Minggu, 06 Juli 2014

BERUSAHA MENJADI JUJUR

“Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan Hukum. Tidak seperti di Hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri itu memashurkan, menjunjung dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan.” – Pramoedya Ananta Toer

Tulisan ini bukanlah sebuah karya ilmiah. Bukan pula sebuah kajian komprehensif. Bukan pula alat kampanye. Ini hanya sebuah ungkapan rasa dan juga pandangan murni dari seorang anak muda yang sudah menentukan pilihannya. Tetapi apa yang tertulis disini tidak hadir begitu saja. Ada sebuah proses panjang yang mendahuluinya. Mulai dari pengamatan berbulan-bulan lewat media-media, membaca literatur yang beraneka ragam, berdiskusi tanpa hentinya, mengkaji dalam tataran program dan rekam jejak masing-masing calon, dan refleksi mendalam. Mungkin dalam tulisan ini Anda akan mendapati ungkapan-ungkapan konyol. Mungkin pula anda akan berbeda pendapat jauh dengan saya. Tulisan ini adalah tulisan yang begitu bebas. Mungkin tidak fokus atau terstruktur dengan baik. Tak ada sub bab atau pembagian khusus. Saya biarkan jemari ini menari dan kata-kata pun mengalir. Dalam tulisan ini saya hanya ingin mengungkapkan semua yang saya pikirkan dan rasakan dengan terbuka dan dengan gembira.
Sudut pandang yang saya gunakan adalah pandangan saya sebagai salah satu bagian masyarakat biasa. Saya tidak berusaha, dalam tulisan ini, mempelajari sudut pandang para pengusaha atau elit-elit politik negeri ini. Saya lebih ingin menampilkan pemikiran saya sebagai masyarakat yang butuh rasa aman dan keadilan karena akan berada pada kondisi jauh dari akses terhadap penguasa setelah masa pemilu berakhir. Pilihan saya sendiri juga berdasarkan pandangan tentang pasangan mana yang bisa memungkinkan saya, sebagai masyarakat biasa, untuk lebih mudah mendapatkan akses tersebut. Untuk catatan, saya bukan kader salah satu partai politik, bukan tim sukses salah satu pasang calon, atau pun tergabung dalam sebuah kelompok relawan untuk membantu kampanye salah satu pasang calon.
Dengan berakhirnya debat kelima dari KPU, beberapa jam sebelum tulisan ini mulai dibuat, saya akan dengan gembira mengatakan bahwa saya mendukung calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2. I stand on the right side, kata orang kebanyakan. Ada berbagai macam alasan dan nilai plus yang saya berikan kepada pasangan Jokowi-JK sehingga saya dengan mantab mendukung mereka. Sebelum adanya tulisan ini saya menulis beberapa tulisan perbandingan antara program masing-masing pasang calon.[1] Saya dengan inisiatif pribadi mencoba membedah visi-misi dan program yang mereka tawarkan lewat dokumen yang mereka berikan kepada KPU dan juga lewat penyampaian langsung mereka dalam debat-debat yang ada. Tak hanya sampai disana, apa yang saya dapat itu coba saya kaitkan pula dengan rekam jejak masing-masing pasang calon. Setelah melalui proses itu saya akhirnya mendapatkan beberapa poin penting yang menjadi hal utama mengapa saya memilih mereka.


Kebetulan saya sangat tertarik dengan isu multikulturalisme di Indonesia. Saya sangat berminat untuk mendalami secara teoritis di ranah akademis dan juga mengamati dinamika yang ada di masyarakat terkait-terkait multikulturalisme. Keadaan menjadi seseorang yang merupakan bagian kelompok masyarakat yang secara jumlah menjadi minoritas di negeri ini memicu saya untuk menaruh perhatian lebih terhadap isu ini. Didalam dokumen visi-misi Jokowi-JK setebal 42 halaman ada satu hal yang paling spesial bagi saya :

“Kami akan memberikan jaminan perlindungan dan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan serta melakukan langkah-langkah hukum terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama.”[2]

