Kamis, 20 Desember 2012

DI BAWAH KOLONG KAMPUNG MELAYU YANG GELAP


Lihatlah dengan seksama foto di atas. Apa yang anda lihat dari foto itu? Sampah? Banyak tentunya. Botol-botol plastik? Bertumpuk-tumpuk! Lampu? Jelas bisa terlihat dari foto itu. Manusia? Ya, disana juga ada manusia. Dan disana pun ada kehidupan. Ya, ada manusia-manusia yang menjalankan kehidupannya.

Kemudian anda bertanya, pilar besar apakah itu yang berdiri kokoh menopang atap berupa beton yang besar itu? Apakah perempuan dan anak kecil itu sedang berada di sebuah reruntuhan gedung yang tak terpakai lagi? Ataukah di gedung parkir yang terbengkalai? Keduanya tak ada yang mendekati benar. Selamat datang di  Komunitas Kolong Kampung Melayu.

Apa yang anda ketahui tentang kemiskinan? Apakah anda merasa salah satu yang termasuk di dalam pengertiannya? Apakah menurut anda gambar di atas adalah sebuah contoh dari kemiskinan?

Rabu, 19 Desember 2012

YANG MEMBERITAKAN YANG MEMONOPOLI

Kebebasan, kita yang bangga dengan demokrasi yang selalu kita teriakkan itu selalu menuntut akan kata itu. Salah satu praktek demokrasi yang berusaha kita perjuangkan adalah kebebasan pers. Pengekangan terhadap pers selama periode-periode pemerintahan sebelumnya seperti membuat gatal mereka para jurnalis sehingga ketika masa pembebasan itu dimulai, pers seakan-akan langsung menjadi sebuah kekuatan besar yang secara tak langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Pers adalah salah satu kekuatan dalam mengatur dan membuat opini publik. Entah berita yang ada di layar kaca atau di surat kabar, semuanya menjadi salah satu konsumsi paling dicari. Ya, berita. Kita semua haus akan berita, apapun bidangnya. Berita menjadi sebuah kebutuhan yang sangat krusial dalam bernegara. Setiap warga negara berhak untuk mengetahui isu tentang negaranya, bahkan isu global. Pers adalah pemegang kekuasaan yang mengendalikan berita apa saja yang kita terima. Setiap hari kita disuapi oleh berita-berita yang pers berikan atau ingin mereka berikan. 

Rabu, 28 November 2012

KETIKA SOSIAL DIRENDAHKAN OLEH ALAM

Kita sering mendengar bahwa masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Setiap orang akan mulai menemukan jati diri maupun arah hidup saat duduk di bangku SMA. Usia yang mulai condong ke dewasa mulai menjadi hal yang sangat menarik dalam meniti tubuh yang mulai dirasa perlu untuk didandani sesuai arah mode yang diinginkan. Kenakalan-kenakalan mulai banyak menyapa dan dengan mengalir persahabatan terajut disana. Dan di masa itu pula ada sebuah saat dimana kita memilih sebuah pilihan yang cukup menentukan arah hidup kita nantinya di Indonesia. Itu adalah pemilihan jurusan.

Minggu, 18 November 2012

MENULIS: ANTARA WARISAN DAN SENJATA

Rangkaian huruf-huruf bergandengan menghasilkan barisan kalimat yang teratur. Kalimat-kalimat bernyanyi mendengungkan butiran makna, dilema, rasa, dan berita ke mata yang langsung dikonsumsi otak. Pikiran tergerak oleh lembaran-lembaran kalimat yang telah tersusun rapih dan sistematis. Mulai dari hal kecil sampai hal besar bisa bermula dari membaca sebuah goretan maupun ketikan yang mengandung kekuatan dari si penulis maupun si pengetik. Tulisan, pernahkah anda berpikir betapa kuatnya dia?

Sabtu, 10 November 2012

REFLEKSI SEPULUH SEBELAS

 "Seseorang dipanggil pahlawan bukan dengan begitu saja, namun berasal dari apa yang telah ia lakukan." Herlina

Ada seorang pejuang yang pernah berkata bahwa hari ini adalah hari kedua yang patut diperingati sebagai hari besar negara Indonesia, hanya dikalahkan oleh 17 Agustus. 10 November, Hari Pahlawan. Hal tersebut ingin mencerminkan bahwa tanggal 10 November begitu bermakna untuk bangsa ini. Memiliki arti yang mendalam di dalam perjuangan dan perjalanan bangsa. Sebuah peringatan yang akan terus diingat sebagai cara kita untuk selalu mengingat seberapa banyak liter keringat dan darah yang mengucur untuk terciptanya kedaulatan negara dan dalam upaya mempertahankannya. Namun siapa di antara anda yang mengingat bahwa ini adalah hari Pahlawan karena tweet atau status BBM orang lain? 

Minggu, 28 Oktober 2012

Tanyakan Kepada Darah dan Tulang


Ingatkah anda ada apa dengan hari ini? Apakah anda tahu sedang terjadi apa pada tanggal ini berpuluh-puluh tahun yang lalu? Apakah anda merasa merupakan bagian dari bangsa ini? Sudahkah anda meninggikan bahasa ibu anda? Darah yang mengaliri kehidupan sampai pada tapak terakhir ini, apakah sudah membeku? Puluhan tahun lalu mereka bersumpah, dan puluhan tahun setelahnya masih ada kita, jawaban dari sumpah mereka yang disebut pemuda. Indonesia.

Kita yang dengan bangga membeli jersey sepakbola yang berlogo garuda, anda yang masih menyanyikan lagu Indonesia Raya meski hanya satu sehari di bulan Agustus, atau pun saya yang bisa dengan tegas mengatakan merah dan putih adalah lambang negara, semua adalah hasil dari sebuah langkah awal dari banyak pemuda yang memiliki inisiatif. Inisiatif itulah yang membuat Sumpah Pemuda begitu besar kaitannya dengan terciptanya kedaulatan atas Sabang sampai Merauke. Ribuan pulau menjadi satu kesatuan di bawah payung Pancasila dan UUD 1945. Sebuah sumpah yang menjadi pondasi dari tiang-tiang penopang bangsa, Sumpah Pemuda.

Mereka yang bersumpah tidak berasal hanya dari satu suku. Mereka juga tidak berdoa dengan cara yang sama. Daerah mereka dilahirkan berbeda-beda bahkan berbeda pulaunya. Raut wajah atau cara mereka berbicara pun terdiferensiasi sesuai sosialisasi yang mereka dapatkan dari lingkungannya. Unsur perbedaan, apakah mereka memperdulikannya?

Peringatan adalah hal yang biasa dari sesuatu yang bersejarah. Peringatan terhadap hari Sumpah Pemuda bisa dilakukan dengan upacara bendera. Bisa dengan menulis di kolom-kolom surat kabar, spanduk, atau televisi dengan menempelkan logo partai masing-masing. Membuat status terbaru seputar peringatan Sumpah Pemuda di social media. Atau hanya menikmati hari Minggu seperti biasa. Sesungguhnya sebuah peringatan yang kita lakukan, sekecil apa pun itu, adalah bentuk penghargaan kita dan rasa hormat. Bentuk dari rasa ingat akan sesuatu yang bersejarah, entah itu karena memang ingat atau teringat oleh orang lain terlebih dahulu. Jika yang kedua, cobalah mengingat mulai dari sekarang.

Perbedaan kita saat ini mungkin lebih beragam dibandingkan dengan mereka yang menyusun Sumpah Pemuda. Diferensiasi pekerjaan membuat masing-masing kita semakin sibuk dengan peran masing-masing di dalam masyarakat. Namun apakah benar kita mengambil peran untuk masyarakat? Ataukah kita mengambil peran untuk diri kita bisa bertahan di dalam masyarakat? Apakah upaya mempertahankan negara ini memang ada dalam diri kita? Lebih jauh lagi, apakah memang kita masih ingin negara ini ada?

Pemikiran pragmatis yang ada di setiap sudut kota dan desa menjauhkan kita dari upaya dan pandangan jauh mau dibawa kemana negara tercinta. Setiap orang terlibat perkelahian dalam di atas ring yang disebut lapangan kerja. Kemajuan teknologi semakin meninggalkan mereka yang tidak mampu untuk mengejar yang bahkan untuk mempertahankan hidup pun masih sukar. Ketika kebingungan masih melanda bagaimana cara untuk mempertahankan posisi diri dan kehidupan, bagaimana bisa kita menganggap mempertahankan persatuan bangsa adalah kewajiban kita?

Budaya demokrasi yang ada seakan-akan membawa kita semakin terlena. Demokrasi yang merupakan alat untuk membangun negara ke jalur yang benar justru membuat banyak arus yang tak sejalan. Mereka yang tak kunjung naik dari kasta terendah mendambakan kembalinya Orde Baru dalam hidup mereka. Masa yang 'enak' tiap golongan berbeda. Bagaimana dengan anda? Seberapa besar keleluasaan demokrasi yang telah anda gunakan untuk pergerakan ke arah yang lebih baik dari negara ini?

Lihatlah jauh ke depan sana. Kalau perlu mintalah mereka yang berbahu besar menggendong anda agar bisa terlihat lebih jauh jangkauan pandangan anda. Terlihatkah oleh anda di seberang sana? Sebuah bukit Asia dimana merah putih berkibar di puncaknya? Terlihatkah juga oleh anda di balik tembok beton sana, benua-benua yang tadinya berkuasa  mencoba untuk mendapatkan jabat tangan dari kita? Apakah anda melihat, atau anda tertawa?

Anda boleh saja mengkritik mereka yang duduk di kursi tertinggi saat ini. Anda boleh menertawai keadaan saat ini dimana penghargaan terhadap agama serta etnis lain masih terjadi. Anda boleh mengelus-elus dada ketika mendengar kekonyolan-kekonyolan yang dibuat oleh anak-anak bangsa. Namun daripada itu semua, anda juga bisa menghujat diri anda ketika diri anda diam saja melihat itu semua. Tertawailah diri anda ketika anda adalah satu di antaranya. Dan suruhlah orang lain mengelus-elus dadanya untuk anda karena tak ada yang bisa anda lakukan untuk berkonstribusi merubah itu semua.

Sebutlah diri anda nasionalis. Sebutlah diri anda Islamis. Tapi saya akan memberikan jabatan tangan paling erat kapada anda yang merasa optimis. Biarkanlah mereka yang suka dianggap pintar dengan cara mengkritik, kita semua lebih butuh pengubah. Sudah cukuplah jumlah pengkritik yang hanya menghujat tanpa memberikan solusi. Ketika anda hanya mengkritik, apakah itu cukup untuk membuat sebuah perubahan? Apalagi ketika anda hanya bergumam antara teman anda, apakah itu bisa terdengar dan mengusik mereka yang memiliki kekuasaan menjalankan perputaran kebijakan? Optimis hanya untuk mereka yang merasa harus ada perubahan dan yakin bahwa ada kemampuan untuk melakukan itu meski sekotor apapun lawan yang akan dihadapinya.

Jadikanlah kemuakan anda terhadap masa kini dengan sebuah aksi nyata dan penuh solusi untuk perbaikan negeri. Rasakanlah keresahan dalam diri anda, ketika anda menemukannya berarti anda merasa ada sesuatu yang seahrusnya dilakukan. Dan itu bisa dilakukan dari dalam diri sendiri terlebih dahulu.  Inisiatif apa yang bisa anda lakukan. Mungkin para pemuda hanya beride untuk berkumpul dan menghasilkan Sumpah Pemuda. Namun lihatlah hasil yang mereka dapatkan dengan melakukan itu. Jangan remehkan inisiatif dan langkah awal untuk sebuah tujuan panjang akan sebuah perubahan. Karena semua berawal dari sebuah langkah pertama yang penuh inisiatif.

Sekarang mari kita tanyakan kepada bendera yang saat ini berkibar di atas tiang, “Mengapa mereka tak lagi bergetar melihat kau, darah dan tulang, dikerek ke pucuk tiang di atas sana?” Kira-kira apa gerangan jawabannya?

Bagaimana pun juga ini hanya opini saya.

Hari ini adalah harinya kita! Selamat Hari Sumpah Pemuda! 

Senin, 15 Oktober 2012

Jadi Nomor Satu Itu Menarik?

Pernahkah anda berpikir untuk menjadi nomor satu? Atau setidaknya pernahkah anda berpikir untuk menjadi yang terdepan di antara yang lainnya? Menjadi nomor satu adalah sebuah motivasi yang sangat diperlukan dalam setiap diri manusia untuk bisa melangkah ke depan, ke fase selanjutnya dalam hidup. Fase disini adalah tingkatan seseorang untuk menggapai di luar batas yang saat ini menutupi pandangan mata, melampaui apa yang mereka rasa adalah batas maksimal mereka.

Namun tak semua orang merasa dirinya perlu untuk menjadi nomor satu. Tak semuanya mau berkompetisi. Menjadi urutan teratas hanyalah bumbu dari kehidupan yang dilakukan seaman mungkin, atau sebisa mungkin menghindari hal-hal yang menyulitkan. Menghindar dari kesulitan adalah tabiat yang secara tidak sadar menjamuri kita, generasi muda yang pada titik tertentu akan menjadi kelompok usia yang paling berkuasa di negeri ini.

Kita generasi muda, sebut saja kelompok usia 25 tahun ke bawah, terbiasa dengan kemudahan yang sering menimang-nimang kita. Revolusi teknologi secara besar-besaran terus memanjakan kita, kita yang juga berdamai dengan rasa malas. Ditambah lagi jika anda berasal dari keluarga mampu yang memiliki supir atau pembantu. Kemudahan-kemudahan itu membuat kita terbiasa dengan hal-hal yang praktis dan mudah, bisa dikatakan tidak mau repot atau direpotkan. Kesenangan-kesenangan anak kecil terus dipelihara seakan-akan hanya tubuh saja yang menua. 

Umpamakan kita sebagai seorang pelari. Saat pelari berlari di atas lintasan maka ia akan mengerahkan otot-ototnya untuk menggerakkan kaki secara cepat, melebihi lawan-lawan lainnya. Kita akan berlari lurus ke depan dan memaksa jantung berdetak tak karuan. Pandangan kita lurus ke depan ke garis finish. Tapi apakah benar demikian? Apakah kita selalu melihat lurus ke depan?

Seringkali kita memalingkan pandangan ke lawan-lawan kita di samping. Saat kita berada di posisi terdepan akan ada rasa takut bahwa kita akan tersusul oleh yang lain. Rasa takut akan jantung yang tak kuat untuk berdetak lebih cepat dan kepercayaan terhadap kaki sendiri mulai diragukan. Ketika kita kembali memalingkan muka ke belakang, terlihat orang-orang lain sedang berlari sekuat mereka, dengan pikiran mereka masing-masing, dengan motivasi masing-masing. Rasa was-was semakin besar, garis finish seakan menjauh dari jangkauan.

Itu jika anda berasa di posisi terdepan. Saat anda berada di posisi kedua, ketiga, keempat, atau bahkan terbelakang di antara yang lainnya, apa yang akan anda lakukan? Apa yang akan anda lakukan ketika sekuat apa pun anda berlari kaki anda tak mau bergerak sesuai yang anda kehendaki dan bayangkan anda bisa lakukan? Orang-orang di depan anda tak punya waktu untuk memperhatikan anda di belakang mereka, tujuan anda dan mereka juga sama, garis finish. Garis finish seakan menjadi sangat mustahil diraih ketika lawan-lawan lain tidak mengurangi kecepatan mereka. Namun garis finish benar-benar sudah pergi hanya ketika anda merasa bahwa memang anda tak ingin menjangkaunya.

Apa yang anda dapat dari ilustrasi tersebut? Ya, menjadi terdepan itu sulit. Itulah mengapa banyak di antara kita yang lebih memilih untuk menjadi si nomor dua, si nomor empat, atau tidak sama sekali. Lebih baik diam dibanding harus berkeringat untuk sesuatu yang belum pasti diraih. Berkompetisi adalah hal yang melelahkan. Sekarang mana yang kita pilih, menjadi salah seorang calon yang berada di urutan teratas, atau mereka yang bahkan menginjak garis start pun tak mampu.

Yang terpenting bukanlah tingkat kesulitan untuk meraihnya, melainkan proses kita dalam meraihnya. Apakah kita sudah memberikan yang maksimal? Apakah kita benar-benar ingin menjadi yang terdepan? Tanyakan itu ke diri kita masing-masing. Tanyakan apakah garis finish tadi benar-benar adalah tujuan kita atau hanya imajinasi anak kecil terhadap sesuatu yang dirasa hebat. Jika seseorang di urutan kedua atau keempat tidak membuang waktu untuk menoleh ke sampingnya atau membuang waktu memikirkan kata 'kalah', maka garis finish akan mendekat dengan sendirinya. Ketika seseorang yang memang sudah berada di posisi terdepan tidak mengizinkan lehernya untuk memalingkan kepala melihat ke belakang dan membuka pintu keraguan, maka ia akan semakin menjauh meninggalkan ketakutan dan keraguannya ke belakang.

Mereka yang pernah mejadi orang-orang besar di negerinya adalah mereka yang berani untuk menjadi nomor satu di bidangnya masing-masing. Ketika keberanian itu dibarengi dengan niat dan kerja keras maka dimana pun lintasan mereka maka kaki mereka akan dengan mudahnya diperintah untuk berlari. Para pendiri bangsa ini adalah mereka yang merasa bahwa masyarakat Indonesia adalah yang seharusnya menjadi penguasa negeri ini maka mereka berani menjadi yang terdepan dan menjadikan garis finish mereka tercapai, Indonesia merdeka.

Salah satu olahraga yang saya sukai adalah lari. Mengapa? Karena saya adalah orang yang tidak suka berada di belakang orang lain. Saat berlari seorang pelari akan berusaha menjadi yang terdepan. Bagi saya itu adalah hal paling menarik dari olahraga itu. Bagaimana kita berusaha dengan otot dan mental kita untuk menjadi yang terdepan. 

Ada saatnya kita meraih garis finish dari perjuangan kita dengan posisi terdepan, dan ada kalanya kita harus mengakhirinya dengan posisi di belakang yang lain. Ketika kita berhadapan pada kekalahan itu maka itu bukan berarti kita tidak mampu atau tak ditakdirkan menjadi nomor satu. Ketika kita telah memilih sebuah track dalam hidup kita, berarti kita yakin bahwa kita mampu untuk berdiri disana dan menghadapi semua tantangan yang akan menghampiri kita di sepanjang lintasannya. Selanjutnya adalah bagaimana kita melakukan usaha maksimal dari kita. Karena menjadi terdepan adalah baik adanya. Bagaimana menurut anda? Apakah menjadi nomor satu itu menarik bagi ada? Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Selasa, 09 Oktober 2012

Kami Bayar Bukan Nyumbang


Ketika kita membayarkan sesuatu, kita berhak atas apa yang menjadi alasan kita membayar. Entah itu sebuah barang atau pun jasa pelayanan. Itulah hakekat dari kita membayar. Seperti halnya kita membeli siomay dengan harga lima ribu rupiah kita bisa mendapatkan lima siomay, pasti kita akan protes atau bahkan sampai memarahi si tukang siomay ketika kita hanya mendapatkan empat siomay. Hal ini umum di setiap saat kita membayar sesuatu, termasuk membayar kuliah. Kalau dalam hal perguruan tinggi, mahasiswa adalah konsumen utamanya.

Jika anda adalah seorang mahasiswa, tentu anda akan menjalankan tanggungjawab awal yakni membayar uang masuk universitas atau pun uang kuliah semester. Anda membayarkan itu dengan harapan mendapatkan pelayanan pendidikan yang maksimal dari pihak universitas. Biaya kuliah yang tinggi saat ini semakin membuat ekspetasi kita terhadap apa yang akan kita dapat dengan membayar ke pihak universitas semakin tinggi. Tak terkecuali di Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Indonesia.

Tidak seperti era sebelumnya dimana biaya kuliah di Perguruan Tinggi Negeri sangat murah, saat ini biaya yang dikeluarkan tak jauh berbeda dengan biaya masuk universitas swasta. Bahkan ada kelas-kelas yang dibuka di Perguruan Tinggi Negeri yang memakan biaya yang melebihi biaya masuk universitas swasta. Dahulu selain mencari kualitas yang terjamin dari universitas negeri orang-orang juga mencari biaya kuliah murah dengan masuk universitas negeri, kalau sekarang?

Saya saat ini berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri. Seperti yang saya utarakan di atas, biaya yang saya keluarkan cukup tinggi. Biaya yang tinggi itu sudah termasuk biaya masuk kuliah, uang semester, dan biaya lainnya yang tak disebutkan satu-persatu oleh pihak universitas. Untuk itu semua saya merogoh kocek sampai belasan juta rupiah.

Masalahnya ada ketika sebagai mahasiswa, saya atau setidaknya angkatan saya tidak mendapatkan hak kami secara maksimal. Sebagai contoh ada satu mata kuliah wajib universitas saya yang memakai 5 buku cetak yang seharusnya dibagikan oleh pihak universitas. Sampai saat ini buku-buku yang menjadi hak kami itu belum kami terima. Padahal menengok ke tahun-tahun sebelumnya, buku tersebut sudah bisa didapat dari awal masuk kuliah. Tapi untuk tahun ini, sampai mendekati UTS kami belum bisa mendapatkannya.

Masalah buku itu hanya salah satu hal di antara berbagai macam persoalan yang saya rasa tidak bisa diterima alasan apapun untuk menjelaskannya. Seperti kartu mahasiswa yang baru didapatkan setelah lewat berminggu-minggu dari masuk kuliah, fasilitas komputer mahal yang canggih yang tidak bisa berfungsi dengan baik, dll.

Dengan kasus-kasus semacam itu bisa saja muncul kecurigaan terhadap penyelewengan uang yang dibayarkan oleh mahasiswa. Sah-sah saja ketika mahasiswa mencurigai hal itu ketika mereka tidak mendapatkan hak yang sewajarnya. Seperti rakyat yang tak mampu mempertanyakan uang dana BOS untuk anak mereka yang tidak mereka terima. Adalah wajar untuk mempertanyakan hak kita.

Kita perlu menganggap hal ini sebagai hal yang serius. Jika memang kita ingin universitas kita mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi di mata internasional atau setidaknya dicap berkualitas internasional, hal-hal semacam ini tidak sepatutnya bisa terjadi. Jika pihak universitas saja tidak bisa memenuhi kewajibannya memberikan fasilitas dan pelayanan terbaik kepada mahasiswanya, bagaimana bisa pihak luar menilai kita dengan lebih baik?

Hal yang masih kurang dalam pengelolaan dana di Perguruan Tinggi Negeri salah satunya adalah transparansi terhadap dana yang dibebankan ke pihak mahasiswa. Ketika seorang mahasiswa membayar dana sebut saja sebesar lima belas juta rupiah, maka sudah sepatutnya mahasiswa mengetahui kemana perginya uang yang dibayarkan itu. Ini ada baiknya juga untuk hubungan yang baik antara fakultas dengan mahasiswa yakni meminimalisir kecurigaan yang akan berdampak negatif dalam berlangsungnya perkuliahan. Akuntabilitas pihak universitas masih patut untuk dipertanyakan.

