Peresmian Jokowi sebagai presiden baru Indonesia baru saja
kita lewati bersama. Selanjutnya masyarakat akan diberikan kabinet baru dalam
berbagai bidang Kementrian. Beberapa pos Kementrian menjadi perhatian apakah
akan diisi oleh kalangan professional atau praktisi partai. Di antara banyaknya
Kementrian, mahasiswa dan mahasiswi, khususnya di Universitas Indonesia,
selayaknya menanti datangnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru.
Dalam catatan saya, selama masa kampanye dan debat-debat
capres dan cawapres yang telah kita lewati bersama, perdebatan soal pendidikan
di level Pendidikan Tinggi tidak banyak muncul. Tataran kampanye hanya sebatas
kepada pemerataan pendidikan yang tidak secara khusus membahas Pendidikan Tinggi.
Jokowi dan JK pun tidak banyak memberikan pandangan ke depan terkait apa yang
ingin mereka bawa kepada Perguruan Tinggi di Indonesia. Dalam visi-misi mereka
hanya menyebutkan secara sedikit tentang Perguruan Tinggi. Dalam bagian yang
sedikit itu ada keinginan untuk lebih mendekatkan Perguruan Tinggi dengan
proses industrialisasi.
Dengan kondisi di atas maka sudah selayaknya saat ini
mahasiswa dan mahasiswi serta akademisi di Indonesia mulai mengamati dengan
seksama siapa saja calon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru. Secara
khusus UI perlu juga menempatkan perhatiannya yang besar kepada nama calon
menteri tersebut. Hal itu tak lain karena pada tahun ini, tepatnya bulan
November, UI akan memiliki rektor baru.
Lalu apa urgensinya mengetahui siapa Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang baru dengan pemilihan Rektor UI?
Perlu diketahui bahwa pemilihan rektor UI dilakukan oleh
Majelis Wali Amanat (MWA), yang terdiri dari kalangan internal dan eksternal UI
termasuk unsur mahasiswa dan juga Menteri. Namun dalam proporsi suara yang bisa
diberikan oleh anggota MWA, Menteri mendapatkan porsi yang cukup besar. Suara Menteri
akan dihitung menjadi 8 suara, yakni sebesar 35% dari total suara. Sisa suara
akan diberikan oleh 15 anggota MWA yang masing-masingnya mendapat 1 suara.
Total suara yang bisa dihimpun adalah 23 suara. Adapun dalam komposisi tersebut
Rektor yang sedang menjabat tidak memiliki hak untuk memilih.
Dari komposisi suara di atas bisa kita lihat bahwa posisi Menteri
dalam menentukan siapa yang akan memimpin UI ke depannya akan sangat strategis.
Sehingga penting untuk melihat latarbelakang dan kualitas para calon Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan yang akan dipilih. Pemilihan Rektor UI sendiri menjadi demikian
penting karena akan menjadi pintu masuk untuk mengatasi berbagai permasalahan
di kampus tersebut.
Permasalahan besar terkait Perguruan Tinggi yang akan
dihadapi Menteri yang akan datang adalah mahalnya biaya pendidikan. Ini adalah
dampak langsung dari UU Perguruan Tinggi yang menjadi salah satu buah
kepemimpinan yang saat ini akan berakhir. UU ini menghasilkan beberapa PTN berubah
statusnya menjadi PTN Badan Hukum (BH). Status tersebut menghasilkan otonomi
tata kelola pada PTN, salah satunya tata kelola keuangan. Karena hal tersebut
UI dan beberapa kampus lainnya harus mencari pemasukannya sendiri. Alhasil,
mahasiswa menjadi salah satu sumber pendanaan yang paling besar bagi
universitas. Dengan demikian universitas akan kerap menaikkan biaya pendidikan
sebagai justifikasi dari pembiayaan pendidikan yang kualitasnya ingin
ditingkatkan.
Tentu saja naiknya biaya pendidikan akan memberikan
konsekuensi logis tereliminasinya mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang
kurang. Kelas menengah ke atas akan banyak mendominasi kampus, seperti halnya
di UI. Dalam UU memang telah disebutkan minimal 20% kursi diberikan bagi mereka
yang tidak mampu. Namun ini masih belum bisa menjawab persoalan akses karena
kampus akan terus dihadapkan pada mencari dana segar dari mahasiswa dan
mahasiswi. Batas minimal bisa dijadikan batas maksimal bila tujuan yang dicari
oleh kampus dari kursi yang disediakan adalah provit.
Selain dinaikkannya biaya pendidikan, konsekuensi lainnya
adalah ditambahnya jumlah kursi yang disediakan kampus. Sayangnya, pertambahan
mahasiswa dan mahasiswi tidak dibarengi dengan pertambahan jumlah staf pengajar
atau dosen di kampus. Di UI sendiri perbandingan antara rasio mahasiswa dan
dosen telah mencapai angka satu berbanding dua puluh dua. Padahal normalnya,
sesuai standar Dikti, adalah satu banding sepuluh.
Dua masalah tersebut hanya sedikit dari banyak masalah yang
bisa diambil untuk melihat kondisi PTN kita. Kondisi tersebut akan berbenturan
dengan fungsi PTN dalam menyerap mahasiswa-mahasiswi dari berbagai golongan. Pertanyaannya
kemudian adalah, apakah pemerintahan Jokowi-JK ke depannya telah melihat hal
ini sebagai hal yang serius?
Seperti yang telah dituliskan di awal, saya belum mendapat
gambaran kemana arah Perguruan Tinggi ingin dibawa oleh pemerintahan yang akan
datang. Masalah-masalah Perguruan Tinggi
belum menjadi fokus ketika berbicara soal pendidikan di Indonesia. Sehingga
perlu untuk mencari sosok yang tepat, yang mengerti mengenai kehidupan kampus
dan cara mengurusnya dengan baik, sebagai Menteri selanjutnya. Namun sekali
lagi, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar