Selasa, 15 April 2014

MULTIKULTURALISME KYMLICKA: MINORITAS DAN IMIGRAN

Bagaimana pandangan Will Kymlicka atas multikulturalisme bisa kita lihat pada buku karangannya, Multicultural Citizenship (1995). Dalam tulisannya ia mencoba memaparkan bahwa pendekatan lama dalam melihat multikulturalisme sudah tidak begitu relevan dalam menjawab masalah dalam isu kontemporer. Itu disebabkan karena solusi dari masalah-masalah multikultural kerap kali berujung pada sudut pandang pihak mayoritas semata.


Will Kymlicka cenderung tidak ingin menggunakan kata multikulturalisme dalam menjelaskan fenomena yang terjadi di dunia saat ini. Ia cenderung lebih suka menggunakan konsep multination dan polyethnic. Konsep bangsa (nation) yang digunakannya lebih disamaartikan sebagai sebuah masyarakat atau pun kebudayaan tertentu yang sudah memiliki sejarah dan teritorial tempat mereka tinggal. Bangsa tadi didasarkan pada kesamaan historis serta adat istiadat yang sama. Di dunia banyak sekali negara yang memiliki banyak bangsa yang menghasilkan bentuk negara multination. Ia cenderung tidak menggunakan konsep culture dalam pembahasan negara karena konsep ini dianggap masih cenderung abstrak dan biasa digunakan hanya untuk membedakan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dengan demikian culture lingkupnya lebih luas. Ia mencontohkan dengan melihat pada bangsa Eropa. Kita bisa saja mengatakan bahwa negara Eropa berasal dari culture yang sama karena memiliki kesamaan-kesamaan dalam masyarakatnya, meskipun sebenarnya dalam tiap negara berasal dari bangsa yang berbeda. Ia juga mencontohkan pada orang-orang homoseksual yang memiliki culture yang sama. Sehingga ia melihat konsep nation atau bangsa dalam hal ini bisa lebih spesifik dalam menjelaskan fenomena dalam suatu negara karena ada unsur historis serta teritorinya. Dalam keadaan dimana tiap-tiap bangsa yang ada di dalam suatu negara menerima dengan sukarela persatuan sebagai sebuah kebutuhan bersama, terbentuklah multination state. Selain bangsa yang memang telah berada di teritorial negara tersebut dari awal, ada juga imigran yang datang sebagai penduduk di sebuah negara. Mereka datang tanpa adanya basis tempat dan keturunan dari bangsa di negara tersebut. Negara yang memiliki kelompok imigran inilah yang disebut Will Kymlicka sebagai Polyethnic.
Akhir abad 20 adalah masa yang disebutnya sebagai ‘the age of migration’. Pada masa ini banyak sekali negara-negara yang kedatangan migran-migran. Ini menyebabkan tantangan baru pada tiap negara yang menghadapinya karena akan semakin banyak permasalahan etnik yang muncul. Pembahasan terhadap hak-hak kaum migran dan etnik minoritas juga semakin gencar setelah Cold War berakhir. Pembelahan antara multination dan polyethnic dari Willkymlicka ini dengan demikian bisa membantu kita menganalisa kelompok imigran tersebut.    
Will Kymlicka menggunakan apa yang terjadi di Canada sebagai contoh bagaimana kita melihat bahwa sebuah negara sebenarnya bisa menjadi multination sekaligus polyethnic. Sebelum imigran datang, Canada telah memiliki keberagaman bangsa, baik itu orang-orang lokal, Inggris maupun Prancis. Namun kondisi itu ditambah dengan kehadiran banyak migran asing yang menetap disana. Yang menarik adalah bahwa pemerintah Canada memberikan perhatian kepada kedua kelompok tersebut. Tidak hanya hak-hak bangsa yang telah berada lebih dahulu di negara tersebut, namun pemerintah juga memberikan akomodasi kebijakan kepada para migran-migran.
Sering terjadi para migran yang datang ke suatu negara dipaksa untuk melakukan asimilasi. Mereka dipaksa untuk bisa mempergunakan budaya yang telah ada di negara tersebut dari unsur mayoritas. Kebanyakan migran-migran di berbagai negara tidak mempersoalkan itu dan turut belajar kebudayaan, termasuk paling penting bahasa, dari negara yang mereka datangi dan tinggali untuk seterusnya. Tetapi ada pula migran yang menolak untuk melakukan asimilasi dan tetap mempergunakan kebudayaan aslinya. Bahkan ada yang menolak untuk mengganti bahasa mereka.
Dalam pandangan Will Kymlicka para migran ini tidak masuk dalam kategori bangsa di negara yang mereka datangi. Bahkan mereka itu berbeda dengan kelompok minoritas. Minoritas diartikan sebagai kelompok bangsa yang telah terpinggirkan karena adanya bangsa lain yang lebih mendominasi. Mereka bukan pendatang namun merupakan penduduk asli di tanah mereka. Contoh paling mudah adalah suku Indian yang justru menjadi kelompok minoritas di tanah Amerika. Kelompok ini kebanyakan akan tetap diakomodir kepentingannya oleh pemerintah. Para imigran yang datang ke sebuah negara bisa berkembang menjadi sebuah kelompok minoritas. Itu bisa berubah ketika ada keadaan dimana mereka telah memiliki kekuatan untuk berpolitik dan mengatur hidup mereka sendiri (self-governing), atau setidaknya ada tuntutan untuk hal-hal tersebut.
Baik unsur minoritas maupun kelompok migran menjadi fokus dalam membahas keberagaman di negara modern. Salah satu hal pentingnya adalah bagaimana Will Kymlicka ingin memberikan perspektif baru bagaimana memperjuangkan hak mereka, dalam sebuah sistem demokrasi liberal, bercermin dari apa yang telah dilakukan di Canada. Ada tiga hal pokok yang menurutnya penting untuk diperjuangkan dalam budaya demokrasi terhadap kelompok-kelompok di atas. Pertama, self–government rights. Masyarakat minoritas bisa memperjuangkan haknya untuk bisa mengatur diri mereka sendiri. Kymlicka melihat bahwa sistem federal bisa menjadi salah satu solusi karena kelompok minoritas dapat mengatur diri mereka tanpa dipengaruhi oleh kelompok yang lebih besar. Kedua, polyethnic rights. Disini fokusnya adalah bagaimana pemerintah memberikan kebebasan kepada para migran untuk menggunakan kebudayaan mereka yang berbeda dengan kebudayaan lokal atau pun mayoritas. Termasuk didalamnya adalah menggunakan atribut agama yang menjadi minoritas di negara tersebut serta simbol-simbol lainnya tanpa mempengaruhi hak ekonomi dan sosial-politik mereka di masyarakat. Yang terakhir adalah special representation rights. Dimana pada akhirnya kelompok minoritas, baik secara budaya, gender, keterbatasan fisik, agama, memerlukan hak untuk mengikutsertakan representasi dari kelompoknya dalam parlemen. Dengan demikian kelompok tersebut bisa secara langsung memperjuangkan hak mereka secara politik.
Hal menarik lainnya dari pandangan Will Kymlicka adalah penilaiannya bahwa perjuangannya terhadap kaum minoritas bisa berhasil hanya ketika masyarakatnya mengerti nilai dari liberalisme. Karena menurutnya perjuangan akan kebebasan hak dari kaum minoritas ini adalah buah dari pemikiran liberal. Kemudian kita bisa melihat apakah masyarakat Indonesia sendiri sudah siap dengan konsep ‘liberal’ itu sendiri. Seperti kita ketahui banyak negara , termasuk Indonesia, yang masih cenderung anti terhadap isu yang berkaitan dengan liberalisme karena takut dan tidak mau menjadi Barat. Padahal nilai-nilai kebebasan yang bisa diperjuangkan tersebut ada pada paham liberal. Menurut Will Kymlicka yang harus dilakukan adalah sosialisasi nilai tersebut secara halus ke masyarakat. Yang harus melakukannya adalah kelompok-kelompok dalam negara tersebut yang memang telah sadar akan kepentingan minoritas dan nilai kebebasan tadi. Tidak bisa dengan intervensi dari negara Barat yang serta merta langsung ingin memasukkan liberalisme pada negara lain. Bila kita mengutip dari tokoh liberal seperti John Locke, masyarakat demokratis bisa tercapai hanya ketika masyarakat tersebut telah mengetahui hak-hak mereka sebagai warga negara. Dalam akhir buku Multicultural Citizenship (1995), Will Kymlicka berargumen bahwa liberalisme harus bisa memastikan adanya keadilan antar kelompok , serta kebebasan dan keadilan di dalam kelompok.

Setelah melihat pemikiran Kymlicka di atas, bagaimana kita memandang multikulturalisme di Indonesia? Bisakah kita menjadi seperti Canada? Dilihat dari komposisinya, kita telah memiliki banyak suku bangsa serta etnis Cina sebagai bangsa yang dianggap sebagai pendatang atau imigran. Sehingga sebenarnya menarik apabila kita bisa menarik pandangan tokoh ini untuk bisa melihat permasalahan ras dan etnis di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar