Berbicara soal fakta, KPK adalah garda terdepan saat ini dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini dikarenakan instansi Polri sangat
kurang, bila tidak ingin dikatakan nol besar, dalam pemberantasan korupsi. Fakta
lainnya Indonesia telah memilih menjadi sebuah negara hukum sehingga patut
menghormati prosedurnya. Kita punya Polri yang bertugas untuk menindak
segala macam tindakan yang melanggar hukum. Selain itu masyarakat jelas ingin agar
pemerintahan bersih dari korupsi dan juga tegaknya hukum di Indonesia. Lalu
bagaimana ketika dua alat negara, untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi, justru
saling bermain sandra satu sama lain?
Saya tidak ingin berbicara banyak dalam dimensi hukum. Saya lebih tertarik
melihat dimensi politik dalam masalah persaingan antar ‘binatang’ ini (seperti
yang dianalogikan oleh media sebagai cicak vs buaya). Berbicara tentang politik
berarti menyinggung tentang perebutan kekuasaan, tentang kepentingan, dan
aktor-aktor di dalamnya. Hal itu dapat kita lihat dalam masalah Polri dan KPK. Keduanya
jelas sama-sama punya kepentingan. Sebagai instansi, Polri jelas berkepentingan
menegakkan hukum, sedangkan KPK untuk memberantas korupsi. Tetapi soalnya akan
lain apabila kita melihat soal perebutan kekuasaan.
Polri dan KPK sebagai instansi memang sama-sama punya modal untuk merebut
kekuasaan. Polri punya kekuatan untuk menindak semua tindakan yang dianggap
melanggar hukum. Mereka punya aparat, sistem dan prosedur, serta kekuatan untuk
menggunakan senjata atau kekerasan bila diharuskan. KPK pun punya modal tim
investigasi atau pun penyidik. Mereka pun bergerak sesuai hukum dan
terspesialisasi dengan masalah korupsi. Senjata mereka adalah tim investigasi
atau pun penyidik, serta tentunya daftar incaran orang yang dicurigai sebagai koruptor. Kapan
diusutnya? Mungkin hanya KPK yang tahu.
Bila kembali pada pertanyaan sebelumnya, apakah kedua instansi ini punya
niat mendapatkan kekuasaan? Jelas tidak. Polri atau pun KPK adalah dua instansi
negara. Dengan kata lain, keduanya adalah alat negara. Karena merupakan alat negara
maka keduanya sejatinya bertugas untuk melayani masyarakat. Mereka berbeda
dengan partai politik yang memang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Sehingga
penyebutan bahwa konflik yang terjadi adalah persaingan antar kedua instansi
jelas tidak tepat. Dalam sebuah persaingan atau peperangan akan ada yang menang
dan kalah. Pihak yang menang akan mendapat kekuasaan terhadap pihak yang kalah.
Namun tidak dengan kasus ini. Tidak ada yang bisa menguasai instansi lainnya
karena keduanya sama-sama alat negara. Sehingga jelas ini bukan soal persaingan
antara instansi Polri dan KPK.
Lain soal ketika yang bersaing adalah aktor-aktor di dalam, atau bahkan di
luar, instansi tersebut. Sebagai alat negara, baik Polri atau KPK tentu
memiliki kekuatan yang besar seperti yang telah dijabarkan sebelumnya. Masalah terjadi ketika ada aktor yang memanfaatkan
instansi yang kuat ini untuk mendapatkan kekuasaan yang diinginkannya.
Bayangkan betapa kuatnya seorang aktor ketika sebuah instansi semacam Polri,
yang punya persenjataan dan juga aparat yang dapat bergerak sesuai komando, dan
KPK, yang punya tumpukan daftar incaran beserta tim penyidikan yang punya akses
yang begitu luas, dijadikan alat
politik.
Lalu siapa sebenarnya aktornya? Saya juga tidak tahu. Tapi yang saya tahu
setiap orang yang berkuasa akan sangat dekat dengan keinginan untuk
mempertahankan kekuasaan atau pun meluaskan kekuasaannya. Jabatan Kapolri
adalah jabatan yang punya kekuasaan. Ketua KPK pun demikian. Apalagi seorang
Presiden dan Wakil Presiden. Seorang anggota atau pun petinggi polisi bisa saja
punya niat atau ambisi untuk menjadi Kapolri. Begitu pula dengan Ketua KPK bila
punya niatan untuk melangkah ke level kekuasaan yang lebih besar. Hal itu sah
saja bagi saya. Namun menjadi tidak dapat diterima ketika mereka menggunakan
instansi seperti Polri dan KPK, yang telah kita sadari sebagai alat negara,
sebagai alat politik mereka.
Kebenaran hal di atas memang sulit untuk kita lihat, namun penting untuk
dibuktikan kebenarannya. Sampai saat ini kita tidak tahu apakah Budi Gunawan
atau Bambang Widjojanto benar-benar bersalah. Kita juga tidak tahu apakah
memang benar Abraham Samad punya niat politis atau pun kelompok kecil di dalam
Polri melakukan pembalasan dendam kepadanya karena ingin menangkap Budi
Gunawan. Kita masyarakat hanya bisa menerka-nerka. Tetapi hukum dapat membantu
kita untuk setidaknya tahu apakah benar Budi Gunawan itu korup, atau Bambang Widjojanto
benar-benar menjadi korban kriminalisasi. Tantangan ada di kejaksaan dan
kehakiman untuk benar-benar bertindak sesuai dengan adil dan jujur. KPK pun ada
Komite Etik yang bisa dimanfaatkan untuk membantu kita melihat kebenaran dari
niat politis Abraham Samad. Semua ada prosedur yang sebenarnya bila kita ikuti
dapat membantu kita mendapatkan kejelasan.
Masyarakat perlu kritis dalam menempatkan posisi dalam konflik yang terjadi
saat ini. Kondisi yang terlihat sekarang ini masyarakat seperti didorong untuk
terbelah menjadi dua. Saat ini banyak kelompok masyarakat sipil, terutama
penggiat anti korupsi, yang mendukung adanya tindakan penyelamatan KPK.
#SaveKPK terdengar dimana-mana. Lalu bagaimana dengan Polri? Tidakkah kita
ingin juga menyelamatkan instansi ini? Dukungan dari masyarakat sipil seperti pada KPK tidak terasa dimiliki oleh Polri. Telah disebutkan sebelumnya bahwa persaingan kekuasaan hanya
terjadi antar aktor di dalam atau pun di luar instansi. Dengan demikian menurut
saya yang perlu dijadikan tujuan adalah penyelamatan kedua instansi dari
pemanfaatan sebagai alat politik oleh aktor-aktor tertentu. Secara
sederhananya, masalah yang terjadi adalah antar aktor atau individu. Sehingga
mereka harus dituntut untuk berani bertanggungjawab tanpa menyeret-nyeret
instansi masing-masing sebagai tameng.
Indonesia butuh Polri dan juga butuh KPK. Penyelamatan keduanya dari niat
politis dibutuhkan negara ini apabila penegakkan hukum dan juga pemberantasan
korupsi benar-benar ingin ditingkatkan. Kedua instansi tersebut sudah
seharusnya saling bekerjasama untuk mencapai hal tersebut. Untuk
mengkoordinasikan keduanya itu kita memiliki presiden yang punya kuasa terhadap
hal itu. Terkait peran presiden ini, menarik bagi kita menunggu tindakan
strategis yang akan dilakukan oleh Jokowi. Ia adalah sosok pemimpin yang tidak
banyak berkomentar. Di satu sisi mungkin ini adalah ciri khasnya yang ingin
memperlihatkan pemimpin yang hanya tahu bekerja saja. Namun pada sisi yang lain
hal ini pula yang membuat spekulasi liar dapat dengan mudah beredar
dimana-mana. Faktanya saat ini Abraham Samad sebagai pemimpin KPK secara jelas memang
diserang pula oleh politisi PDIP. Kita pun tahu bahwa PDIP adalah partai yang
berkuasa dan merupakan partai Jokowi. Dengan kata lain aktor yang bersaing
disini juga tidak bisa kita sempitkan lingkupnya hanya yang berada di dalam
Polri atau KPK saja.
Tulisan ini pada dasarnya ingin mengajak kita semua bertanya kembali pada
diri masing-masing. Siapa sebenarnya yang kita ingin selamatkan? Pemimpin KPK
atau instansi KPK? Atau mungkin siapa yang ingin kita lawan? Polri atau
korupsi?
Saat ini kita semua menunggu model penyelamatan apa yang bisa dilakukan
oleh seorang Jokowi. Masalahnya, kita masyarakat Indonesia tidak begitu suka
menunggu terlalu lama. Namun, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.
Gue cukup setuju ama pendapat ini. Sebenernya emang menurut gue jatohnya lebih banyak Polri yang diserang dalam kasus-kasus baru ini terjadi adalah karena persepsi (yang gue bingung muncul dari mana, atau mungkin bisa saja karena media). Persepsi ini seakan "mengantagoniskan" Polri. Ya mungkin aja karena korupsi udah menjadi masalah yang mengakar di Indonesia dan rakyat udah enggan toleransi, setiap ada kasus terhadap KPK diposisikan rakyat (dan media) sebagai upaya pelemahan KPK. Misalnya, kasus BW yang dijadikan titik masalah dianggap hanya "ngungkit-ngungkit" dan cari alesan karena kasus 2010 yang diangkat. Coba puter perspektifnya, KPK pun banyak mengangkat kasus korupsi yang telah lama terjadi. Misal, pengangkatan kasus Hadi Purnomo saat beliau masih menjabat Dirjen Pajak (itu sudah sedekade lalu kalau tidak salah ingat, namun diangkat saat mendekati periode Pemilu, tanya kenapa?? :) ). Semua memiliki proses pengusutan dan pencarian bukti, kasus pun dapat diangkat kapanpun.
BalasHapusKedua, sebenernya ini jatohnya jadi kayak pars prototo, sebagian dianggap sebagai keseluruhan. Nila setitik rusak susu sebelangan. Jatohnya salah alamat, apakah kita telah cukup tahu dan paham mengenai sistem yang ada? para aktor yang ada? Prosesi hukum apakah telah dijalankan?
Kali ini (meskipun saya termasuk semesta warga Indonesia yang sudah tdak sabar lagi menghadapi korupsi dan kurangnya transparansi ini), saya ingin mengquote kata-kata Pak Jokowi bahwa jangan ada KPK bertingkah layaknya Dewa dan jangan ada Polri yang bertindak tanpa prosesi yang sewajarnya. Tim 9 Presiden semoga dapat menghentikan terjadinya kedua hal ini. Miris rasanya melihat dua instrumen negara dalam menjamin keamanan dan kesejahteraan bangsa ini diadu domba oleh priyayi (yang kita msih belum tahu siapa dan mengapa) serta dihujat oleh bangsa yang mereka ingin lindungi
Je suis Rainer. Ini opini gue. Thanks dan salam ekspresi
Terimakasih atas komentarnya. Mari kita kawal sama-sama ke depannya.
Hapus