Rabu, 01 April 2015

MINORITAS TIONGHOA DI THAILAND: SEBUAH PEMBANDING

Seperti yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara lainnya, etnis Tionghoa juga menjadi salah satu isu menarik di Thailand. Kelompok etnis ini memang menjadi minoritas di Thailand yang secara sejarah cukup penting perannya dalam hal ekonomi maupun politik. Tetapi bidang ekonomi memang lebih banyak dibanding politik yang perannya banyak dimainkan oleh etnis Tionghoa. Hal unik yang terjadi pada etnis Tionghoa di Thailand adalah bahwa ada usaha untuk mengintegrasikan atau mengasimilasi etnis ini ke nasionalitas bangsa Thai. Hal serupa jarang kita temui di negara-negara Asia Tenggara lain. Kita dapat membandingkan dengan negara Malaysia yang bahkan memberlakukan kebijakan yang berdasarkan perbedaan etnis untuk mengelompokkan golongan Melayu, Tionghoa, dan India. Begitu juga dengan Indonesia pada masa Orde Baru yang sangat membatasi warga Tionghoa dalam kehidupan sosial politik. Sehingga masalah etnis Tionghoa di Thailand sangat menarik untuk dikaji.
            Masyarakat Tionghoa di Thailand sering disebut dengan “Tionghoa Thai”. Migrasi orang Tionghoa Thai ke Thailand mengalami masa puncaknya pada tahun 1918 – 1931.[1] Banyaknya masyarakat Tionghoa yang bermigrasi kebanyakan karena kesulitan mencari pekerjaan di Cina karena membeludaknya jumlah populasi di sana. Alasan serupa pula yang terjadi pada etnis ini di negara-negara lain di Asia Tenggara. Dalam perkembangannya ada proses di mana masyarakat Tionghoa Thai meninggalkan identitas nasional Cina dan ada pula yang mempertahankannya. Hal ini yang menjadi alasan kemudian bagi pemerintah Thailand untuk mengambil langkah dalam mengawasi dan membatasi kebebasan masyarakat Tionghoa Thai.
            Pengawasan kepada Tionghoa Thai juga diwarnai oleh sejarah diskriminasi. Salah satu isu diskriminasi kepada Tionghoa Thai yang paling terkenal di Thailand dimotori oleh tulisan dengan nama “Asavabahu”, yang ternyata dibuat oleh Raja Vajiravudh. Ia menulis artikel yang menggambarkan orang Tionghoa Thai yang mirip dengan orang-orang Yahudi atau “Yahudi dari Oriental”.[2] Penggambaran ini didasarkan pada karakter orang Tionghoa yag dirasa tidak mau berkompromi dengan masyarakat lainnya. Etnis Tionghoa dianggap sangat eksklusif dan sombong. Tulisan ini ternyata memanaskan gerakan anti Tionghoa dan memulai benih-benih diskriminasi di Thailand. Raja Vajiravudh dengan demikian menjadi salah satu tokoh politik utama yang membangunkan nuansa diskriminatif terhadap Tionghoa Thai.           
            Apa yang dilakukan oleh Raja Vajiravudh adalah respon terhadap tindakan protes yang dilakukan Tionghoa Thai kepada pemerintah. Pada saat itu pemerintah menaikkan pajak yang diberikan bagi Tionghoa Thai. Penaikan tarif pajak ini disambut dengan protes keras Tionghoa Thai. Mereka melakukan protes dengan cara menutup toko-toko mereka. Ternyata penutupan toko-toko tersebut membuat pemerintah kewalahan karena warganya tidak mendapat pasokan yang selama ini diakomodir oleh usaha Tionghoa Thai (salah satunya beras). Dampak yang terjadi di Thailand saat itu mencapai level nasional sampai akhirnya Tionghoa Thai mau membuka kembali toko mereka. Sejarah ini dinilai oleh Kenneth Perry Landon, dalam artikelnya The Problem of the Chinese in Thailand, sebagai gambaran penting bagaimana Thailand sangat bergantung pada usaha-usaha orang Tionghoa Thai terutama dalam hal pangan dan berbagai aspek ekonomi lainnya.[3] Penilaian Landon ini begitu relevan dan memiliki hubungan dengan kebijakan pemerintah Thailand dalam mendorong asimilasi etnis Tionghoa menjadi bangsa Thai.
            Nasionalisme orang Tionghoa kepada negeri asalnya menjadi salah satu fokus dari pemerintah Thailand. Hal ini dianggap menjadi masalah bagi stabilitas negara tersebut. Sehingga pemerintah Thailand berusaha untuk menumbuhkan loyalitas Tionghoa Thai kepada negara Thailand. Proses ini memang tidak mudah untuk dijalankan. Namun bisa dikatakan Thailand pada akhirnya cukup berhasil dengan jalur konstitusionalnya. Naturalisasi kewarganegaraan dilakukan oleh pemerintah Thailand kepada Tionghoa Thai dilakukan lewat pemberlakuan Undang-undang (UU) tentang kewarganegaraan. Justian Suhandinata dalam studinya mencatat ada dua kali pergantian UU tentang kewarganegaraan ini. UU Kewarganegaraan tahun 1913 mengatur semua orang Tionghoa yang lahir di Thailand adalah orang Thai. UU ini direvisi pada tahun 1952 dengan hanya orang yang salah satu orangtuanya adalah orang Thai yang berhak mendapat kewarganegaraan Thai. Kemudian UU ini direvisi kembali dengan UU Kewarganegaraan tahun 1956 yang mengembalikan pada ketentuan semua orang yang lahir di Thailand sebagai orang Thai.[4] Dari peraturan tersebut dapat diukur mengenai loyalitas Tionghoa Thai kepada Thailand. Beberapa literatur memberikan angka yang cukup tinggi pada pengajuan kewarganegaraan Thailand dari Tionghoa Thai dikarenakan kebijakan tersebut. Jumlah orang Tionghoa yang masih memiliki kewarganegaraan Tiongkok berkurang drastis. Salah satu alasan penting keinginan Tionghoa Thai untuk mendapat kewarganegaraan Thailand adalah karena mulai berkuasanya rezim komunis di negara Tiongkok.[5] Isu ini memang mendapat perhatian khusus dari pemerintah Thailand karena niatan untuk membendung pengaruh Tiongkok di Thailand. Karena itu loyalitas Tionghoa Thai diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Disamping memang ada kepentingan ekonomi yang besar dari pemerintah Thailand.
            Pada masa naturalisasi itu Thailand memang juga sedang menggiatkan isu nasionalisme. Tokoh sentral nasionalisme Thailand itu adalah Perdana Menteri Phibunsongkram. Latar belakang politik yakni pergantian rezim monarki absolut ke monarki konstitusional membuat Phibunsongkram berniat menguatkan identitas nasional Thailand. Salah satu hal yang dianggap masalah adalah mengenai dominasi Tionghoa Thailand dalam perekonomian. Identitas etnis tersebut yang masih banyak berwarganegara Tiongkok dianggap dapat menjadi ancaman nasional ke depannya. Sehingga segala usaha untuk meminimalisir dilakukan oleh Phibunsongkram, salah satunya dengan menguji loyalitas Tionghoa Thai kepada negara.[6]  Di samping itu dapat dilihat pula ancaman komunisme yang dari Tiongkok yang dirasa dapat masuk melalui orang-orang Tionghoa Thai. Isu ini menambah kuatnya niat untuk menekan Tionghoa Thai memutuskan ikatan dengan negara Tiongkok.
Tak bisa dipungkiri memang, Tionghoa Thai dari awal kedatangannya sampai dengan sekarang masih begitu mendominasi ekonomi Thailand. Pemerintah Thailand dari masa ke masa sadar bahwa dominasi ekonomi dari Tionghoa Thai tidak bisa dibendung. Dalam sejarah politiknya memang tercatat ada usaha dari pemerintah Thailand untuk membendung kekuatan ekonomi Tionghoa Thai dan mendorong usaha pribumi. Salah satunya dengan mendirikan Perusahaan Beras Thailand dengan tujuan untuk melawan dominasi usaha dagang beras Tionghoa Thai Thailand.[7] Namun pada akhirnya cara untuk mengontrol pengusaha Tionghoa Thai adalah dengan mendorong kewarganegaraan orang Tionghoa Thai kepada Thailand. Ini menjadi hal yang sangat menarik di Thailand karena pemerintah menggunakan politik identitas dalam mencapai tujuan ekonomi mereka.
            Bila kita bandingkan dengan beberapa negara lain seperti Malaysia dan Indonesia politik identitas yang diterapkan oleh Thailand cukup unik. Di Malaysia justru identitas etnis Tionghoa diperjelas dan sebisa mungkin diciptakan isu yang berbau etnis untuk meruncingkan gesekan di antara etnis yang ada. Sedangkan pemerintah Indonesia pernah memanfaatkan sentimen terhadap etnis Tionghoa untuk bisa menahan arus mereka ke ranah politik. Thailand menyadari bahwa mereka memang bergantung dengan kemampuan usaha Tionghoa Thai sehingga mereka mendorong etnis tersebut untuk turut serta menjadi bangsa Thai. Namun memang ada beberapa poin penting yang dapat menjadi alasan mengapa naturalisasi di Thailand bisa berjalan dengan efektif di kemudian hari. Salah satunya adalah peran agama Buddha yang merupakan salah satu dari the holy trinity Thailand. Sebagian besar Tionghoa Thai beragama Buddha. Hal ini yang mempermudah masuknya Tionghoa Thai ke dalam bangsa Thai. Selain itu menurut Chan Kwok Bun dan Tong Chee Kiong, keberhasilan asimilasi Tionghoa Thailand memang dikarenakan kebijakan pro-asimilasi yang dilakukan pemerintah lewat jalur pendidikan dan ekonomi.[8] Jalur pendidikan memainkan peran penting karena anak-anak Tionghoa Thai “dipaksa” untuk menuntut ilmu dengan kurikulum dan bahasa Thai. Sekolah-sekolah Tionghoa dibatasi. Cara ini menjadi sosialisasi yang efektif untuk menyatukan Tionghoa Thai ke dalam kultur dan nilai-nilai Thailand.
            Dari penjabaran di atas dapat kita simpulkan bahwa pemerintah Thailand berupaya untuk menggabungkan Tionghoa Thai ke dalam bagian dari masyarakat mereka. Hasilnya dapat dilihat saat ini di mana etnis tersebut secara umum telah mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Thai. Hal ini dikarenakan Tionghoa Thai yang ada sekarang sudah menjadi generasi ketiga atau lebih dari generasi pertama yang datang ke Thailand. Ini membuat identitas nasional mereka telah terbangun semenjak mereka lahir. Proses untuk mengasimilasi ini memang tidak cepat. Perlu waktu panjang sampai akhirnya etnis minoritas ini bisa melebur dalam bangsa Thai. Tetapi dari proses panjang itu Thailand sendiri diuntungkan karena ekonomi mereka dapat terus berjalan dengan dukungan Tionghoa Thai yang telah memiliki loyalitas kepada negara. Apa yang terjadi di Thailand bisa menjadi pelajaran penting dalam usaha meleburkan etnis minoritas dengan masyarakat lokal. Cara yang digunakan bisa lewat jalur konstitusional sesuai dengan keberpihakan pemerintah. Saat ini Tionghoa Thai telah berkembang dan tidak hanya bermain di sektor ekonomi namun juga di sektor politik. Bahkan banyak pejabat Thailand saat ini yang sebenarnya memiliki darah Tionghoa Thai.




[1] Curtis N. Thomson, “Political Identity Among Chinese in Thailand” (Geographical Review, Vol.83, No.4 (Oktober, 1993), hal.397-409),hal. 399.
[2] Kenneth Perry Landon, “The Problem of the Chinese in Thailand” (Pacific Affairs, Vol. 13, No. 2 (Juni, 1940), hal. 149-161), hal.150.
[3] Ibid., hal.151.
[4] Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia (PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009), hal. 176.
[5]Curtis N. Thomson, Loc.Cit., hal.404.
[6] Ibid., hal. 401.
[7] Kenneth Perry Landon, Loc.Cit., hal.159.
[8] Chan Kwok Bun dan Tong Chee Kiong, “Rethinking Assimilation and Ethnicity: The Chinese in Thailand” (International Migration Review, Vol. 27, No. 1 (Spring, 1993), hal. 140-168 ), hal.150. 

1 komentar:

  1. Tidak ada diskriminasi di mata hukum dan undang undang antara orang thai asli dan orang thai keturunan tionghoa. Sebagian besar orang thai mengakui bila mereka juga memiliki darah tionghoa. Suku thai asli mengakui bahwa nenek moyang mereka berasal dari negeri China, jadi mereka merasa tidak ada masalah mengenai pribumi dan non pribumi di Thailand. Tidak seperti di Indonesia, undang undang peninggalan Belanda yang diskriminatif masih dipakai, sehingga segmentasi antara pribumi dan non pribumi tidak dihapuskan. Undang undang ini menjadi dasar pembentukan dokumen kewarganegaran sejak lahir, sehingga diskriminasi berjalan seumur hidup. Politik kambing hitam ala belanda juga masih dipakai, orang tionghoa selalu disalahkan bila terjadi kondisi kritis. Siapa yang paling kaya, jangan bilang orang tionghoa, itu pura pura tidak tahu namanya. Orang tionghoa cuma jadi kacung doang, bosnya siapa?

    BalasHapus