Jumat, 20 Maret 2015

DEADLOCK GERAKAN BEM SE-UI

Tinggalkan ranjang lihat lebih jeli. Dengan lebih bening. Mulai , Tuan-tuan. Makin jauh tertinggal dari golongan-golongan lain, akan makin sulit mengejar....makin hina bangsa kita di kemudian hari..” – Pramoedya Ananta Toer.

Belakangan ini cukup ramai tweet-tweet atau pun jarkom yang mengajak mahasiswa Universitas Indonesia (UI) untuk ikut bergerak dengan aksi bersama melawan korupsi di Indonesia. Salah satunya adalah ajakan aksi bersama pada Jumat, 20 Maret 2015 ini. ILUNI UI dikatakan mengambil peran dengan bergabung dalam aksi bersama mahasiswa UI ini. Namun permasalahannya muncul ketika tidak semua BEM Fakultas yang ada di UI ini ikut serta. Niatnya ingin melakukan gerakan bersama, tetapi jadinya adalah ketidaksepakatan antara BEM UI dengan beberapa BEM Fakultas yang memilih untuk tidak bergabung. Banyak pihak berusaha memanaskan situasi dengan kritik pedas bagi yang tidak mau terlibat dalam aksi. Hal yang menarik adalah justru beberapa mantan mahasiswa yang berusaha untuk memanaskan situasi, bahkan sebelum BEM Fakultas menyatakan sikap mereka terhadap aksi tersebut. Alih-alih menyadarkan, banyak pihak justru semakin tinggi sentimennya. Alhasil tidak ada satu suara untuk bergerak bersama. Kalau sudah begini, mau apa?
            Isu korupsi adalah hal yang memang menjadi musuh bersama bangsa ini. Kita sama-sama tahu, dan sepakat, bahwa korupsi harus kita perangi bersama. Sebagai mahasiswa, atau masyarakat biasa, kita pasti banyak melihat atau mendengar berita tentang pelemahan KPK. Kasus KPK v Polri dianggap telah membuat banyak usaha untuk melemahkan kekuatan KPK karena dikasuskannya pimpinan-pimpinan KPK. Komjen Budi Gunawan yang rencananya ingin diangkat menjadi Kapolri tidak jadi dilantik oleh Jokowi. Presiden Indonesia itu lebih memilih untuk berpihak pada keinginan masyarakat anti korupsi yang tidak ingin seorang tersangka korupsi dijadikan pemimpin Kepolisian. Selain itu Jokowi juga menonaktifkan pimpinan-pimpinan KPK yang tersangkut kasus di Kepolisian, seperti Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto, serta menugaskan beberapa orang untuk mengisi jabatan mereka sementara waktu. Beberapa analis politik melihat tindakan Jokowi ini sudah bisa meredakan ketegangan yang terjadi.
            Tetapi ternyata solusi Jokowi ini tidak memadamkan semangat kawan-kawan BEM untuk bisa melakukan penguatan KPK. Kita juga bisa melihat di berita bahwa memang KPK saat ini sedang mendapat masalah dengan trend pra peradilan yang diikuti beberapa koruptor karena keberhasilan Budi Gunawan. Selain itu pegawai-pegawai KPK juga sempat berdemo dan membuat petisi untuk memprotes tindakan Ketua KPK sementara, Taufiequrrachman Ruki, yang berusaha melimpahkan kasus dugaan korupsi Budi Gunawan ke Kepolisian dan Kejaksaan. Stabilitas KPK memang bisa dibilang masih belum baik. Sehingga gerakan penguatan KPK memang masih wajar untuk terus ada dan bergulir di tengah masyarakat.
            Karena korupsi adalah musuh bersama, maka ada justifikasi terhadap semua gerakan melawan korupsi. Tidak ada yang bisa kita perdebatkan bila fokusnya adalah memberantas para koruptor. Semua pihak pasti setuju. Poin moralitas melawan korupsi memang memiliki sifat itu. Berbeda dengan isu lain seperti kenaikan harga BBM. Ada ruang diskusi yang bisa terjadi karena ada yang berpandangan bahwa kenaikan harga itu dibutuhkan untuk menyelamatkan kas negara dan mengontrol subsidi agar bisa lebih tepat sasaran, dan di sisi lain ada yang mengatakan bahwa tidak boleh naik karena negara sebenarnya masih punya cadangan kas dan efek kenaikan itu adalah kemiskinan yang semakin menjadi-jadi. Perdebatannya jelas ada. Namun bila berbicara tentang korupsi, tidak mungkin ada yang ingin menolak pemberantasan korupsi bukan?
            Hal inilah yang secara sederhana coba ditarik oleh BEM UI dalam mengangkat gerakan ini. Seharusnya semua orang bisa bersepakat untuk bergerak bersama karena koruptor harus dibersihkan. Ada alasan kuat untuk kita bergerak bersama-sama. Lalu pertanyaan kritisnya adalah, mengapa banyak BEM Fakultas yang tidak mau bergerak bersama meskipun untuk sebuah gerakan melawan korupsi? Sampai mati pun kita tidak akan bisa mendapat jawabannya bila hanya melihat gerakan ini secara moral semata. Mungkin Anda si kader muda pergerakan di UI akan menjadi gila karena melihat banyak senior Anda yang tidak mau melawan koruptor bersama Anda. Sehingga perlu kita sadari bahwa mereka yang mengambil sikap berlawanan dengan BEM UI berusaha melihat dengan kacamata yang berbeda. Kebanyakan, setidaknya yang saya ketahui, melihat adanya ketidaksepakatan dengan beberapa tuntutan aksi.

Blunder aksi  dan deadlock
Hal di atas adalah blunder dari para penggagas aksi tanggal 20 ini. Dari yang tadinya mengusung nilai moral pemberantasan korupsi mulai melebarkan poin-poin perjuangan ke isu-isu lainnya seperti penurunan harga dan pembersihan demokrasi dari oligarki. Gerakan ini, yang tadinya menurut saya sudah cukup fokus, dipaksakan untuk mencakup permasalahan lain tanpa adanya kesepakatan dengan BEM Fakultas. Hasilnya jelas, Fakultas-fakultas satu per satu berusaha mundur dari gerakan ini. Kajian-kajian Fakultas bisa kalian temukan lewat sosial media mereka masing-masing. Seperti yang telah saya coba ilustrasikan di awal, ketika menyangkut hal yang bisa diperdebatkan maka konsolidasi menjadi sulit untuk terjadi. Contoh nyatanya adalah FEB UI yang mundur dengan salah satu alasannya menolak tuntutan turunkan harga karena merasa saat ini harga sudah stabil. Apalagi bila memang tidak ada diskusi lebih lanjut soal tuntutan itu. Atau pun BEM FISIP dengan kajiannya yang menyatakan bahwa beberapa tuntutan tidaklah realistis untuk dilakukan. Hal ini sebenarnya terus berulang selama ini. Tidak adanya konsultasi mendalam dan menyusun tuntutan bersama. Namun entah kenapa terus berulang hingga periode sekarang.
            Blunder lainnya, yang dampaknya mengarah ke mahasiswa-mahasiswi secara umum,  adalah komentar-komentar beberapa alumni (kelompok gerakan) UI yang cenderung mendiskreditkan mahasiswa-mahasiswi yang tidak ingin bergerak bersama. Terlebih komentar tersebut disebar lewat sosial media dan jarkom secara masif tanpa memperhatikan beberapa bahasa yang sebenarnya tidak patut untuk dikeluarkan. Apalagi beberapa tokoh yang ‘berkicau’ bukan alumni biasa. Ada yang merupakan mantan Ketua BEM UI. Ironis ketika sekarang kita melihat situasi alumni almamater ‘mengata-ngatai’ juniornya sendiri, dan para junior yang tadinya mengidolakan alumninya menjadi kehilangan respeknya.
Hasilnya adalah saling singgung-menyinggung yang tidak sehat sama sekali. Gerakan bersama menjadi mustahil dihasilkan. Tak usah jauh-jauh bicara revolusi, berkonsolidasi sesama BEM Se-UI saja tidak mampu. Justru jurang pemisah semakin menjadi-jadi. Akhirnya menghasilkan sebuah ‘deadlock’ dari konsolidasi gerakan itu sendiri. Saya katakan deadlock karena bila kondisi ini terus yang terjadi maka bisa dipastikan BEM UI akan kembali terus asik main sendiri. Begitu juga dengan BEM Fakultas. Gerakan BEM Se-UI menghadapi jalan buntu yang tentu tidak sehat bagi gerakan mahasiswa secara umum. Kondisi yang tidak sehat ini bisa berujung pada pembelahan secara nyata gerakan di UI. Bukan tidak mungkin kata BEM Se-UI tidak relevan lagi karena pada dasarnya tidak pernah ada gerakan yang benar-benar ‘Se-UI’. Hal ini terlihat jelas dengan BEM Fakultas yang menyerukan tuntutannya masing-masing. Jadilah kita seperti pasar tuntutan, silahkan pilih yang mana yang Anda suka.
Namun di balik itu memang saya menemukan ada sisi positifnya posisi deadlock ini. Beberapa BEM Fakultas sudah mulai berani untuk menggunakan otonomi relatif mereka terhadap BEM UI. Ini menghasilkan adanya check and balance yang baik. Karena selama ini memang tidak ada yang mengawasi secara ideal gerak-gerik BEM UI. Lembaga perwakilan mahasiswa belum maksimal dan belum memiliki kekuatan untuk melakukan kontrol. Sehingga kekuatan BEM Fakultas dapat dimaksimalkan untuk menjadi kontrol efektif. Bila kita cinta pada demokrasi, inilah budaya yang harus kita jalani. Tidak boleh lelah berdebat karena berbeda pendapat. Berani bersuara bila tidak sepakat.

Henti sejenak dan refleksi
Ini adalah momen yang tepat untuk berefleksi sejenak. Salah satu esensi penting dari menjadi motor pergerakan adalah seni mempengaruhi orang lain untuk bergerak. Penting bagi kita untuk terlebih dahulu mengajak orang-orang di sekitar kita mau bergerak bersama dengan kita. Tidak ada artinya apabila hanya kita sendiri yang bergerak dengan kelompok kita sendiri yang sudah pasti akan sejalan dengan kita. Gerakan itu tidak berhasil apabila tidak bisa mengajak begitu banyak golongan lain untuk ikut bergerak bersama. Seperti halnya gerakan masyarakat adat di beberapa negara Amerika Latin yang berhasil karena bergabung dengan gerakan-gerakan buruh, gender, atau pun lingkungan. Hasilnya mereka bisa mendapatkan kepentingan mereka yaitu otonomi budaya dan politik karena mau menyatukan kepentingan mereka bersama organ lain. UI jangan sampai mengadaptasi gerakan di Indonesia secara umum yang masih terfragmentasi dan tidak mau menyatukan diri.
Sehingga BEM UI harus menjawab pertanyaan penting di bagian awal tadi, mengapa mereka tidak mau bergerak dengan Anda? Bila isunya saja sudah segenting korupsi, berarti bukan di sana letak salahnya. Silahkan berkaca pada segala macam sisi yang selama ini dirasa bisa menjadi pemicu gagalnya konsolidasi BEM Se-UI. Bisa saja ini semua memang karena BEM UI tidak bisa dengan jelas menyelesaikan sentimen yang mengatakan mereka ‘ditunggangi’. Sentimen dibiarkan menumpuk dan membatu sehingga sudah sangat sulit untuk diajak berkompromi sambil minum kopi. Di Fakultas pun tidak ada yang berusaha secara kultural menengahkan sentimen itu. Selain itu seakan semua Fakultas memang harus membuat BEM UI sebagai kutub gerakan. Pertanyaan kritis lainnya adalah, kalau bukan BEM UI yang mengajak, apakah mungkin kelompok-kelompok yang tadinya tidak mau bergabung punya niat untuk ikut? Setidaknya fakta terakhir mengenai sebuah gerakan konsolidatif yang cukup menarik dapat kita pelajari dari kasus Pemilukada beberapa waktu lalu. Kelompok mahasiswa dari beberapa BEM Fakultas menyatakan bersatu dengan dosen-dosen, akademisi, dan berbagai masyarakat sipil lainnya untuk membangun sebuah aliansi bersama untuk menuntut kembalinya pemilihan langsung di Pemilukada. Gerakannya berjalan dan mendapat feedback yang cukup baik. Meskipun nyatanya hanya sedikit mahasiswa yang berperan aktif, namun diskursusnya bisa dikatakan terangkat di lingkungan kampus. Mahasiswa yang ikut di dalamnya tidak terjebak dengan romantisme ‘agent of change’ dan mau melebur dengan berbagai golongan masyarakat. Karena kita juga tidak boleh ahistoris dengan melupakan bahwa gerakan mahasiswa selama ini di sejarah kita selalu melebur dengan gerakan rakyat secara keseluruhan. Ingin rasanya membahas romantisme itu lebih jauh. Tapi biarlah itu ada di tulisan yang berbeda.
Selain itu BEM Fakultas juga perlu bertanya lagi, setelah ini ingin sendiri-sendiri atau bergabung dengan yang lain? Kalau nantinya beberapa Fakultas ternyata bisa bergabung menjadi satu, maukah merangkul BEM UI? Bila dibiarkan seperti ini terus pada akhirnya memang setiap BEM Fakultas akan bergerak sendiri dalam berbagai isu nantinya. Hal menarik dari aksi kemarin adalah fakta cukup banyak massa aksi yang memang bisa dikumpulkan oleh BEM UI dan beberapa BEM Fakultas yang masih memilih ikut. Saya sangat menunggu bagaimana tanggapan BEM Fakultas terkait hal ini. Karena selama ini pandangan yang berkembang adalah bahwa BEM UI sangat bergantung pada BEM Fakultas karena membutuhkan massa aksi. Ternyata dengan mundurnya beberapa BEM Fakultas tidak cukup signifikan dalam mengurangi massa tersebut. Bisa jadi blunder yang sayakatakan sebelumnya sebenarnya justru bisa menarik dan menyentil kepentingan banyak mahasiswa-mahasiswi lain, yang tidak peduli dengan sikap BEM Fakultas-nya sendiri. 
Budaya politik kita masih menonjolkan yang menang akan melupakan yang kalah. Tidak ada usaha untuk rekonsiliasi setelah konflik antar elitnya. BEM Fakultas akan merasa kajiannya yang paling hebat sehingga mendiskreditkan aksi dari kelompok lain. BEM UI akan merasa berhasil mengumpulkan massa dan menjadi corong gerakan dan tidak peduli pada suara yang berbeda. Tanpa mereka sadari, yang ada hanyalah lomba lari eksistensi dan menunggu lawan mengatakan kelompoknya yang paling berhasil. Sebaiknya jangan hanya menyalahkan mereka yang tidak mau bergabung dan menuding tidak mau bergerak atau tidak kritis. Justru tugas terberat memang mengajak sebanyak mungkin orang untuk bergerak bersama. Itulah seni menjadi motor pergerakan. Bila mereka tidak mau bergerak, menurut saya pribadi, ada yang salah dengan cara Anda mengajak atau ada sentimen yang tidak berusaha diselesaikan dari dahulu serta perbedaan kepentingan yang sangat terasa.
Tulisan ini sebenarnya saya tujukan terutama kepada kawan-kawan yang saat membaca tulisan ini berkata: Apaan nih? Gak ngerti beginian. Bodo amat. Ketidakpedulian kalian tidak bisa saya salahkan karena memang tidak pernah ada yang berusaha melibatkan kalian secara lebih. Tetapi tak ada salahnya pula sedikit meluangkan waktu untuk membaca kajian yang telah dihasilkan oleh BEM UI atau pun BEM Fakultas, seperti yang Anda lakukan dengan membaca tulisan saya ini. Sekedar membaca dan menambah wawasan bagus, mau bergerak lebih bagus. Anda mungkin sudah punya aksesnya karena sistem jarkom yang masif. Biarkanlah tulisan ini sebagai alat bantu kalian untuk mengetahui bahwa ada kawan-kawan yang lebih memilih untuk meluangkan waktu sejenak demi memikirkan masalah sosial-politik di sekitar kita meskipun berbeda pandangan. Serta ada kita yang memilih bersantai pada zona nyaman. Kampus pun dengan riang gembira akan merayakan keberhasilannya menjauhkan mahasiswa-mahasiswinya dari politik secara langsung. Lalu hanya Chairil yang akan berteriak, pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Beberapa pernyataan sikap dan kajian:
BEM UI                      : http://bit.ly/KIK3_KPKPOLRI3_KastratBEMUI
BEM FISIP UI           : bit.ly/20Maret2015
BEM FH UI                : chirpstory.com/li/257229



            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar