Chantal
Mouffe berusaha memberikan perspektif dalam memahami demokrasi. Ide utama
Mouffe, dalam bukunya The Democratic Paradox, berkaitan dengan konsep
agonistic pluralism. Terkait hal
tersebut, ada dua konsep penting dari pemikiran Mouffe yang harus dipahami
terlebih dahulu yaitu adversary dan
relasi agonistik. Konsep adversary dipakai
Mouffe untuk mengganti konsep enemy
dalam kehidupan politik. Dalam demokrasi liberal, lawan politik atau oposisi
sebenarnya memiliki landasan yang sama yang ingin dicapai, yaitu kebebasan dan
keadilan bagi semua. Namun untuk mencapainya kerap kali cara-cara dan pemikiran
politik yang dipakai sering berseberangan. Mereka yang berlawanan tersebut pada
prakteknya sering dipandang sebagai musuh yang menimbulkan relasi antagonistik.
Mouffe berpendapat bahwa seharusnya mereka tidak perlu diperlakukan sebagai
musuh, melainkan sebagai legitimate enemy.
Merekalah yang disebut Mouffe sebagai adversary.[1]
Apa
yang disebut sebagai relasi agonistik adalah relasi yang terbentuk antar adversary. Menurut Mouffe, demokrasi
liberal itu ada sebagai cara untuk mengubah relasi antagonistik menjadi
agonistik. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa pada dasarnya semua pihak
dalam demokrasi liberal memiliki dasar tujuan yang sama, sehingga tidak perlu
untuk mengeliminasi pihak lain yang berbeda pikiran. Memandang pihak lain
sebagai adversary adalah penting
untuk mengakui keberadaan mereka dalam kekuasaan yang terbentuk. Yang harus
diberikan kepada legitimate enemy
tersebut adalah akses yang terbuka dalam memberikan idenya dan ruang yang cukup
dalam berpolitik. Dari definisi-definisi yang telah disampaikan di atas, ada
beberapa poin yang penulis rasa dapat menjadi perdebatan dari pemikiran utama
Mouffe untuk memperjuangkan relasi agonistik tersebut.
Konsep
adversary dari Mouffe menjadi salah
satu yang paling bisa diperdebatkan. Politik pada dasarnya memang memuat
hubungan antagonistik. Relasi tersebut terjadi dalam pola perebutan kekuasaan. Meskipun
kita memandang pihak yang berbeda pandangan sebagai adversary, tetap saja pada akhirnya kita akan berhadapan dengan perbedaan
pendapat yang bisa menjadi awal terjadinya konflik. Sehingga kita tidak bisa
menafikkan bahwa relasi antagonistik bisa kita temukan di dalam relasi
agonistik itu sendiri.
Konflik
yang ada dalam sebuah negara di satu sisi bisa dianggap sebagai sebuah
konsekuensi dari kondisi plural masyarakat. Seperti contohnya negara seperti
Indonesia dengan masyarakat multikulturalnya. Kesempatan untuk terjadinya
konflik antar ras, etnis, atau pun agama akan selalu ada. Bila sewaktu-waktu
terjadi konflik antar kelompok, maka penyelesaiannya seringkali dengan cara
konsensus yang didahului oleh musyawarah. Dalam kondisi ini tentu akan ada
pihak yang lebih dirugikan untuk tercapainya perdamaian. Karena itu Mouffe
cenderung tidak menerima konsensus sebagai sebuah bentuk demokrasi. Ia
berpandangan akan selalu ada pihak yang dieksklusikan dalam sebuah konsensus
yang terjadi.
Mouffe
berpendapat bahwa sebenarnya common good
itu tidak bisa dicapai, atau dalam tataran yang lebih ekstrem bisa dikatakan
tidak ada. Setiap kelompok yang berkuasa bisa mendefinisikan sendiri yang mana
yang bisa disebut common good.[2] Padahal
yang dirasa baik oleh satu individu belum tentu bisa diterima oleh individu
lain. Sehingga dalam sebuah pencapaian konsensus akan ada pihak yang
dieksklusikan. Sehingga menurut Mouffe konsensus yang terjadi dari demokrasi
deliberatif adalah sebuah ‘conflictual
consensus’ karena berasal dari sebuah relasi antagostik.[3]
Meski demikian, Mouffe sendiri nyatanya belum bisa menggambarkan dengan jelas
seperti apa bentuk konsensus yang ia anggap lebih tepat untuk bisa menghindari
‘conflictual consensus’ tadi.
Terkait
dengan hal di atas, Mouffe memberikan pandangan baru dimana yang bisa
menggerakkan masyarakat bukanlah common
good melainkan collective passion.
Ia mendefinisikan collective passion
sebagai sesuatu yang bisa mendorong seseorang bertindak secara kolektif.[4] Passion
inilah yang dianggap Mouffe menjadi kekurangan dari demokrasi agregatif.
Meskipun demokrasi agregatif tidak berbicara mengenai common good, Mouffe menganggap bahwa tidak dimasukkannya passion dalam pandangan demokrasi ini
menjadi kekurangan utamanya. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia seringkali
mengidentifikasikan dirinya dengan Pancasila. Pancasila ini bisa menumbuhkan
rasa nasionalisme dan menggerakkan mereka secara kolektif meskipun pada
dasarnya masing-masing kelompok maupun individu memiliki kepentingan yang
berbeda-beda. Hal semacam ini, dalam kacamata Mouffe, yang lebih penting
ketimbang mengejar common good, dan
harus ada sebagai penyeimbang terhadap kepentingan individu.
Terkait
pandangan Mouffe di atas, penulis menganggap sulit bagi kita untuk memisahkan
antara common good dan collective passion. Masyarakat Indonesia
bisa dipersatukan dengan membawa semangat Pancasila. Di sisi lain kesejahteraan,keadilan,
dan keamanan bagi seluruh masyarakat , secara umum, adalah kebaikan yang ingin
dicapai oleh Indonesia. Kedua hal itu adalah kesatuan yang sebenarnya bisa
mempersatukan semua komponen masyarakat. Kritik Mouffe memang harus kita lihat
dari perspektifnya terhadap kondisi demokrasi liberal saat ini. Ia memandang
dengan sinis common good yang dirasa hanya
merupakan interpretasi sepihak dari kelompok yang berkuasa.
Terlepas
dari poin-poin tadi, penulis menilai bahwa kritik Mouffe terhadap demokrasi deliberatif
dan agregatif sebenarnya adalah jalan menuju sebuah demokrasi radikal. Untuk
menganalisanya kita dapat mengaitkannya dengan praktek pemilu yang terjadi di
Indonesia pada tahun 2014. Indonesia penulis pilih karena secara sosiologis
masyarakatnya sangat plural dan seringkali masalah etnosentrisme menjadi pemicu
terjadinya konflik. Dengan kata lain, Indonesia memiliki banyak kepentingan
yang perlu untuk diakomodir. Selain itu Indonesia menerapkan sistem demokrasi. Sebagai
bentuk demokrasi, dilakukanlah pemilu yang rutin. Sebagai sistem pemilu,
Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka. Sistem ini digunakan
Indonesia setidaknya dalam penyelenggaraan dua pemilu terakhir. Bila kita
mengambil kacamata Mouffe, ada lubang besar dari sistem pemilu ini terhadap
nilai demokrasi itu sendiri.
Hal
pertama yang harus kita lihat adalah bahwa sistem pemilu proporsional terbuka
tidaklah bisa mengakomodir semua kelompok yang ada di dalam masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh para wakil yang dibagi-bagi berdasarkan wilayah geografis.
Dengan pembagian itu berarti semua orang dari satu wilayah geografis dianggap
memiliki satu kepentingan yang sama. Padahal di dalam satu wilayah itu sendiri
terdapat banyak kelompok yang beraneka ragam mulai dari suku, ras, agama, dan
status sosial yang berbeda. Ini adalah konsekuensi dari arus perpindahan
penduduk yang tinggi antar daerah di Indonesia. Terlebih lagi, seorang calon
wakil bahkan tidak semuanya berdomisili di daerah pemilihannya. Dengan demikian,
tidak semua kepentingan kelompok bisa dengan efektif terakomodir.
Selain
itu di dalam sistem pemilu ini terjadi persaingan yang sangat kuat antar calon
wakil dari partai politik yang berbeda, bahkan dari partai politik yang sama.
Hubungan antagostik telah terbentuk dari awal pemilu karena pola persaingan
terbuka dengan banyaknya kontestan semacam ini. Persaingan tersebut menuntut para
calon menggunakan modal yang besar untuk bersaing ketimbang wawasan maupun
kemampuan untuk memperjuangkan kepentingan konstituen. Partai politik sendiri
diuntungkan dengan sistem semacam ini. Mereka cenderung dapat ‘coba-coba’
dengan mengirim calon yang memiliki modal sosial maupun ekonomi yang besar. Setidaknya
dari persaingan secara masif antar kader tersebut nama partai mereka bisa
melonjak.
Seperti
yang telah diutarakan sebelumnya, demokrasi liberal menuntut adanya kebebasan
dan keadilan. Namun yang terjadi seperti di Indonesia tadi, nyatanya tidak
semua kepentingan kelompok memiliki akses terhadap kekuasaan. Dalam proses
legislasi, seringkali sangat dipengaruhi oleh suara mayoritas yang ada di dalam
parlemen. Persoalannya kemudian adalah tidak semua kelompok yang ada di dalam
masyarakat memiliki wakil yang bisa memperdebatkan kebijakan yang dirumuskan. Dari
awal terpilihnya para wakil, sudah terdapat kelompok-kelompok yang
terkesklusikan secara politik. Ditambah lagi demokrasi sering diidentikkan
dengan suara mayoritas. Suara yang
tereksklusikan ini yang sebenarnya menjadi perhatian utama Mouffe agar tidak
dihilangkan eksistensinya. Mouffe menuntut adanya bentuk demokrasi yang memberikan
kesempatan besar terhadap masing-masing kelompok untuk bisa otonom semaksimal
mungkin. Pandangan ini, bersama dengan
Ernesto Laclau, yang ia sebut dengan demokrasi radikal.[5]
Wacana
yang berusaha diangkat oleh Mouffe bisa kita lihat sebagai persoalan menuju demokrasi
substansial. Bagaimana ia mencoba mengganti relasi antagonistik ke agonistik
menjadi satu hal penting dalam membangun demokrasi itu sendiri. Demokrasi
liberal adalah cara untuk bisa menciptakan keadilan dan kebebasan bagi seluruh
pihak, bukan sebagai cara untuk menguasai pihak lain lewat memenangkan suara
mayoritas. Yang perlu untuk dicari adalah sebuah alternatif sistem yang bisa
digunakan untuk bisa mengakomodir seluruh kepentingan, kelompok maupun
individu, yang ada di dalam masyarakat. Untuk hal ini kita bisa sedikit melihat
pemikiran dari Will Kymlicka. Tokoh ini memberikan solusi yang dinamakan special representation rights.[6]
Dalam representasi model ini kelompok minoritas, baik secara budaya, gender,
keterbatasan fisik, atau pun agama, memiliki hak untuk mengikutsertakan
representasi dari kelompoknya dalam parlemen. Dengan demikian kelompok tersebut
bisa secara langsung memperjuangkan hak mereka secara politik.
Mouffe
pada dasarnya ingin memberikan alternatif terhadap praktek demokrasi liberal
yang terjadi saat ini. Secara umum ia melihat bahwa yang terjadi saat ini
hanyalah konflik antagonistik antar pelaku politik. Padahal yang menjadi nilai
dasar terbentuknya demokrasi liberal adalah perjuangan agar semua kepentingan
bisa terakomodir. Dalam hal ini penulis sependapat dengan Mouffe. Tetapi yang
perlu kita lihat kembali adalah solusi yang ditawarkan oleh Mouffe terhadap
kondisi tersebut. Dalam buku The Democratic Paradox, secara umum Mouffe
hanya bermain pada tataran filosofis. Seperti konsep adversary dan juga collective
passion yang digunakannya.
Pemikirannya itu masih harus diturunkan pada tataran sistem yang kongkret
karena sistem pemilu yang ada saat ini masih membawa kita, pada akhirnya, ke
relasi antagonistik. Di lain hal, sulit bagi kita memisahkan konsensus dari
demokrasi itu sendiri.
[2] Ibid., hal. 104.
[3] Ibid., hal.103.
[4] Ibid., hal.103.
[5] Ernesto
Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemony and
Socialist Strategy – Towards a Radical Democratic Politics (London – New York: Verso, 2001), hal.167.
[6] Will Kymlicka,
Multicultural
Citizenship
(New York: Oxford University Press Inc., 1995), hal.31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar