Rabu, 03 Desember 2014

RUMAH

Banyak orang memaknai kampus secara berbeda-beda. Ada yang menempatkan kampus sebagai tempat belajar, sebagai tempat menyalurkan minat dan bakat, sebagai tempat mencari teman, dan tak jarang yang mendefinisikan kampus sebagai rumah kedua. Semuanya itu pun bisa saja dirasakan semua oleh seseorang. Namun yang pasti adalah, kampus adalah salah satu tempat yang paling sering kita datangi selama kita berkuliah. Sehingga banyak sekali perjalanan dan pengalaman hidup kita dapatkan di rumah kedua itu.
Ketika kita memaknai kampus sebagai rumah kedua, maka dengan sendirinya kita ingin untuk menjaga rumah tersebut. Kita akan berusaha untuk memastikan kenyamanan itu hadir di kampus. Indikator kenyamanan itu bisa kita kembalikan lagi ke bagaimana kita melihat kampus di atas. Apakah kampus sudah memberikan kita kenyamanan untuk belajar, mengembangkan minat bakat, bergaul dengan teman-teman dan lain-lain. Menjadi persoalan ketika pihak pengelola kampus lupa hal tadi. Lupa melihat bagaimana mahasiswa memaknai rumah kedua ini. Mereka hanya bisa melihat bahwa kampus ini adalah tempat belajar. Belajar disini pun hanya terkotak dalam kardus yang bertuliskan “akademis”.

Senin, 20 Oktober 2014

KETIKA UI MENANTI MENTERI

Peresmian Jokowi sebagai presiden baru Indonesia baru saja kita lewati bersama. Selanjutnya masyarakat akan diberikan kabinet baru dalam berbagai bidang Kementrian. Beberapa pos Kementrian menjadi perhatian apakah akan diisi oleh kalangan professional atau praktisi partai. Di antara banyaknya Kementrian, mahasiswa dan mahasiswi, khususnya di Universitas Indonesia, selayaknya menanti datangnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru.

Dalam catatan saya, selama masa kampanye dan debat-debat capres dan cawapres yang telah kita lewati bersama, perdebatan soal pendidikan di level Pendidikan Tinggi tidak banyak muncul. Tataran kampanye hanya sebatas kepada pemerataan pendidikan yang tidak secara khusus membahas Pendidikan Tinggi. Jokowi dan JK pun tidak banyak memberikan pandangan ke depan terkait apa yang ingin mereka bawa kepada Perguruan Tinggi di Indonesia. Dalam visi-misi mereka hanya menyebutkan secara sedikit tentang Perguruan Tinggi. Dalam bagian yang sedikit itu ada keinginan untuk lebih mendekatkan Perguruan Tinggi dengan proses industrialisasi.

Dengan kondisi di atas maka sudah selayaknya saat ini mahasiswa dan mahasiswi serta akademisi di Indonesia mulai mengamati dengan seksama siapa saja calon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru. Secara khusus UI perlu juga menempatkan perhatiannya yang besar kepada nama calon menteri tersebut. Hal itu tak lain karena pada tahun ini, tepatnya bulan November, UI akan memiliki rektor  baru.

Lalu apa urgensinya mengetahui siapa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru dengan pemilihan Rektor UI?

Perlu diketahui bahwa pemilihan rektor UI dilakukan oleh Majelis Wali Amanat (MWA), yang terdiri dari kalangan internal dan eksternal UI termasuk unsur mahasiswa dan juga Menteri. Namun dalam proporsi suara yang bisa diberikan oleh anggota MWA, Menteri mendapatkan porsi yang cukup besar. Suara Menteri akan dihitung menjadi 8 suara, yakni sebesar 35% dari total suara. Sisa suara akan diberikan oleh 15 anggota MWA yang masing-masingnya mendapat 1 suara. Total suara yang bisa dihimpun adalah 23 suara. Adapun dalam komposisi tersebut Rektor yang sedang menjabat tidak memiliki hak untuk memilih.

Dari komposisi suara di atas bisa kita lihat bahwa posisi Menteri dalam menentukan siapa yang akan memimpin UI ke depannya akan sangat strategis. Sehingga penting untuk melihat latarbelakang dan kualitas para calon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang akan dipilih. Pemilihan Rektor UI sendiri menjadi demikian penting karena akan menjadi pintu masuk untuk mengatasi berbagai permasalahan di kampus tersebut.

Permasalahan besar terkait Perguruan Tinggi yang akan dihadapi Menteri yang akan datang adalah mahalnya biaya pendidikan. Ini adalah dampak langsung dari UU Perguruan Tinggi yang menjadi salah satu buah kepemimpinan yang saat ini akan berakhir. UU ini menghasilkan beberapa PTN berubah statusnya menjadi PTN Badan Hukum (BH). Status tersebut menghasilkan otonomi tata kelola pada PTN, salah satunya tata kelola keuangan. Karena hal tersebut UI dan beberapa kampus lainnya harus mencari pemasukannya sendiri. Alhasil, mahasiswa menjadi salah satu sumber pendanaan yang paling besar bagi universitas. Dengan demikian universitas akan kerap menaikkan biaya pendidikan sebagai justifikasi dari pembiayaan pendidikan yang kualitasnya ingin ditingkatkan.

Tentu saja naiknya biaya pendidikan akan memberikan konsekuensi logis tereliminasinya mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang kurang. Kelas menengah ke atas akan banyak mendominasi kampus, seperti halnya di UI. Dalam UU memang telah disebutkan minimal 20% kursi diberikan bagi mereka yang tidak mampu. Namun ini masih belum bisa menjawab persoalan akses karena kampus akan terus dihadapkan pada mencari dana segar dari mahasiswa dan mahasiswi. Batas minimal bisa dijadikan batas maksimal bila tujuan yang dicari oleh kampus dari kursi yang disediakan adalah provit.

Selain dinaikkannya biaya pendidikan, konsekuensi lainnya adalah ditambahnya jumlah kursi yang disediakan kampus. Sayangnya, pertambahan mahasiswa dan mahasiswi tidak dibarengi dengan pertambahan jumlah staf pengajar atau dosen di kampus. Di UI sendiri perbandingan antara rasio mahasiswa dan dosen telah mencapai angka satu berbanding dua puluh dua. Padahal normalnya, sesuai standar Dikti, adalah satu banding sepuluh.

Dua masalah tersebut hanya sedikit dari banyak masalah yang bisa diambil untuk melihat kondisi PTN kita. Kondisi tersebut akan berbenturan dengan fungsi PTN dalam menyerap mahasiswa-mahasiswi dari berbagai golongan. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah pemerintahan Jokowi-JK ke depannya telah melihat hal ini sebagai hal yang serius?


Kamis, 09 Oktober 2014

MAU GERAK SAJA KOK REPOT?

Si Anak Gerakan              : “Gimana sih lo! Ini nih lagi genting situasi masyarakat kita! Orde Baru udah mau balik lagi gilak! Kok masih diem-diem aja lo?! Jangan apatis dong!

Si Jiwa Akademisi           : “Apa gunanya sih lo marah-marah kayak gitu? Lu kira kita apatis? Gak haruslah kita teriak-teriak kayak gitu. Lebih baik sebagai mahasiswa kita tuh melakukan pendidikan politik ke orang-orang di sekitar kita. Bikin tulisan tentang isu ini. Bagiin ke orang-orang banyak. Itu lebih indah caranya sebagai peran kita di dunia akademis.”

Si Anak Gerakan              : “Apa signifikansinya? Mahasiswa ya seharusnya perannya gak cuman di tataran akademis. Kita yang belajar teori di kelas harusnya yang paling tahu kondisi yang mengancam ini. Jadi ya kita yang harus berisik. Gak ada salahnya kita turun ke jalan dan melakukan penekanan secara riil.”

Si Jiwa Akademisi           : “Gak usah sok jadi yang paling peduli dan sadar deh. Kalian gak pernah aja melihat sisi yang lain yang bisa kita lakuin sebagai mahasiswa!”

Bla...bla.....bla.....bla.....

Selasa, 09 September 2014

CHANTAL MOUFFE DAN PLURALISME AGONISTIK

Chantal Mouffe berusaha memberikan perspektif dalam memahami demokrasi. Ide utama Mouffe, dalam bukunya The Democratic Paradox, berkaitan dengan konsep agonistic pluralism. Terkait hal tersebut, ada dua konsep penting dari pemikiran Mouffe yang harus dipahami terlebih dahulu yaitu adversary dan relasi agonistik. Konsep adversary dipakai Mouffe untuk mengganti konsep enemy dalam kehidupan politik. Dalam demokrasi liberal, lawan politik atau oposisi sebenarnya memiliki landasan yang sama yang ingin dicapai, yaitu kebebasan dan keadilan bagi semua. Namun untuk mencapainya kerap kali cara-cara dan pemikiran politik yang dipakai sering berseberangan. Mereka yang berlawanan tersebut pada prakteknya sering dipandang sebagai musuh yang menimbulkan relasi antagonistik. Mouffe berpendapat bahwa seharusnya mereka tidak perlu diperlakukan sebagai musuh, melainkan sebagai legitimate enemy. Merekalah yang disebut Mouffe sebagai adversary.[1] 

Apa yang disebut sebagai relasi agonistik adalah relasi yang terbentuk antar adversary. Menurut Mouffe, demokrasi liberal itu ada sebagai cara untuk mengubah relasi antagonistik menjadi agonistik. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa pada dasarnya semua pihak dalam demokrasi liberal memiliki dasar tujuan yang sama, sehingga tidak perlu untuk mengeliminasi pihak lain yang berbeda pikiran. Memandang pihak lain sebagai adversary adalah penting untuk mengakui keberadaan mereka dalam kekuasaan yang terbentuk. Yang harus diberikan kepada legitimate enemy tersebut adalah akses yang terbuka dalam memberikan idenya dan ruang yang cukup dalam berpolitik. Dari definisi-definisi yang telah disampaikan di atas, ada beberapa poin yang penulis rasa dapat menjadi perdebatan dari pemikiran utama Mouffe untuk memperjuangkan relasi agonistik tersebut.

Konsep adversary dari Mouffe menjadi salah satu yang paling bisa diperdebatkan. Politik pada dasarnya memang memuat hubungan antagonistik. Relasi tersebut terjadi dalam pola perebutan kekuasaan. Meskipun kita memandang pihak yang berbeda pandangan sebagai adversary, tetap saja pada akhirnya kita akan berhadapan dengan perbedaan pendapat yang bisa menjadi awal terjadinya konflik. Sehingga kita tidak bisa menafikkan bahwa relasi antagonistik bisa kita temukan di dalam relasi agonistik itu sendiri.

Minggu, 06 Juli 2014

BERUSAHA MENJADI JUJUR

“Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan Hukum. Tidak seperti di Hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri itu memashurkan, menjunjung dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan.” – Pramoedya Ananta Toer

Tulisan ini bukanlah sebuah karya ilmiah. Bukan pula sebuah kajian komprehensif. Bukan pula alat kampanye. Ini hanya sebuah ungkapan rasa dan juga pandangan murni dari seorang anak muda yang sudah menentukan pilihannya. Tetapi apa yang tertulis disini tidak hadir begitu saja. Ada sebuah proses panjang yang mendahuluinya. Mulai dari pengamatan berbulan-bulan lewat media-media, membaca literatur yang beraneka ragam, berdiskusi tanpa hentinya, mengkaji dalam tataran program dan rekam jejak masing-masing calon, dan refleksi mendalam. Mungkin dalam tulisan ini Anda akan mendapati ungkapan-ungkapan konyol. Mungkin pula anda akan berbeda pendapat jauh dengan saya. Tulisan ini adalah tulisan yang begitu bebas. Mungkin tidak fokus atau terstruktur dengan baik. Tak ada sub bab atau pembagian khusus. Saya biarkan jemari ini menari dan kata-kata pun mengalir. Dalam tulisan ini saya hanya ingin mengungkapkan semua yang saya pikirkan dan rasakan dengan terbuka dan dengan gembira.
Sudut pandang yang saya gunakan adalah pandangan saya sebagai salah satu bagian masyarakat biasa. Saya tidak berusaha, dalam tulisan ini, mempelajari sudut pandang para pengusaha atau elit-elit politik negeri ini. Saya lebih ingin menampilkan pemikiran saya sebagai masyarakat yang butuh rasa aman dan keadilan karena akan berada pada kondisi jauh dari akses terhadap penguasa setelah masa pemilu berakhir. Pilihan saya sendiri juga berdasarkan pandangan tentang pasangan mana yang bisa memungkinkan saya, sebagai masyarakat biasa, untuk lebih mudah mendapatkan akses tersebut. Untuk catatan, saya bukan kader salah satu partai politik, bukan tim sukses salah satu pasang calon, atau pun tergabung dalam sebuah kelompok relawan untuk membantu kampanye salah satu pasang calon.
Dengan berakhirnya debat kelima dari KPU, beberapa jam sebelum tulisan ini mulai dibuat, saya akan dengan gembira mengatakan bahwa saya mendukung calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2. I stand on the right side, kata orang kebanyakan. Ada berbagai macam alasan dan nilai plus yang saya berikan kepada pasangan Jokowi-JK sehingga saya dengan mantab mendukung mereka. Sebelum adanya tulisan ini saya menulis beberapa tulisan perbandingan antara program masing-masing pasang calon.[1] Saya dengan inisiatif pribadi mencoba membedah visi-misi dan program yang mereka tawarkan lewat dokumen yang mereka berikan kepada KPU dan juga lewat penyampaian langsung mereka dalam debat-debat yang ada. Tak hanya sampai disana, apa yang saya dapat itu coba saya kaitkan pula dengan rekam jejak masing-masing pasang calon. Setelah melalui proses itu saya akhirnya mendapatkan beberapa poin penting yang menjadi hal utama mengapa saya memilih mereka.

Selasa, 10 Juni 2014

MENGINTIP PROGRAM CAPRES-CAWAPRES (BAGIAN III)

None of us is ever fully represented – representation of our interest or identities in politics is always incomplete and partial..” – Michael Saward[1]

Sebelum saya memulai bagian ketiga tulisan saya ini, ada baiknya saya memberikan pandangan saya mengapa penting bagi kita untuk melihat visi-misi dan program masing-masing pasangan. Visi-misi dan program yang telah diberikan kepada KPU sebagai salah satu syarat pendaftaran adalah sebuah dasar bagi masyarakat untuk bisa mengontrol. Bagaimana caranya? Apa yang telah mereka tuangkan adalah sebuah janji. Janji tersebutlah yang bisa kita jadikan pegangan tertulis untuk dijadikan tuntutan kelak ketika mereka telah terpilih. Apalagi program tersebut berasal dari ide tim mereka sendiri. Karena itu penting bagi masing-masing calon untuk mengingat dan terus-menerus mensosialisasikan program-program tersebut kepada sebanyak mungkin masyarakat.
            Namun ada yang akan berpikiran sinis dengan mengatakan bahwa program itu bisa dimainkan oleh masing-masing calon untuk bisa menarik hati masyarakat. Mungkin memang demikian adanya. Tetapi bila kita melihat kembali, apa yang mereka utarakan sebagai visi-misi dan program adalah penawaran yang mereka berikan kepada kita untuk Indonesia. Kitalah yang harus memilih mana di antara mereka yang lebih bisa diterima sebagai solusi Indonesia. Mereka yang lebih ingin mengulas sosok para calon akan beranggapan bahwa para calon juga tak semuanya mengerti visi-misi dan program yang dibawa oleh masing-masing calon. Masing-masing pasang calon memiliki tim ahli untuk merumuskan itu semua. Namun menurut hemat saya, justru disanalah poin mengapa mengulas visi-misi dan program mereka begitu penting.
           

Selasa, 03 Juni 2014

MENGINTIP PROGRAM CAPRES-CAWAPRES (BAGIAN II)

Pada bagian pertama saya telah memaparkan beberapa program yang akan dibawa oleh masing-masing calon dari masalah masyarakat desa dan juga masalah pendidikan. Untuk bagian yang kedua ini saya ingin mencoba memaparkan program mereka di bidang pertahanan dan juga mengulas tentang program yang berbau syariah. Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa kelompok militer dan juga masyarakat Islam adalah dua kekuatan yang ada di Indonesia. Meski telah keluar dari pemerintahan, militer tetaplah menjadi sebuah simbol kekuatan negara yang harus diperhatikan. Peran strategis mereka sebagai benteng negara pada dasarnya harus didukung oleh pemerintah yang berkuasa. Selain itu mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam menjadikan mereka konstituen penting untuk bisa memenangkan pemilu 2014.  Menarik untuk kita lihat beberapa program yang berkaitan langsung dengan kedua kelompok tersebut.

Senin, 02 Juni 2014

MENGINTIP PROGRAM CAPRES-CAWAPRES (BAGIAN I)


Kurang lebih satu bulan lagi kita akan menghadapi momen pemilu presiden dan wakil presiden 2014. Namun dari hemat saya, yang terjadi saat ini masyarakat diasupi oleh kampanye-kampanye negatif atas masing-masing calon. Yang satu dicap sebagai pelanggar HAM, sedangkan yang satu dicap sebagai penipu. Satu isu negatif dilawan dengan isu lainnya. Saling menjatuhkan antar kutub terjadi dengan begitu ‘meriah’. Kampanye negatif sejatinya adalah bentuk dari demokrasi itu sendiri. Seluruh komponen masyarakat berhak untuk menyuarakan pendapat mereka. Media dibebaskan untuk memberikan informasi apa pun kepada masyarakat. Tetapi ketika kampanye negatif itu tidak diseimbangi dengan kampanye positif , ada masalah disana.
Kampanye positif yang saya maksudkan adalah dialog seputar visi-misi dan program aksi yang akan dibawa oleh masing-masing calon ke depan bila terpilih. Bahkan visi-misi saja belum cukup. Harus sampai pada tataran program aksi. Ini penting karena kita, masyarakat Indonesia, membutuhkan ide dan program yang bisa menjadi solusi atas permasalahan Indonesia saat ini. Dengan kata lain, masyarakat sudah seharusnya diajak untuk tidak lagi memilih karena sekedar melihat sosok dari si calon. Kita harus mengajak mereka untuk memilih berdasarkan pemikiran rasional atas program mana yang lebih baik dari antara calon yang ada.

Rabu, 07 Mei 2014

SETUJU FISIP GELAP?

Belakangan ada isu yang santer terdengar perihal jam malam yang akan segera diberlakukan di FISIP. Ini bisa kita kaitkan dengan pemadaman lampu di beberapa areal FISIP ketika malam hari. Selasar MBRC yang menjadi tempat yang seringkali menjadi tempat mahasiswa dan mahasiswi FISIP untuk belajar, mengerjakan tugas, atau sekedar refreshing lewat internet saat ini sering dimatikan lampunya ketika malam hari. Takor juga beberapa kali dipadamkan lampunya di saat masih banyak mahasiswa yang masih berkumpul dan mengobrol bersama. Lalu orang-orang bertanya apakah ini karena daya listrik FISIP tidak kuat sehingga harus dimatikan? Penghematan listrik? Atau ‘pengusiran’? Benarkah mahasiswa FISIP dianjurkan untuk tidak pulang malam?

Selasa, 15 April 2014

MULTIKULTURALISME KYMLICKA: MINORITAS DAN IMIGRAN

Bagaimana pandangan Will Kymlicka atas multikulturalisme bisa kita lihat pada buku karangannya, Multicultural Citizenship (1995). Dalam tulisannya ia mencoba memaparkan bahwa pendekatan lama dalam melihat multikulturalisme sudah tidak begitu relevan dalam menjawab masalah dalam isu kontemporer. Itu disebabkan karena solusi dari masalah-masalah multikultural kerap kali berujung pada sudut pandang pihak mayoritas semata.

Minggu, 13 April 2014

MASYARAKAT SATU DIMENSI MARCUSE

Herbert Marcuse dianggap oleh kalangan radikal kiri baru sebagai salah satu tokoh yang berperan bagi pemikiran mereka setelah Marx dan Mao. Marcuse percaya bahwa akan datang sebuah masyarakat yang akan benar-benar membuat revolusi itu bisa benar-benar terjadi. Kritiknya terhadap masyarakat kapitalisme tahap lanjut serta masyarakat teknokratik bisa kita lihat dari buku karangannya yaitu One-Dimensional Man (1964). Buku karangannya itu berusaha menjawab bagaimana masyarakat kapitalis tahap lanjut telah membuat masyarakat menjadi satu dimensi. Meski demikian pada saat bukunya itu ditulis dampak dari perubahan itu belum dirasakan oleh masyarakat Barat karena pada saat itu masyarakat disana sedang berada pada fase dimana mereka merasa pada titik tertinggi. Barulah pada zaman ini kita bisa melihat bukti dari pandangan Marcuse tentang masyarakat berdimensi satu tersebut. Buktinya adalah bahwa pembangunan masyarakat industri maju dalam kurun waktu 20 tahun belakangan justru memberikan dampak ketimpangan sosial yang semakin jauh (Franz Magnis, 2013).

Selasa, 08 April 2014

PEMILU DAN ANAK MUDA YANG KEHAUSAN

Pemilu legislatif 2014 akan kita langsungkan esok hari. Semarak pemilu telah tercermin dari banyaknya bendera partai dan baliho yang terpajang di jalan-jalan. Jejaring sosial tidak kalah dalam menjadi medan pertempuran kampanye masing-masing partai dan capres yang ingin diusung. Selain itu komunitas-komunitas pemuda muncul satu per satu dan turut serta dalam mewarnai pesta demokrasi.

Komunitas atau gerakan-gerakan yang diusung oleh pemuda-pemuda tersebut berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh partai politik. Secara ringkas Miriam Budiarjo telah membantu kita dalam merangkum tugas partai politik ke dalam 4 hal. Yang pertama komunikasi politik, sosialisasi politik, lalu rekrutmen politik, dan manajemen konflik. Partai politik saat ini terlalu fokus hanya dalam hal rekrutmen politik semata. Dengan demikian maka akan membentuk pragmatisme dengan mencari orang-orang yang dirasa bisa mendaur suara paling besar seperti artis.

Senin, 24 Februari 2014

TAK HARUS INDEPENDEN KOK

Orde Baru tak hanya meninggalkan beban ekonomi dan politik bagi era kita sekarang. Penanaman nilai mereka yang sangat mengakar di tengah masyarakat masih banyak yang tertinggal di tengah masyarakat. Soeharto adalah presiden yang menginginkan rakyatnya melupakan persoalan politik dan fokus pada pembangunan ekonomi. Salah satu unsur besar yang diajak untuk melupakannya adalah para mahasiswa. Netralisasi kehidupan kampus yang dilakukan selama masa Orde Baru memiliki bekas-bekas tertinggal yang menjadi dasar perilaku anak muda saat ini.

Fenomena menarik adalah bahwa yang terjadi sekarang ini seakan-akan mahasiswa harus berada diposisi yang berseberangan dengan pemerintah. Fungsi kontrol yang kadang cenderung berlebihan. Apresiasi kadang tidak terlihat datang dari arah mahasiswa. Sedangkan sebuah kebijakan yang tidak berkenan dimata masyarakat akan dengan mudah diserang habis-habisan. Namun tak bisa dipungkiri peran kontrol dari mahasiswa memanglah unsur kuat yang bertahan selama usia bangsa ini berdiri. 

Senin, 06 Januari 2014

MEI

           Sebuah Cerpen

Pizza baru tersaji diatas meja. Mereka masih bernyanyi lagu ceria untuk bergembira merayakan ulangtahun seorang anak laki-laki yang tertua. Minuman kola dingin dilirik terus-menerus oleh Si Bungsu. Malas rasanya ia bernyanyi bersama dengan yang lain. Konsentrasinya hanya ke segelas kola dingin itu. Mereka sedang bergembira. Si Bungsu, yang saat itu masih TK, hanya tahu kalau hari ulangtahun adalah saat bergembira. Itu sampai saat ia tumbuh dewasa dan mengetahui bahwa hari itu adalah hari yang jauh dari kata “menggembirakan”, untuk kaumnya.