Si Anak Gerakan : “Gimana
sih lo! Ini nih lagi genting situasi masyarakat kita! Orde Baru udah mau balik
lagi gilak! Kok masih diem-diem aja lo?! Jangan apatis dong!
Si Jiwa Akademisi : “Apa
gunanya sih lo marah-marah kayak gitu? Lu kira kita apatis? Gak haruslah kita
teriak-teriak kayak gitu. Lebih baik sebagai mahasiswa kita tuh melakukan
pendidikan politik ke orang-orang di sekitar kita. Bikin tulisan tentang isu
ini. Bagiin ke orang-orang banyak. Itu lebih indah caranya sebagai peran kita
di dunia akademis.”
Si Anak Gerakan : “Apa
signifikansinya? Mahasiswa ya seharusnya perannya gak cuman di tataran
akademis. Kita yang belajar teori di kelas harusnya yang paling tahu kondisi
yang mengancam ini. Jadi ya kita yang harus berisik. Gak ada salahnya kita
turun ke jalan dan melakukan penekanan secara riil.”
Si Jiwa Akademisi : “Gak
usah sok jadi yang paling peduli dan sadar deh. Kalian gak pernah aja melihat
sisi yang lain yang bisa kita lakuin sebagai mahasiswa!”
Tak perlu dipedulikan siapa tokoh yang ada di atas. Kedua tokoh itu
hanyalah imajinasi saya semata. Namun yang pasti keduanya berada pada dua arus
yang berbeda. Seringkali keduanya tidak berada pada jalur yang sama. Padahal
dalam berbagai isu, keduanya memiliki posisi yang sama. Pertentangan antara
kedua arus itu yang menurut saya harus diatasi bila gerakan di kalangan
mahasiswa ingin benar-benar berjalan dengan baik. Khususnya dalam menghadapi
isu yang sedang hangat saat ini seperti UU Pilkada. Namun itu hanyalah salah
satu sekrup dari rangkaian yang lebih besar. Ancaman pemerintahan gaya Orde
Baru mewarnai isu UU Pilkada tersebut. Hal ini yang berusaha dilawan oleh
berbagai kalangan, termasuk mahasiswa.
Dalam hal ini saya ingin mengandaikan bahwa kondisi kedua arus, anak
gerakan dan akademis, pada posisi melawan UU Pilkada. Hal ini agar lebih
memudahkan dalam penggambaran perbedaan cara gerak. Sederhananya karena mereka
yang sudah mendukung UU Pilkada bisa dipastikan tidak ada lagi dorongan untuk
melawan.
Seringkali mereka yang disebut “anak gerakan” identik sebagai pihak yang
memegang kendali politik di kalangan mahasiswa-mahasiswi. Bila kita ingin
objektif, kelompok ini adalah mereka yang paling “berisik” di kampus dalam
menyuarakan sebuah gerakan melawan. Gerakan-gerakannya sebenarnya beraneka
ragam. Namun sifat gerakan konvensional dalam artian aksi massa tetap menjadi
bagian utama di dalamnya. Karena kelompok ini yang paling dominan, mereka
selalu selangkah lebih dahulu dalam menyikapi sebuah isu dibanding arus yang
lain. Yang menjadi menarik mereka yang bersuara keras ketika sebuah isu muncul,
seperti UU Pilkada, langsung diidentikkan berada di arus yang sama.
Di sisi yang lain mereka yang lebih memilih jalur akademis akan bergerak
dengan cara-cara yang lebih soft.
Cara-cara yang dipilih lebih moderat dengan banyak mengambil peran di
pendidikan politik di berbagai sarana diskusi dengan orang-orang di sekitar
mereka. Cara lain yang dilakukan adalah membuat tulisan-tulisan atau membuat
diskusi di kalangan sendiri. Mereka cenderung ingin mengambil jarak dengan
gerakan di arus anak gerakan. Dalam poin tertentu, mereka akan mengkritisi
gerakan di arus yang berlawanan dan menegasinya dengan cara-cara mereka.
Dengan perbedaan di atas tadi yang sering terjadi adalah sebuah konflik
yang tak kunjung usai. Padahal permasalahan utamanya adalah cara gerak saja
yang berbeda. Sikap yang dihasilkan bisa saja sama. Namun perbedaan itu
seringkali menghambat konsolidasi antar semua elemen mahasiswa saat ini. Tentu
saja kasus ini ada di banyak kampus secara umum, termasuk Universitas Indonesia.
