Kamis, 09 Oktober 2014

MAU GERAK SAJA KOK REPOT?

Si Anak Gerakan              : “Gimana sih lo! Ini nih lagi genting situasi masyarakat kita! Orde Baru udah mau balik lagi gilak! Kok masih diem-diem aja lo?! Jangan apatis dong!

Si Jiwa Akademisi           : “Apa gunanya sih lo marah-marah kayak gitu? Lu kira kita apatis? Gak haruslah kita teriak-teriak kayak gitu. Lebih baik sebagai mahasiswa kita tuh melakukan pendidikan politik ke orang-orang di sekitar kita. Bikin tulisan tentang isu ini. Bagiin ke orang-orang banyak. Itu lebih indah caranya sebagai peran kita di dunia akademis.”

Si Anak Gerakan              : “Apa signifikansinya? Mahasiswa ya seharusnya perannya gak cuman di tataran akademis. Kita yang belajar teori di kelas harusnya yang paling tahu kondisi yang mengancam ini. Jadi ya kita yang harus berisik. Gak ada salahnya kita turun ke jalan dan melakukan penekanan secara riil.”

Si Jiwa Akademisi           : “Gak usah sok jadi yang paling peduli dan sadar deh. Kalian gak pernah aja melihat sisi yang lain yang bisa kita lakuin sebagai mahasiswa!”

Bla...bla.....bla.....bla.....

Tak perlu dipedulikan siapa tokoh yang ada di atas. Kedua tokoh itu hanyalah imajinasi saya semata. Namun yang pasti keduanya berada pada dua arus yang berbeda. Seringkali keduanya tidak berada pada jalur yang sama. Padahal dalam berbagai isu, keduanya memiliki posisi yang sama. Pertentangan antara kedua arus itu yang menurut saya harus diatasi bila gerakan di kalangan mahasiswa ingin benar-benar berjalan dengan baik. Khususnya dalam menghadapi isu yang sedang hangat saat ini seperti UU Pilkada. Namun itu hanyalah salah satu sekrup dari rangkaian yang lebih besar. Ancaman pemerintahan gaya Orde Baru mewarnai isu UU Pilkada tersebut. Hal ini yang berusaha dilawan oleh berbagai kalangan, termasuk mahasiswa.

Dalam hal ini saya ingin mengandaikan bahwa kondisi kedua arus, anak gerakan dan akademis, pada posisi melawan UU Pilkada. Hal ini agar lebih memudahkan dalam penggambaran perbedaan cara gerak. Sederhananya karena mereka yang sudah mendukung UU Pilkada bisa dipastikan tidak ada lagi dorongan untuk melawan.

Seringkali mereka yang disebut “anak gerakan” identik sebagai pihak yang memegang kendali politik di kalangan mahasiswa-mahasiswi. Bila kita ingin objektif, kelompok ini adalah mereka yang paling “berisik” di kampus dalam menyuarakan sebuah gerakan melawan. Gerakan-gerakannya sebenarnya beraneka ragam. Namun sifat gerakan konvensional dalam artian aksi massa tetap menjadi bagian utama di dalamnya. Karena kelompok ini yang paling dominan, mereka selalu selangkah lebih dahulu dalam menyikapi sebuah isu dibanding arus yang lain. Yang menjadi menarik mereka yang bersuara keras ketika sebuah isu muncul, seperti UU Pilkada, langsung diidentikkan berada di arus yang sama.

Di sisi yang lain mereka yang lebih memilih jalur akademis akan bergerak dengan cara-cara yang lebih soft. Cara-cara yang dipilih lebih moderat dengan banyak mengambil peran di pendidikan politik di berbagai sarana diskusi dengan orang-orang di sekitar mereka. Cara lain yang dilakukan adalah membuat tulisan-tulisan atau membuat diskusi di kalangan sendiri. Mereka cenderung ingin mengambil jarak dengan gerakan di arus anak gerakan. Dalam poin tertentu, mereka akan mengkritisi gerakan di arus yang berlawanan dan menegasinya dengan cara-cara mereka.

Dengan perbedaan di atas tadi yang sering terjadi adalah sebuah konflik yang tak kunjung usai. Padahal permasalahan utamanya adalah cara gerak saja yang berbeda. Sikap yang dihasilkan bisa saja sama. Namun perbedaan itu seringkali menghambat konsolidasi antar semua elemen mahasiswa saat ini. Tentu saja kasus ini ada di banyak kampus secara umum, termasuk Universitas Indonesia. Dalam bahasa yang ekstrem saya ingin katakan: persetan anak gerakan, persetan esensi mahasiswa, bila itu hanya membuat kita berdebat dan tak kunjung menyatu dan bergerak bersama. Sehingga pertanyaannya adalah bagaimana bisa mendamaikan kedua arus itu?

Saya tidak berminat untuk membahas mengenai dimana seharusnya peran mahasiswa. Saya ingin memberikan logika paling mudah sebagai seorang manusia atau warga negara. Rumus paling sederhana untuk membuat orang bergerak adalah ketika kepentingannya terganggu. Ketika ia tidak terganggu maka akan sulit untuk bisa mengajak orang tersebut untuk bergerak terhadap suatu isu tertentu. Jadi hal pertama yang harus diselesaikan adalah mengenai terganggu atau tidaknya sebuah kepentingan.  Hal ini karena pada dasarnya politik adalah permasalahan kepentingan. Ini bisa dikaitkan dengan mahasiswa dalam konteks ini.

Hal yang perlu diingat oleh mereka yang disebut sebagai “anak gerakan” adalah bahwa mereka yang berada di luar arus mereka tidak semuanya diam. Saya mengatakan tidak semuanya karena tidak bisa kita katakan pula bahwa mereka yang berada di luar arus anak gerakan memang benar-benar bergerak. Tidak ada hal kongkret yang bisa kita lihat untuk mengukurnya. Tetapi di antara mereka ada yang bergerak dengan cara mereka adalah poin yang penting untuk diingat. Sehingga ada baiknya dalam penyikapan sebuah isu, sisi arogansi tidak ditampilkan kepada mereka yang berada di luar arus tersebut. Karena perlu disadari bahwa tidak ada gunanya mengatakan bahwa merekalah yang paling bergerak ketimbang yang lain.

Di sisi arus yang satunya, bersuara dan tidak diam adalah hal yang penting untuk dilakukan. Panggilan “apatis” seringkali muncul karena mereka yang memilih jalur akademis tidak banyak bersuara tentang pilihan gerakan mereka. Sehingga sikap diam itu diartikan “apatis” atau tidak berbuat apa-apa. Selain itu perlu juga kita lihat sampai seberapa jauh sebenarnya tindakan-tindakan akademis itu telah dilakukan. Karena bila jalur itu yang diambil maka dilakukan atau tidaknya cara-cara itu hanya bisa dikontrol oleh diri mereka sendiri. Hal ini yang sering membawa kita pada pertanyaan mengenai bagaimana signifikansi hal-hal itu dalam sebuah isu besar yang genting untuk disikapi.

Perlu digarisbawahi bahwa sikap sinis terhadap gerakan mainstream anak gerakan adalah sebuah ancaman dalam menjaga rasa adanya ancaman. Adanya gerakan konvensional, pada porsinya yang ideal, atau pun segala bentuk gerakan yang digagas kelompok ini, muncul untuk berhadapan dengan sebuah ancamaan riil yang berada di depan mata. Namun seringkali karena tidak setuju dengan cara geraknya kita menjadi melupakan pula urgensi sebenarnya dari isu yang diangkat. Di sisi lain, dilupakannya sisi akademis akan membuat lemahnya arah gerak dan juga dapat mengurangi basis massa di kampus. Tidak diberikannya porsi akademis dalam gerakan yang dibentuk seringkali membuat sikap antipati dari arus “Si Jiwa Akademis” di atas tadi. Bagaimana menempatkan mahasiswa-mahasiswi di porsi yang jelas antara kedua sisi tersebut adalah hal yang paling dibutuhkan.

Perlawanan tidak bisa berjalan bila antar mahasiswa sendiri tidak berdamai dengan arus yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam titik awal yang sama, dalam konteks menolak UU Pilkada, idealnya akan menghasilkan hasil yang sama pula. Katakanlah usaha untuk Judicial Review, pencabutan UU atau protes kepada pemerintah. Namun nyatanya tujuan akhir itu bisa berbeda antar arus tersebut karena cara yang diambil berada di jalan yang berbeda. Atau dengan kata lain tidak ada jaminan bahwa kedua arus tersebut dapat berakhir pada titik yang sama.

Kedua arus tersebut akan membagi mahasiswa-mahasiswi dalam dua kelompok. Mereka yang belum bersikap akan menjadi rebutan. Namun saya memandang mereka yang tidak memiliki pilihan cara gerak dapat cenderung memilih pihak yang moderat karena tidak banyak hal yang harus dikorbankan dibandingkan gerakan konvensional. Mereka di arus anak gerakan akan bertujuan untuk bisa berjuang secara vertikal dan melakukan penekanan secara riil. Sedangkan mereka yang mengambil arus akademis akan lebih kepada pencerdasan secara horizontal. Ini tidak bisa bertemu pada titik akhir yang sama pada poin tekanan untuk mencabut UU tadi, bila memang itu tujuan akhirnya. Di satu sisi anak gerakan tidak bisa memobilisasi massa yang besar untuk melakukan gerakan yang signifikan, dan di sisi lain jalur akademis yang dilakukan arus yang akademis tidak bisa atau terlalu jauh untuk menjangkau sampai pada tahap advokasi. Selain itu bila melupakan sisi akademisnya, gerakan dari kalangan mahasiswa-mahasiswi itu akan hanya berupa mobilisasi semata tanpa adanya pemahaman yang mendasar tentang konteks masalah yang dihadapi.

Sehingga keduanya sebenarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja. Gerakan horizontal dibutuhkan sebagai pondasi. Selanjutnya dalam poin tertentu harus dilanjutkan dengan dilakukannya tekanan riil kepada pemerintah. Saya sendiri ingin mengingatkan bahwa peran mahasiswa sebagai pihak yang hanya berada di arus akademis adalah sudut pandang Orde Baru, dan tanpa disadari, dikonstruksikan oleh dinamika kampus saat ini. Tugas sebagai akademisi itu penting dan tidak boleh dilupakan. Namun tindakan riil mahasiswa-mahasiswi sebagai pihak yang mempelajari teori-teori ideal perlu juga untuk diartikulasikan secara langsung karena pada dasarnya mereka yang melihat ancaman tersebut.

Poin dari tulisan ini adalah saya ingin mengajak kawan-kawan tidak perlu saling sinis dengan gerakan-gerakan atau cara yang diambil untuk melawan UU Pilkada ini. Bila ingin menghasilkan sebuah perlawanan yang besar terhadap UU Pilkada atau rezim Orde Baru jilid 2 ini maka masing-masing arus tersebut harus bersatu dan saling mengisi lubang satu dengan yang lain. Tetapi sebelum itu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, adalah penting untuk membuat orang lain merasa kepentingannya terganggu. Untuk masalah kepentingan yang terganggu itu masing-masing dari kita bisa memiliki pendapat yang berbeda. Itu tergantung pada pengalaman pribadi dan pengetahuan yang berbeda-beda. Yang jelas, dengan cara apapun, jangan diam bila melihat ada ancaman yang kita sadari benar-benar ada. Hal itu sebenarnya dapat kembali lagi pada kegiatan akademisi yang memang mempelajari secara historis perkembangan politik negara ini. Kita tidak perlu menunggu generasi setelah kita untuk mengkaji situasi kita saat ini. 

Tulisan ini bukan kajian teoritis. Tidak ada teori yang saya pakai. Ini hanya buah kegatalan saya atas pengamatan saya sendiri. Tak perlu ambil pusing apakah Anda “anak gerakan” atau bukan. Tak perlu juga menilai bahwa orang lain tidak mau bergerak dan marah karenanya. Tidak perlu juga sakit hati karena merasa dianggap tidak peka terhadap kondisi saat ini. Kita hanya tidak terbiasa untuk berdamai dengan mereka yang memiliki cara gerak berbeda. Selama Anda merasa ada kepentingan yang terganggu maka tidak ada salahnya untuk bergabung bergerak bersama. Kita terlalu sibuk berpikir sinis antar kelompok mahasiswa sementara tataran elit menari bersama. Bahkan bila titel mahasiswa membuat kita berdebat, lupakanlah saja sejenak titel itu dan sadarkan diri sebagai warga negara biasa yang kepentingannya terganggu. Intinya simpel, mau gerak atau tidak? Tapi tak perlu juga untuk Anda jawab. Karena bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar