Seperti yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara
lainnya, etnis Tionghoa juga menjadi salah satu isu menarik di Thailand.
Kelompok etnis ini memang menjadi minoritas di Thailand yang secara sejarah
cukup penting perannya dalam hal ekonomi maupun politik. Tetapi bidang ekonomi
memang lebih banyak dibanding politik yang perannya banyak dimainkan oleh etnis
Tionghoa. Hal unik yang terjadi pada etnis Tionghoa di Thailand adalah bahwa
ada usaha untuk mengintegrasikan atau mengasimilasi etnis ini ke nasionalitas
bangsa Thai. Hal serupa jarang kita temui di negara-negara Asia Tenggara lain.
Kita dapat membandingkan dengan negara Malaysia yang bahkan memberlakukan
kebijakan yang berdasarkan perbedaan etnis untuk mengelompokkan golongan
Melayu, Tionghoa, dan India. Begitu juga dengan Indonesia pada masa Orde Baru
yang sangat membatasi warga Tionghoa dalam kehidupan sosial politik. Sehingga
masalah etnis Tionghoa di Thailand sangat menarik untuk dikaji.
Masyarakat
Tionghoa di Thailand sering disebut dengan “Tionghoa Thai”. Migrasi orang
Tionghoa Thai ke Thailand mengalami masa puncaknya pada tahun 1918 – 1931.[1]
Banyaknya masyarakat Tionghoa yang bermigrasi kebanyakan karena kesulitan
mencari pekerjaan di Cina karena membeludaknya jumlah populasi di sana. Alasan
serupa pula yang terjadi pada etnis ini di negara-negara lain di Asia Tenggara.
Dalam perkembangannya ada proses di mana masyarakat Tionghoa Thai meninggalkan
identitas nasional Cina dan ada pula yang mempertahankannya. Hal ini yang
menjadi alasan kemudian bagi pemerintah Thailand untuk mengambil langkah dalam
mengawasi dan membatasi kebebasan masyarakat Tionghoa Thai.
Pengawasan
kepada Tionghoa Thai juga diwarnai oleh sejarah diskriminasi. Salah satu isu
diskriminasi kepada Tionghoa Thai yang paling terkenal di Thailand dimotori
oleh tulisan dengan nama “Asavabahu”, yang ternyata dibuat oleh Raja Vajiravudh.
Ia menulis artikel yang menggambarkan orang Tionghoa Thai yang mirip dengan
orang-orang Yahudi atau “Yahudi dari Oriental”.[2]
Penggambaran ini didasarkan pada karakter orang Tionghoa yag dirasa tidak mau
berkompromi dengan masyarakat lainnya. Etnis Tionghoa dianggap sangat eksklusif
dan sombong. Tulisan ini ternyata memanaskan gerakan anti Tionghoa dan memulai
benih-benih diskriminasi di Thailand. Raja Vajiravudh dengan demikian menjadi
salah satu tokoh politik utama yang membangunkan nuansa diskriminatif terhadap
Tionghoa Thai.
Apa yang
dilakukan oleh Raja Vajiravudh adalah respon terhadap tindakan protes yang
dilakukan Tionghoa Thai kepada pemerintah. Pada saat itu pemerintah menaikkan
pajak yang diberikan bagi Tionghoa Thai. Penaikan tarif pajak ini disambut
dengan protes keras Tionghoa Thai. Mereka melakukan protes dengan cara menutup
toko-toko mereka. Ternyata penutupan toko-toko tersebut membuat pemerintah
kewalahan karena warganya tidak mendapat pasokan yang selama ini diakomodir
oleh usaha Tionghoa Thai (salah satunya beras). Dampak yang terjadi di Thailand
saat itu mencapai level nasional sampai akhirnya Tionghoa Thai mau membuka
kembali toko mereka. Sejarah ini dinilai oleh Kenneth Perry Landon, dalam
artikelnya The Problem of the Chinese in
Thailand, sebagai gambaran penting bagaimana Thailand sangat bergantung
pada usaha-usaha orang Tionghoa Thai terutama dalam hal pangan dan berbagai
aspek ekonomi lainnya.[3]
Penilaian Landon ini begitu relevan dan memiliki hubungan dengan kebijakan
pemerintah Thailand dalam mendorong asimilasi etnis Tionghoa menjadi bangsa
Thai.
Nasionalisme
orang Tionghoa kepada negeri asalnya menjadi salah satu fokus dari pemerintah
Thailand. Hal ini dianggap menjadi masalah bagi stabilitas negara tersebut.
Sehingga pemerintah Thailand berusaha untuk menumbuhkan loyalitas Tionghoa Thai
kepada negara Thailand. Proses ini memang tidak mudah untuk dijalankan. Namun
bisa dikatakan Thailand pada akhirnya cukup berhasil dengan jalur
konstitusionalnya. Naturalisasi kewarganegaraan dilakukan oleh pemerintah
Thailand kepada Tionghoa Thai dilakukan lewat pemberlakuan Undang-undang (UU)
tentang kewarganegaraan. Justian Suhandinata dalam studinya mencatat ada dua
kali pergantian UU tentang kewarganegaraan ini. UU Kewarganegaraan tahun 1913
mengatur semua orang Tionghoa yang lahir di Thailand adalah orang Thai. UU ini
direvisi pada tahun 1952 dengan hanya orang yang salah satu orangtuanya adalah
orang Thai yang berhak mendapat kewarganegaraan Thai. Kemudian UU ini direvisi
kembali dengan UU Kewarganegaraan tahun 1956 yang mengembalikan pada ketentuan
semua orang yang lahir di Thailand sebagai orang Thai.[4]
Dari peraturan tersebut dapat diukur mengenai loyalitas Tionghoa Thai kepada
Thailand. Beberapa literatur memberikan angka yang cukup tinggi pada pengajuan
kewarganegaraan Thailand dari Tionghoa Thai dikarenakan kebijakan tersebut.
Jumlah orang Tionghoa yang masih memiliki kewarganegaraan Tiongkok berkurang
drastis. Salah satu alasan penting keinginan Tionghoa Thai untuk mendapat
kewarganegaraan Thailand adalah karena mulai berkuasanya rezim komunis di negara
Tiongkok.[5]
Isu ini memang mendapat perhatian khusus dari pemerintah Thailand karena niatan
untuk membendung pengaruh Tiongkok di Thailand. Karena itu loyalitas Tionghoa
Thai diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Disamping memang ada kepentingan
ekonomi yang besar dari pemerintah Thailand.
Pada
masa naturalisasi itu Thailand memang juga sedang menggiatkan isu nasionalisme.
Tokoh sentral nasionalisme Thailand itu adalah Perdana Menteri Phibunsongkram.
Latar belakang politik yakni pergantian rezim monarki absolut ke monarki
konstitusional membuat Phibunsongkram berniat menguatkan identitas nasional
Thailand. Salah satu hal yang dianggap masalah adalah mengenai dominasi
Tionghoa Thailand dalam perekonomian. Identitas etnis tersebut yang masih
banyak berwarganegara Tiongkok dianggap dapat menjadi ancaman nasional ke
depannya. Sehingga segala usaha untuk meminimalisir dilakukan oleh
Phibunsongkram, salah satunya dengan menguji loyalitas Tionghoa Thai kepada
negara.[6] Di samping itu dapat dilihat pula ancaman
komunisme yang dari Tiongkok yang dirasa dapat masuk melalui orang-orang
Tionghoa Thai. Isu ini menambah kuatnya niat untuk menekan Tionghoa Thai
memutuskan ikatan dengan negara Tiongkok.
Tak bisa dipungkiri memang, Tionghoa Thai dari awal
kedatangannya sampai dengan sekarang masih begitu mendominasi ekonomi Thailand.
Pemerintah Thailand dari masa ke masa sadar bahwa dominasi ekonomi dari
Tionghoa Thai tidak bisa dibendung. Dalam sejarah politiknya memang tercatat
ada usaha dari pemerintah Thailand untuk membendung kekuatan ekonomi Tionghoa
Thai dan mendorong usaha pribumi. Salah satunya dengan mendirikan Perusahaan Beras
Thailand dengan tujuan untuk melawan dominasi usaha dagang beras Tionghoa Thai
Thailand.[7]
Namun pada akhirnya cara untuk mengontrol pengusaha Tionghoa Thai adalah dengan
mendorong kewarganegaraan orang Tionghoa Thai kepada Thailand. Ini menjadi hal
yang sangat menarik di Thailand karena pemerintah menggunakan politik identitas
dalam mencapai tujuan ekonomi mereka.
Bila
kita bandingkan dengan beberapa negara lain seperti Malaysia dan Indonesia
politik identitas yang diterapkan oleh Thailand cukup unik. Di Malaysia justru
identitas etnis Tionghoa diperjelas dan sebisa mungkin diciptakan isu yang berbau
etnis untuk meruncingkan gesekan di antara etnis yang ada. Sedangkan pemerintah
Indonesia pernah memanfaatkan sentimen terhadap etnis Tionghoa untuk bisa
menahan arus mereka ke ranah politik. Thailand menyadari bahwa mereka memang
bergantung dengan kemampuan usaha Tionghoa Thai sehingga mereka mendorong etnis
tersebut untuk turut serta menjadi bangsa Thai. Namun memang ada beberapa poin
penting yang dapat menjadi alasan mengapa naturalisasi di Thailand bisa
berjalan dengan efektif di kemudian hari. Salah satunya adalah peran agama
Buddha yang merupakan salah satu dari the
holy trinity Thailand. Sebagian besar Tionghoa Thai beragama Buddha. Hal
ini yang mempermudah masuknya Tionghoa Thai ke dalam bangsa Thai. Selain itu
menurut Chan Kwok Bun dan Tong Chee Kiong, keberhasilan asimilasi Tionghoa
Thailand memang dikarenakan kebijakan pro-asimilasi yang dilakukan pemerintah
lewat jalur pendidikan dan ekonomi.[8] Jalur
pendidikan memainkan peran penting karena anak-anak Tionghoa Thai “dipaksa”
untuk menuntut ilmu dengan kurikulum dan bahasa Thai. Sekolah-sekolah Tionghoa
dibatasi. Cara ini menjadi sosialisasi yang efektif untuk menyatukan Tionghoa
Thai ke dalam kultur dan nilai-nilai Thailand.
Dari
penjabaran di atas dapat kita simpulkan bahwa pemerintah Thailand berupaya
untuk menggabungkan Tionghoa Thai ke dalam bagian dari masyarakat mereka.
Hasilnya dapat dilihat saat ini di mana etnis tersebut secara umum telah
mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Thai. Hal ini dikarenakan Tionghoa
Thai yang ada sekarang sudah menjadi generasi ketiga atau lebih dari generasi
pertama yang datang ke Thailand. Ini membuat identitas nasional mereka telah
terbangun semenjak mereka lahir. Proses untuk mengasimilasi ini memang tidak
cepat. Perlu waktu panjang sampai akhirnya etnis minoritas ini bisa melebur
dalam bangsa Thai. Tetapi dari proses panjang itu Thailand sendiri diuntungkan
karena ekonomi mereka dapat terus berjalan dengan dukungan Tionghoa Thai yang
telah memiliki loyalitas kepada negara. Apa yang terjadi di Thailand bisa
menjadi pelajaran penting dalam usaha meleburkan etnis minoritas dengan
masyarakat lokal. Cara yang digunakan bisa lewat jalur konstitusional sesuai
dengan keberpihakan pemerintah. Saat ini Tionghoa Thai telah berkembang dan
tidak hanya bermain di sektor ekonomi namun juga di sektor politik. Bahkan
banyak pejabat Thailand saat ini yang sebenarnya memiliki darah Tionghoa Thai.
[1] Curtis N.
Thomson, “Political Identity Among Chinese in Thailand” (Geographical Review,
Vol.83, No.4 (Oktober, 1993), hal.397-409),hal. 399.
[2] Kenneth Perry
Landon, “The Problem of the Chinese in Thailand” (Pacific Affairs, Vol. 13, No. 2 (Juni, 1940), hal. 149-161),
hal.150.
[4] Justian
Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam
Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia (PT.Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta, 2009), hal. 176.
[8] Chan Kwok Bun
dan Tong Chee Kiong, “Rethinking Assimilation and Ethnicity: The Chinese in
Thailand” (International Migration Review,
Vol. 27, No. 1 (Spring, 1993), hal. 140-168 ), hal.150.
Tidak ada diskriminasi di mata hukum dan undang undang antara orang thai asli dan orang thai keturunan tionghoa. Sebagian besar orang thai mengakui bila mereka juga memiliki darah tionghoa. Suku thai asli mengakui bahwa nenek moyang mereka berasal dari negeri China, jadi mereka merasa tidak ada masalah mengenai pribumi dan non pribumi di Thailand. Tidak seperti di Indonesia, undang undang peninggalan Belanda yang diskriminatif masih dipakai, sehingga segmentasi antara pribumi dan non pribumi tidak dihapuskan. Undang undang ini menjadi dasar pembentukan dokumen kewarganegaran sejak lahir, sehingga diskriminasi berjalan seumur hidup. Politik kambing hitam ala belanda juga masih dipakai, orang tionghoa selalu disalahkan bila terjadi kondisi kritis. Siapa yang paling kaya, jangan bilang orang tionghoa, itu pura pura tidak tahu namanya. Orang tionghoa cuma jadi kacung doang, bosnya siapa?
BalasHapus