Rabu, 22 Februari 2012

Ramah? Maaf Anda Lebih Muda

Seorang anak dengan langkah kecilnya mengantre dengan menggenggam sehelai uang sepuluh ribuan. Gadis mungil ini tertutup oleh dua orang dewasa dengan tubuh tiga kali lipat atau bahkan lebih dibandingnya.

Orang terdepan telah selesai dengan pesanannya dan membawa nampannya ke tempat duduk. Orang kedua maju dan memulai pesanan. Gadis kecil ini mulai memasang muka riang di wajah halusnya. Ia begitu senang karena sebentar lagi bisa memesan es krim kesukaannya dan menghabiskannya di siang yang panas itu.

Orang kedua pun telah selesai memesan dan dengan segera membawa pesanannya dari meja kasir. Dengan riang gembira si gadis mungil ini melangkah mendekati meja kasir yang menutupi tubuhnya menyisakan pita rambutnya yang terlihat mengintip.

Ia dengan susah payah mengacungkan uangnya dan mencoba mengatakan pesanannya ke wanita yang menjaga kasir restoran siap saji itu. 

Namun si wanita penjaga kasir itu malah mempersilahkan Bapak bertubuh besar di belakang anak itu untuk mengatakan pesanannya. Uang lembaran sepuluh ribu rupiah yang diacungkan oleh si gadis mungil itu tidak digubrisnya. 

Setelah Bapak bertubuh besar itu selesai, bukannya melayani gadis kecil itu, si kasir itu malah mempersilahkan orang berikutnya untuk memesan. Begitu sampai tiga orang setelahnya.

Ibu dari gadis cilik itu memperhatikan dari kejauhan. Melihat anak manisnya susah payah berjinjit-jinjit untuk memberikan uangnya yang bahkan tidak dilayani sama sekali. Si penjaga kasir hanya sekali memberikan senyuman kecil ke gadis kecil itu sambil berkata, "Sebentar ya Dik!"

Si ibu yang tidak tahan lagi melihat anaknya tidak dilayani menghampiri anaknya itu dan langsung menggendong anaknya naik ke atas meja kasir sambil berkata, "Mbak! Anak saya mau pesan es krim satu!"

Si wanita kasir itu terkejut dan langsung memberikan pesanan gadis kecil itu sambil memasang senyum-senyum kecut.

Setelah mendapatkan es krimnya si gadis kecil memasang senyuman terlebar yang bisa dibuatnya dan langsung menjilati lelehan es krim putih itu. Sang ibu menuntun anaknya itu keluar dari restoran dengan raut wajah kesal yang masih dipertontonkannya.

Dari kisah singkat di atas, apa yang bisa anda tangkap? Tentang perjuangan seorang gadis cilik untuk membeli es krim kesukaannya.

Tanpa harus disanggah, itulah budaya di negara kita ini. Kita terbiasa menomorduakan yang lebih muda atau yang dianggap masih anak-anak. Pelayanan terhadap yang lebih tua jauh berbeda dengan yang masih muda atau masih kecil. Namun jangan disamakan jika si anak bersama dengan orangtua.

Terkadang yang lebih tua begitu sombong dan angkuh terhadap yang lebih muda. Lihat saja seorang satpam yang begitu jagoan di depan anak-anak muda dibanding di depan bapak-bapak atau ibu-ibu. Gaya berbicara sangat berbeda. Mereka yang bertugas melayani entah kenapa hanya bisa melakukan kinerja maksimalnya di depan orang dewasa saja. Apa alasannya? Sebagai konsumen ataupun mereka yang perlu dilayani, yang tua dan yang muda hanya berbeda di usia saja bukan?

Jika terjadi sesuatu antara yang muda dan yang tua, pastilah yang pertama akan disalahkan adalah yang lebih muda. Entah ia benar atau salah, yang muda pasti akan kena disalahkan. Unsur-unsur seperti tidak sopan atau tidak menghargai orang yang lebih tua seringkali dijadikan embel-embel.

Saya tidak mengatakan bahwa anda semua boleh kurang ajar. Disini saya ingin mengatakan bahwa untuk melayani, kita harus sama kepada semua usia. Jangan hanya hormat kepada yang lebih tua saja ataupun atasan saja.

Jangan hanya layani mereka yang lebih tua atau bos-bos saja dan berlaku sombong dan kurang ajar kepada yang muda-muda. Ingat, kekurangajaran bukan hanya dilakukan oleh yang muda ke yang tua, namun juga yang tua ke yang muda. Kesopanan tidak bisa dihubungkan dengan tingkat usia.

Memang tidak semua seperti itu. Tentu saja di tempat-tempat elit atau mahal atau tempat-tempat tertentu seperti bank, para pelayan atau mereka yang ditugaskan untuk melayani pasti akan berlaku sama kepada semua usia. Namun tempat seperti itu hanya terbatas sekali. 

Melayani tentu saja kepada siapa saja. Kalau memang mau ramah, maka ramahlah ke semua orang tak terkecuali. Peraturan memang ada, dan jalankan ke semua usia. Jangan hanya menghukum yang muda-muda, namun takut ke yang tua-tua. Karna menurut saya yang mudapun juga ingin diberikan keramahan dan pelayanan yang sama baiknya. Saya sebagai orang muda melihat fenomena ini terjadi di setiap keseharian saya meskipun bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Selasa, 07 Februari 2012

Membersihkan Sisa Orang Lain

Apa yang terpikir oleh anda ketika melihat seorang pelayan di sebuah restoran membersihkan meja makan yang kotor atau mengepel lantai yang kotor tepat di depan mata anda. Mungkin tidak sedikit di antara anda yang merasa iba dan merasa pekerjaan seperti mereka itu sangat rendah dan dipandang sebelah mata. Saya juga termasuk yang pernah dan tak sekali juga merasa kasihan pada mereka yang membersihkan nampan dan lantai di depan saya yang dengan asik makan di depan matanya. 

Ada pengalaman yang ingin saya bagikan kepada anda tentang pengalaman saya bekerja di sebuah restoran siap saji di daerah pusat Jakarta. Sebuah pengalaman yang sedikit banyak membuka pandangan saya tentang nilai sebuah pekerjaan.

Saat saya melamar di restoran siap saji itu saya berpikir untuk menjadi bagian yang memasak makanan saja. Itu karena saya senang memasak dari kecil. Bahkan saat masih kecil, di saat anak laki-laki sebaya saya senang main mobil-mobilan, saya lebih senang main masak-masakan. Mungkin orangtua saya khawatir saya akan salah arus saat dewasa karna saya malah lebih suka permainan yang mereka lihat lebih cocok untuk maianan anak perempuan. Selain itu saya merasa pekerjaan memasak itu seru dan keren dibanding pekerjaan lain di restoran itu.

Ternyata kenyataan yang saya dapat di restoran itu tidak seperti yang saya pikirkan. Saya berpikir bahwa nanti akan ada pembagian kerja yang jelas sesuai kemahiran para pekerja. Dan ternyata tidak demikian. Saya diajari semua ketrampilan yang diperlukan untuk menjalankan restoran tersebut. Semuanya termasuk menyiapkan bahan-bahan masakan, memasaknya, mencuci peralatan, sampai pada mengepel atau membersihkan meja di area makan. Dan tugas setiap karyawan di rotasi setiap harinya.

Saya sedikit kaget karna tak terpikir harus menjadi tukang bersih-bersih juga di restoran itu. Namun tetap saya jalankan semua pelatihan dengan seksama. Ketelitian yang sangat tinggi diperlukan untuk bekerja di restoran siap saji seperti itu. Bahkan banyak sekali peraturan dan standar yang harus diafalkan oleh semua pekerja disana. Tidak hanya karyawan yang bekerja full time, namun saya yang hanya menjadi part timer juga harus mengetahui keseluruhannya.

Bagian pekerjaan yang paling membuat saya tegang bukanlah saat saya ditugaskan untuk memasak makanan. Melainkan saat saya harus menjaga di area makan. Kenapa? Tentu saja karena ada rasa malu di dalam diri saya jika nanti saya bertemu dengan orang yang saya kenal, bahkan dengan orang yang tidak saya kenalpun saya akan malu. Topi dan seragam yang saya kenakan tampaknya tidak cukup untuk menyamarkan diri saya. Setiap menit saya menjaga area itu terasa sangat lama karena rasa khawatir saya itu.

Rasa takut dilihat orang lain itu timbul karena pendangan saya yang telah tertanam di dalam diri saya saat saya kasihan melihat pelayan restoran yang bekerja seperti saya sekarang. Dari yang dulu saya kasihan melihat seorang pelayan membersihkan sisa-sisa makanan yang tercecer di bawah lantai atau meja, sekarang itu yang harus saya lakukan. Dari yang biasanya saya melihat orang dan merasa kasihan, sekarang sayalah yang dilihat dan mungkin saja diberi rasa kasihan.

Awal-awalnya saya selalu menundukan kepala dalam-dalam ketika akan membersihkan meja, lantai, ataupun saat sedang mengepel. Malu. Ya, sehebat apapun saya berusaha menutupinya, rasa malu menjadi orang yang mengepel di restoran tetap saja timbul. Kalau saat saya bertugas di dapur saya dengan santai melakukan pekerjaan itu. Mungkin karena tak ada yang bisa melihat saya. Berbeda ketika saya harus menjaga area makan. Semua pengunjung bisa menatap saya dan memperhatikan segala tingkah laku saya. 

Satu hal lain yang saya pelajari adalah tentang menghargai makanan. Dengan bertugas membersihkan meja makan, saya secara otomatis akan melihat sisa-sisa makanan yang ditinggalkan mereka yang telah selesai makan. tak jarang hanya secuil potongan makanan yang dihabiskan dan seteguk minuman yang dihabiskan. Alhasil, tumpukan makanan paket yang hampir tak berubah bentuknya tersisa begitu saja. Dan yang berat adalah, saya harus membuangnya.

Sungguh pengalaman yang tak akan saya lupakan. Bekerja dengan pekerjaan yang dianggap remeh oleh orang banyak. Namun ada yang saya ingin bagikan kepada anda para pembaca. Mungkin anda berpikir bahwa pekerjaan demikian adalah sungguh kasihan. Menurut saya tidak demikian.

Kalau dilihat dari segi gaji, tempat saya bekerja tidaklah berbeda dengan gaji rata-rata yang didapat karyawan kantoran. Bahkan sama-sama saja standarnya. Lalu apa bedanya? Tentu saja pekerjaannya dan gengsinya. Menjadi karyawan kantor bagi kebanyakan orang lebih terpandang dibanding bekerja di restoran atau sejenisnya. Namun kalau penghasilan? Bisa saja sama-sama saja. Jenjangnya? Sama-sama ada tingkatannya.
Ketika kerabat anda berkata "Cari kerja tuh susah" ketahuilah, itu kata-kata pemalas yang akan selalu kalah.

Mengapa? Karena mencari pekerjaan itu tidaklah susah. Ada ratusan jenis pekerjaan diluar sana yang bisa dicari untuk mencari uang. Lapanngan kerja terbuka lebar dimana-mana. Masalahnya adalah apakah kita sudah berniat dan benar-benar mencarinya. Masalahnya disini bukanlah tentang uangnya, tapi tempat bekerjanya. Orang memilih apa pekerjaan yang ingin diambilnya. Yang membedakan adalah jenis pekerjaan seperti apa yang ingin diambil dan dijalankan. Anda mau pekerjaan yang santai saja, yang butuh tenaga saja, yang menguras otak, atau apa saja semua tinggal pilihan anda. Karena ujung-ujungnya, uang adalah tujuan utama.

Dari pengalaman saya bekerja di restoran itu saya belajar dan mengalami pekerjaan yang membutuhkan lebih kepada tenaga. Dan tantangan terbesar untuk anak muda seperti saya, menyingkirkan rasa malu. Berbeda dengan pekerjaan saya sekarang yang lebih kepada otak yang selalu harus memandang ke arah komputer. Semua berbeda dan tinggal kita memilih mana yang ingin kita lakukan dan mana yang akan dengan enjoy kita lakukan.

Saat ibumu berkata "Cari duit tuh susah" percayalah, tak ada dusta sedikitpun di dalamnya. Ini saya tujukan pada anda semua anak-anak muda yang merasa hidup anda begitu nyaman dan tak ada masalah sama sekali.
Mencari uang untuk anda sehari-hari orangtua anda perlu menguras tenaga dan waktu. Tak jarang mereka harus bermandi keringat hanya untuk jutaan, ratusan ribu, atau bahkan puluhan belasan ribu rupiah yang bisa mereka dapatkan.

Di usia saya ini saya mendapatkan kesempatan untuk mengecap rasa lelah itu. Saya ingin mengajak anda semua mengahargai pekerjaan orangtua anda. Serendah apapun pekerjaan orangtua anda di depan orang banyak ataupun di pikiran anda sendiri, ketahuilah bahwa pekerjaan itu mulia adanya. Uang yang didapat itu tidaklah semudah memintanya untuk ongkos anda pergi jalan-jalan bersama teman-teman, atau untuk belanja dan hura-hura. 
Ya, merasakan membersihkan sisa-sisa makanan bekas orang lain, dipanggil "Mas" untuk dimintai tolong mengambil atau membersihkan sesuatu, atau pekerjaan apapun yang dipandang rendah bisa membuat kita lebih merunduk dan melihat ke bawah. Ke bagian yang terbiasa tidak kita lihat karena selalu mencondongkan kepala ke atas. Tapi saya tidak menyuruh anda untuk mencoba pekerjaan seperti itu juga, karna bagaimanapun juga ini hanya opini saya.