Senin, 20 Oktober 2014

KETIKA UI MENANTI MENTERI

Peresmian Jokowi sebagai presiden baru Indonesia baru saja kita lewati bersama. Selanjutnya masyarakat akan diberikan kabinet baru dalam berbagai bidang Kementrian. Beberapa pos Kementrian menjadi perhatian apakah akan diisi oleh kalangan professional atau praktisi partai. Di antara banyaknya Kementrian, mahasiswa dan mahasiswi, khususnya di Universitas Indonesia, selayaknya menanti datangnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru.

Dalam catatan saya, selama masa kampanye dan debat-debat capres dan cawapres yang telah kita lewati bersama, perdebatan soal pendidikan di level Pendidikan Tinggi tidak banyak muncul. Tataran kampanye hanya sebatas kepada pemerataan pendidikan yang tidak secara khusus membahas Pendidikan Tinggi. Jokowi dan JK pun tidak banyak memberikan pandangan ke depan terkait apa yang ingin mereka bawa kepada Perguruan Tinggi di Indonesia. Dalam visi-misi mereka hanya menyebutkan secara sedikit tentang Perguruan Tinggi. Dalam bagian yang sedikit itu ada keinginan untuk lebih mendekatkan Perguruan Tinggi dengan proses industrialisasi.

Dengan kondisi di atas maka sudah selayaknya saat ini mahasiswa dan mahasiswi serta akademisi di Indonesia mulai mengamati dengan seksama siapa saja calon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru. Secara khusus UI perlu juga menempatkan perhatiannya yang besar kepada nama calon menteri tersebut. Hal itu tak lain karena pada tahun ini, tepatnya bulan November, UI akan memiliki rektor  baru.

Lalu apa urgensinya mengetahui siapa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru dengan pemilihan Rektor UI?

Perlu diketahui bahwa pemilihan rektor UI dilakukan oleh Majelis Wali Amanat (MWA), yang terdiri dari kalangan internal dan eksternal UI termasuk unsur mahasiswa dan juga Menteri. Namun dalam proporsi suara yang bisa diberikan oleh anggota MWA, Menteri mendapatkan porsi yang cukup besar. Suara Menteri akan dihitung menjadi 8 suara, yakni sebesar 35% dari total suara. Sisa suara akan diberikan oleh 15 anggota MWA yang masing-masingnya mendapat 1 suara. Total suara yang bisa dihimpun adalah 23 suara. Adapun dalam komposisi tersebut Rektor yang sedang menjabat tidak memiliki hak untuk memilih.

Dari komposisi suara di atas bisa kita lihat bahwa posisi Menteri dalam menentukan siapa yang akan memimpin UI ke depannya akan sangat strategis. Sehingga penting untuk melihat latarbelakang dan kualitas para calon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang akan dipilih. Pemilihan Rektor UI sendiri menjadi demikian penting karena akan menjadi pintu masuk untuk mengatasi berbagai permasalahan di kampus tersebut.

Permasalahan besar terkait Perguruan Tinggi yang akan dihadapi Menteri yang akan datang adalah mahalnya biaya pendidikan. Ini adalah dampak langsung dari UU Perguruan Tinggi yang menjadi salah satu buah kepemimpinan yang saat ini akan berakhir. UU ini menghasilkan beberapa PTN berubah statusnya menjadi PTN Badan Hukum (BH). Status tersebut menghasilkan otonomi tata kelola pada PTN, salah satunya tata kelola keuangan. Karena hal tersebut UI dan beberapa kampus lainnya harus mencari pemasukannya sendiri. Alhasil, mahasiswa menjadi salah satu sumber pendanaan yang paling besar bagi universitas. Dengan demikian universitas akan kerap menaikkan biaya pendidikan sebagai justifikasi dari pembiayaan pendidikan yang kualitasnya ingin ditingkatkan.

Tentu saja naiknya biaya pendidikan akan memberikan konsekuensi logis tereliminasinya mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang kurang. Kelas menengah ke atas akan banyak mendominasi kampus, seperti halnya di UI. Dalam UU memang telah disebutkan minimal 20% kursi diberikan bagi mereka yang tidak mampu. Namun ini masih belum bisa menjawab persoalan akses karena kampus akan terus dihadapkan pada mencari dana segar dari mahasiswa dan mahasiswi. Batas minimal bisa dijadikan batas maksimal bila tujuan yang dicari oleh kampus dari kursi yang disediakan adalah provit.

Selain dinaikkannya biaya pendidikan, konsekuensi lainnya adalah ditambahnya jumlah kursi yang disediakan kampus. Sayangnya, pertambahan mahasiswa dan mahasiswi tidak dibarengi dengan pertambahan jumlah staf pengajar atau dosen di kampus. Di UI sendiri perbandingan antara rasio mahasiswa dan dosen telah mencapai angka satu berbanding dua puluh dua. Padahal normalnya, sesuai standar Dikti, adalah satu banding sepuluh.

Dua masalah tersebut hanya sedikit dari banyak masalah yang bisa diambil untuk melihat kondisi PTN kita. Kondisi tersebut akan berbenturan dengan fungsi PTN dalam menyerap mahasiswa-mahasiswi dari berbagai golongan. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah pemerintahan Jokowi-JK ke depannya telah melihat hal ini sebagai hal yang serius?


Kamis, 09 Oktober 2014

MAU GERAK SAJA KOK REPOT?

Si Anak Gerakan              : “Gimana sih lo! Ini nih lagi genting situasi masyarakat kita! Orde Baru udah mau balik lagi gilak! Kok masih diem-diem aja lo?! Jangan apatis dong!

Si Jiwa Akademisi           : “Apa gunanya sih lo marah-marah kayak gitu? Lu kira kita apatis? Gak haruslah kita teriak-teriak kayak gitu. Lebih baik sebagai mahasiswa kita tuh melakukan pendidikan politik ke orang-orang di sekitar kita. Bikin tulisan tentang isu ini. Bagiin ke orang-orang banyak. Itu lebih indah caranya sebagai peran kita di dunia akademis.”

Si Anak Gerakan              : “Apa signifikansinya? Mahasiswa ya seharusnya perannya gak cuman di tataran akademis. Kita yang belajar teori di kelas harusnya yang paling tahu kondisi yang mengancam ini. Jadi ya kita yang harus berisik. Gak ada salahnya kita turun ke jalan dan melakukan penekanan secara riil.”

Si Jiwa Akademisi           : “Gak usah sok jadi yang paling peduli dan sadar deh. Kalian gak pernah aja melihat sisi yang lain yang bisa kita lakuin sebagai mahasiswa!”

Bla...bla.....bla.....bla.....