Dalam bahasa yang ekstrem saya ingin katakan: persetan anak gerakan, persetan esensi mahasiswa, bila itu hanya
membuat kita berdebat dan tak kunjung menyatu dan bergerak bersama. Sehingga
pertanyaannya adalah bagaimana bisa mendamaikan kedua arus itu?
Saya tidak berminat untuk membahas mengenai dimana seharusnya peran
mahasiswa. Saya ingin memberikan logika paling mudah sebagai seorang manusia
atau warga negara. Rumus paling sederhana untuk membuat orang bergerak adalah
ketika kepentingannya terganggu. Ketika ia tidak terganggu maka akan sulit
untuk bisa mengajak orang tersebut untuk bergerak terhadap suatu isu tertentu.
Jadi hal pertama yang harus diselesaikan adalah mengenai terganggu atau
tidaknya sebuah kepentingan. Hal ini
karena pada dasarnya politik adalah permasalahan kepentingan. Ini bisa
dikaitkan dengan mahasiswa dalam konteks ini.
Hal yang perlu diingat oleh mereka yang disebut sebagai “anak gerakan”
adalah bahwa mereka yang berada di luar arus mereka tidak semuanya diam. Saya
mengatakan tidak semuanya karena tidak bisa kita katakan pula bahwa mereka yang
berada di luar arus anak gerakan memang benar-benar bergerak. Tidak ada hal
kongkret yang bisa kita lihat untuk mengukurnya. Tetapi di antara mereka ada
yang bergerak dengan cara mereka adalah poin yang penting untuk diingat.
Sehingga ada baiknya dalam penyikapan sebuah isu, sisi arogansi tidak
ditampilkan kepada mereka yang berada di luar arus tersebut. Karena perlu disadari
bahwa tidak ada gunanya mengatakan bahwa merekalah yang paling bergerak
ketimbang yang lain.
Di sisi arus yang satunya, bersuara dan tidak diam adalah hal yang penting
untuk dilakukan. Panggilan “apatis” seringkali muncul karena mereka yang
memilih jalur akademis tidak banyak bersuara tentang pilihan gerakan mereka.
Sehingga sikap diam itu diartikan “apatis” atau tidak berbuat apa-apa. Selain
itu perlu juga kita lihat sampai seberapa jauh sebenarnya tindakan-tindakan
akademis itu telah dilakukan. Karena bila jalur itu yang diambil maka dilakukan
atau tidaknya cara-cara itu hanya bisa dikontrol oleh diri mereka sendiri. Hal
ini yang sering membawa kita pada pertanyaan mengenai bagaimana signifikansi
hal-hal itu dalam sebuah isu besar yang genting untuk disikapi.
Perlu digarisbawahi bahwa sikap sinis terhadap gerakan mainstream anak gerakan adalah sebuah ancaman dalam menjaga rasa
adanya ancaman. Adanya gerakan konvensional, pada porsinya yang ideal, atau pun
segala bentuk gerakan yang digagas kelompok ini, muncul untuk berhadapan dengan
sebuah ancamaan riil yang berada di depan mata. Namun seringkali karena tidak
setuju dengan cara geraknya kita menjadi melupakan pula urgensi sebenarnya dari
isu yang diangkat. Di sisi lain, dilupakannya sisi akademis akan membuat
lemahnya arah gerak dan juga dapat mengurangi basis massa di kampus. Tidak
diberikannya porsi akademis dalam gerakan yang dibentuk seringkali membuat
sikap antipati dari arus “Si Jiwa Akademis” di atas tadi. Bagaimana menempatkan
mahasiswa-mahasiswi di porsi yang jelas antara kedua sisi tersebut adalah hal
yang paling dibutuhkan.
Perlawanan tidak bisa berjalan bila antar mahasiswa sendiri tidak berdamai
dengan arus yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam titik awal yang sama, dalam
konteks menolak UU Pilkada, idealnya akan menghasilkan hasil yang sama pula.
Katakanlah usaha untuk Judicial Review,
pencabutan UU atau protes kepada pemerintah. Namun nyatanya tujuan akhir itu
bisa berbeda antar arus tersebut karena cara yang diambil berada di jalan yang
berbeda. Atau dengan kata lain tidak ada jaminan bahwa kedua arus tersebut
dapat berakhir pada titik yang sama.
Kedua arus tersebut akan membagi mahasiswa-mahasiswi dalam dua kelompok.
Mereka yang belum bersikap akan menjadi rebutan. Namun saya memandang mereka
yang tidak memiliki pilihan cara gerak dapat cenderung memilih pihak yang
moderat karena tidak banyak hal yang harus dikorbankan dibandingkan gerakan
konvensional. Mereka di arus anak gerakan akan bertujuan untuk bisa berjuang
secara vertikal dan melakukan penekanan secara riil. Sedangkan mereka yang
mengambil arus akademis akan lebih kepada pencerdasan secara horizontal. Ini
tidak bisa bertemu pada titik akhir yang sama pada poin tekanan untuk mencabut
UU tadi, bila memang itu tujuan akhirnya. Di satu sisi anak gerakan tidak bisa
memobilisasi massa yang besar untuk melakukan gerakan yang signifikan, dan di
sisi lain jalur akademis yang dilakukan arus yang akademis tidak bisa atau
terlalu jauh untuk menjangkau sampai pada tahap advokasi. Selain itu bila
melupakan sisi akademisnya, gerakan dari kalangan mahasiswa-mahasiswi itu akan
hanya berupa mobilisasi semata tanpa adanya pemahaman yang mendasar tentang
konteks masalah yang dihadapi.
Sehingga keduanya sebenarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja. Gerakan
horizontal dibutuhkan sebagai pondasi. Selanjutnya dalam poin tertentu harus
dilanjutkan dengan dilakukannya tekanan riil kepada pemerintah. Saya sendiri
ingin mengingatkan bahwa peran mahasiswa sebagai pihak yang hanya berada di
arus akademis adalah sudut pandang Orde Baru, dan tanpa disadari,
dikonstruksikan oleh dinamika kampus saat ini. Tugas sebagai akademisi itu
penting dan tidak boleh dilupakan. Namun tindakan riil mahasiswa-mahasiswi
sebagai pihak yang mempelajari teori-teori ideal perlu juga untuk diartikulasikan
secara langsung karena pada dasarnya mereka yang melihat ancaman tersebut.
Poin dari tulisan ini adalah saya ingin mengajak kawan-kawan tidak perlu
saling sinis dengan gerakan-gerakan atau cara yang diambil untuk melawan UU
Pilkada ini. Bila ingin menghasilkan sebuah perlawanan yang besar terhadap UU
Pilkada atau rezim Orde Baru jilid 2 ini maka masing-masing arus tersebut harus
bersatu dan saling mengisi lubang satu dengan yang lain. Tetapi sebelum itu,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, adalah penting untuk membuat orang
lain merasa kepentingannya terganggu. Untuk masalah kepentingan yang terganggu itu
masing-masing dari kita bisa memiliki pendapat yang berbeda. Itu tergantung
pada pengalaman pribadi dan pengetahuan yang berbeda-beda. Yang jelas, dengan
cara apapun, jangan diam bila melihat ada ancaman yang kita sadari benar-benar
ada. Hal itu sebenarnya dapat kembali lagi pada kegiatan akademisi yang memang
mempelajari secara historis perkembangan politik negara ini. Kita tidak perlu
menunggu generasi setelah kita untuk mengkaji situasi kita saat ini.
Tulisan ini bukan kajian teoritis. Tidak ada teori yang saya pakai. Ini
hanya buah kegatalan saya atas pengamatan saya sendiri. Tak perlu ambil pusing
apakah Anda “anak gerakan” atau bukan. Tak perlu juga menilai bahwa orang lain
tidak mau bergerak dan marah karenanya. Tidak perlu juga sakit hati karena
merasa dianggap tidak peka terhadap kondisi saat ini. Kita hanya tidak terbiasa
untuk berdamai dengan mereka yang memiliki cara gerak berbeda. Selama Anda
merasa ada kepentingan yang terganggu maka tidak ada salahnya untuk bergabung
bergerak bersama. Kita terlalu sibuk berpikir sinis antar kelompok mahasiswa
sementara tataran elit menari bersama. Bahkan bila titel mahasiswa membuat kita
berdebat, lupakanlah saja sejenak titel itu dan sadarkan diri sebagai warga
negara biasa yang kepentingannya terganggu. Intinya simpel, mau gerak atau tidak? Tapi tak perlu juga untuk Anda jawab. Karena bagaimanapun juga ini hanya opini saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar