Selasa, 09 September 2014

CHANTAL MOUFFE DAN PLURALISME AGONISTIK

Chantal Mouffe berusaha memberikan perspektif dalam memahami demokrasi. Ide utama Mouffe, dalam bukunya The Democratic Paradox, berkaitan dengan konsep agonistic pluralism. Terkait hal tersebut, ada dua konsep penting dari pemikiran Mouffe yang harus dipahami terlebih dahulu yaitu adversary dan relasi agonistik. Konsep adversary dipakai Mouffe untuk mengganti konsep enemy dalam kehidupan politik. Dalam demokrasi liberal, lawan politik atau oposisi sebenarnya memiliki landasan yang sama yang ingin dicapai, yaitu kebebasan dan keadilan bagi semua. Namun untuk mencapainya kerap kali cara-cara dan pemikiran politik yang dipakai sering berseberangan. Mereka yang berlawanan tersebut pada prakteknya sering dipandang sebagai musuh yang menimbulkan relasi antagonistik. Mouffe berpendapat bahwa seharusnya mereka tidak perlu diperlakukan sebagai musuh, melainkan sebagai legitimate enemy. Merekalah yang disebut Mouffe sebagai adversary.[1] 

Apa yang disebut sebagai relasi agonistik adalah relasi yang terbentuk antar adversary. Menurut Mouffe, demokrasi liberal itu ada sebagai cara untuk mengubah relasi antagonistik menjadi agonistik. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa pada dasarnya semua pihak dalam demokrasi liberal memiliki dasar tujuan yang sama, sehingga tidak perlu untuk mengeliminasi pihak lain yang berbeda pikiran. Memandang pihak lain sebagai adversary adalah penting untuk mengakui keberadaan mereka dalam kekuasaan yang terbentuk. Yang harus diberikan kepada legitimate enemy tersebut adalah akses yang terbuka dalam memberikan idenya dan ruang yang cukup dalam berpolitik. Dari definisi-definisi yang telah disampaikan di atas, ada beberapa poin yang penulis rasa dapat menjadi perdebatan dari pemikiran utama Mouffe untuk memperjuangkan relasi agonistik tersebut.

Konsep adversary dari Mouffe menjadi salah satu yang paling bisa diperdebatkan. Politik pada dasarnya memang memuat hubungan antagonistik. Relasi tersebut terjadi dalam pola perebutan kekuasaan. Meskipun kita memandang pihak yang berbeda pandangan sebagai adversary, tetap saja pada akhirnya kita akan berhadapan dengan perbedaan pendapat yang bisa menjadi awal terjadinya konflik. Sehingga kita tidak bisa menafikkan bahwa relasi antagonistik bisa kita temukan di dalam relasi agonistik itu sendiri.

Konflik yang ada dalam sebuah negara di satu sisi bisa dianggap sebagai sebuah konsekuensi dari kondisi plural masyarakat. Seperti contohnya negara seperti Indonesia dengan masyarakat multikulturalnya. Kesempatan untuk terjadinya konflik antar ras, etnis, atau pun agama akan selalu ada. Bila sewaktu-waktu terjadi konflik antar kelompok, maka penyelesaiannya seringkali dengan cara konsensus yang didahului oleh musyawarah. Dalam kondisi ini tentu akan ada pihak yang lebih dirugikan untuk tercapainya perdamaian. Karena itu Mouffe cenderung tidak menerima konsensus sebagai sebuah bentuk demokrasi. Ia berpandangan akan selalu ada pihak yang dieksklusikan dalam sebuah konsensus yang terjadi.

Mouffe berpendapat bahwa sebenarnya common good itu tidak bisa dicapai, atau dalam tataran yang lebih ekstrem bisa dikatakan tidak ada. Setiap kelompok yang berkuasa bisa mendefinisikan sendiri yang mana yang bisa disebut common good.[2] Padahal yang dirasa baik oleh satu individu belum tentu bisa diterima oleh individu lain. Sehingga dalam sebuah pencapaian konsensus akan ada pihak yang dieksklusikan. Sehingga menurut Mouffe konsensus yang terjadi dari demokrasi deliberatif adalah sebuah ‘conflictual consensus’ karena berasal dari sebuah relasi antagostik.[3] Meski demikian, Mouffe sendiri nyatanya belum bisa menggambarkan dengan jelas seperti apa bentuk konsensus yang ia anggap lebih tepat untuk bisa menghindari ‘conflictual consensus’ tadi.

Terkait dengan hal di atas, Mouffe memberikan pandangan baru dimana yang bisa menggerakkan masyarakat bukanlah common good melainkan collective passion. Ia mendefinisikan collective passion sebagai sesuatu yang bisa mendorong seseorang bertindak secara kolektif.[4] Passion inilah yang dianggap Mouffe menjadi kekurangan dari demokrasi agregatif. Meskipun demokrasi agregatif tidak berbicara mengenai common good, Mouffe menganggap bahwa tidak dimasukkannya passion dalam pandangan demokrasi ini menjadi kekurangan utamanya. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia seringkali mengidentifikasikan dirinya dengan Pancasila. Pancasila ini bisa menumbuhkan rasa nasionalisme dan menggerakkan mereka secara kolektif meskipun pada dasarnya masing-masing kelompok maupun individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Hal semacam ini, dalam kacamata Mouffe, yang lebih penting ketimbang mengejar common good, dan harus ada sebagai penyeimbang terhadap kepentingan individu.

Terkait pandangan Mouffe di atas, penulis menganggap sulit bagi kita untuk memisahkan antara common good dan collective passion. Masyarakat Indonesia bisa dipersatukan dengan membawa semangat Pancasila. Di sisi lain kesejahteraan,keadilan, dan keamanan bagi seluruh masyarakat , secara umum, adalah kebaikan yang ingin dicapai oleh Indonesia. Kedua hal itu adalah kesatuan yang sebenarnya bisa mempersatukan semua komponen masyarakat. Kritik Mouffe memang harus kita lihat dari perspektifnya terhadap kondisi demokrasi liberal saat ini. Ia memandang dengan sinis common good yang dirasa hanya merupakan interpretasi sepihak dari kelompok yang berkuasa.

Terlepas dari poin-poin tadi, penulis menilai bahwa kritik Mouffe terhadap demokrasi deliberatif dan agregatif sebenarnya adalah jalan menuju sebuah demokrasi radikal. Untuk menganalisanya kita dapat mengaitkannya dengan praktek pemilu yang terjadi di Indonesia pada tahun 2014. Indonesia penulis pilih karena secara sosiologis masyarakatnya sangat plural dan seringkali masalah etnosentrisme menjadi pemicu terjadinya konflik. Dengan kata lain, Indonesia memiliki banyak kepentingan yang perlu untuk diakomodir. Selain itu Indonesia menerapkan sistem demokrasi. Sebagai bentuk demokrasi, dilakukanlah pemilu yang rutin. Sebagai sistem pemilu, Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka. Sistem ini digunakan Indonesia setidaknya dalam penyelenggaraan dua pemilu terakhir. Bila kita mengambil kacamata Mouffe, ada lubang besar dari sistem pemilu ini terhadap nilai demokrasi itu sendiri.

Hal pertama yang harus kita lihat adalah bahwa sistem pemilu proporsional terbuka tidaklah bisa mengakomodir semua kelompok yang ada di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh para wakil yang dibagi-bagi berdasarkan wilayah geografis. Dengan pembagian itu berarti semua orang dari satu wilayah geografis dianggap memiliki satu kepentingan yang sama. Padahal di dalam satu wilayah itu sendiri terdapat banyak kelompok yang beraneka ragam mulai dari suku, ras, agama, dan status sosial yang berbeda. Ini adalah konsekuensi dari arus perpindahan penduduk yang tinggi antar daerah di Indonesia. Terlebih lagi, seorang calon wakil bahkan tidak semuanya berdomisili di daerah pemilihannya. Dengan demikian, tidak semua kepentingan kelompok bisa dengan efektif terakomodir.

Selain itu di dalam sistem pemilu ini terjadi persaingan yang sangat kuat antar calon wakil dari partai politik yang berbeda, bahkan dari partai politik yang sama. Hubungan antagostik telah terbentuk dari awal pemilu karena pola persaingan terbuka dengan banyaknya kontestan semacam ini. Persaingan tersebut menuntut para calon menggunakan modal yang besar untuk bersaing ketimbang wawasan maupun kemampuan untuk memperjuangkan kepentingan konstituen. Partai politik sendiri diuntungkan dengan sistem semacam ini. Mereka cenderung dapat ‘coba-coba’ dengan mengirim calon yang memiliki modal sosial maupun ekonomi yang besar. Setidaknya dari persaingan secara masif antar kader tersebut nama partai mereka bisa melonjak.

Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, demokrasi liberal menuntut adanya kebebasan dan keadilan. Namun yang terjadi seperti di Indonesia tadi, nyatanya tidak semua kepentingan kelompok memiliki akses terhadap kekuasaan. Dalam proses legislasi, seringkali sangat dipengaruhi oleh suara mayoritas yang ada di dalam parlemen. Persoalannya kemudian adalah tidak semua kelompok yang ada di dalam masyarakat memiliki wakil yang bisa memperdebatkan kebijakan yang dirumuskan. Dari awal terpilihnya para wakil, sudah terdapat kelompok-kelompok yang terkesklusikan secara politik. Ditambah lagi demokrasi sering diidentikkan dengan suara mayoritas.  Suara yang tereksklusikan ini yang sebenarnya menjadi perhatian utama Mouffe agar tidak dihilangkan eksistensinya. Mouffe menuntut adanya bentuk demokrasi yang memberikan kesempatan besar terhadap masing-masing kelompok untuk bisa otonom semaksimal mungkin.  Pandangan ini, bersama dengan Ernesto Laclau, yang ia sebut dengan demokrasi radikal.[5]

Wacana yang berusaha diangkat oleh Mouffe bisa kita lihat sebagai persoalan menuju demokrasi substansial. Bagaimana ia mencoba mengganti relasi antagonistik ke agonistik menjadi satu hal penting dalam membangun demokrasi itu sendiri. Demokrasi liberal adalah cara untuk bisa menciptakan keadilan dan kebebasan bagi seluruh pihak, bukan sebagai cara untuk menguasai pihak lain lewat memenangkan suara mayoritas. Yang perlu untuk dicari adalah sebuah alternatif sistem yang bisa digunakan untuk bisa mengakomodir seluruh kepentingan, kelompok maupun individu, yang ada di dalam masyarakat. Untuk hal ini kita bisa sedikit melihat pemikiran dari Will Kymlicka. Tokoh ini memberikan solusi yang dinamakan special representation rights.[6] Dalam representasi model ini kelompok minoritas, baik secara budaya, gender, keterbatasan fisik, atau pun agama, memiliki hak untuk mengikutsertakan representasi dari kelompoknya dalam parlemen. Dengan demikian kelompok tersebut bisa secara langsung memperjuangkan hak mereka secara politik.

Mouffe pada dasarnya ingin memberikan alternatif terhadap praktek demokrasi liberal yang terjadi saat ini. Secara umum ia melihat bahwa yang terjadi saat ini hanyalah konflik antagonistik antar pelaku politik. Padahal yang menjadi nilai dasar terbentuknya demokrasi liberal adalah perjuangan agar semua kepentingan bisa terakomodir. Dalam hal ini penulis sependapat dengan Mouffe. Tetapi yang perlu kita lihat kembali adalah solusi yang ditawarkan oleh Mouffe terhadap kondisi tersebut. Dalam buku The Democratic Paradox, secara umum Mouffe hanya bermain pada tataran filosofis. Seperti konsep adversary dan juga collective passion yang digunakannya. Pemikirannya itu masih harus diturunkan pada tataran sistem yang kongkret karena sistem pemilu yang ada saat ini masih membawa kita, pada akhirnya, ke relasi antagonistik. Di lain hal, sulit bagi kita memisahkan konsensus dari demokrasi itu sendiri.




[1] Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London-New York: Verso, 2000), hal.102.
[2] Ibid., hal. 104.
[3] Ibid., hal.103.
[4] Ibid., hal.103.
[5] Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy – Towards a Radical Democratic Politics  (London – New York: Verso, 2001), hal.167.
[6] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship (New York: Oxford University Press Inc., 1995), hal.31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar