Senin, 13 Juli 2015

POLITIK ALTERNATIF: BELAJAR DARI ZAPATISTA

Susan Stokes mengatakan bahwa berbicara tentang politik berarti berbicara tentang distribusi sumber daya yang ada. Untuk bisa mendapatkan distribusi tersebut pada kenyataannya memang tidak mudah. Akan tetapi bisa dikatakan pengertian seperti demikianlah yang nampaknya masih bisa memberikan optimisme bagi perkembangan ilmu politik ke depannya. Ketika kita mengatakan tentang aliran sumber daya berarti ada ruang perjuangan yang bisa kita isi. Sebuah alternatif selalu dibutuhkan bila ingin keluar dari pengaruh dominan pihak yang berkuasa agar bisa mendapatkan akses terhadap sumber daya. Terkait hal ini nampaknya Indonesia masih perlu belajar banyak. Begitu banyak kelompok masyarakat yang sebenarnya memiliki kepentingan akan distribusi sumber daya, namun tidak berakhir dengan sebuah perjuangan yang tepat. Berkaca kepada kondisi negara lain selalu dapat menjadi pelajaran yang baik. Amerika Latin adalah contoh yang baik dalam hal perjuangan itu.
      Nur Iman Subono dalam tulisannya mengatakan bahwa perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan hak politik dan ekonomi termasuk kedalam gerakan ‘kiri baru’ yang mulai tumbuh di Amerika Latin. Dalam ‘kiri baru’, gerakan yang dibawa tidak melalui cara-cara radikal atau dengan kekerasan. Corak dari gerakan ‘kiri baru’ yang ada di Amerika Latin ini adalah adanya keinginan untuk memanfaatkan cara-cara elektoral untuk bisa mendapatkan tujuan yang ingin dicapai. Kemenangan beberapa pemimpin kiri di Amerika Latin, termasuk yang merupakan bagian dari masyarakat adat, dalam pemilu-pemilu yang mereka ikuti menjadi catatan unik dari yang telah berhasil dilakukan oleh kelmpok ‘kiri baru’ ini.[1]
            Gerakan Zapatista dari daerah Chiapas, Meksiko, adalah salah satu contoh dari perjuangan masyarakat adat di Amerika Latin untuk melawan sistem kapitalisme neoliberal. Ketimpangan sosial yang menjadi dampak dari sistem tersebut telah menghinggapi masyarakat adat di Chiapas. Kondisi ini yang membuat gerakan Zapatista melihat perlunya alternative politik bagi mereka agar bisa bertahan dari tekanan globalisasi yang sedang terjadi. Di saat negara berusaha menyatu dengan sistem kapitalisme dunia, gerakan Zapatista berusaha memperjuangkan otonomi atas kehidupan masyarakat adat di daerahnya yang tertinggal jauh dari dampak positif seperti telah dijanjikan ekonomi kapitalisme.
Richard Stahler-Sholk dalam tulisannya menjelaskan gerakan Zapatista sebagai sebuah gerakan sosial yang memiliki berbagai sumber daya yang diperlukan untuk melakukan sebuah perlawanan yang besar. Ada beberapa lapis kekuatan yang menjadi modal penting Zapatista untuk bisa bertahan sampai dengan saat ini. Yang pertama adalah kekuatan bersenjata dari EZLN (Ejercito Zapatista de Liberation National). Tidak dipungkiri kekuatan bersenjata ini menjadi modal penting karena membuat perlawanan mereka tidak dengan mudah bisa dipatahkan oleh negara, atau dalam hal ini militer. Kedua, gerakan Zapatista memiliki jaringan yang luas dengan pihak yang mendukung mereka baik di tingkat nasional atau internasiona. Lapis ketiganya adalah dukungan masyarakat adat di berbagai zona konflik di Chiapas.[2]
Penanda kemunculan dari gerakan Zapatista sampai akhirnya dikenal secara nasional bahkan internasional terjadi pada tahun 1994. Pada tanggal 1 Januari tahun tersebut gerakan Zapatista bergerak menuju ke San Cristobal de las Casas di Chiapas, Meksiko. Mereka lalu menduduki San Cristobal dan enam kota lainnya di negara bagian tersebut.[3] Kedatangan beribu-ribu Zapatista itu langsung menarik perhatian dan menjadi momen yang penting untuk menunjukkan keberadaan gerakan ini ke negara. Sejak momen tahun 1994 itu gerakan Zapatista menempatkan diri mereka, atau mungkin ditempatkan, sebagai simbol sekaligus motor pergerakan masyarakat adat di Meksiko maupun Amerika Latin.
            Gemma van der Haar dalam artikelnya menyebutkan bahwa momen perlawanan yang dilakukan oleh Zapatista di atas itu ternyata tidak diawalai oleh niatan untuk membangun simbolisasi sebagai pelindung hak masyarakat adat. Karakter Zapatista seperti itu lahir karena proses panjang bertahun-tahun setelah peristiwa itu terjadi. Gerakan itu melakukan berbagai kegiatan atau perlawanan untuk mendorong otonomi dan penegakan hak masyarakat adat sehingga mereka bisa ditempatkan secara simbolis seperti itu. Gemma van der Haar dalam tulisannya juga menuliskan bahwa gerakan Zapatista memiliki andil besar dalam memasukkan isu hak masyarakat adat ke dalam diskursus kebijakan dan politik di Meksiko. Hal ini sangat penting karena sebelumnya negara dan masyarakat pada umumnya tidak terlalu memperdulikan mengenai isu tersebut. Negara Meksiko terlalu sibuk dengan hingar-bingar ingin menjadi masyarakat kelas ‘dunia pertama’ karena langkah mereka di NAFTA.[4]
            Pendudukan yang dilakukan pada tahun 1994 itu diikuti oleh benturan dengan pihak militer Meksiko dalam jangka waktu 12 hari sebelum akhirnya diadakan gencatan senjata. Tekanan yang sempat diberikan oleh pihak militer dalam 12 hari itu telah menelan korban yang tidak sedikit. Grace Livingstone mencatat ada setidaknya lebih dari dua ratus orang meninggal dunia karena pemboman dan serangan-serangan lain dari pihak militer. Setela gencatan senjata terjadi, gerakan Zapatista tetap tinggal di pos-pos mereka dengan tetap bersenjata. Akan tetapi yang menarik dari tulisan Livingstone adalah bahwa pendapatnya yang mengatakan gerakan Zapatista tidak menitikberatkan pada konfrontasi militer. Meskipun mempersenjatai diri dengan kekuatan bersenjata dalam wujud EZLN, gerakan Zapatista sesungguhnya ingin mencapai tujuan dengan cara-cara perundingan dan negosiasi damai dengan pihak pemerintah. Sehingga secara sederhana gerakan ini memang berniat untuk menaikkan kesadaran Meskiko akan hak masyarakat adat, ketimbang berniat untuk mendapatkan kekuasaan.[5]
            Setelah gencatan senjata terjadi, pencapaian yang berhasil dicapai oleh perlawanan Zapatista adalah diadakannya Persetujuan San Andres. Persetujuan ini ditempatkan sebagai sebuah pencapaian karena pada akhirnya negara mau untuk memberikan pernyataan untuk memberikan perhatian lebih kepada hak-hak masyarakat adat yang selama ini bahkan sama sekali tidak diperhatikan sama sekali. Gemma van der Haar menyebutkan bahwa setelah gencatan senjata terjadi, Zapatista memang berfokus untuk memperjuangkan tujuan mereka dengan cara-cara yang lebih politis ketimbang menggunakan kekerasan. Dalam persetujuan yang dilakukan pada tanggal 16 Februari 1996 tersebut ada beberapa poin penting yang berhasil dicapai. Gerakan Zapatista menyerahkan kepercayaan kepada pemerintah untuk menjamin adanya pengakuan atas hak-hak masyarakat adat di organisasi politik maupun sosial, pemilu untuk pejabat lokal, keadilan dalam hal administratif, manajemen sumber daya alam, kepemilikan atas tanah dan pembangunan budaya.[6] 
            Persetujuan San Andres ini di satu sisi memang bisa dilihat sebagai pencapaian dari gerakan Zapatista ini. Hal ini karena untuk pertama kalinya pemerintah Meksiko mau berniat memberikan perhatian lebih kepada masyarakat adat. Poin-poin yang ada di persetujuan tersebut, seperti disebutkan di atas, juga memang menyentuh permasalahan-permasalahan penting yang menghinggapi masyarakat adat setelah kapitalisme global masuk ke Meksiko. Akan tetapi setelah persetujuan itu dilakukan pemerintah tidak serta merta melakukan peruahan seperti yang telah dituntut. Pergantian-pergantian kepemimpinan di pemerintahan pusat Meskiko menjadi salah satu hal yang terihat jelas mempengaruhi perubahan sikap terhadap gerakan Zapatista. Harapan untuk terwujudnya poin-poin yang ada di dalam Persetujuan San Andres tidak terjadi karena hubungan antara Zapatista dengan negara kembali berupa konfrontasi atau kekerasan. Negara di bawah kepemimpinan yang baru tidak berniat untuk menyetujui atau mengakomodir berbagai kepentingan yang telah diajukan Zapatista. Tidak terjadinya akomodasi ini yang menyebabkan perjuangan Zapatista terus berlanjut.
            Dalam tulisannya yang berjudul Resisting Neoliberal Homogenization: The Zapatista Autonomy Movement, Richard Stahler-Sholk menjelaskan bila ingin dipisahkan dalam periodesasi, berjuangan Zapatista dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama terjadi pada Desember 1994 ketika pemerintah mulai mengerahkan tenaga militernya ke titik-titik yang dikuasai oleh Zapatista. Hal ini direspon oleh Zapatista dengan perlawanan di sekitar 35 titik kota. Tahap kedua menurut Stahler-Sholk terjadi setelah Persetujuan San Andres telah terjadi pada 1996. Mulai bulan Oktober 1996, mengikuti isi persetujuan tersebut, Zapatista memboikot pemilihan kepala daerah dan tidak mengakui beberapa pejabat yang telah terpilih sebelumnya, serta memilih untuk menggantinya lewat pemilihan lewat majelis masyarakat.   Tahap ketiga terjadi setelah 1997, dimana pemerintah telah dengan jelas tidak mengikuti hasil Persetujuan San Andreas. Karena tidak konsistennya pemerintah, gerakan Zapatista memberlakukan otonomi daerah secara de facto atau sepihak, dan juga mengusir aparat pemerintahan yang ada di daerah tersebut.[7]
            Pemerintahan otonomi langsung diberlakukan oleh Zapatista tanpa menunggu persetujuan dari pemerintah pusat. Hal ini memang akan terus memancing relasi yang antagonistik antara pemerintah pusat dengan Zapatista. Akan tetapi kita perlu melihat dan menempatkan pemerintahan otonomi sepihak oleh gerakan Zapatista ini sebagai sebuah bentuk perlawanan atas tidak diakomodirnya kepentingan mereka. Perlawanan seperti ini sebenarnya bisa dikatakan efektif karena mereka juga membangun legitimasi dari masyarakat lokal. Dalam beberapa referensi yang say abaca gerakan ini menyuplai masyarakat Chiapas dengan pelayanan-pelayanan sosial, meskipun dengan skala yang tidak besar, untuk membantu mereka yang tidak terjamah oleh pemerintah pusat. Konsep pengambilan hati masyarakat oleh kelompok masyarakat adat seperti ini bukan satu-satunya. Di Myanmar pola yang sama dilakukan oleh gerakan masyarakat adat Kachin untuk melawan opresi dari pemerintah pusat.
            Dapat kita lihat dengan jelas bahwa perjuangan bersenjata maupun politik dilakukan oleh Zapatista untuk mendapatkan otonomi. Akan tetapi perjuangan mendapatkan otonomi ini tidak bisa kita sama artikan dengan usaha untuk memisahkan diri dengan negara Meksiko. Perjuangan masyarakat adat Meksiko ini sebenarnya menekankan kepada usaha untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan berbagai gerakan masyarakat lainnya Berbicara tentang politik memang berbicara tentang bagaimana akses terhadap distribusi sumber daya. Sejalan dengan hal ini, Mariana Mora berpendapat bahwa Zapatista menginginkan keterlibatan mereka dalam manajemen sumber daya yang ada di Chiapas.[8] Hal ini agar masyarakat adat bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersaing dengan berbagai gerakan lainnya di dalam masyarakat dalam kapitalisme global yang telah masuk di Meksiko sejak 1980. Dan cara satu-satunya yang bisa memungkinkan hal itu untuk tercipta adalah dengan dierlakukannya otonomi kepada masyarakat adat.
            Perjuangan bertahun-tahun yang dilakukan oleh Zapatista menggunakan cara-cara gerilya. Telah dikatakan dalam awal tulisan ini bahwa gerakan ini sebenarnya tidak berfokus pada perlawanan bersenjata. Mereka mencoba jalur-jalur politik dengan berbagai perundingan dengan pihak pemerintah seperti halnya yang terjadi pada tahun 1996. Akan tetapi respon negatif dari pemerintah memang membuat mereka juga turut melakukan berbagai aksi perlawanan bersenjata. Sebelumnya juga telah dikatakan bahwa salah satu modal dari Zapatista adalah jaringan mereka. Sehingga di luar usaha perundingan, mereka juga terlebih dahulu membangun dukungan dengan kampanye-kampanye yang disebar ke masyarakat luas.
Kampanye-kampanye di atas dijelaskan oleh Mariana Mora dalam tulisannya yang berjudul Zapatista Anticapitalist Politics and the "Other Campaign": Learning from the Struggle for Indigenous Rights and Autonomy. Dalam tulisannya tersebut Mora menyebutkan usaha dari pemimpin Zapatista, Subcomandante Marcos, untuk berkeliling ke berbagai daerah di Meksiko yang diisi oleh kelas-kelas masyarakat yang tertinggal seperti halnya petani. Kampanye ini dicatat oleh Mora dilakukan setelah tahap pertama perjuangan Zapatista, atau setelah tahun 1996, selama berbulan-bulan.  Hal ini memiliki nilai penting bagi perjuangan Zapatista karena dengan cara itu mereka bisa membangun wacana yang sama dengan berbagai organisasi buruh, petani, dan perempuan untuk membentuk sebuah perjuangan kontra-hegemonik terhadap kapitalisme global yang telah masuk di Meksiko.[9]
Saya melihat hasil dari usaha kampanye di atas adalah salah satu pencapaian yang perlu untuk digarisbawahi dari perjuangan Zapatista. Pembangunan opini publik sangat penting dalam sebuah gerakan sosial. Dukungan masyarakat luas terhadap gerakan tersebut diperlukan agar keberlangsungannya bisa bertahan lama. Tanpa usaha mereka untuk tampil maka masyarakat Meksiko tidak akan membuka mata terhadap hak-hak masyarakat adat. Selain dukungan masyarakat itu, hal yang membuat gerakan Zapatista ini bisa menjadi kuat adalah bersatunya ia dengan gerakan-gerakan yang lain. Seperti yang telah disebutkan di atas, kelompok Zapatista membangun sebuah jaringan dengan berbagai kelompok marginal lainnya di Meksiko seperti gerakan buruh dan gerakan perempuan. Bersatunya gerakan-gerakan ini menjadi satu buah gerakan yang besar dapat dikatakan memiliki daya tawar yang lebih dibandingkan dengan mereka bergerak secara sendiri-sendiri.
            Dari berbagai penjabaran di atas, ada beberapa poin kesimpulan yang dapat kita tarik dari gerakan Zapatista ini. Pertama, gerakan Zapatista muncul karena adanya ketimpangan, baik sosial maupun politik yang dirasakan oleh masyarakat adat di daerah Chiapas. Mereka merasa perlu adanya alternatif politik dari sistem kapitalisme global yang telah membuat banyak privatisasi berjalan sehingga berdampak pada kalahnya kelompok mereka untuk bersaing. Sehingga mereka berusaha untuk memperjuangkan otonomi agar bisa mendapat kesempatan yang sama untuk berjuang di kondisi yang ada saat ini.
Kedua, bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Zapatista antara lain adalah gerakan bersenjata lewat EZLN dan menduduki beberapa titik penting. Perjuangan bersenjata ini dilakukan dengan gerilya dan berlangsung lama. Gencatan senjata sempat terjadi dengan adanya Persetujuan San Andreas. Akan tetapi tidak konsistennya pemerintah Meksiko atas perjanjian itu membuat perlawanan bersenjata terus dilakukan oleh Zapatista. Akan tetapi di luar hal itu saya melihat perlawanan bersenjata ini menjadi salah satu daya tawar dari gerakan ini di mata pemerintah karena membuat mereka sulit untuk dilenyapkan. Selain perlawanan bersenjata gerakan ini sebenarnya lebih berfokus dalam cara-cara politik dengan berbagai perundingan dan diplomasi. Beberapa sumber juga mengatakan bahwa gerakan ini memang bersenjata, namun tidak menggunakan senjata tersebut sebagai prioritas utama. Hal ini penting untuk dicatat karena mereka bukanlah gerakan separatis, melainkan hanya menuntut hak otonomi. Perlawanan yang ketiga adalah pembentukan pemerintahan otonomi secara de facto tanpa menggubris pemerintah pusat. Ini adalah simbol bagaimana mereka ingin membangun kontra-hegemonik atas sistem kapitalisme global yang telah merasuk di Meksiko. Otonomi ini juga dilakukan karena pemerintah tidak mengindahkan perundingan yang telah dilakukan sebelumnya. Bentuk terakhir adalah kampanye sekaligus pembangunan jaringan yang dilakukan kepada berbagai organisasi dan kelompok masyarakat marginal lainnya di Meksiko. Tindakan ini membuat gerakan mereka mendapat dukungan yang kuat dan bisa bertahan lama.
Pencapaian penting yang telah didapat oleh gerakan Zapatista sebenarnya telah dimulai sejak Persetujuan San Andres. Bila kita tidak membicarakan bagaimana keberlanjutan persetujuan itu, maka sebenarnya mereka telah berhasil menaikkan isu hak-hak dan ketimpangan yang terjadi di masyarakat adat Meksiko. Tanpa mereka, isu tersebut mungkin masih tenggelam dan tidak ada usaha yang kongkret untuk menciptakan kesetaraan di tengah kapitalisme global. Pencapaian lainnya adalah keberhasilan mereka menggandeng berbagai gerakan sosial lainnya untuk bergabung bersama-sama dengan mereka. Selain itu tentu saja otonomi yang telah didapatkan oleh Zapatista sekarang ini adalah sebuah pencapaian besar yang telah melalui banyak proses dalam waktu yang tidak sebentar.
Poin terakhir yang bisa diambil adalah Zapatista telah menjadi sebuah kekuatan politik di Meksiko. Dengan berbagai modal yang dimilikinya seperti yang telah disebutkan di atas, gerakan ini dapat memobilisasi opini publik dalam beberapa momen politik seperti halnya yang mereka lakukan dalam mengkritik kampanye partai aliran kiri seperti PRD yang sudah mulai kehilangan jati diri ‘kiri’ mereka.[10] Berbagai kritik yang diajukan adalah bentuk nyata kekuatan mereka untuk menjadi salah satu representasi kekuatan ‘kiri’ di Meksiko. Selain itu berbagai perlawanan terhadap ketidakadilan pemerintah pusat sampai dengan saat ini masih berlangsung dan menjadi cerminan aksi nyata mereka dalam konteks kontra-hegemonik dari sistem yang ada.
            Tulisan ini tidak ingin menekankan pada ideologi kiri. Namun yang lebih penting dibanding diskursus ideologi adalah bagaimana kita harus bisa memaknai perjuangan sebagai proses yang tidak mudah, namun penting untuk dimulai. Perubahan seperti yang terjadi di atas tidak terjadi secara instan. Tidaklah semudah hanya menaikkan isu di jejaring sosial untuk sesaat dan kemudian hilang lagi ditelan berbagai iklan. Tak perduli kiri atau kanan, distribusi sumber daya adalah penting untuk diperjuangkan. Dari pengalaman Zapatista di atas tidak perlu semuanya untuk ditelan bulat-bulat. Ada beberapa hal yang tidak pas dan tidak perlu dicontoh oleh Indonesia. Akan tetapi konsistensi dan kesadaran berjuang entah kenapa justru begitu indah terdengar di sana. Apakah kita sudah merasa semuanya baik-baik saja? Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.



[1] Lihat Nur Iman Subono, “Jalan “Kiri”Amerika Latin: Sebuah Era Baru?” Prisma, Vol.29, No.1, (Jan, 2010), hal. 100-111.
[2] Richard Stohler-Sholk, “The Zapatista Social Movement: Innovation and Sustainability”Alternatives: Global, Local, Political, Vol. 35, No. 3, Indigenous Politics: Migration, Citizenship, Cyberspace (July-Sept. 2010), pp. 269-290.
[3] Grace Livingstone, America’s Backyard: The United States and Latin America from the Monroe Doctrine to the War on Terror, (London dan New York: Zed Books Ltd, 2009),hal. 110.
[4] Gemma van der Haar, “The Zapatista Uprising and the Struggle for Indigenous Autonomy”, Revista Europea de Estudios Latinoamericanos y del Caribe / European Review of Latin American and Caribbean Studies, No. 76 (April 2004), hal. 99.
[5] Grace Livingstone, Op.Cit., hal.
[6] Gemma van der Haar, Loc.Cit., hal. 100.
[7] Richard Stahler-Sholk, Loc.Cit., hal. 54.
[8] Mariana Mora, “Zapatista Anticapitalist Politics and the "Other Campaign": Learning from the Struggle for Indigenous Rights and Autonomy”,Latin American Perspectives, Vol. 34, No. 2, Globalizing Resistance: The New Politics of Social Movements in Latin America (Mar., 2007), hal.69.
[9] Ibid., hal. 65.
[10] Mariana Mora, Loc.Cit., hal. 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar