(Stephan Haggard, Sylvia Maxfield, dan Ben Ross Schneider: Theories of Business and Business-State Relations, Bab 2)
Hubungan bisnis dan negara cukup penting dalam analisa
ekonomi politik. Dengan demikian penting bagi kita untuk memahami jaringan ini
sebagai sebuah bahan kajian yang tak terpisahkan bila membahas ekonomi politik
sebuah negara. Tulisan dari Haggard et.al berusaha menjelaskan kepada
kita mengenai pendekatan ekonomi politik dari jaringan antara bisnis dan
negara. Macam-macam pendekatan itu menempatkan bisnis (dikonsepkan sebagai sektor
privat) sebagai modal (capital), sektor (sektor), firm, asosiasi (association),
dan juga jaringan (network).
Dalam pendekatan bisnis sebagai modal menekankan pada
arus ekonomi yang ada di dalam bisnis itu sendiri. Kita dapat menilai bahwa
pendekatan ini akan menghadirkan bisnis dalam analisa mobilisasi sumber daya
yang menjadi salah satu hal penting dalam kajian ekonomi politik. Mobilisasi
sumber daya ini sendiri menjadi alat politik yang kuat dari para pelaku politik
baik itu negara atau pun pihak lainnya. Dibandingkan dengan kelompok-kelompok
lain dalam masyarakat, kelompok bisnis memiliki kekuatan yang lebih besar
karena ditopang kekuatan modal mereka. Daya tawar mereka lebih besar karena
tidak terbatas pada modal ekonomi seperti yang menjadi masalah kelompok
kepentingan yang lain.
Namun ternyata ada pihak yang berpandangan bahwa di
dalam kelompok bisnis ini sebenarnya tidak homogen. Ada persaingan yang terjadi
di dalamnya. Hal ini dilihat oleh pendekatan yang menempatkan bisnis sebagai
sektor. Pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh banyaknya sektor yang bersaing
dalam perekonomian. Salah satu pemikir pendekatan ini adalah Peter Gourevitvh
(1986) yang mengambil akar dari diferensisi produksi yang pada akhirnya akan
menghasilkan kekuasaan atas sektor yang berbeda-beda tergantung koalisi yang
terbentuk. Pendekatan ini mendapatkan kritik karena sifatnya yang sangat
mengikuti keinginan sektoral, atau dengan kata lain memainkan logika pasar.
Pendekatan ketiga lebih melihat pada pengaruh dari
organisasi korporasi itu sendiri. Para pengguna pendekatan ini melihat bahwa
kondisi internal yang ada di dalam organisasi perusahaan merupakan unit
analisis yang penting. Besarnya perusahaan dan perluasannya adalah dimensi yang
tidak terlewatkan dari pendekatan ini. Dengan demikian besarnya kekuatan sebuah
perusahaan dan bagaimana mereka mendapat kekuatan itu akan dianalisa dan
dihubungkan pula dengan jaringannya dengan negara.
Bisnis sebagai asosiasi adalah pendekatan yang lebih
melihat pada implementasi dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Pendekatan ini membantu melihat sejauh mana intervensi yang dilakukan
pemerintah lewat regulasi yang masuk ke sektor privat atau bisnis. Pendekatan
ini dapat dikatakan melihat pada otonomi relatif negara dalam melakukan
regulasi untuk mengintervensi kelompok-kelompok bisnis. Pada sisi yang lain
pendekatan ini juga melihat pada bagaimana respon dari kelompok bisnis terhadap
regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut.
Selain itu pada pendekatan yang terakhir, bisnis
sebagai jaringan, lebih melihat pada jaringan yang dibangun oleh relasi
personal antar pelaku politik dan bisnis. Pendekatan ini ingin melihat relasi
khusus yang dimiliki oleh para pengusaha dengan politisi sebagai unit analisa
yang penting dalam membahas bisnis dan negara. Dengan demikian dalam pendekatan
ini kita akan menemukan pembahasan terkait hubungan kekerabatan yang ada antar
pelaku bisnis dengan aktor politik dalam pemerintahan. Sifat-sifat patron klien
yang ada dalam kelompok bisnis adalah contoh kasus yang dibahas lewat
pendekatan ini. Sehingga dengan kata lain patron klien adalah salah satu bentuk
jaringan tersebut.
Saya
ingin mencoba menghubungkan kelima pendekatan tersebut dengan politik
Indonesia. Hal ini sangat menarik karena kelompok pengusaha atau sektor bisnis
di Indonesia telah terbukti dalam sejarah memiliki pengaruh yang besar pada
kebijakan atau pun kekuasaan yang ada. Di antara kelima pendekatan itu saya
melihat ada dua pendekatan yang sangat relevan dengan konteks politik Indonesia
yaitu bisnis sebagai: asosiasi dan jaringan.
Konteks
ekonomi politik Indonesia pada masa Orde Baru dapat dijelaskan dengan
pendekatan bisnis sebagai jaringan. Patron klien sangat mengakar pada masa
pemerinthan Suharto. Sektor-sektor bisnis dikuasai oleh orang-orang yang berada
dalam lingkaran Suharto. Kekuatan koneksi dengan keluarga Cendana adalah syarat
untuk para pelaku bisnis untuk mendapatkan kekuasaan atas bisnis yang ingin
dijalankannya. Karena itu bisa dikatakan tidak ada pintu yang luas untuk adanya
persaingan bisnis. Aktor-aktor baru sulit untuk muncul dalam kondisi tersebut.
Sehingga yang dicari oleh para pelaku bisnis adalah bagaimana mendapatkan
koneksi yang kuat dengan perpanjangan tangan lingkaran Cendana.
Kondisi
yang berbeda terjadi pada masa setelah Reformasi, atau konteks terkini dari
Indonesia. Banyak bermunculan individu atau pun kelompok baru dalam sektor
bisnis di Indonesia. Lengsernya Suharto membuat kekuatan lingkaran Cendana pun
memudar atau hilang. Itu memberikan kesempatan bagi pengusaha-pengusaha baru
untuk bisa bermain dalam bisnis yang besar. Faktanya saat ini memang
pertumbuhan kelas menengah di Indonesia cukup pesat. Kelas ini menjadi semakin
kuat seiring berjalannya waktu. Adanya sistem pasar yang semakin meluas membuat
banyak pengusaha besar memanfaatkan momentum itu untuk bersaing. Sehingga
persaingan lebih terbuka dan sifat patron klien tidak sekuat pada masa Orde
Baru.
Mulai
kuatnya kalangan pengusaha memberikan mereka kekuatan lebih untuk
mengkontestasi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kekuatan modal
mereka begitu penting untuk berhadapan dengan pemerintah. Pendekatan bisnis
sebagai asosiasi dapat membantu kita melihat bagaimana saat ini persoalan yang
muncul adalah sejauh mana negara harus melakukan intervensi. Pemerintah di satu
sisi dapat menjalin kerjasama dengan para pelaku bisnis, namun di sisi yang
lain juga dapat membatasinya. Namun asosiasi bisnis ini sendiri memiliki
potensi untuk bisa mengambil sikap dan mengatur dirinya sendiri. Tarik ulur
kepentingan antara asosiasi bisnis sebagai sebuah kelompok dengan pemerintah
yang saya rasa sangat dominan dalam ekonomi politik Indonesia dewasa ini.
Tetapi
memang perlu dikaji lagi apakah memang benar patron klien dalam hubungan bisnis
dan negara benar-benar telah kehilangan tempat di Indonesia. Desentralisasi
yang berjalan di Indonesia hingga saat ini faktanya justru menimbulkan
banyaknya raja-raja kecil yang mengeksploitasi sumber daya alam daerah
memanfaatkan amanah konstitusi. Secara sederhana kelompok bisnis yang tadinya
terpusat sekarang ini juga menyebar di daerah-daerah dan membangun monopolinya
sendiri-sendiri.
Kesimpulan
yang bisa saya tarik adalah pendekatan bisnis dan politik yang diberikan oleh
Haggard et.al bisa membantu kita untuk melihat satu persoalan hubungan antara
bisnis dan politik dari beberapa aspek. Pemilihan pendekatan mana yang diambil
akan mempengaruhi kita dalam menempatkan kelompok bisnis dalam konteks kekuatan
politik di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar