Minggu, 13 April 2014

MASYARAKAT SATU DIMENSI MARCUSE

Herbert Marcuse dianggap oleh kalangan radikal kiri baru sebagai salah satu tokoh yang berperan bagi pemikiran mereka setelah Marx dan Mao. Marcuse percaya bahwa akan datang sebuah masyarakat yang akan benar-benar membuat revolusi itu bisa benar-benar terjadi. Kritiknya terhadap masyarakat kapitalisme tahap lanjut serta masyarakat teknokratik bisa kita lihat dari buku karangannya yaitu One-Dimensional Man (1964). Buku karangannya itu berusaha menjawab bagaimana masyarakat kapitalis tahap lanjut telah membuat masyarakat menjadi satu dimensi. Meski demikian pada saat bukunya itu ditulis dampak dari perubahan itu belum dirasakan oleh masyarakat Barat karena pada saat itu masyarakat disana sedang berada pada fase dimana mereka merasa pada titik tertinggi. Barulah pada zaman ini kita bisa melihat bukti dari pandangan Marcuse tentang masyarakat berdimensi satu tersebut. Buktinya adalah bahwa pembangunan masyarakat industri maju dalam kurun waktu 20 tahun belakangan justru memberikan dampak ketimpangan sosial yang semakin jauh (Franz Magnis, 2013).


Pandangan bahwa manusia berdimensi satu ini dimulai dengan membagi masyarakat kepada dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah dimensi afirmatif dimana segala unsur didalamnya sangat afirmatif terhadap apa yang dijalankan oleh pemerintah dan negara. Mereka mendukung kestabilan dari sebuah pemerintahan dan dengan demikian mereka tidak berpikir untuk melakukan kritik atau mendobrak apa yang telah ada sebelumnya. Sedangkan dimensi lainnya adalah dimensi negatif yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang menentang struktur yang sudah ada. Penentangan ini bisa berasal dari perlakuan yang tidak adil atau ketimpangan yang mereka rasakan. Dalam pandangan kaum Marxis dimensi negatif ini sangat penting kaitannya untuk perkembangan sebuah masyarakat. Dimensi negatif ini akan menjadi kontrol terhadap pemerintah sekaligus atas apa yang telah dianggap sebagai tatanan masyarakat.
Kecemasan dari Marcuse adalah bahwa dimensi negatif tadi telah hilang dalam masyarakat kapitalis dan industri maju. Marcuse menilai bahwa ada penekanan terhadap nilai, ideologi, pemikiran, atau pun gerakan yang tidak afirmatif. Namun yang menarik adalah bagaimana menurut Marcuse unsur negatif itu justru dipersatukan atau pun melebur menjadi satu sehingga bisa mendukung sistem yang ada. Dan peleburan itu dianggap Marcuse karena sistem kehidupan kapitalis dianggap bisa menaikkan taraf kehidupan seseorang. Barang-barang produksi kapitalis menjadi komuditas yang diperjuangkan oleh masyarakat sebagai standar hidup mereka. Seperti halnya kepemilikan atas barang-barang elektronik atau pun kendaraan. Setiap orang dengan demikian berlarian untuk mengejar standar hidup tinggi yang telah terpatok di masyarakat.
Pandangan Marcuse ini semakin menarik ketika ia melihat bahwa kepitalisme tahap lanjut telah berhasil membuat masyarakat menyepakati bahwa kehidupan seperti di atas adalah yang paling rasional. Dan menurut Marcuse justru itu sebenarnya adalah irasional. Berbeda dengan perjuangan kelas yang dikemukakan oleh Marx, Marcuse menganggap bahwa titik fokus pola hubungan masyarakat saat ini adalah perilaku konsumtif yang begitu tinggi. Masyarakat tidak lagi bebas secara keseluruhan karena tujuan hidup mereka justru mengikuti apa yang telah dirancang oleh kapitalis sebagai bentuk rasional dari indikator kesejahteraan. Ini bisa terjadi karena kemajuan teknologi yang sedemikian pesat. Kebutuhan kapitalisme akan konsumsi menyebabkan banyak sekali alternatif yang diberikan kepada seseorang. 
