Rabu, 28 November 2012

KETIKA SOSIAL DIRENDAHKAN OLEH ALAM

Kita sering mendengar bahwa masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Setiap orang akan mulai menemukan jati diri maupun arah hidup saat duduk di bangku SMA. Usia yang mulai condong ke dewasa mulai menjadi hal yang sangat menarik dalam meniti tubuh yang mulai dirasa perlu untuk didandani sesuai arah mode yang diinginkan. Kenakalan-kenakalan mulai banyak menyapa dan dengan mengalir persahabatan terajut disana. Dan di masa itu pula ada sebuah saat dimana kita memilih sebuah pilihan yang cukup menentukan arah hidup kita nantinya di Indonesia. Itu adalah pemilihan jurusan.


IPA, IPS, atau Bahasa kalau ada. Jurusan-jurusan itu memisahkan kita di bangku SMA menjadi golongan-golongan. Kenapa sebelumnya saya katakan bahwa ini menentukan arah hidup kita di Indonesia adalah karena kita dipaksa oleh negara untuk memilih antara jurusan-jurusan itu. Mayoritas saat ini jurusan yang ada adalah IPA dan IPS di setiap SMA. Ya, kita dipaksa untuk memilih. Di usia yang masih belia dan sedang dalam fase dimana keragu-raguan dalam memilih sebuah keputusan masih sangat tinggi kita harus memilih sebuah keputusan untuk hidup kita. Masalahnya kemudian timbul ketika terjadi ketimpangan dalam jurusan-jurusan tersebut.

Ketimpangan pertama ada dalam lingkup jurusan universitas yang bisa diambil dari anak IPA dan IPS itu. Disini diskriminasi sudah dimulai. Anak IPS hanya bisa mengambil jurusan-jurusan yang masih berada dalam lingkup ilmu sosial. Sebutlah fakultas seperti fakultas hukum, ekonomi, sosial politik, atau sastra. Namun anak IPA seperti mendapatkan golden ticket karena selain bisa memilih jurusan dari cabang ilmu sains seperti fakultas teknik dan kedokteran misalnya, bisa memilih juga fakultas-fakultas lain di luar lingkup ilmu sains. Anak IPA bisa dengan bebas masuk fakultas ekonomi, hukum, atau sosial-politik yang dasarnya adalah ilmu sosial. Hal ini memulai ketimpangan pendangan antara mereka yang anak IPA dan anak IPS.

Mungkin anda yang sudah melewati masa SMA pernah mengalami saat dimana orangtua menyuruh kita masuk jurusan IPA karena hal di atas tadi. Dengan kelebihan anak IPA yang bisa memilih semua jurusan yang diinginkannya maka orangtua pun merasa anak IPS berada satu level di bawah IPA. Pemikiran orangtua adalah hasil dari peraturan tersebut dan anak IPS menjadi korban karenanya. Pandangan ini telah bertahan lama dan mengakar di pola pikir orangtua bahwa anak IPA lebih baik dibanding anak IPS. Seorang anak akan mendapat tekanan untuk mendapatkan jurusan IPA. Sebuah tekanan yang membuat jurusan IPS semakin sulit dinilai secara objektif.

Padahal pembagian itu pada dasarnya memisahkan mereka yang memiliki kompetensi di pelajaran IPA dan mereka yang di pelajaran IPS atau setidaknya memiliki ketertarikan lebih terhadap salah satu jurusan itu. Namun sekarang ini oemisahan itu lebih diartikan sebagai si pintar dan si bodoh. Meski mungkin tidak sampai dikatakan si bodoh namun pengertia terhadap jurusan IPS sering sebagai mereka yang tidak lebih pintar dari jurusan IPA. Seringkali juga di sekolah-sekolah standar untuk masuk jurusan IPA lebih tinggi dibandingkan dengan jurusan IPS sehingga ada stereotype yang timbul kemudian bahwa memang anak IPS adalah mereka yang nilainya lebih kurang dibandingkan dengan jurusan IPA. Hal ini tentu merupakan bentuk dari sebuah diskriminasi yang terjadi terhadap jurusan IPS.

Selain itu jumlah kelas juga bisa mendukung stereotype tersebut. Sebagai contoh saya ambil dari SMA saya sendiri. Dari 6 kelas yang ada dalam satu angkatan saya, kelas IPS hanya mendapat jatah 1 kelas. Rata-rata di setiap angkatan jurusan IPS tidak akan lebih dari 2 kelas. Dari jumlah tersebut sangat jelas terlihat bahwa anak-anak didorong secara tidak langsung untuk masuk ke jurusan IPA dan menomorduakan jurusan IPS. Meskipun bisa saja dalam sekolah tersebut memang secara umum kompetensi ke arah pelajaran IPA lebih banyak dikuasai sebagian besar siswa. Namun jika kita mengambil sudut pendang orangtua maka jumlah kelas IPS yang sedikit itu bisa semakin membawa pengertian bahwa kelas IPS adalah kelas 'buangan'. Pelajaran IPS kemudian dianggap lebih mudah ketimbang pelajaran IPA. Meskipun sebenarnya untuk masuk jurusan tertentu mata pelajaran wajib jurusan harus mendapatkan standar yang cukup sehingga kalau ingin masuk IPA berarti nilai IPA yang harus baik dan masuk jurusan IPS berarti nilai IPS yang harus baik. Pengertian itu tidak lagi dipandang dan langsung mengartikan bahwa IPS lebih rendah atau setidaknya lebih mudah ketimbang IPA.

Jika dilihat dari cara berpikir memang ada perbedaan yang bisa dilihat. Anak jurusan IPA terbiasa mengedepankan logika berpikir dalam menyelesaikan sebuah masalah. Anak IPS akan terlebih dahulu mengedepankan aspek sosialnya. Ini disebabkan oleh mata pelajaran yang memang menuntun pola berpikir mereka yang demikian. Bisa saja itu adalah pandangan segelintir orangtua namun belum bisa membela mereka yang memang memiliki minat di pelajara IPS.

Harus dijelaskan secara lebih baik antara pemisahan jurusan IPA dan IPS di SMA. Ini untuk meminimalisir pandangan yang buruk terhadap jurusan IPS. Mereka yang ada di jursan IPS seharusnya adalah mereka yang memang secara sadar tertarik atau memiliki minat terhadap jurusan IPS dan punya tujuan karir yang memang berasal dari cabang ilmu sosial. Harus dihindari ada lagi anak IPS yang masuk jurusan IPS karena tidak bisa masuk jurusan IPA karena faktor nilai. Begitu juga dengan mereka yang ada di dalam jurusan IPA, jangan sampai mereka memilih jurusan IPA hanya karena tidak ingin dibilang 'bodoh' kalau masuk jurusan IPS. Memilih jurusan harus dihindarkan dari tekanan yang berasal dari penilaian subjektif semata. Kalau memang sistem pemisahan jurusan itu akan terus diterapkan maka para siswa dan orangtua harus diberikan pencerdasan terhadap pilihan yang akan diambil. 

Tidak adil rasanya melihat cita-cita seseorang dibatasi sejak mereka masuk SMA. Ada sahabat saya yang memang memiliki bakat di bidang IT dan memang tertarik untuk kuliah di bidang IT atau engineering. Namun di SMA ia tidak sanggup mendapatkan nilaiyang cukup untuk masuk jurusan IPA sehingga ia harus masuk jurusan IPS. Ia yang memang memiliki minat dan cita-cita tidak menyerah terhadap keterbatasannya itu dan melanjutkan kuliahnya di luar negeri yang tidak memandang ia berasal dari jurusan mana. Itu adalah contoh bagaimana masih ada cara buat anda yang berada di jurusan IPS untuk tetap mendapatkan studi di bidang science atau yang lainnya yang tidak bisa anda dapatkan di Indonesia ini hanya karena anda jurusan IPS.

Untuk anda yang masih SMA dan baru akan memilih jurusan di tahun depan, persiapkan diri anda dan pikirkanlah matang-matang terhadap pilihan yang akan anda ambil. Memilih jurusan harus ditekankan pada minat anda karena memang kita ditekan untuk langsung memilih di saat kita masih sangat hijau dan belum terlalu mengerti akan karir yang akan kita ambil. Untuk anda yang memiliki anak atau adik yag akan segera memilih jurusan bimbinglah mereka dan sebisa mungkin berpikir secara terbuka tentang kedua jurusan tersebut. Mungkin pandangan terhadap jurusan IPS adalah proses yang membutuhkan hasil yang baik agar pandangan buruk bisa hilang. Produk-produk siswa IPS harus menunjukkan kompetensi dan saya saing mereka untuk juga bisa meningkatkan nilai terhadap jurusan mereka. IPA atau IPS adalah sebuah dilema di masa SMA, meskipun bagaimanapun juga ini hanya opini saya.  

2 komentar:

  1. kata orang pelajaran IPS lebih mudah, dari pada IPA
    hal itu karena mereka belum pernah merasakan susahnya untuk bersaing diantara banyak orang yang pintar IPS, IPS cakupan materinya sangat luas dan lebih luas dari pada IPA, IPS itu rumit menurut saya, mungkin karena saya kurang memahaminya :)
    tapi menurut saya IPS itu sangat bagus...
    terima kasih infonya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang sebenarnya tidak ada yang lebih mudah. Semuanya punya kesulitan dan kegunaan masing-masing. Terimakasih komentarnya ya :D

      Hapus