Mahasiswa sekarang juga harus bisa bersikap kritis terhadap masalah semacam ini. Dari lingkungan saya sendiri, atau jika dipersempit dalam sebuah kelas, banyak yang tidak menyadari akan adanya hal yang tidak berjalan semestinya, dalam hal ini masalah buku tadi. Mungkin mereka mengeluh namun merasa hal itu bukanlah hal yang penting untuk ditindaklanjuti. Pihak universitas bisa saja membiarkan hal ini terjadi berlarut-larut karena dari mereka sendiri tidak merasa ada tekanan yang mengharuskan mereka untuk melakukan perubahan. Mahasiswa harus tetap responsif agar bisa terus mengingatkan pihak universitas jika terjadi hal yang tidak semestinya. 

Adalah tanggungjawab kita sebagai mahasiswa untuk mempertanyakan dan melakukan tindakan terhadap hal semacam ini. Dana pendidikan yang berasal dari rakyat sudah sepatutnya dipertanggungjawabkan, dan kita sebagai mahasiswa memiliki peran kontrol karena kita yang secara langsung merasakan apakah dana itu sudah dipakai dengan maksimal atau tidak. Kita sendirilah yang harus bertindak jika terjadi hal yang keluar pada jalur yang semestinya. Kalau bukan kita yang bergerak, maka siapa lagi? Pihak lain tak punya dorongan atau kepentingan untuk bergerak seperti kita. 

Seperti ungkapan di awal tulisan ini, kita ini membayar. Beda soal kalau kita menyumbang. Ketika menyumbang kita tidak mengharapkan imbalan atau timbal balik kepada kita yang setimpal. Sedangkan ketika kita membayar maka kita harus menuntut hak kita secara maksimal sesuai yang telah kita lakukan dalam kewajiban kita. Sudahkah anda mendapatkan hak anda? Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Kamis, 20 September 2012

Ketika Kelingking Jakarta Menjadi Ungu

Jari kelingking telah dicelupkan. Warna ungu menempel di kulit yang kasar atau pun halus. Kertas-kertas penuh bolongan dihitung satu persatu sebelum menjadi tumpukan sampah yang entah akan dibakar atau ditimbun. Ibu-ibu rumah tangga mengajak anak kecilnya duduk-duduk di kursi tamu sambil menyaksikan orang-orang, mulai remaja sampai yang sudah sepuh, berlalu-lalang mengotori jari kelingking mereka dengan tinta seperti sebuah pertunjukan sesaat di sebuah kampung yang sumpek dengan bau selokan yang menyengat. Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua telah dilaksanakan.

Pesta demokrasi itu telah diikuti oleh ribuan remaja dan dewasa, oleh mereka mengenal calon dari siaran televisi, mereka yang tahu karena diceritakan oleh orangtua, atau mereka yang mengikuti jalannya kampanye calon sambil dengan seru berdebat dengan kawan-kawannya setiap kali menyinggung perbincangan seputar pemilukada DKI Jakarta. Bahkan warga Jakarta yang sedang berkelana di luar kota atau luar negeri yang tidak bisa turut serta dalam pemilukada ini sangat antusias mencari tahu hasil quick count.

Dalam hasil quick count yang telah dimumkan di TV sampai tweet para remaja di twitter, Jokowi-Ahok memenangkan perolehan suara di putaran kedua ini. Sebuah hasil yang bagi banyak orang tidaklah mengagetkan. Fauzi Bowo kalah dalam adu popularitas. Ya, popularitas. Bagaimana kemudian dengan perang visi misi? Apakah betul Foke kalah ketimbang Jokowi?

Pada rentang waktu putaran pertama dan putaran kedua masyarakat bukanlah disajikan sebuah pertarungan visi misi yang menggiurkan untuk dipikirkan sebagai bahan memilih calon pemimpin mereka. Masyarakat malah dipertontonkan perang SARA yang membawa unsur agama dan ras. Apakah anda melihat itu indah adanya? Atau mungkin kita sebagai masyarakat Jakarta malah lebih tertarik dengan pertarungan macam itu? Bisa saja demikian karena unsur yang berbau SARA terkadang sangat menarik untuk diperdebatkan dan menarik minat untuk membawa konflik ke permukaan.

Menurut Samuel P. Huntington, interaksi politik dunia saat ini bukanlah berasal dari perang ideologi. Dunia saat ini lebih digerakkan oleh konflik antar peradaban yakni agama dan ras. Agama terutama, merupakan penggerak yang paling kuat dalam mengatur sebuah masyarakat sampai pada taraf politis. Dan hal itu bisa kita lihat dengan apa yang terjadi dalam masa pemilihan calon gubernur baru DKI Jakarta ini.

Kalau konsep dunia yang diungkapkan oleh Huntington kita sempitkan sebatas lingkup DKI Jakarta saja maka kita bisa melihat bagaimana memang kita sebagai masyarakat sangat terpengaruh dengan isu ras dan agama. Bila kita bayangkan secara sederhana saja maka saya bisa mencontohkan sebagai berikut. Banyak di antara kita yang tiba-tiba mengikuti jalannya pilkada karena ada isu SARA yang naik ke permukaan. Apakah anda satu di antaranya? Apakah sebelumnya anda mengikuti dan telah mengenal visi misi dan program para calon? Jika memang anda menjadi tertarik dengan berita seputar pilkada karena ada unsur SARA yang menurut anda sangat seru berarti anda sendiri sebagai masyarakat akan sulit untuk melihat seorang pemimpin secara objektif.

Itu semakin diperparah oleh media yang memang saat ini sangat diuntungkan dengan berita-berita semacam ini dan tentu saja semakin membuat panas suasana yang ada di tengah masyarakat. Majunya social media juga semakin membantu percepatan informasi termasuk provokasi. Calon yang diuntungkan hanya tinggal duduk sambil tersenyum melihat masyarakat yang ternyata belum bisa berpikir maju mudah terprovokasi.

Jika tak ada kesalahan dalam perhitungan quick count maka bisa dipastikan bahwa Jokowi adalah pemimpin baru Jakarta. Banyak orang-orang yang tidak rugi telah membeli baju kotak-kotak di pinggir jalan atau di mobil-mobil keliling yang berhenti di tempat-tempat secara acak. Apakah janji-janjinya dan kredibilitasnya yang katanya telah teruji di kota Solo mampu merubah Jakarta sesuai keinginan masyarakat?

Yang menarik disini bagi saya adalah kekalahan Foke berarti juga kekalahan Demokrat. Secara tidak langsung DKI Jakarta akan dipimpin oleh partai oposisi. Seperti yang kita tahu Jokowi-Ahok adalah pasangan yang diusung oleh PDIP dan Gerindra. Sangat menarik untuk diikuti karena Jakarta adalah kota yang di dalamnya berisi inti pemerintahan negara. Negara yang dikuasai Demokrat dan Jakarta yang dipimpin lawannya. Akan menjadi seperti apakah perpolitikan di Jakarta kedepannya?

Pemerintahan Jokowi nanti tentu saja akan dipengaruhi oleh partai pengusungnya. Melihat dasar ilmu Jokowi yang kehutanan tentu akan sulit bagi dirinya jika tidak dibantu oleh para ahli perkotaan dalam menata kota Jakarta. Dan bantuan itu bisa saja dan tidak mungkin akan dimonopoli oleh partai-partai pendukungnya. Ini bisa saja menjadi tantangan warga Jakarta untuk turut berpartisipasi mengawasi jalannya pemerintahan di Jakarta agar tidak menyeleweng ke kepentingan kelompok tertentu atau hanya sebagai alat penjaring kekuasaan semata.

Namun pada dasarnya siapapun yang terpilih akan mengemban amanat dan harapan dari masyarakat Jakarta yang telah lelah, basah, dan frustasi karena macet, banjir, dan kesenjangan sosial yang menyelimuti setiap saat ketika panas udara Jakarta mengenai kulit kita yang mulai menghitam. Bukan tidak mungkin memimpin Jakarta adalah awal untuk pada nantinya mengambil bagian dalam jajaran penguasa Indonesia. Sekali lagi, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Selasa, 18 September 2012

Waktu: Harta dan Dilema

Seperti yang tertulis di judul posting saya yang kali ini, kali ini saya ingin membicarakan mengenai waktu. Dalam pandangan saya waktu adalah harta dan sekaligus dilema. Waktu adalah sesuatu yang menyelimuti kita setiap saat sekaligus pengingat dan pengawas kita. Waktu terus berjalan serentak dengan setiap derap langkah dan tetesan keringat yang menceritakan pengalaman pertumbuhan seorang bayi yang telah menjadi sepuh nan tua.

Waktu adalah harta kita. Apakah anda merasa demikian? Jika anda merasa saat ini anda sangat kekurangan dan putus asa karenanya, ketahuilah bahwa anda masih memiliki salah satu harta yang sangat bernilai yakni waktu. Anda membutuhkan waktu untuk menghasilkan sesuatu atau pun untuk tumbuh dan berkembang. Waktu adalah pedoman kita untuk melihat sekaligus mengamati sebuah perkembangan. Setiap kejadian ditandai dan diingat berdasarkan waktunya. Waktu adalah penanda kehidupan dan eksistensi.

Berharganya waktu akan kita rasakan saat kita membutuhkannya untuk menghasilkan sebuah karya atau penegasan-penegasan keberadaan diri. Kita tak akan bisa memandang harga dari sebuah waktu tanpa sebuah hasil dari apa yang kita kerjakan. Semua hal yang kita kerjakan atau hasilkan adalah buah dan harga yang dibayarkan dari waktu yang tak kelihatan itu. Jadi anda hanya bisa mengatakan anda menghargai waktu ketika anda melakukan sesuatu yang menghasilkan, apapun itu.

Di balik itu, waktu ternyata adalah pengawas kita yang paling setia. Waktulah yang selalu mengingatkan kita sudah sampai dimanakah langkah kita saat ini dan apa saja yang sudah berhasil kita perbuat untuk diri sendiri dan orang lain. Kita berjalan pada sebuah kolom waktu yang berparalel dengan kolom-kolom yang lain. Dari kolom-kolom itu kita akan saling bergesekan dan beririsan dengan jalur orang lain yang membuahkan suatu keterikatan waktu antar sesama kita.

Ketika anda merasa kosong dan tak merasakan apapun, cobalah ingat timeline hidup anda sejenak. Sudah berapa cek point kehidupan yang telah anda lewati sampai pada detik ini. Rasakanlah bahwa waktu enggan untuk menunggu anda. Enggan untuk melihat kemampuan dan keterbatasan anda untuk berlari bersamanya. Ia tak mau untuk menemani anda mendapatkan lagi suasana nyaman saat itu hilang. Ia tak perduli jika anda sampai harus menyeret kaki anda yang jarang menjadi pijakan itu untuk bergerak, berlari bersamanya.

Terkadang kita dibatasi oleh waktu yang secara tak sadar kita bentuk sendiri. Kita dikejar oleh jenjang waktu yang kita ciptakan maupun yang diciptakan oleh tuntunan peran kita. Pembagian waktu menjadi hal yang penting sekaligus penting. Pada saat seperti itu, anda akan merasakan bagaimana sebuah waktu pada dasarnya berjalan dengan sangat cepat.

Salah satu hal yang membahagiakan bagi seorang pemuda adalah bahwa ia masih memiliki banyak waktu. Tentu waktu yang banyak tersebut adalah modal yang sangat besar untuk menjadi, menghasilkan, atau berbuat sesuatu. 

Waktu adalah kesempatan. Hidup kita adalah sebuah rentang waktu yang merupakan kesempatan yang terus bergulir. Setiap detik secara tidak sadar merupakan kesempatan kita. Kesempatan untuk melakukan sesuatu. Sadarkah sudah berapa banyak kesempatan yang anda lewatkan dengan membuang beribu-ribu jam yang anda buang percuma?

Jadikanlah waktu hidup anda sebagai pernyataan eksistensi anda, keberadaan anda. Waktu adalah harta anda yang bisa membayar segala hal di dunia. Di sisi lain, semua hal memerlukan waktu baik secara langsung maupun tak langsung. 

Ya, saya hanya mengajak anda lebih menengok ke sesuatu yang kita sebut sebagai waktu. Sebentar menepuk sahabat kita yang bernama waktu dan berkenalan. Sesuatu yang bahkan jarang kita sebut itu. Sesuatu yang sering tak kita pedulikan yang ternyata adalah kunci dari segala hal. Kenalilah waktu anda, dan rajailah. Tundukkanlah waktu, jangan mau tertunduk karena waktu. Waktu adalah harta kita, sekaligus dilema dalam keterbatasan seorang manusia. Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Jumat, 17 Agustus 2012

Hanya Selamat Ulang Tahun

Selamat ulang tahun! Selamat panjang umur dan sehat selalu! Semoga semua harapan dan cita-citamu bisa tercapai kelak. Di usia yang sekarang sudah seharusnya kepala menengadah tegak ke atas dan dada bisa dibusungkan dengan wibawa dari sosok yang dewasa. Selamat ulang tahun, Indonesia!

Jalan di sekeliling istana negara ditutup untuk mengamankan upacara bendera di hari peringatan kemerdekaan ini. Rumah-rumah dihiasi merah putih, pun juga gang-gang sempit dengan selokan yang mampet turut diramaikan oleh anak-anak kecil yang berlarian sambil memainkan bendera merah putih kecil mereka yang terbuat dari plastik. Indonesia raya dikumandangkan di setiap lapangan-lapangan sekolah sampai perkantoran. Lagu yang paling dihafal oleh seluruh rakyat Indonesia dinyanyikan dengan lantang menjurus ke teriakan.

Memberi hormat ke arah bendera yang ditiup dengan susah payah oleh angin panas dari teriknya kota yang telah bercampur dengan abu. Para kakek dan nenek di luar lapangan itu masih saja menengadahkan tangan ke atas sambil berharap anak-anak berseragam putih-putih sudi memberikan keping-kepingan atau mungkin lembaran rupiah mereka saat mereka pulang nanti.

Ia yang berulang tahun itu apakah tahu makna dari bertambahnya usia? Tahukah akan makna dari kedewasaan? Tahukah akan makna hidup dan kesejahteraan? Apakah akan jadi sama seperti anak kecil yang berulang tahun yang merengek dibelikan kado di hari ulang tahunnya? Tak ada kue cukup besar untuk merayakan ulang tahun ini, tak ada lilin yang cukup besar untuk kita tiupkan bersama-sama. Yang ada hanya matahari yang mungkin bisa padam dengan air mata jutaan nyawa.

Para muda-mudi sibuk menyatakan selamat bertambah usia dengan berbagai macam kreatifitas penyusunan kata lewat social media. Kecintaan akan negara mereka tunjukan dengan memasang bendera bangsa. Para artis sibuk mencari rangkaian kata saat diwawancara. Tak ketinggalan si bapak negara berpidato di depan bangsanya. Semua orang punya caranya masing-masing untuk memberikan ucapan dirgahayu untuk ibu pertiwi.

Ketahuilah 67 tahun bukanlah usia yang muda. Sampai detik ini kita masih berkembang, walau saya tak yakin apakah mereka para pemegang kekuasaan tahu kemana sebenarnya negara ini ingin dikembangkan. 

Sesuatu yang dibiarkan secara terus-menerus akan berakhir sebagai sebuah kebiasaan. Ketika kebiasaan itu sudah terbentuk dan berakar dalam maka hal itu akan sangat sulit untuk dirubah. Ketika sebuah keadaan dianggap baik-baik saja atau dianggap sudah biasa, maka tidak akan ada dorongan yang besar untuk merubah keadaan tersebut. Sekarang mari kita melihat ke sekeliling, muka-muka puas akan keadaan saat ini masih saja banyak terpajang di gedung-gedung pencakar langit yang enggan untuk merunduk.

Mereka yang keroncongan itu tak butuh pesta pora. Tak butuh diundang ke perayaan ulang tahunmu. Tak butuh pula diajak untuk memotong kue bersama. Mereka hanya ingin kau melihat mereka, hanya ingin salam dan tatapan anda benar-benar berasal dari kedukaan yang ada di jiwa. Mereka ada di antara kita, mereka bagian kita.

Para pemuda tak perlu berangan jauh untuk menjadi kapten kapal yang berniat mengatur jalannya bahtera nusantara. Jadilah dulu seorang kapten sehingga bisa tahu bagaimana caranya menjadi pemimpin kapal. Sukseskanlah dahulu dirimu, baru negaramu.

Yang berada di atas sana, mungkin segala sesuatu butuh proses, namun ketahuilah pula kelaparan seseorang juga bisa berproses menjadi kematian. Ketahuilah pula bahwa frustasi juga berasal dari proses. Kriminalitas adalah buah dari proses pula. Kemerdekaan juga sebuah proses, begitu pula dalam mempertahankannya. Waktu adalah pertaruhannya. Mau berapa banyak lagi waktu yang habis tanpa menjadi apa-apa.

Sekali lagi selamat ulang tahun saya ucapkan. Kepada kamu, kalian, keluarga anda, teman-teman sekalian, kepada anda semua baik yang menikmati sofa empuk maupun yang tak beralas, yang berpuasa maupun yang tidak, yang bermata bulat sampai yang sipit, yang berkulit putih, cokelat, maupun hitam, yang menonton TV di kamar atau yang menonton bersama di rumah Kepala Desa, yang berpikir ingin makan malam apa dan yang gundah apakah malam ini makan atau tidak, kepada mereka yang menepuk-nepuk tangan di lampu merah dan mereka yang bercanda dengan bertukar pesan lewat gadget masing-masing, dan tentunya kepada diri saya sendiri. Kita semua Indonesia.

Kita semua berulang tahun hari ini. 17 Agustus 2012 kita berusia 67 tahun. Silahkan pasang senyuman terindah di hari ulang tahun kita. Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Rabu, 15 Agustus 2012

Nikmatnya Tantangan

Kesibukan baru, lingkungan baru, tanggungjawab baru dan hal-hal baru lainnya sedang menghampiri saya saat ini. Sudah satu bulan saya tidak menulis dan akhirnya saat ini saya kembali sempat untuk menulis di blog ini. Untuk kali ini saya ingin berbagi dan bercerita mengenai hal yang kita sebut sebagai tantangan. 

Bagi saya tantangan dan hal atau sesuatu yang baru adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Di setiap hal baru terdapat tantangan yang menyelimuti di luarnya, dan sebuah tantangan adalah hal baru yang menantang pribadi diri kita ketika itu tiba-tiba datang menghampiri tepat di depan muka kita. Apakah hal-hal baru selalu menantang? Tidak juga. Tapi sebuah hal baru yang menantang pastilah berujung pada sebuah dorongan untuk mempelajari atau berubah ke suatu hal yang baru.

Sebuah tantangan bisa merubah kita. Tapi perubahan itu bisa saja ke arah positif juga negatif. Positif dan negatifnya perubahan itu juga bisa berasal dari hal baru yang datang ke diri kita. Ketika hal itu buruk tentu akan merubah kita ke arah yang negatif, sebaliknya jika hal baru itu adalah sebuah hal yang dapat membangun diri ke arah yang baik maka kita akan kaya dengan hal yang positif. Semua itu juga bergantung pada daya saring diri kita yang menentukan penerimaan dan perubahan kita.

Misal saja seorang anak SMA ditawari untuk mencoba mengkonsumsi narkoba oleh sahabatnya yang memang sudah merupakan pemakai. Bisa saja dalam diri si pemuda SMA itu mengkonsumsi narkoba adalah sebuah tantangan baru atau hal baru yang sangat menantang untuk dicoba. Ketika tantangan seperti itu diterima dalam dirinya makan akan menuntunnya ke arah yang negatif yakni pemakai narkoba.

Sedangkan contoh tantangan yang positif adalah sebagai berikut. Ketika anda seorang mahasiswa ditawari sebuah tugas sebagai ketua kelompok besar atau pun diberi kesempatan untuk memimpin sebuah organisasi maka sebuah tantangan positif akan menghampiri anda. Memimpin orang-orang bisa saja merupakan hal baru bagi anda. Meskipun anda mungkin pernah menjadi pemimpin sebelumnya, menjadi pemimpin di tempat yang baru atau dengan orang-orang yang baru juga merupakan tantangan yang bisa anda ambil sebagai sebuah pengalaman yang baru. 

Namun mengambil sebuah tantangan yang positif bisa saja berbuah hal yang negatif pada diri anda ketika anda mengambil tantangan yang anda sebagai pribadi tidak sanggup untuk menerima tugas dan beban yang akan mengikat anda nantinya. Tak semua tantangan positif perlu anda ambil. Pilihlah mana yang anda rasa anda mampu untuk melakukannya dan mana yang anda rasa terlalu berat untuk anda.

Saya selalu menganggap sebuah tantangan yang menghampiri saya sebagai sebuah anugerah dalam hidup saya. Mengapa? Karena sebuah tantangan membuat saya berbuat suatu hal yang akan memacu diri saya untuk bertindak lebih dari biasanya. Mempelajari hal-hal baru juga hal yang sangat menyenangkan dan bagian dari tantangan. Tak jarang sebuah tantangan akan merubah kita dari diri kita yang sekarang ini.

Tantangan terbesar saya selama hidup saya adalah ketika saya memilih bekerja dibanding langsung melanjutkan pendidikan saya ke tingkat perguruan tinggi. Itu merupakan hal dan keputusan besar yang bahkan tidak terpikir sama sekali akan menghampiri saya. Sebuah keputusan yang ternyata berbuah sebuah perubahan besar dalam diri saya sebagai pribadi yang telah dewasa. 

Tahap awal ketika tantangan saya itu saya ambil adalah sangat berat. Hal baru yang saya lakukan itu terasa berat karena saya merasa sendiri melakukan hal seperti itu. Berbeda dengan semua teman-teman saya. Berbeda dengan kelompok saya baik kecil atau besar. Konflik batin terjadi dalam diri saya. Di satu sisi saya tidak ingin melakukan hal itu dan di sisi lain kedewasaan saya berusaha meyakinkan saya untuk berkata "Ya, ini yang terbaik untuk saya dan keluarga saya."

Salah satu hal yang menjadi tantangan kita sebagai generasi muda secara umum adalah menjadi berbeda dengan orang lain. Pilihan kita terkadang langsung didasari oleh pilihan orang lain, pilihan dari kelompok kita. Tak pernah terpikirkan untuk menjadi berbeda dengan orang lain. Pola pikir kita mengikuti apa yang dipikirkan  oleh orang kebanyakan tanpa melihat apa yang sebenarnya terbaik untuk diri kita masing-masing.

Tak jarang pula kita sering bermain aman untuk tidak mengambil tantangan-tantangan yang ada. Memilih untuk melakukan hal-hal biasa yang tidak berbeda dengan yang lain. Tidak perlu mengambil resiko atau beban-beban yang melelahkan. Hidup hanya mengikuti arus saja. Namun itu tidak salah karena mempelajari hal baru atau tidak merupakan pilihan dari setiap orang. 

Menurut saya tantangan adalah bumbu penikmat dari perjalanan hidup kita. Siapapun kita, tantangan akan hadir menghampiri kita, dan tantangan itu tak akan memberikan pengumuman sebelum menghampiri kita. Ia akan langsung menghampiri kita yang bahkan tak jarang mengagetkan kita. Soekarno juga pasti terkejut ketika para pemuda menculik ia dan petinggi lainnya ke Rengasdengklok. Tantangan untuk memerdekakan Indonesia dalam tempo singkat ia ambil dan akhirnya lahirlah negara kita ini.

Bersiaplah untuk hal-hal baru yang akan menghampiri anda dan pastikan diri anda memiliki penyaring yang kuat untuk menyaring hal-hal baru yang akan menghampiri anda dalam waktu dekat atau pun dalam beberapa waktu ke depan selama hidup anda. Namun ketahuilah, ketika sebuah tantangan itu berhasil anda lahap dan lakukan dengan sukses, anda akan merasakan kenikmatan. Namun seperti biasa, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Sabtu, 14 Juli 2012

Bolongnya Dua Belas Muka

Siapa yang golput di antara anda? Tak perlu menjawab kalau anda warga luar Jakarta. Karna yang akan saya bicarakan saat ini adalah Pemilukada DKI Jakarta yang putaran pertamanya telah kita lakukan beberapa waktu yang lalu. Siapa yang anda pilih?

Saya pilih kumis! Saya pilih kotak-kotak! Saya pilih independen! Saya pilih ini! Saya pilih itu! Semua orang boleh dan punya hak untuk memilih pilihan mereka masing-masing. Calon yang ada sampai 6 pilihan itu adalah harapan warga Jakarta untuk periode berikutnya, walaupun banyak yang tidak menggantungkan harapan apa-apa kepada para calon.

Kalau masalah perubahan yang bisa mereka lakukan, jangan banyak atau terlalu tinggi berekspektasi. Perubahan itu butuh proses dan tinggal bagaimana proses itu dilakukan secara cepat atau tidak, bertanggungjawab atau seenaknya, atau jalan begitu saja tanpa ada perbedaan yang berarti. kita akan lihat proses itu pada 5 tahun masa bakti gubernur yang terpilih nanti.

Pemilukada kali ini menempatkan 2 pasangan calon independen yang maju sebagai cagub dan cawagub. Ini sangat menarik karna mereka menjadi bumbu yang berbeda dari pemilukada sebelumnya. Pasangan Faisal Basri - Biem Benyamin dan Hendardji Soepandji - Ahmad Riza Patria menjadi warna tersendiri di pemilukada kali ini.

Dalam quick count yang telah dilakukan, pasangan Jokowi-Ahok berada di urutan pertama diikuti oleh pasangan Foke-Nara. Hasil yang diluar dugaan ini tentu saja menjadi pembicaraan banyak pihak sampai dengan putaran kedua nantinya. Para pemilih calon lainnya yang telah kalah akan menjadi sorotan karena menarik melihat kemana suara mereka akan berlabuh.

Melihat Jokowi berhasil mengungguli Foke dalam putaran pertama, banyak yang mengatakan memang sekarang sudah bukan masanya lagi memilih pemimpin yang berasal dari daerah asli (Betawi). Namun kalau diperhatikan lagi itu juga bisa saja terjadi karena penduduk Jakarta paling tinggi saat ini berasal dari etnis Jawa. Jadi kekuatan suara yang dimiliki Jokowi juga bisa dikaitkan dengan hal itu kalau kita berbicara etnis atau suku disini. 

Namun masalah itu sebetulnya tak perlu lagi dipusingkan. Mengenai Jokowi yang bahkan adalah walikota Solo dan bukan warga Jakarta, sebenarnya tak perlu kita gubris masalah dia Jawa atau tidak dan tak perlu juga dikaitkan itu sebagai alasan mereka menang.

Dalam pemilukada kali ini sangat jelas bahwa ada 2 pasangan yang berhasil membangun image atau trademark masing-masing di mata masyarakat Jakarta. Keduanya pun masuk sebagai wakil di putaran kedua. Foke dengan kumisnya, dan Jokowi dengan baju kotak-kotaknya.

Untuk Foke, selain karna image 'Bang Kumis' yang telah melekat sejak ia menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, faktor kampanye lawan juga turut serta menguatkan sosok kumisnya itu. Dengan semakin seringnya ia disebut dan dijuluki, maka itu akan cukup membantu masyarakat melekatkan sosok kumis di dalam otak mereka.

Apalagi ada salah satu lawan dalam pemilukada kemarin yang dengan tersirat menyindir Jakarta dengan kata 'Berkumis'. Selain itu di iklan-iklan kampanyenya, Foke juga menonjolkan 'kumis' sebagai senjata untuk menarik perhatian warga. Bisa dikatakan pada pemilu kemarin para calon fokus untuk melawan kedigdayaan 'Si Kumis'yang telah melekat di otak para masyarakat.

Kampanye yang baik salah satunya adalah membuat orang mudah untuk mengingat akan ciri atau kekhususan dari yang dikampanyekan. Jokowi sukses dengan baju kotak-kotaknya. Baju kotak-kotaknya begitu melekat di benak masyarakat. Sampai kalau ada orang yang memakai baju kotak-kotak warna merah, kita bisa langsung menjudge orang itu adalah pendukung Jokowi. Mungkin itu hanya hal kecil, namun justru hal kecil semacam itu yang menunjukkan keberhasilan tim kampanyenya menempelkan ingatan akan Jokowi-Ahok di benak masyarakat.

Dengan trademark yang telah berhasil dimunculkan maka selanjutnya masyarakat akan mulai mencari tahu tentang informasi seputar si cagub dan cawagub yang telah mereka kenal. Karena itulah mengapa Jokowi-Ahok bisa dikatakan melakukan kampanye yang berhasil.

Tim sukses Jokowi juga sangat intens menginformasikan keberhasilan-keberhasilan yang telah dilakuakan Jokowi dalam karirnya terutama sebagai walikota Solo. Tentu saja untuk mereka kaum awam yang tidak tahu informasi apa-apa akan dengan mudah bersimpati jika terus dicekoki keberhasilan-keberhasilan sosok Jokowi.

Sesungguhnya pasangan Faisal-Biem juga sangat menarik. Mereka yang berasal dari jalur independen juga berusaha membangun image di mata masyarakat dengan busana mereka. Selalu mengenakan kemeja warna putih yang lengannya selalu dilipat, mereka berusaha menunjukkan arti 'Berdaya bareng-bareng' yang mereka gembor-gemborkan. Tapi tentu saja dengan jalur independen yang mereka pilih, besar dan intensitas kampanye yang bisa mereka lakukan lebih terbatas dibanding calon lainnya yang disokong oleh partai-partai politik. 

Ada hal unik yang pasangan Faisal-Biem lakukan dalam kampanye mereka. Pasangan itu meminta uang dari rakyat ataupun saweran dari masyarakat untuk kampanye mereka. Mereka mengatakan bahwa itu untuk menunjukkan bahwa mereka berhutangnya adalah kepada rakyat.

Namun majunya Faisal Basri bisa saja membuka pintu baru dan menjadi motivasi bagi mereka yang ingin maju ke pemerintahan dengan cara independen. Mereka menunjukkan bahwa ada cara untuk mengabdi ke masyarakat tanpa harus melalui partai politik. Kalau saja mereka sukses di pemilukada kali ini, mungkin saja peta perpolitikan di tanah air bisa berubah. Dan bukan tidak mungkin di beberapa tahun kedepan, mereka dari jalur independen seperti ini bisa lebih kuat pengaruhnya dibanding saat ini. 

Putaran kedua nanti akan sangat menarik untuk diikuti. Kalau tak mau kalah, tim sukses Foke harus melakukan promosi yang lebih baik lagi untuk mencuri hati terutama mereka yang calonnya telah gugur. Juga bagaimana Jokowi bisa menarik mereka yang akan menjadi galau karena calon yang ada telah mengkerucut menjadi dua saja. 

Mereka tak boleh hanya berharap pada penilaian dan kepercayaan dari masyarakat atas kinerja yang telah Foke lakukan selama ini. Keberhasilan yang telah dilakukan Foke harus lebih dinaikkan ke publik jika mereka memang ingin menang terhadap anggapan negatif mereka yang pada putaran pertama tak memilih Foke. Gelar Gubernur terdahulu tak akan cukup untuk menarik perhatian masyarakat karena lawannya pun sangat menggemborkan keberhasilan-keberhasilan yang telah dilakukan dan menjadikan itu sebagai senjata ampuh untuk menarik perhatian warga masyarakat.

Pilihlah dia yang anda rasa bisa memimpin dan bekerja dengan baik. Bukan mereka yang satu etnis dengan anda, satu agama, satu golongan, atau mungkin satu almamater. Jangan memilih hanya karena ikatan kekerabatan. Kalau kita masih terbatas hanya akan hal-hal seperti itu berarti kita masih saja dengan budaya lama yang kedaerahan, yang sangat tidak cocok bagi kemajemukan kota Jakarta.

Pilihlah dia yang bisa memimpin dan bisa bekerja. Jangan pisahkan kedua hal itu. Seorang pemimpin harus bisa dan tahu bagaimana caranya memimpin. Memimpin kota Jakarta berarti memimpin sebuah Indonesia kecil yang sangat padat. Ketegasan dan sikap wibawa seorang pemimpin yang bisa dihormati dan disegani dibutuhkan oleh kita, karena itulah bisa bekerja saja tidak cukup. 

Hanya bisa bekerja dengan baik pun tidaklah cukup kalau ia bukanlah seorang pemimpin seperti yang saya uraikan di atas. Seorang pemimpin berbeda dengan pekerja biasa yang bisa bekerja dengan baik dan benar. Apakah calon anda nanti paling mendekati kriteria tersebut?

Gubernur nanti haruslah menjaga seluruh kepentingan masyarakat tanpa perlu mendahulukan golongan-golongan tertentu. Tentu saja pembangunan yang dibuat tak akan indah tanpa diselaraskan dengan peningkatan kualitas hidup manusia di Jakarta. Jadikan kota ini bukan hanya maju saja, namun juga memiliki kualitas hidup.

Saya harap anda semua yang membaca posting ini memakai hak suara anda. Turutlah berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini. Jangan pikirkan mengenai suara anda namun jadikan pemilu ini sebagai partisipasi anda dalam membangun daerah ibu kota ini. Jangan berharap dan meminta banyak jika anda saja tak mau turut serta dalam proses hasil yang anda harapkan. Coblos dan mari bersama melihat siapa yang nantinya akan menjadi Abangnya Jakarta di 5 tahun berikutnya. Sekali lagi, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Jumat, 22 Juni 2012

Pacaran Itu Asik ?

Ada banyak pembaca saya yang bilang kalau banyak tulisan saya yang serius-serius banget. Setelah lama tidak nge-post lagi, kali ini saya ingin membahas sebuah masalah secara santai. Di tulisan saya yang kali ini saya ingin membahas mengenai opini saya terhadap persoalan yang begitu melekat di semua diri manusia. Untuk remaja persoalan ini bahkan begitu mengatur keseharian mereka, sampai-sampai ada yang bunuh diri karenanya, asmara.

Masalah cinta-cintaan tampaknya menjadi sebuah bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan remaja dan juga dewasa. Usia SMP kita mulai mengenal apa itu pacaran dan semacamnya. SMA kita tumbuh sejalur dengan perkembangan mental dan hasrat kita. Usia kuliah romantisme itu semakin ada dan terus setelahnya. Tak perlu kita pungkiri, rasa cinta atau bahkan rasa sakit karena cinta adalah satu hal pokok pembentuk kehidupan kita.

Pernahkah anda pacaran? Atau mungkin sudah berapa kalikah anda berpacaran? Atau mungkin anda belum pernah berpacaran? Yang mana pun, itu semua adalah pilihan kita. Pilihan kita untuk menjalin sebuah hubungan yang disebut lebih dari sebuah pertemanan. Hubungan romantis antara lawan jenis. Namun terkadang banyak di antara kita yang tak menyadari bahwa itu juga adalah pilihan untuk diri kita direpotkan karenanya.

Direpotkan? Benarkah begitu? Baik si wanita atau si pria dalam sebuah hubungan pastilah, tanpa perlu diingkari, menjadi direpotkan oleh urusan atau permintaan dari si kekasih. Masalahnya disini adalah terkadang yang menjalin hubungan itu tidak mau direpotkan. Hanya untuk senang-senang, tak jarang sebuah hubungan pacaran dijalani.

Era globalisasi turut merancang gaya hidup seperti itu. Mempunyai pacar terkadang menjadi sebuah obsesi. Tak ada rasa yang harusnya ada. Bahanya adalah ketika rasa itu hanya ada pada satu arah saja, dimana hal itu yang sering memancing stress dalam diri. Anak muda yang labil emosinya menjadi tidak tahu bagaimana menjaga perasaan mereka. Gaya hidup berpacaran menjadi sebuah tekanan bagi sebagian orang.

Tak berhenti memikirkan sang pacar, dibuat kesal oleh pacar, emosi menjadi tak terkendali, dan juga yang sering disebut oleh kita sekarang ini, galau. Di luar banyak kepentingan lain yang perlu dikerjakan, kita sibuk memikirkan hal-hal mengenai perasaan itu. Ini juga bisa terjadi pada mereka yang bahkan belum berpacaran atau baru sebatas suka atau disebut gebetan.

Tapi apakah berpacaran hanya untuk senang-senang saja? Di luar hal-hal negatif yang sering dikatakan oleh orangtua tentang sebuah hubungan pacaran, berpacaran memiliki hal positif dalam perkembangan diri seseorang. Anda yang sedang atau pernah berpacaran pastilah lebih mengerti bagaimana caranya memberi perhatian bagi lawan jenis anda.

Seorang pria yang memiliki pacar bisa lebih mengerti tentang perempuan dibanding mereka yang sendiri atau jomblo. Mengapa? Keintiman yang terjalin secara tidak langsung memberikan kita pengajaran akan tingkah laku, sifat, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan lawan jenis kita. Rasa pengertian itu bisa menular ke perhatian kita ke saudara kita atau kerabat kita.

Jadi, pacaran itu tidaklah buruk. Yang buruk adalah ketika itu membuat kita menjadi pribadi yang buruk dengan berbagai sisi negatifnya. Orang bisa berubah karena berpacaran, juga terutama ketika mereka memutuskan hubungan dengan pacarnya. Tapi perubahan ini hanya untuk mereka yang memang menanam dan menjaga perasaan cintanya saat hubungan itu terjalin.

Banyak di antara mereka yang menjalin sebuah hubungan takut untuk putus. Tentu saja, kalau tidak berarti bisa dipastikan hubungan itu hanya main-main semata. Yang membuat saya bingung adalah ketika seseorang berpacaran tapi sudah memikirkan 'jika nanti putus..' Mereka menjalin hubungan yang mereka sudah ketahui akan mereka akhiri nantinya. Itu menjadi tidak adil ketika di sisi lain, pasangannya tidak memikirkan akan hal itu.

Apakah anda memikirkan bahwa pacar anda sekarang ini hanyalah bagian kecil dari kehidupan anda ataukah benar merupakan kado spesial dari Sang Pencipta untuk membuat hidup anda menjadi berwarna? Kalau anda berpikir yang pertama, maka anda secara tidak langsung membuang waktu pasangan anda secara percuma selama masa anda bersama. Dia yang memikirkan untuk keluar dari ruang hubungan anda, di sisi lain anda sudah tahu dimana pintu keluar itu berada.

Tak pernah ada perpindahan yang mudah. Tempat yang lama akan selalu menjadi pembanding. Seperti sebuah hubungan dimana jika kita putus dengan seseorang maka kita akan menjadikan orang itu sebagai acuan. 'Jangan sampai seperti itu lagi..' 'Semua cowo emang pasti begitu...' 'Kalau dia pasti sudah langsung...' 'Gak kayak eks gua, dia mah..' dan lain sebagainya adalah ekspresi yang akan keluar ketika kita terus saja membandingkan keadaan kita yang sekarang dengan saat kita bersama mantan kekasih kita.

Memang tidak mudah untuk melupakan. Tetapi terus menanti sesuatu yang anda tak tahu adalah membuang waktu. Kita juga harus tahu kapan harus berhenti.

Kalau anda mencari sebuah kecocokan, anda mencari sesuatu yang tak akan datang. Dalam tulisan saya 'Cocok Itu Dusta' http://fragmented-mind.blogspot.com/2011/11/cocok-itu-dusta.html telah saya katakan bahwa kecocokan itu adalah berasal dari diri kita sendiri. Itu adalah adaptasi dari kemauan dalam diri untuk menerima pasangan kita.

Pernah menonton film The Notebook? Ada sebuah dialog yang sangat berkesan untuk saya.

Noah   : Would you just stay with me? 
Allie    : Stay with you? What for? Look at us, we're already fightin' 
Noah   : Well that's what we do, we fight... You tell me when I am being an arrogant son of a bitch and I tell you when you are a pain in the ass. Which you are, 99% of the time. I'm not afraid to hurt your feelings. You have like a 2 second rebound rate, then you're back doing the next pain-in-the-ass thing. 
Allie    : So what? 
Noah   : So it's not gonna be easy. It's gonna be really hard. We're gonna have to work at this every day, but I want to do that because I want you. I want all of you, for ever, you and me, every day. Will you do something for me, please? Just picture your life for me? 30 years from now, 40 years from now? What's it look like? If it's with him, go. Go! I lost you once, I think I can do it again. If I thought that's what you really wanted. But don't you take the easy way out. 

Pertengkaran itu hal biasa dalam sebuah hubungan. Jangan jadikan sebuah pertengkaran sebagai alasan untuk menyelesaikan hubungan anda. Mengapa bisa ada kakek dan nenek yang bisa bertahan sampai dengan usia sepuh mereka? Karena mereka terus memperbaiki retakan yang ada dikala pertengkaran itu terjadi. Bukan mengambil bendera putih dan langsung menyerah tanpa adanya perjuangan untuk memperbaiki.

Tetapi lebih memilih sendiri juga sebuah pilihan. Banyak hal pula yang bisa dilakukan dengan seorang diri. Banyak yang mengatakan bahwa saat berpacaran kita kehilangan kebebasan. Menurut saya itu hanya pola pikir saja dan tergantung juga pada cara kita menjalin hubungan. Pacar itu bukanlah barang melainkan tetap seorang individu yang perlu ruang untuk diri sendiri.

Menjaga perasaan adalah hal yang palig penting dalam sebuah hubungan. Jalinlah hubungan yang berdasar pada sebuah perasaan. Orang yang disakiti secara tidak langsung akan belajar untuk menyakiti, tapi bisa juga sebaliknya tergantung kepribadian masing-masing orang. Karena itu tak perlulah anda memulai sesuatu yang nantinya akan mengakibatkan yang buruk untuk orang lain. Pacar itu ada untuk saling belajar melayani satu sama lain ke depannya. 

Saya adalah orang yang memilih untuk direpotkan oleh pacarnya. Tapi saya tetap senang menjalaninya karena saya tak memikirkan masalah adanya persimpangan dalam apa yang saya jalani. Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Senin, 04 Juni 2012

Mi Casa E Su Casa

Apa itu rumah bagi anda? Pasti di dalam hati anda semua anda memendam arti sebuah rumah menurut anda masing-masing. Anda bisa melihatnya sebagai sebuah bangunan, bisa saja sebagai tempat anda tidur, sebagai tempat anda berlindung, sebagai tempat dimana keluarga anda ada, sebagai tempat anda tumbuh, sebagai tempat anda untuk kembali, dan masih banyak arti lainnya yang bisa saja berbeda satu dengan yang lain. 

Rumah bagi saya tidak sesempit sebuah bangunan baik kecil atau besar, tua atau masih baru, kumuh atau mewah, berlantai satu atau lebih, memiliki kamar atau tidak, milik pribadi ataupun menumpang. Rumah memiliki arti yang begitu luas dan tidak terbatas pada sebuah bangunan saja. Mereka yang ada di dalam bangunan kumuh atau mewah itulah yang merupakan rumah sebenarnya.

Bukan bangunanlah yang memberikan kita rasa aman sebenarnya dari sebuah rumah. Bukan kasur empuk atau tikar kasar yang membuat tidur kita begitu nyaman. Hal yang membuat kita aman, dapat tidur dengan nyenyak, dan memiliki dorongan untuk kembali, adalah mereka orang terdekat kita yang berada di dekat kita. Kita merasa bisa tidur dengan nyenyak karena ada mereka bersama kita. Merekalah rumah kita, tempat kita hidup dan tinggal. Zona teraman kita sebagai makhluk sosial.

Tapi apakah orang terdekat kita hanya terbatas mereka yang tinggal bersama kita sehari-hari, orangtua, kakak-adik, atau mungkin kakek dan nenek, sepupu, dan juga anak dan istri untuk mereka yang telah membina keluarga sendiri? Tentu tidak bukan? Kedekatan kita dengan orang di luar keluarga kita sendiri sering membuat keterikatan yang bahkan bisa menyamai keterikatan kita dengan keluarga kita sendiri. Untuk mereka yang belum menikah tentu saja keterikatan dengan kekasih masuk di antaranya. Di luar itu, ada yang kita sebut sahabat. 

Mengapa saya ingin terus menerus bertemu dengan pacar saya? Mengapa saya selalu merasa nyaman dan tenang ketika bersama dengannya? Saat kita bersama kekasih kita, jika kita memang mencintai dia, maka kita akan merasa bahwa ia adalah rumah kita. Hatinya adalah rumah bagi hati kita. Tempat dimana hati kita bisa tenang jika bersama di dekatnya. Sebuah rumah yang dibalut dengan rasa cinta akan membuat kita akan merasa bahwa dia adalah alasan kita untuk kembali bertemu dengannya.

Saya terbiasa menyebut sahabat-sahabat terdekat saya dengan sebutan keluarga. Selain karena memang saya begitu dekat dengan mereka, dengan memanggil mereka dengan sebutan itu saya merasa kedekatan itu semakin nyata. Anda bisa saja memiliki banyak sahabat atau bahkan hanya memiliki satu atau dua sahabat dekat saja. Namun berapapun jumlahnya, sahabat adalah tambahan kakak dan adik dalam hidup kita. Untuk mereka yang menjadi anak tunggal dalam keluarga pasti merasakan begitu berartinya seorang sahabat dalam hidup mereka. Keluarga bukan hanya terbatas pada hubungan darah semata.

Sahabat memiliki rasa sayang yang berbeda dengan pacar kita. Rasa sayang yang membuat kita nyaman berada di dekat mereka. Ada yang bilang bahwa sahabat lebih penting dari pacar. Menurut saya itu tidak salah juga. Seorang sahabat tidak butuh romantisme ataupun penampilan terapih kita. Mereka juga tidak butuh imbalan kita memberi apa. Bisa dikatakan kita menjadi diri kita ketika bersama di rumah kita yang satu ini, sahabat kita. Namun bagi saya, keluarga dan pasangan terbaik seharusnya adalah mereka yang bisa menjadi sahabat kita dalam hidup kita sehari-hari.

Seberapa cinta anda dengan almamater anda? Sekolah atau kampus tak jarang disebut sebagai rumah kedua. Disebut demikian salah satunya karena kita menghabiskan begitu banyak waktu hidup kita disana. Sama layaknya dengan tempat tinggal kita, di tempat itu ada juga orang-orang yang kita sayangi, ada tempat-tempat favorit kita untuk duduk bersantai, ada suasana nyaman yang membuat kita ingin selalu kembali ke tempat itu. Namun ini tidak berlaku untuk semua orang. Ada yang tidak menganggap sekolahnya adalah sebuah sesuatu yang penting dalam hidupnya. Bahkan ada yang benci akan almamaternya atau menghina-hina almamater sendiri. 

Hubungan kita dengan bangunan-bangunan yang kita sayangi berhubungan dengan orang-orang yang ada di dalamnya. Ketika orang-orang itu membuat kita merasa berada di rumah, maka kita merasa diterima dan bisa memasuki wilayah tempat itu layaknya kita memasuki rumah pribadi kita.

Ada orang yang telah lama tinggal di luar negeri, namun pada akhirnya memilih untuk kembali ke Indonesia. Mengapa? Salah satu alasan yang seorang teman katakan adalah karena ia merasa disinilah, di Indonesia, ia merasa berada di rumah sebenarnya. Dekat dengan sahabat-sahabat, berinteraksi dengan sesama orang Indonesia, sesuatu yang membuat hidupnya lebih nyaman. Sejauh apapun kita pergi, rasa rindu akan rumah akan selalu melekat di hati kita. Begitu juga ketika bagian dari rumah kita pergi, maka kita akan merindukannya.

Kita sebagai pribadi juga harus menjadi rumah yang baik bagi orang terdekat kita. Jangan hanya mengharapkan orang lain menerima anda sedangkan anda selalu menutup pintu anda ketika mereka membutuhkan tempat untuk kembali. Jangan rumah anda sebagai rumah mereka juga, sama ketika mereka menyediakan rumahnya untuk anda.

Sudahkah anda merasa berada di rumah yang sebenarnya? Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Senin, 14 Mei 2012

Mungkin Gaga Sedang Tertawa

Siapa di antara anda yang merupakan fans dari Lady Gaga? Jika anda salah satunya, pasti anda sudah gatal dan gemas dengan pemberitaan belakangan ini yang memenuhi baik itu situs berita maupun social media. Penolakan terhadap konser Lady Gaga di Indonesia. Saya yang bukan fansnya saja sampai menghela nafas dengan pemberitaan yang tak kunjung selesai ini.

Saat pertama kali mendengar berita penolakan konser Lady Gaga jujur saya tertawa. Ya, saya tertawa karena menganggap itu adalah salah satu hal yang lucu. Di tengah banyak persoalan yang lebih penting di luar sana, mereka malah sibuk berdemo untuk menolak konser itu. FPI memang sudah sering melakukan hal-hal aneh dan lucu yang tidak biasa, dan salah satunya adalah penolakan terhadap konser ini. Lucu.

Aksi penolakan yang mereka lakukan terus saja dilakukan. Saya berani bertaruh mereka akan terus melakukan aksinya sampai keinginan mereka terwujud. Sudah budaya mereka seperti itu. Seperti anak kecil yang terus merengek sampai diberikan susu. Telinga mereka hanya digunakan untuk mendengar doktrin dari petinggi mereka. Kita seharusnya sudah tahu itu dan melawan mereka seperti melawan orang buta dan tuli.

Kalau FPI mengancam membuat Jakarta chaos, bagi saya itu sangat berlebihan. Walaupun mereka memang sudah terlalu sering membuat sesuatu yang berlebihan, tapi ini terlalu berlebihan. Yang diancam adalah keamanan kota, bukan keamanan konser. Seharusnya Polda perlu menindak aksi ancaman seperti ini. Karena jelas mereka mengancam kita. Siapa mereka? Si Pengadil Indonesia? Tapi yang membuat saya kembali mengelus dada, ternyata Polda malah ikutan menolak konser ini. Bagi saya, yang takut akan ancaman FPI itu bukan fansnya, melainkan Polda.

"Terlalu vulgar ya. Joget-joget pakai bikini di videonya. Itu terlalu vulgar, tidak sesuai dengan budaya kita," jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto. Bagi saya komentar semacam ini menunjukkan bahwa yang kekanak-kanakkan bukan saja FPI tapi juga Polda. Mungkin bagi dia yang tepat dengan budaya kita adalah acara dangdut di kampung-kampung atau pinggir jalan yang dibarengi dengan prostitusi.

Saya takut kalau pemikiran dan cara pandang seperti ini terus berlanjut, lama-lama pantai di Bali akan ditutup atau ada pelarangan mengenakan bikini. Bisa-bisa pariwisata kita bangkrut karenanya. Anda mau menyuruh Lady Gaga bernyanyi sambil menggunakan pakaian tertutup dari atas ke bawah? Sekalian saja suruh dia bernyanyi sambil berjoget menggunakan kebaya agar selaras dengan budaya kita. Sudah jelas budaya kita berbeda dan disanalah letak dunia seni itu sendiri.

Meskipun Polda mengatakan bahwa mereka mendapat masukan dari MUI dan Politisi DPR, seharusnya Polda lebih bisa berpikir dengan jernih dan rasional. Saya tak percaya kalau tekanan dari FPI tidak mempengaruhi pendapat mereka. Sudah menjadi rahasia umum kalau kepolisian seakan-akan tidak mau untuk menindak FPI. Untung saja Kementrian Pariwisata lebih bisa berpikir secara dewasa dibandingkan mereka sehingga masih ada yang bisa dijadikan pegangan oleh para fans Lady Gaga.

Kalau kita berbicara soal vulgar, semua itu ada di otak kita. Kalau kita merasa itu adalah gerakan erotis, berarti otak kitalah yang hanya bisa berpikir mengenai pornografi. Pertanyaannya adalah mengapa dulu bintang porno Jepang dibiarkan bermain film yang diputar di dalam negri? Mengapa film esek-esek yang jelas dimainkan oleh anak negri yang jelas juga mengumbar erotisme dibiarkan saja? Mengapa juga dangdutan prostitusi yang jelas-jelas ada tidak mereka serang? Apa mereka langganannya sehingga acara seperti itu aman-aman saja? Yang porno itu mereka, karena yang diidolakan oleh fans ataupun pecinta Lady Gaga adalah kreativitasnya maupun sisi seni dan prestasinya. Bodoh kalau seseorang menjadi nafsu kalau menonton Lady Gaga.

Lebih banyak hal penting yang perlu diurus dan diserang dibandingkan konser ini. Hal-hal kontroversi semacam ini tak perlulah terus-menerus dipersoalkan. Kedatangan Lady Gaga juga bisa positif bagi industri pariwisata kita karena dunia bisa lebih mengenal Indonesia ini. Seharusnya kita bangga negara kita mau didatangi oleh salah satu ikon musik dunia, bukan malah menolak dengan tidak rasional seperti ini.

Jika selama ini selalu saja organisasi dari satu agama yang dijadikan bahan acuan opini, mengapa tidak ditanyakan ke organisasi agama yang lain? Kita lihat bagaimana tanggapan mereka. Kita ini negara beragam, jangan hanya menilai dari satu sudut pandang saja. 

Saya paling tidak suka jika ada yang membawa-bawa agama dalam aksi mereka. Keluarlah dari Indonesia jika masih saja berlandaskan hukum suatu agama semata. Kita ini negara beragam agama dan budaya. Kelompok kecil yang membuat noda seharusnya dihilangkan saja dan tidak diberi ruang untuk bermain-main.

Kalau terus saja seperti ini, negara kita bisa buruk di mata dunia. Negara kolot yang bisa ditertawakan negara lain. Pemikiran primitif seperti yang ada sekarang ini perlu ditumpas agar kita bisa maju. Penumpasanpun harus dilakukan secara nyata, jangan hanya opini semata. Toh sudah jelas organisasi FPI sudah banyak melakukan keonaran, butuh apa lagi?

Lady Gaga memang sering melakukan kontroversi. Tapi saya tidak mengira sampai negara kita ikut-ikutan di dalamnya. Bagi saya ini bukan saja masalah para fans Lady Gaga semata, namun juga kita yang merasa bahwa tidak benar aksi penolakan ini. Pemerintah seharusnya membantu para fans untuk masalah ini. Karena Polda sepertinya tidak bisa terlalu diharapkan, meskipun saya juga ragu ada kekuatan besar yang mau untuk menindak aksi FPI.

Semoga saja tiket yang terjual tidak menjadi sia-sia dan konser dapat tetap berjalan sesuai rencana. Saya bukan fans ataupun orang yang berniat untuk membeli tiket konser itu, tapi saya cukup menyukai lagu-lagunya dan tahu bahwa penolakan ini adalah sebuah kekonyolan yang tak bisa dibiarkan. Kekonyolan yang mungkin membuat Lady Gaga tertawa saat mendengarnya. Namun bagaimanapun juga, ini hanya opini saya.

Rabu, 02 Mei 2012

Kita Diperkosa Malaysia

Pernahkah anda memendam rasa benci terhadap seseorang atau kelompok? Entah itu karena patah hati, disakiti, pengalaman buruk, dihianati, dicaci, dan lain-lain. Tak terbatas alasan kita bisa membenci. Dan tak harus melulu manusia yang kita benci. Bisa saja kita membenci hewan, barang, tempat, atau apapun termasuk bahkan sebuah negara. Dan saya saat ini menjadi salah satu orang yang membenci sebuah negara. Malaysia.

Mengapa? Jika anda semua mengikuti jalannya berita tentang kasus-kasus yang menyeret negara tetangga kita itu seharusnya kita semua merasakan kesedihan atas perlakuan yag diterima oleh negara kita. Mulai dari lagu atau budaya seni kita seenaknya diatasnamakan asli mereka, batas-batas negara yang tidak digubris, penindasan terhadap TKI kita yang  berada disana, sampai yang terakhir penembakan dan penjualan organ dalam warga kita disana. 

Kasus-kasus tersebut di atas cukup bagi saya untuk menciptakan rasa pedih di dada terhadap bangsa ini. Dan juga tak ketinggalan rasa amarah terhadap negara tetangga itu. Sebuah negara adalah seperti keluarga yang sangat besar. Seorang ayah seharusnya akan marah ataupun menindak siapapun yang menyakiti atau bertindak sewenang-wenang terhadap anak ataupun keluarganya. Dan negara ini adalah ayah atau orangtua dari kita-kita masyarakat Indonesia, termasuk para TKI kita. Tapi apakah negara sudah menjadi ayah yang baik?

Selama kita mendiamkan tindakan mereka atau tidak memprosesnya secara tegas dan cepat, rasa takut tidak akan ada dan akan terjadi hal-hal menyedhkan lainnya. Mereka bukan lagi hanya sekedar "Maling", tapi mereka juga "Pemerkosa" bangsa kita. Apakah kita mau terus diam daja dan melihat bagian-bagian tubuh bangsa ini seenaknya dipermainkan oleh mereka? Bahkan sampai nyawa TKI kita hilang begitu saja?

TKI adalah pahlawan kita semua. Namun jangan hanya jadikan itu sebagai wacana saja. Seorang pahlawan pasti dihormati oleh negaranya. Namun apa yang terjadi pada TKI kita? Sudah terlalu banyak kasus penindasan dan penganiayaan yang menimpa mereka disana. Namun sampai sekarang tidak juga ada titik terang untuk keamanan mereka disana. Kalau memang mereka kesana hanya untuk disiksa, lebih baik laranglah saja pengiriman TKI ke Malaysia. Keamanan warganegaranya adalah tanggungjawab pemerintah sebagai pengatur negara. Dan jangan berpikir bahwa satu nyawa TKI yang hilang hanyalah rongsokan semata yang tak perlu dipedulikan meskipun telah hilang dimakan waktu.

Apa pemerintah takut? Apa pemerintah merasa ini masalah sepele? Atau pemerintah malas? Bisa saja semua dari itu adalah termasuk alasannya. Bukan saatnya lagi kita lembek terhadap Malaysia. Tunjukan kewibawaan kita sebagai bangsa. Kita bangsa yang besar, jangan mau dipermainkan hanya oleh mereka yang bahkan lagu daerah saja mereka curi dari bangsa lain, bahkan tetangga mereka sendiri.

Perlindungan terhadap TKI, batas wilayah, dan ornamen-ornamen kebangsaan kita adalah tugas sekaligus kewajiban kita terutama pemerintah. Kalau pemerintah ingin berwibawa di depan bangsanya sendiri, tunjukkanlah dengan penindaka terhadap tindakan-tindakan yang menghina negara kita. Kalau untuk kasus-kasus yang didalangi oknum Malaysia saja pemerintah lembek dan tidak tegas, bagaimana rakyat bisa percaya pada pemerintah?

Kita tidak boleh membiarkan negara ini terus direndahkan seperti ini. Dan pemerintahlah palang pintu pertama untuk menyelesaikan penghinaan ini.

Kalau pemerintah berkata sedang diproses, atau tidak cepat dan sebagainya, saya rasa itu hanya alasan klise memuakkan yang membuat perut ini mual. Kalau memang perlu penyidikan, ya lakukanlah dengan cepat. Menangkap teroris saja bisa dilakukan dengan gencar dan cepat, seharusnya menindak pelaku dari Malaysia atau tindakan-tindakan mereka juga bisa dilakukan dengan cepat. Rakyat sudah sangat gemas dan emosi terhadap perlakuan Malaysia terhadap kita. Jika pemerintah memang memiliki rasa Indonesia, mereka seharusnya bisa merasakannya dan seharusnya bisa melakukan tindakan yang tepat dan tegas.

Saya terkadang bingung, apakah mereka tidak merasa malu sebagai sebuah negara? Mereka mencuri apa yang bukan milik mereka, warganya menindas warga negara lain, mereka seenaknya melanggar batas-batas wilayah kita, apa mereka tidak malu? Ataukah memang mereka telah memandang negara kita rendah sehingga tidak ada rasa takut sedikitpun di benak pemerintah mereka.

Beberapa kali tim sepakbola kita kalah oleh Malaysia. Saya rasa kekesalan Indonesia tidak hanya karna kekalahan itu, melainkan karna lawannya adalah Malaysia. Karna rakyat bertanya "Mengapa kita harus kalah dari Malaysia? Penjahat itu!". 

Saya akan mengutip pidato Soekarno "Ganyang Malaysia" untuk anda resapi,

Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu
Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.
Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!


Silahkan saja jika anda merasa memang hal ini tidak penting dan bukan urusan anda. Toh Malaysia tempat favorit untuk anda berjalan-jalan? Jujur saja saya tidak pernah ke Malaysia dan sepertinya tidak mau kesana. Indonesia lebih kaya dan lebih banyak tempat-tempat indah dibandingkan pemerkosa bangsa itu. Saya cinta negeri ini dan karna itu untuk saat ini, saya benci Malaysia. Dan setiap saya membaca pidato di atas tadi, tubuh ini seolah terbakar sekaligus pedih melihat yang terjadi saat ini. Tapi sekali lagi, bagaimanapun juga ini hanya opini saya. 

Kamis, 19 April 2012

Pembalap Yang Tersasar

"Jangan pulang malan-malam, lagi rawan!" "Jangan lewat jalan situ kalau pulang, bahaya!" Kalimat-kalimat itu belakangan sering hinggap di telinga saya. Mungkin anda juga dinasehati demikian oleh orangtua anda. Tak ada yang lain selain aksi geng motor yang melatarbelakangi rasa was-was mereka. Keamanan seakan menjadi langka.

Tapi saya yakin anda juga tidak baru sekarang-sekarang ini mendengar berita seputar geng motor. Sudah cukup lama kita mengenal mereka dengan aksi-aksi brutal yang sering diidentikkan dengan mereka. Namun yang membuat aksi mereka akhir-akhir ini begitu heboh adalah korban dari aksi tersebut ada yang merupakan anggota TNI. 

Semua media mengekspos berita tersebut. Polisi dihujani pertanyaan dan tandatanya dari masyarakat. TNI yang dikait-kaitkan dengan aksi geng motor tersebut juga sibuk membantah dan melakukan perlawanan terhadap statement yang memojokkan mereka. Masyarakat? Sibuk was-was.

Kalau kepolisian kita begitu cepat dalam melakukan penanganan terhadap teroris, mengapa untuk masalah geng motor begitu lama dan terkesan tak ada tindakan tegas? Jika dari dulu kepolisian telah waspada terhadap hal-hal semacam ini, maka kekhawatiran masyarakat saat ini tak perlu terjadi. Takut? Bisa saja.

Begitu miris melihat anak-anak muda itu memegang senjata bahkan menggunakannya untuk mengeroyoki orang-orang. Tangan yang bisa mereka gunakan untuk bekerja, hanya dimanfaatkan untuk membuat lebam-lebam di sekujur tubuh korban dan sasaran mereka. Apa yang mereka cari?

Mereka adalah orang-orang yang tak memiliki pekerjaan. Diberitakan bahwa ketua-ketua mereka dicurigai adalah orang-orang yang bekerja di bengkel. Senjata-senjata mereka ada yang memasok. Bisa kita simpulkan mereka adalah kelompok-kelompok yang solid. 

Kalau dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang hobi dengan balap-balapan, saya rasa tidak juga. Mungkin memang balapan liar adalah hal yang tak bisa dilepaskan dari mereka, namun dari tindakan yang mereka lakukan, premanisme lebih ditonjolkan. Dibanding untuk tanding balap, mereka lebih menonjolkan kepalan tangan mereka untuk menonjoki mereka yang dianggap musuh. Mereka tak lain adalah sekelompok orang yang senang berkelahi atau lebih tepatnya, senang mengeroyoki orang. 

Adalah hal sulit jika anda ingin mengubah perilaku mereka dari pendekatan psikologi. Mereka adalah pemuda-pemuda dengan emosi tak terkendali yang akan mengikuti doktrin-doktrin petinggi mereka. Kata-kata dari petinggi mereka atau panglima mereka tak ada yang bisa membantah. Dan sekali lagi, mereka sama-sama punya kesenangan, berperilaku preman.

Kalau anda ingin menarik latarbelakang mengapa mereka bisa menjadi seperti itu, banyak hal yang bisa dihubungkan. Tingkat ekonomi, penerimaan di masyarakat, pergaulan adalah 3 hal yang saya rasa paling dominan dan berhubungan.

Pergaulan di tingkat ekonomi yang rendah tak dapat dipungkiri lagi, sangatlah buruk. Norma kesusilaan telah ambruk. Mengapa? Rasa frustasi terhadap kehidupan yang sudah menumpuk membuat tak ada lagi pintu untuk kebaikan. Orangtua sebagai palang pertama mereka bahkan tak jarang memperlakukan mereka dengan salah dan tak jarang membuat mereka merasa tak diterima. Tingkat pendidikanpun menjadi akarnya dengan tidak dipedulikan lagi. Kata harapan untuk hidup lebih baik hanya omong kosong bagi mereka. 

Dengan tingkat ekonomi yang rendah, tak banyak juga hiburan yang mereka bisa dapatkan. Anda tak bisa membandingkannya dengan anda yang hidup dengan jalan yang lurus-lurus saja. Tak ada lahan untuk mereka berkembang ke arah yang benar. Tonggak kehidupan mereka tak berpondasi. Hiburan untuk mereka adalah dengan membuat keisengan-keisengan dan perilaku-perilaku menyimpang yang bisa memberikan kepuasan pada mereka. Dan mereka merasa tindakan itu adalah menyenangkan. Pelarian? Tak salah juga kalau disebut demikian.

Dan ketahuilah, semakin mereka dikucilkan, semakin mereka berkembang ke arah yang tak mungkin bisa dikembalikan. Mereka yang malah tak diterima oleh masyarakat akan semakin solid dengan kelompok mereka dan menjadi lebih mudah terpengaruh oleh doktrin-doktrin yang salah. Teman sepenanggungan mereka bisa saja yang malah menjerumuskan mereka, tanpa mereka sadari.

Saya pribadi begitu miris mendengar salah satu taruhan mereka di ajang balap mereka adalah wanita. Begitu bobroknya perilaku mereka. Mereka sudah terlalu jauh mengambil jalan yang salah. Dan kalau hanya polisi memble yang bertindak, mereka bisa berlari lebih jauh.

Prioritas sekarang adalah menangkap dan memberikan efek jera. Mereka bisa melakukan itu semua sampai saat ini karena tak memiliki rasa takut terhadap aparat atau negara. Tak ada figur yang bisa menakuti mereka dalam melakukan aksinya. Dan ya memang demikian adanya. Ini sangat lucu jika melihat presiden kita merupakan pensiunan militer. 

Polisi yang suka mengumbar-umbar keberhasilan seharusnya juga tak boleh mengesampingkan kasus geng motor ini. Ini adalah salah satu saat yang tepat untuk mempertontonkan kredibilitas mereka kepada masyarakat dengan menumpas aksi tersebut. Bertindaklah tegas dan tangkap semua yang terlibat. Saya juga setuju pada saran untuk menarik semua SIM mereka. Jangan berikan ruang untuk mereka bisa bertindak anarkis lagi. Perketat penjagaan di malam hari dan jangan hanya saat berita sedang naik saja. 

Kesalahan polisi kita dalam semua jenis kejahatan adalah menangkap dan menghukum lebih utama dibandingkan mencegah. Harus saja ada korban terlebih dahulu baru mereka bertindak. Padahal seharusnya rasa aman diberikan tanpa harus terlebih dahulu ada ancaman. Polisi terlalu memberikan banyak ruang untuk perilaku kejahatan termasuk anarkisme geng motor ini. Cegah sebelum terjadi.

Tapi tentu saja ini adalah masalah kita bersama. Bangunlah kebersamaan yang baik dan bergaulah dengan harmonis. Keresahan ini adalah keresahan kita bersama dan tentu saja harus diperangi bersama. Perilaku apatis hanya akan membuat mereka kuat dan kita tak tahu siapa yang akan jadi korban berikutnya.

Untuk orangtua, bimbinglah anak-anak anda dengan cara yang bisa mereka terima, setidaknya berusahalah. memang tak jarang manusia sulit menunjukkan rasa kasih sayangnya dan malah memakai cara yang salah. Dekati anakmu bukan tampari anakmu.Untuk guru-guru, bimbing siswamu, bukan hanya berpikir untuk menghukum siswamu. Untuk para anak muda yang merasa bersyukur hidupnya baik-baik saja dan tak melenceng, cobalah mengerti dan pahami mereka yang kurang, bukan menjauhi dan mendiskreditkan mereka. Biarlah menghukum menjadi tugas polisi dan aparat lainnya. Kita sebagai rakyat biasa bertugas mengarahkan mereka.

Untuk saat ini sebisa mungkin turuti saja kata-kata yang dikeluarkan orangtua anda seperti yang saya tulis di awal tadi. Kita harus menghindari apa yang masih bisa kita hindari. Mereka memang ada di antara kita. Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.