Menurut Marcuse hal tadi bisa terjadi karena manusia menerima bahwa teknologi bisa membawa sebuah efektifitas serta kesejahteraan kepada kehidupan. Sehingga manusia akan menerima kemajuan itu dan berlari berdampingan dengannya. Sehingga tujuan dasar dari manusia telah berkembang karena adanya banyak alternatif. Contoh paling riil dalam kehidupan saat ini adalah bagaimana promosi lewat iklan begitu menelan banyak masyarakat. Yang dicari oleh masyarakat bukanlah kebutuhan bahwa mereka memang benar-benar membutuhkan barang tersebut, tetapi bahwa mereka tidak ketinggalan dari yang lain yang terlebih dahulu telah memiliki barang tersebut. Bagaimana kapitalisme telah membuat manusia mengejar trend yang ada dianggap Marcuse sebagai sebuah rasionalitas teknologis yang berasal dari sebuah kemajuan industri. Karena itulah kehidupan kapitalis maju seperti sekarang akan terus membawa masyarakat jauh dari rasionalitas.
Perpindahan dari tujuan dasar manusia kepada tujuan lain yang digeser kepada kosumerisme produk kapitalis itu disebut Marcuse sebagai desublimasi represif. Konsep ini menjelaskan bagaimana cita-cita manusia sebenarnya menjadi kosong dan hanya untuk menunjang efektifitas kapitalisme. Masyarakat tanpa sadar sedang digiring untuk melupakan tujuan dasar mereka. Franz Magnis Suseno (2013) menganggap bahwa Marcuse melihat bahwa masyarakat tanpa sadar digerakkan untuk berguna dalam menggerakkan roda kapitalisme dan itu membuat mereka terasing dari cita-citanya, atau bahkan dari diri mereka sendiri.
Dalam ranah politik, kehidupan satu dimensi dalam kehidupan kapitalisme tahap lanjut juga membuat hilangnya opisisi. Atau lebih tepatnya oposisi itu disadari ada dan turut serta dalam membangun status quo sebuah sistem. Keberadaan mereka diperlihara untuk kelangsungan sistem itu sendiri. Sehingga sesungguhnya pertentangan tidak benar-benar ada karena semuanya ada untuk mengisi peran dalam sistem tersebut. Dalam desublimasi represif dijelaskan bahwa seseorang akan melihat bahwa orang lain sebagai sebuah sekrup dari sistem yang ada. Sehingga seseorang akan berhubungan dengan orang lain bukan lagi atas dorongan ketertarikan pribadi, tapi lebih karena orang tersebut dibutuhkan untuk mengisi sistem yang ada. Begitu juga halnya dengan oposisi dalam pemerintahan. Sebisa mungkin apa yang bertentangan dengan  sistem akan diredam kemunculannya, seperti layaknya dimensi negatif yang telah dijelaskan sebelumnya. Terjadi paham operasionalisasi yang ketat dan dipatuhi oleh semua unsur dalam sistem. Konflik sedemikian besar diredam sehingga sistem tersebut bisa berjalan terus-menerus. Akomodasi terhadap pihak oposisi adalah salah satu caranya. Sehingga oposisi ada bukan lagi untuk melakukan kritik dan penyerangan kepada sistem, namun justru dipelihara sebagai salah satu unsur untuk mempertahankan sistem tersebut. Bila terjadi penyimpangan yang besar maka ia dan pemikirannya akan dilempar dari sistem dan keberadaannya tidak akan bisa ada lagi.
Menurut saya yang paling menarik dari pemikiran Marcuse adalah bagaimana ia memandang bahwa ada harapan masyarakat bisa keluar dari desublimasi tadi, dan itu ditemukannya dari seni. Orang-orang pekerja seni adalah contoh mereka yang bisa memperlihatkan bahwa harapan itu ada. Marcuse memandang bahwa mereka yang berkutat pada seni adalah mereka yang mempunyai orisinalitas yang bisa membongkar tatanan yang sudah ada. Mereka cenderung dapat menolak dimensi afirmatif dan menjadi manusia bebas. Namun bila kita melihat perkembangan industri seni saat ini, nampaknya kita bisa sedikit pesimis karena saat ini pun seni telah banyak dikontrol oleh mekanisme kapitalistik, tanpa menyingkirkan para seniman yang masih memegang idealisme mereka yang eksistensinya juga masih kurang.
Pemikiran Marcuse ini banyak bisa kita temukan kaitannya dengan kehidupan modern saat ini, khususnya Indonesia. Pola konsumtif Indonesia yang begitu tinggi bisa menjadi contoh kongkret dari pemikiran Marcuse tentang desublimasi tadi. Kekuatan ekonomi Indonesia sendiri lebih berat pada konsumsi masyarakat yang tinggi dibandingka dengan tingkat produktifitas dalam negeri. Karena itu juga Indonesia begitu menjanjikan bagi pihak asing sebagai pasar yang menggiurkan. Budaya konsumtif tersebut akan menyulitkan Indonesia untuk bisa berkembang menjadi negara yang bisa melakukan ekspansi ekonomi. Kita akan terus diserang oleh produk-produk luar dan menenggelamkan produk dalam negeri. Kekuatan promosi dan iklan dari produk-produk yang tersebar di pasar dalam negeri begitu kuat. Masyarakat Indonesia begitu berlomba untuk tidak ketinggalan trend.
Dalam ranah politik, oposisi di negara di Indonesia tidak banyak memegang peran penting dalam menaikkan alternatif pemikiran untuk bisa memberikan alternatif gagasan. Namun demikian bisa kita lihat ada perkembangan ke arah positif dari masa Orde Baru. Pada masa Soeharto kita tidak bisa menemukan adanya oposisi karena kekuatan mereka ditekan. Tetapi sejak adanya reformasi kita bisa melihat peta politik lebih memungkinkan adanya oposisi. PDIP sejak menjadi partai penguasa pada pemilu 1999 beralih menjadi partai oposisi selama kurung waktu 10 tahun terakhir pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Partai oposisi di Indonesia kerap kali menempatkan diri berada paling depan dengan program-program yang populis di mata rakyat. Bisa dikatakan setiap kali ada program atau kebijakan pemerintah yang tidak populis di mata rakyat, partai oposisi pasti akan berusaha merepresentasikan masyarakat dengan menolak kebijakan tersebut. Tetapi dalam dalam prosesnya tidak banyak alternatif yang diberikan oleh partai oposisi. Pragmatisme untuk bisa mendapatkan perhatian dari masyarakat lebih besar dibandingkan niat untuk memberikan alternatif kebijakan lain. Seperti contohnya pada kasus kenaikan harga BBM bersubsidi belum lama ini. Partai oposisi cenderung ingin menonjolkan sikapnya yang menentang kebijakan tersebut karena menyengsarakan rakyat. Tetapi tidak banyak yang menyuarakan alternatif kebijakan untuk mengganti saran yang diberikan oleh pemerintah yang berkuasa.
Pemikiran Marcuse yang sangat merindukan kembalinya rasionalitas manusia tersebut sangat dikagumi oleh kalangan hippies di Amerika Serikat dan para akademisi Kiri Baru. Orisinalitas dan keinginan menjadi ‘manusia bebas’ dikagumi dari pemikiran Herbert Marcuse. Seperti kita ketahui, kaum hippies dikenal sebagai kelompok orang yang ‘tidak biasa’ di tengah masyarakat dan begitu menjunjung tinggi imajinasi. Orang-orang yang tergabung dalam kelompok ini dekat dengan minum-minuman dan ganja yang bisa memberikan mereka imajinasi yang tinggi. Musik yang mereka dengarkan adalah yang termasuk dalam genre psychedelic rock yang terkenal pada periode 1960-an. Mereka memiliki ciri tersendiri yang khas dan tidak mau mengikuti trend yang ada.

Menarik untuk melihat bagaimana pemikiran Marcuse dalam konteks sosial-politik saat ini. Banyak nilai-nilai yang terbukti di masyarakat modern kita. Meski demikian tidak sedikit pemikir yang beranggapan bahwa pemikiran Marcuse ini cenderung utopis. Termasuk bahwa kepercayaannya bahwa akan ada kelompok yang akan memperjuangkan revolusi untuk menghilangkan pola kehidupan kapitalistik, dimana ia mempercayakannya kepada kaum seniman dan akademisi Kiri Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar