Herbert Marcuse
dianggap oleh kalangan radikal kiri baru sebagai salah satu tokoh yang berperan
bagi pemikiran mereka setelah Marx dan Mao. Marcuse percaya bahwa akan datang
sebuah masyarakat yang akan benar-benar membuat revolusi itu bisa benar-benar
terjadi. Kritiknya terhadap masyarakat kapitalisme tahap lanjut serta
masyarakat teknokratik bisa kita lihat dari buku karangannya yaitu One-Dimensional Man (1964). Buku
karangannya itu berusaha menjawab bagaimana masyarakat kapitalis tahap lanjut
telah membuat masyarakat menjadi satu dimensi. Meski demikian pada saat bukunya
itu ditulis dampak dari perubahan itu belum dirasakan oleh masyarakat Barat
karena pada saat itu masyarakat disana sedang berada pada fase dimana mereka
merasa pada titik tertinggi. Barulah pada zaman ini kita bisa melihat bukti
dari pandangan Marcuse tentang masyarakat berdimensi satu tersebut. Buktinya
adalah bahwa pembangunan masyarakat industri maju dalam kurun waktu 20 tahun
belakangan justru memberikan dampak ketimpangan sosial yang semakin jauh (Franz
Magnis, 2013).
Pandangan bahwa manusia
berdimensi satu ini dimulai dengan membagi masyarakat kepada dua dimensi.
Dimensi yang pertama adalah dimensi afirmatif dimana segala unsur didalamnya
sangat afirmatif terhadap apa yang dijalankan oleh pemerintah dan negara.
Mereka mendukung kestabilan dari sebuah pemerintahan dan dengan demikian mereka
tidak berpikir untuk melakukan kritik atau mendobrak apa yang telah ada
sebelumnya. Sedangkan dimensi lainnya adalah dimensi negatif yang didalamnya terdapat
unsur-unsur yang menentang struktur yang sudah ada. Penentangan ini bisa
berasal dari perlakuan yang tidak adil atau ketimpangan yang mereka rasakan.
Dalam pandangan kaum Marxis dimensi negatif ini sangat penting kaitannya untuk
perkembangan sebuah masyarakat. Dimensi negatif ini akan menjadi kontrol
terhadap pemerintah sekaligus atas apa yang telah dianggap sebagai tatanan
masyarakat.
Kecemasan dari Marcuse
adalah bahwa dimensi negatif tadi telah hilang dalam masyarakat kapitalis dan
industri maju. Marcuse menilai bahwa ada penekanan terhadap nilai, ideologi,
pemikiran, atau pun gerakan yang tidak afirmatif. Namun yang menarik adalah
bagaimana menurut Marcuse unsur negatif itu justru dipersatukan atau pun
melebur menjadi satu sehingga bisa mendukung sistem yang ada. Dan peleburan itu
dianggap Marcuse karena sistem kehidupan kapitalis dianggap bisa menaikkan
taraf kehidupan seseorang. Barang-barang produksi kapitalis menjadi komuditas
yang diperjuangkan oleh masyarakat sebagai standar hidup mereka. Seperti halnya
kepemilikan atas barang-barang elektronik atau pun kendaraan. Setiap orang
dengan demikian berlarian untuk mengejar standar hidup tinggi yang telah
terpatok di masyarakat.
Pandangan Marcuse ini
semakin menarik ketika ia melihat bahwa kepitalisme tahap lanjut telah berhasil
membuat masyarakat menyepakati bahwa kehidupan seperti di atas adalah yang
paling rasional. Dan menurut Marcuse justru itu sebenarnya adalah irasional.
Berbeda dengan perjuangan kelas yang dikemukakan oleh Marx, Marcuse menganggap
bahwa titik fokus pola hubungan masyarakat saat ini adalah perilaku konsumtif
yang begitu tinggi. Masyarakat tidak lagi bebas secara keseluruhan karena
tujuan hidup mereka justru mengikuti apa yang telah dirancang oleh kapitalis
sebagai bentuk rasional dari indikator kesejahteraan. Ini bisa terjadi karena
kemajuan teknologi yang sedemikian pesat. Kebutuhan kapitalisme akan konsumsi
menyebabkan banyak sekali alternatif yang diberikan kepada seseorang.
Menurut Marcuse hal
tadi bisa terjadi karena manusia menerima bahwa teknologi bisa membawa sebuah
efektifitas serta kesejahteraan kepada kehidupan. Sehingga manusia akan
menerima kemajuan itu dan berlari berdampingan dengannya. Sehingga tujuan dasar
dari manusia telah berkembang karena adanya banyak alternatif. Contoh paling
riil dalam kehidupan saat ini adalah bagaimana promosi lewat iklan begitu
menelan banyak masyarakat. Yang dicari oleh masyarakat bukanlah kebutuhan bahwa
mereka memang benar-benar membutuhkan barang tersebut, tetapi bahwa mereka tidak
ketinggalan dari yang lain yang terlebih dahulu telah memiliki barang tersebut.
Bagaimana kapitalisme telah membuat manusia mengejar trend yang ada dianggap Marcuse sebagai sebuah rasionalitas
teknologis yang berasal dari sebuah kemajuan industri. Karena itulah kehidupan
kapitalis maju seperti sekarang akan terus membawa masyarakat jauh dari
rasionalitas.
Perpindahan dari tujuan
dasar manusia kepada tujuan lain yang digeser kepada kosumerisme produk
kapitalis itu disebut Marcuse sebagai desublimasi represif. Konsep ini
menjelaskan bagaimana cita-cita manusia sebenarnya menjadi kosong dan hanya
untuk menunjang efektifitas kapitalisme. Masyarakat tanpa sadar sedang digiring
untuk melupakan tujuan dasar mereka. Franz Magnis Suseno (2013) menganggap
bahwa Marcuse melihat bahwa masyarakat tanpa sadar digerakkan untuk berguna
dalam menggerakkan roda kapitalisme dan itu membuat mereka terasing dari
cita-citanya, atau bahkan dari diri mereka sendiri.
Dalam ranah politik,
kehidupan satu dimensi dalam kehidupan kapitalisme tahap lanjut juga membuat
hilangnya opisisi. Atau lebih tepatnya oposisi itu disadari ada dan turut serta
dalam membangun status quo sebuah
sistem. Keberadaan mereka diperlihara untuk kelangsungan sistem itu sendiri.
Sehingga sesungguhnya pertentangan tidak benar-benar ada karena semuanya ada
untuk mengisi peran dalam sistem tersebut. Dalam desublimasi represif
dijelaskan bahwa seseorang akan melihat bahwa orang lain sebagai sebuah sekrup
dari sistem yang ada. Sehingga seseorang akan berhubungan dengan orang lain
bukan lagi atas dorongan ketertarikan pribadi, tapi lebih karena orang tersebut
dibutuhkan untuk mengisi sistem yang ada. Begitu juga halnya dengan oposisi
dalam pemerintahan. Sebisa mungkin apa yang bertentangan dengan sistem akan diredam kemunculannya, seperti
layaknya dimensi negatif yang telah dijelaskan sebelumnya. Terjadi paham
operasionalisasi yang ketat dan dipatuhi oleh semua unsur dalam sistem. Konflik
sedemikian besar diredam sehingga sistem tersebut bisa berjalan terus-menerus. Akomodasi
terhadap pihak oposisi adalah salah satu caranya. Sehingga oposisi ada bukan
lagi untuk melakukan kritik dan penyerangan kepada sistem, namun justru
dipelihara sebagai salah satu unsur untuk mempertahankan sistem tersebut. Bila
terjadi penyimpangan yang besar maka ia dan pemikirannya akan dilempar dari
sistem dan keberadaannya tidak akan bisa ada lagi.
Menurut saya yang
paling menarik dari pemikiran Marcuse adalah bagaimana ia memandang bahwa ada
harapan masyarakat bisa keluar dari desublimasi tadi, dan itu ditemukannya dari
seni. Orang-orang pekerja seni adalah contoh mereka yang bisa memperlihatkan
bahwa harapan itu ada. Marcuse memandang bahwa mereka yang berkutat pada seni
adalah mereka yang mempunyai orisinalitas yang bisa membongkar tatanan yang
sudah ada. Mereka cenderung dapat menolak dimensi afirmatif dan menjadi manusia
bebas. Namun bila kita melihat perkembangan industri seni saat ini, nampaknya
kita bisa sedikit pesimis karena saat ini pun seni telah banyak dikontrol oleh
mekanisme kapitalistik, tanpa menyingkirkan para seniman yang masih memegang
idealisme mereka yang eksistensinya juga masih kurang.
Pemikiran Marcuse ini
banyak bisa kita temukan kaitannya dengan kehidupan modern saat ini, khususnya
Indonesia. Pola konsumtif Indonesia yang begitu tinggi bisa menjadi contoh
kongkret dari pemikiran Marcuse tentang desublimasi tadi. Kekuatan ekonomi
Indonesia sendiri lebih berat pada konsumsi masyarakat yang tinggi dibandingka
dengan tingkat produktifitas dalam negeri. Karena itu juga Indonesia begitu
menjanjikan bagi pihak asing sebagai pasar yang menggiurkan. Budaya konsumtif
tersebut akan menyulitkan Indonesia untuk bisa berkembang menjadi negara yang
bisa melakukan ekspansi ekonomi. Kita akan terus diserang oleh produk-produk
luar dan menenggelamkan produk dalam negeri. Kekuatan promosi dan iklan dari
produk-produk yang tersebar di pasar dalam negeri begitu kuat. Masyarakat
Indonesia begitu berlomba untuk tidak ketinggalan trend.
Dalam ranah politik, oposisi
di negara di Indonesia tidak banyak memegang peran penting dalam menaikkan alternatif
pemikiran untuk bisa memberikan alternatif gagasan. Namun demikian bisa kita
lihat ada perkembangan ke arah positif dari masa Orde Baru. Pada masa Soeharto
kita tidak bisa menemukan adanya oposisi karena kekuatan mereka ditekan. Tetapi
sejak adanya reformasi kita bisa melihat peta politik lebih memungkinkan adanya
oposisi. PDIP sejak menjadi partai penguasa pada pemilu 1999 beralih menjadi
partai oposisi selama kurung waktu 10 tahun terakhir pada masa pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono. Partai oposisi di Indonesia kerap kali menempatkan
diri berada paling depan dengan program-program yang populis di mata rakyat.
Bisa dikatakan setiap kali ada program atau kebijakan pemerintah yang tidak
populis di mata rakyat, partai oposisi pasti akan berusaha merepresentasikan
masyarakat dengan menolak kebijakan tersebut. Tetapi dalam dalam prosesnya
tidak banyak alternatif yang diberikan oleh partai oposisi. Pragmatisme untuk
bisa mendapatkan perhatian dari masyarakat lebih besar dibandingkan niat untuk
memberikan alternatif kebijakan lain. Seperti contohnya pada kasus kenaikan
harga BBM bersubsidi belum lama ini. Partai oposisi cenderung ingin menonjolkan
sikapnya yang menentang kebijakan tersebut karena menyengsarakan rakyat. Tetapi
tidak banyak yang menyuarakan alternatif kebijakan untuk mengganti saran yang
diberikan oleh pemerintah yang berkuasa.
Pemikiran Marcuse yang
sangat merindukan kembalinya rasionalitas manusia tersebut sangat dikagumi oleh
kalangan hippies di Amerika Serikat
dan para akademisi Kiri Baru. Orisinalitas dan keinginan menjadi ‘manusia
bebas’ dikagumi dari pemikiran Herbert Marcuse. Seperti kita ketahui, kaum hippies dikenal sebagai kelompok orang
yang ‘tidak biasa’ di tengah masyarakat dan begitu menjunjung tinggi imajinasi.
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok ini dekat dengan minum-minuman dan
ganja yang bisa memberikan mereka imajinasi yang tinggi. Musik yang mereka
dengarkan adalah yang termasuk dalam genre psychedelic
rock yang terkenal pada periode 1960-an. Mereka memiliki ciri tersendiri
yang khas dan tidak mau mengikuti trend
yang ada.
Menarik untuk melihat
bagaimana pemikiran Marcuse dalam konteks sosial-politik saat ini. Banyak
nilai-nilai yang terbukti di masyarakat modern kita. Meski demikian tidak
sedikit pemikir yang beranggapan bahwa pemikiran Marcuse ini cenderung utopis.
Termasuk bahwa kepercayaannya bahwa akan ada kelompok yang akan memperjuangkan
revolusi untuk menghilangkan pola kehidupan kapitalistik, dimana ia mempercayakannya
kepada kaum seniman dan akademisi Kiri Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar