Bagaimana pandangan
Will Kymlicka atas multikulturalisme bisa kita lihat pada buku karangannya, Multicultural Citizenship (1995). Dalam
tulisannya ia mencoba memaparkan bahwa pendekatan lama dalam melihat
multikulturalisme sudah tidak begitu relevan dalam menjawab masalah dalam isu
kontemporer. Itu disebabkan karena solusi dari masalah-masalah multikultural
kerap kali berujung pada sudut pandang pihak mayoritas semata.
Will Kymlicka cenderung
tidak ingin menggunakan kata multikulturalisme dalam menjelaskan fenomena yang
terjadi di dunia saat ini. Ia cenderung lebih suka menggunakan konsep multination dan polyethnic. Konsep bangsa (nation)
yang digunakannya lebih disamaartikan sebagai sebuah masyarakat atau pun
kebudayaan tertentu yang sudah memiliki sejarah dan teritorial tempat mereka
tinggal. Bangsa tadi didasarkan pada kesamaan historis serta adat istiadat yang
sama. Di dunia banyak sekali negara yang memiliki banyak bangsa yang
menghasilkan bentuk negara multination.
Ia cenderung tidak menggunakan konsep culture
dalam pembahasan negara karena konsep ini dianggap masih cenderung abstrak dan
biasa digunakan hanya untuk membedakan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Dengan demikian culture lingkupnya
lebih luas. Ia mencontohkan dengan melihat pada bangsa Eropa. Kita bisa saja
mengatakan bahwa negara Eropa berasal dari culture
yang sama karena memiliki kesamaan-kesamaan dalam masyarakatnya, meskipun
sebenarnya dalam tiap negara berasal dari bangsa yang berbeda. Ia juga
mencontohkan pada orang-orang homoseksual yang memiliki culture yang sama. Sehingga ia melihat konsep nation atau bangsa dalam hal ini bisa lebih spesifik dalam
menjelaskan fenomena dalam suatu negara karena ada unsur historis serta
teritorinya. Dalam keadaan dimana tiap-tiap bangsa yang ada di dalam suatu
negara menerima dengan sukarela persatuan sebagai sebuah kebutuhan bersama,
terbentuklah multination state.
Selain bangsa yang memang telah berada di teritorial negara tersebut dari awal,
ada juga imigran yang datang sebagai penduduk di sebuah negara. Mereka datang
tanpa adanya basis tempat dan keturunan dari bangsa di negara tersebut. Negara
yang memiliki kelompok imigran inilah yang disebut Will Kymlicka sebagai Polyethnic.
Akhir abad 20 adalah
masa yang disebutnya sebagai ‘the age of
migration’. Pada masa ini banyak sekali negara-negara yang kedatangan
migran-migran. Ini menyebabkan tantangan baru pada tiap negara yang
menghadapinya karena akan semakin banyak permasalahan etnik yang muncul.
Pembahasan terhadap hak-hak kaum migran dan etnik minoritas juga semakin gencar
setelah Cold War berakhir. Pembelahan
antara multination dan polyethnic
dari Willkymlicka ini dengan demikian bisa membantu kita menganalisa kelompok
imigran tersebut.
Will Kymlicka
menggunakan apa yang terjadi di Canada sebagai contoh bagaimana kita melihat
bahwa sebuah negara sebenarnya bisa menjadi multination
sekaligus polyethnic. Sebelum imigran
datang, Canada telah memiliki keberagaman bangsa, baik itu orang-orang lokal,
Inggris maupun Prancis. Namun kondisi itu ditambah dengan kehadiran banyak
migran asing yang menetap disana. Yang menarik adalah bahwa pemerintah Canada
memberikan perhatian kepada kedua kelompok tersebut. Tidak hanya hak-hak bangsa
yang telah berada lebih dahulu di negara tersebut, namun pemerintah juga
memberikan akomodasi kebijakan kepada para migran-migran.
Sering terjadi para
migran yang datang ke suatu negara dipaksa untuk melakukan asimilasi. Mereka
dipaksa untuk bisa mempergunakan budaya yang telah ada di negara tersebut dari
unsur mayoritas. Kebanyakan migran-migran di berbagai negara tidak
mempersoalkan itu dan turut belajar kebudayaan, termasuk paling penting bahasa,
dari negara yang mereka datangi dan tinggali untuk seterusnya. Tetapi ada pula
migran yang menolak untuk melakukan asimilasi dan tetap mempergunakan
kebudayaan aslinya. Bahkan ada yang menolak untuk mengganti bahasa mereka.
Dalam pandangan Will
Kymlicka para migran ini tidak masuk dalam kategori bangsa di negara yang
mereka datangi. Bahkan mereka itu berbeda dengan kelompok minoritas. Minoritas
diartikan sebagai kelompok bangsa yang telah terpinggirkan karena adanya bangsa
lain yang lebih mendominasi. Mereka bukan pendatang namun merupakan penduduk
asli di tanah mereka. Contoh paling mudah adalah suku Indian yang justru menjadi
kelompok minoritas di tanah Amerika. Kelompok ini kebanyakan akan tetap
diakomodir kepentingannya oleh pemerintah. Para imigran yang datang ke sebuah
negara bisa berkembang menjadi sebuah kelompok minoritas. Itu bisa berubah
ketika ada keadaan dimana mereka telah memiliki kekuatan untuk berpolitik dan
mengatur hidup mereka sendiri (self-governing),
atau setidaknya ada tuntutan untuk hal-hal tersebut.
Baik unsur minoritas
maupun kelompok migran menjadi fokus dalam membahas keberagaman di negara
modern. Salah satu hal pentingnya adalah bagaimana Will Kymlicka ingin
memberikan perspektif baru bagaimana memperjuangkan hak mereka, dalam sebuah
sistem demokrasi liberal, bercermin dari apa yang telah dilakukan di Canada.
Ada tiga hal pokok yang menurutnya penting untuk diperjuangkan dalam budaya
demokrasi terhadap kelompok-kelompok di atas. Pertama, self–government rights. Masyarakat minoritas bisa memperjuangkan
haknya untuk bisa mengatur diri mereka sendiri. Kymlicka melihat bahwa sistem
federal bisa menjadi salah satu solusi karena kelompok minoritas dapat mengatur
diri mereka tanpa dipengaruhi oleh kelompok yang lebih besar. Kedua, polyethnic rights. Disini fokusnya
adalah bagaimana pemerintah memberikan kebebasan kepada para migran untuk
menggunakan kebudayaan mereka yang berbeda dengan kebudayaan lokal atau pun
mayoritas. Termasuk didalamnya adalah menggunakan atribut agama yang menjadi
minoritas di negara tersebut serta simbol-simbol lainnya tanpa mempengaruhi hak
ekonomi dan sosial-politik mereka di masyarakat. Yang terakhir adalah special representation rights. Dimana
pada akhirnya kelompok minoritas, baik secara budaya, gender, keterbatasan
fisik, agama, memerlukan hak untuk mengikutsertakan representasi dari
kelompoknya dalam parlemen. Dengan demikian kelompok tersebut bisa secara
langsung memperjuangkan hak mereka secara politik.
Hal menarik lainnya dari
pandangan Will Kymlicka adalah penilaiannya bahwa perjuangannya terhadap kaum
minoritas bisa berhasil hanya ketika masyarakatnya mengerti nilai dari
liberalisme. Karena menurutnya perjuangan akan kebebasan hak dari kaum
minoritas ini adalah buah dari pemikiran liberal. Kemudian kita bisa melihat
apakah masyarakat Indonesia sendiri sudah siap dengan konsep ‘liberal’ itu
sendiri. Seperti kita ketahui banyak negara , termasuk Indonesia, yang masih cenderung
anti terhadap isu yang berkaitan dengan liberalisme karena takut dan tidak mau
menjadi Barat. Padahal nilai-nilai kebebasan yang bisa diperjuangkan tersebut
ada pada paham liberal. Menurut Will Kymlicka yang harus dilakukan adalah
sosialisasi nilai tersebut secara halus ke masyarakat. Yang harus melakukannya
adalah kelompok-kelompok dalam negara tersebut yang memang telah sadar akan
kepentingan minoritas dan nilai kebebasan tadi. Tidak bisa dengan intervensi
dari negara Barat yang serta merta langsung ingin memasukkan liberalisme pada
negara lain. Bila kita mengutip dari tokoh liberal seperti John Locke,
masyarakat demokratis bisa tercapai hanya ketika masyarakat tersebut telah
mengetahui hak-hak mereka sebagai warga negara. Dalam akhir buku Multicultural Citizenship (1995), Will
Kymlicka berargumen bahwa liberalisme harus bisa memastikan adanya keadilan
antar kelompok , serta kebebasan dan keadilan di dalam kelompok.
Setelah melihat pemikiran
Kymlicka di atas, bagaimana kita memandang multikulturalisme di Indonesia? Bisakah
kita menjadi seperti Canada? Dilihat dari komposisinya, kita telah memiliki banyak
suku bangsa serta etnis Cina sebagai bangsa yang dianggap sebagai pendatang atau
imigran. Sehingga sebenarnya menarik apabila kita bisa menarik pandangan tokoh ini
untuk bisa melihat permasalahan ras dan etnis di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar