Kamis, 12 Maret 2015

MELIHAT RELASI NEGARA-BISNIS DALAM KERANGKA EKONOMI POLITIK

(Stephan Haggard, Sylvia Maxfield, dan Ben Ross Schneider: Theories of Business and Business-State Relations, Bab 2)

Hubungan bisnis dan negara cukup penting dalam analisa ekonomi politik. Dengan demikian penting bagi kita untuk memahami jaringan ini sebagai sebuah bahan kajian yang tak terpisahkan bila membahas ekonomi politik sebuah negara. Tulisan dari  Haggard et.al berusaha menjelaskan kepada kita mengenai pendekatan ekonomi politik dari jaringan antara bisnis dan negara. Macam-macam pendekatan itu menempatkan bisnis (dikonsepkan sebagai sektor privat) sebagai modal (capital), sektor (sektor), firm, asosiasi (association), dan juga jaringan (network).
Dalam pendekatan bisnis sebagai modal menekankan pada arus ekonomi yang ada di dalam bisnis itu sendiri. Kita dapat menilai bahwa pendekatan ini akan menghadirkan bisnis dalam analisa mobilisasi sumber daya yang menjadi salah satu hal penting dalam kajian ekonomi politik. Mobilisasi sumber daya ini sendiri menjadi alat politik yang kuat dari para pelaku politik baik itu negara atau pun pihak lainnya. Dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, kelompok bisnis memiliki kekuatan yang lebih besar karena ditopang kekuatan modal mereka. Daya tawar mereka lebih besar karena tidak terbatas pada modal ekonomi seperti yang menjadi masalah kelompok kepentingan yang lain.
Namun ternyata ada pihak yang berpandangan bahwa di dalam kelompok bisnis ini sebenarnya tidak homogen. Ada persaingan yang terjadi di dalamnya. Hal ini dilihat oleh pendekatan yang menempatkan bisnis sebagai sektor. Pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh banyaknya sektor yang bersaing dalam perekonomian. Salah satu pemikir pendekatan ini adalah Peter Gourevitvh (1986) yang mengambil akar dari diferensisi produksi yang pada akhirnya akan menghasilkan kekuasaan atas sektor yang berbeda-beda tergantung koalisi yang terbentuk. Pendekatan ini mendapatkan kritik karena sifatnya yang sangat mengikuti keinginan sektoral, atau dengan kata lain memainkan logika pasar.
Pendekatan ketiga lebih melihat pada pengaruh dari organisasi korporasi itu sendiri. Para pengguna pendekatan ini melihat bahwa kondisi internal yang ada di dalam organisasi perusahaan merupakan unit analisis yang penting. Besarnya perusahaan dan perluasannya adalah dimensi yang tidak terlewatkan dari pendekatan ini. Dengan demikian besarnya kekuatan sebuah perusahaan dan bagaimana mereka mendapat kekuatan itu akan dianalisa dan dihubungkan pula dengan jaringannya dengan negara.
Bisnis sebagai asosiasi adalah pendekatan yang lebih melihat pada implementasi dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pendekatan ini membantu melihat sejauh mana intervensi yang dilakukan pemerintah lewat regulasi yang masuk ke sektor privat atau bisnis. Pendekatan ini dapat dikatakan melihat pada otonomi relatif negara dalam melakukan regulasi untuk mengintervensi kelompok-kelompok bisnis. Pada sisi yang lain pendekatan ini juga melihat pada bagaimana respon dari kelompok bisnis terhadap regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut.
Selain itu pada pendekatan yang terakhir, bisnis sebagai jaringan, lebih melihat pada jaringan yang dibangun oleh relasi personal antar pelaku politik dan bisnis. Pendekatan ini ingin melihat relasi khusus yang dimiliki oleh para pengusaha dengan politisi sebagai unit analisa yang penting dalam membahas bisnis dan negara. Dengan demikian dalam pendekatan ini kita akan menemukan pembahasan terkait hubungan kekerabatan yang ada antar pelaku bisnis dengan aktor politik dalam pemerintahan. Sifat-sifat patron klien yang ada dalam kelompok bisnis adalah contoh kasus yang dibahas lewat pendekatan ini. Sehingga dengan kata lain patron klien adalah salah satu bentuk jaringan tersebut.
            Saya ingin mencoba menghubungkan kelima pendekatan tersebut dengan politik Indonesia. Hal ini sangat menarik karena kelompok pengusaha atau sektor bisnis di Indonesia telah terbukti dalam sejarah memiliki pengaruh yang besar pada kebijakan atau pun kekuasaan yang ada. Di antara kelima pendekatan itu saya melihat ada dua pendekatan yang sangat relevan dengan konteks politik Indonesia yaitu bisnis sebagai: asosiasi dan jaringan.
            Konteks ekonomi politik Indonesia pada masa Orde Baru dapat dijelaskan dengan pendekatan bisnis sebagai jaringan. Patron klien sangat mengakar pada masa pemerinthan Suharto. Sektor-sektor bisnis dikuasai oleh orang-orang yang berada dalam lingkaran Suharto. Kekuatan koneksi dengan keluarga Cendana adalah syarat untuk para pelaku bisnis untuk mendapatkan kekuasaan atas bisnis yang ingin dijalankannya. Karena itu bisa dikatakan tidak ada pintu yang luas untuk adanya persaingan bisnis. Aktor-aktor baru sulit untuk muncul dalam kondisi tersebut. Sehingga yang dicari oleh para pelaku bisnis adalah bagaimana mendapatkan koneksi yang kuat dengan perpanjangan tangan lingkaran Cendana.
            Kondisi yang berbeda terjadi pada masa setelah Reformasi, atau konteks terkini dari Indonesia. Banyak bermunculan individu atau pun kelompok baru dalam sektor bisnis di Indonesia. Lengsernya Suharto membuat kekuatan lingkaran Cendana pun memudar atau hilang. Itu memberikan kesempatan bagi pengusaha-pengusaha baru untuk bisa bermain dalam bisnis yang besar. Faktanya saat ini memang pertumbuhan kelas menengah di Indonesia cukup pesat. Kelas ini menjadi semakin kuat seiring berjalannya waktu. Adanya sistem pasar yang semakin meluas membuat banyak pengusaha besar memanfaatkan momentum itu untuk bersaing. Sehingga persaingan lebih terbuka dan sifat patron klien tidak sekuat pada masa Orde Baru.
            Mulai kuatnya kalangan pengusaha memberikan mereka kekuatan lebih untuk mengkontestasi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kekuatan modal mereka begitu penting untuk berhadapan dengan pemerintah. Pendekatan bisnis sebagai asosiasi dapat membantu kita melihat bagaimana saat ini persoalan yang muncul adalah sejauh mana negara harus melakukan intervensi. Pemerintah di satu sisi dapat menjalin kerjasama dengan para pelaku bisnis, namun di sisi yang lain juga dapat membatasinya. Namun asosiasi bisnis ini sendiri memiliki potensi untuk bisa mengambil sikap dan mengatur dirinya sendiri. Tarik ulur kepentingan antara asosiasi bisnis sebagai sebuah kelompok dengan pemerintah yang saya rasa sangat dominan dalam ekonomi politik Indonesia dewasa ini.
            Tetapi memang perlu dikaji lagi apakah memang benar patron klien dalam hubungan bisnis dan negara benar-benar telah kehilangan tempat di Indonesia. Desentralisasi yang berjalan di Indonesia hingga saat ini faktanya justru menimbulkan banyaknya raja-raja kecil yang mengeksploitasi sumber daya alam daerah memanfaatkan amanah konstitusi. Secara sederhana kelompok bisnis yang tadinya terpusat sekarang ini juga menyebar di daerah-daerah dan membangun monopolinya sendiri-sendiri.

            Kesimpulan yang bisa saya tarik adalah pendekatan bisnis dan politik yang diberikan oleh Haggard et.al bisa membantu kita untuk melihat satu persoalan hubungan antara bisnis dan politik dari beberapa aspek. Pemilihan pendekatan mana yang diambil akan mempengaruhi kita dalam menempatkan kelompok bisnis dalam konteks kekuatan politik di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar