbicara tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain. Yang ada hanyalah pertengkaran dan saling curiga antara satu sama lain. Padahal jika mau lebih mendengar pasti akan tercipta suatu pendapat bersama yang bisa dipakai unutk kepentingan bersama.

Mari kita mulai belajar untuk mendengar. Mulailah dari hal-hal kecil seperti di dalam keluarga atau di sekolah maupun di kantor. Jika ada orang lain sedang berbicara hargailah dahulu perkataannya, cermati dahulu sebelum anda memotong pembicaraannya, dengarkan dahulu maksud dari kata-katanya sebelum anda memikirkan kata-kata yang ingin anda keluarkan berikutnya saat orang itu selesai dengan perkataannya, dan lihat wajahnya saat ia sedang berbicara karena itu berarti anda menghargai orang yang sedang berbicara tersebut. Dengan didengarkan, orang akan merasa diterima. Jika anda ingin merasa demikian maka lakukanlah itu kepada orang lain.

Bagi anda yang memiliki pasangan cobalah mulai untuk lebih mendengarkan pasangan anda. Itu adalah cara termudah untuk melatih diri untuk mau mendengarkan, karena ada alasan tertentu yang seharusnya membuat kita lebih mau untuk mendengarkan perkataan orang yang kita sayangi. Dengarkanlah keluhannya atau apapun. Mungkin anda bisa lebih baik dalam hal mendengarkan. Untuk yang tidak punya pasangan, carilah pasangan agar bisa berlatih mendengarkan dengan cara itu.

Itulah sifat kita sebagai manusia. Hal kecil namun sangat penting dalam suatu relasi dengan orang lain, mendengarkan. Ya, memang sulit namun bisa untuk dilakukan. Jangan jadikan telinga anda 'tuli' dengan perilaku anda. Kita diberi telinga ini bukan hanya untuk mendengar ucapan mulut kita sendiri namun juga untuk mendengar perkataan, keluhan, permintaan, nasehat, atau hal lainnya dari orang di sekitar kita. Tapi sekali lagi, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Senin, 05 Desember 2011

Serunya Petak Umpet Aspal

Siapa di antara anda yang waktu kecilnya tidak pernah main petak umpet? Saya rasa semua di antara kita pernah. Kalau anda tidak pernah saya patut prihatin kepada anda dan semoga suatu saat nanti ada yang membuat game petak umpet untuk ipad agar anda bisa bermain. Arena petak umpet bisa dimainkan dimana saja, asal ada tempat-tempat yang memungkinkan untuk kita mengumpet dari yang bertugas menjaga. Dan ternyata salah satu arenanya adalah jalan raya.

Peserta petak umpet di jalan raya tak lain dan tak bukan adalah para petugas yang dibilang adalah penjaga keamanan masyarakat yaitu polisi dan kita masyarakat semua pengguna jalan. Namun yang unik dari petak umpet jalan raya ini adalah si polisi bertindak sebagai yang ngumpet, sekaligus si penjaga. 

Begitu banyak polisi lalu lintas bertebaran di luar sana. Dan begitu banyak polisi lalu lintas yang menangkap pengendara kendaraan bermotor yang dianggap menyalahi aturan lalu lintas. Banyak sekali polisi yang menghukum pengendara. Tapi untung saja polisi kita itu baik-baik sehingga tidak menilang kita. Mereka malah menawarkan 'damai' dengan kita. Baik sekali bukan?

Menurut saya ada yang salah dengan cara kerja polisi lalu lintas. Pandangan saya adalah polisi bertugas untuk mengayomi masyarakat kita. Kemudian jika masih ada yang melanggar barulah di tangkap. Namun tidak demikian yang ada. Tidak terlihat tindakan mengayomi masyarakat untuk menjadi lebih baik lagi dalam perilaku di jalan raya. Mereka hanya menangkap atau muncul di jalanan yang sedang sumpek karena macet sambil mengayun-ayunkan tangan tanpa berbeda dengan pak ogah. Mungkin bedanya polisi tidak dikasih receh, sedangkan pak ogah iya.

Banyak polisi justru menempatkan diri di tempat yang membiarkan pengguna jalan untuk melanggar dahulu. Dan tentu saja mereka sering menempatkan diri secara tak terlihat sehingga bisa secara tiba-tiba menghentikan laju pengendara. Pengendara yang kena sial hanya bisa pasrah sambil mengingat-ingat jumlah uang yang mereka bawa di dompet. 

Menurut saya polisi seharusnya menempatkan diri di tempat yang terlihat sehingga masyarakat lebih teratur. Kalau sekarang ini masyarakat tidak akan belajar untuk mematuhi lalu lintas. Yang mereka takutkan bukanlah melanggar lalu lintas sehingga bisa mengakibatkan hal buruk di jalan, melainkan takut kena tangkap polisi. Polisi ingin mengatur masyarakat atau menjadi momok masyarakat?

Tidak memberikan tilangan kepada pelanggar lalu lintas juga tidak mendidik. Masyarakat justru tambah tidak takut untuk melanggar karena tahu hanya akan diajak 'damai' oleh polisi. Paling-paling mereka hanya akan kesal karena kehilangan 50 ribu atau 100 ribu yang diberi ke polisi. Tindakan 'damai' mereka juga malah bisa memberikan persepsi di masyarakat bahwa polisi kalau di jalan itu hanya sedang cari duit saja. Mereka sendiri yang telah merusak citra mereka di masyarakat. 

Perubahan semestinya dilakukan. Lebih tegas lagi. Bukan hanya tegas meminta uang 'damai'. Menilang tidak ada salahnya karena yang salah harus dihukum. Kalau mau menciptakan masyarakat yang teratur harus dimulai dari para petugas yang memang bisa secara tegas dalam bertindak. Lebih mengatur di jalan dibanding hanya mencari-cari pelanggar lalu lintas. Tempatkan diri di tempat yang memang memungkinkan mengatur, bukan tempat yang enak untuk tiba-tiba menghentikan laju kendaraan yang melanggar.

Itulah kenyataan yang terlihat di jalanan sana. Kita semua terlibat di dalamnya, atau mungkin salah satu korban aksi 'damai' yang tersebut di atas. Yang sama dari petak umpet saat kita kecil dan petak umpet jalan raya itu adalah, kita sama-sama tidak ingin ketahuan. Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.