Poin yang jelas ini saya temukan didalam visi misi maupun program Jokowi-JK. Rasa aman untuk bisa beribadah di negeri ini adalah hal yang masih perlu diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Untuk melihat permasalahan kebebasan beragama kita tidak bisa melihatnya hanya dari kacamata mayoritas saja. Kita perlu melihat langsung di lapangan bagaimana fakta yang terjadi. Aparat keamanan seringkali justru mengamankan mereka yang diserang ketimbang mengusir para penyerang. Keimanan adalah sesuatu yang tidak bisa kita perdebatkan. Namun di luar itu adalah hak seorang warga negara untuk mendapatkan rasa aman untuk bisa beragama dan beribadah. Jusuf Kalla telah terbukti banyak menangani konflik-konflik di Indonesia. Itu adalah modal besar untuk bisa menggantungkan harapan bahwa poin janji yang disebutkan di atas tadi benar-benar bisa terealisasikan. Di sisi lain, saya mendapati bahwa kelompok ormas agama yang sering terlibat kasus kekerasan terhadap agama lain mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Bahkan menurut saya Anda tak harus menyelesaikan membaca tulisan ini karena poin ini sudah menjadi alasan paling besar bagi saya mengapa saya memilih no.2.
            Takut? Ya, dalam hal ini saya patut takut. Sebagai minoritas ketakutan itu adalah hal yang lumrah. Sampai saat ini rasa aman yang benar-benar 100% untuk kebebasan beragama belum terwujud. Namun saya ingin berbagi salah satu cerita menarik terkait hal ini. Tak jauh dari rumah saya ada sebuah gereja Katolik yang berdiri di sebuah komplek sempit. Hanya beberapa langkah dari gereja itu ada sebuah mesjid. Gereja itu beberapa kali mendapatkan serangan dan tekanan dari kelompok di daerah tersebut karena terkait izin ibadah. Dalam suatu kesempatan pernah suatu kali segerombol orang mendatangi gereja itu dan berniat menutup kegiatan ibadah disana. Yang menarik adalah pada saat itu ada seorang pejabat baru yang datang kesana langsung untuk melerai pihak yang berkonflik. Orang tersebut menjanjikan hal-hal yang bertujuan untuk meredam emosi kedua belah pihak. Kedatangan orang tersebut ke gereja itu nyatanya berhasil meredam suasana tegang dan untuk sementara waktu umat gereja disana bisa dengan tenang beribadah. Nama orang itu adalah Joko Widodo.
            Saya masih ingat pertama kali saya melihat wajah seorang Jokowi di layar TV. Saat itu ia sedang dalam acara debat calon gubernur DKI Jakarta di salah satu stasiun TV. Kalau ingatan saya tidak salah ia mengatakan bahwa bila ia terpilih nanti ia bahkan bisa tidak memerlukan ruang kerja karena setiap hari ia akan berada di lapangan untuk langsung turun melihat situasi dan menyelesaikan masalah. Saya pun masih ingat respon saya pada saat itu yang cenderung meremehkannya. Bagaimana bisa seorang pemimpin ibu kota negara tidak sering berada di ruang kerjanya? Ia punya banyak sekali bawahan yang harus dikomandoi dari ruang kerjanya dan berbagai tugas birokrasi lainnya. Namun lambat laun sikap meremehkan saya itu berubah menjadi sebuah kekaguman. Jokowi bagaimanapun juga telah berhasil menciptakan trend baru yaitu turun langsung ke masyarakat untuk menyelesaikan masalah, atau sering disebut blusukan. Apa yang dilakukan oleh Jokowi itu sebenarnya adalah hal paling simple yang bisa dilakukan oleh seorang pemimpin bila ingin menyelesaikan masalah daerahnya. Saya memaknai blusukan sebagai sebuah gerakan yang bisa mendorong para pemimpin lainnya untuk mau “jemput bola” dan tidak hanya menunggu di kursi empuk semata.
            Bayangkan bila Jokowi dengan trend blusukan itu berada di tampuk kekuasaan tertinggi di negeri ini. Definisi kekuasaan yang paling mudah adalah ketika A bisa membuat B melakukan seperti yang dikehendaki oleh A. Bila Jokowi memiliki kekuasaan maka ia bisa membuat birokrasi di negeri ini lebih mau turun ke masyarakat dan dekat dengan masalah. Virus tersebut bisa dengan efektif menjangkiti cara kerja birokrasi kita. Sehingga menurut saya cara agar birokrasi kita bisa berjalan dengan lebih efektif, seorang pemimpin dengan gaya Jokowi harus memiliki kekuasaan terbesar di negeri ini. Kita tidak berbicara tentang Jokowi yang harus blusukan ke semua daerah di Indonesia tanpa terkecuali. Kita tidak berbicara hanya pada satu subjek saja. Kita berbicara tentang menciptakan Jokowi-Jokowi baru, para aparat pemimpin birokrasi yang memiliki rasa kepemimpinan yang sama.
            Konsep revolusi mental yang dibumingkan oleh pasangan Jokowi-JK sendiri adalah hal yang sangat menarik dan sangat mengena. Saya sangat sepakat bahwa revolusi mental adalah sebuah hal yang diperlukan. Mengapa harus revolusi? Karena memang kita perlu perubahan cepat terkait hal ini. Negara-negara besar di dunia memiliki masyarakat yang berani untuk menertawai diri mereka sendiri. Bagi saya itu bukanlah hal yang buruk. Kita tidak perlu malu untuk mengakui bahwa mental negeri ini banyak sekali yang telah mencapai titik nadir. Apa yang kita temui di berita-berita media semuanya mengacu pada mental yang telah rapuh.
            Kita tak perlu secara ekstrem mengatakan bahwa revolusi mental ini berarti mengganti nilai-nilai Pancasila dan budaya yang telah ada. Tentu budaya kita dan nilai Pancasila adalah sesuatu yang tidak bisa kita hilangkan dan harus terus pertahankan. Tetapi kita tidak bisa juga terus mengatakan bahwa masyarakat kita baik-baik saja secara mental, baik itu mental kerja maupun mental berpolitik. Ada baiknya kita melihat hal-hal kecil, kebiasaan-kebiasaan yang kita dapati setiap harinya, yang justru menjadi modal buruk untuk mendapatkan sumber daya manusia dengan kualitas tinggi.
            Saya sebagai mahasiswa seringkali menemukan kawan-kawan yang dengan bangga mencontek saat ujian. Banyak yang tidak menghargai kesempatannya untuk berkuliah dengan malas mengerjakan tugas sampai dengan pada tahap plagiarisme. Semuanya melakukan tanpa adanya rasa beban. Mereka yang mengkritik justru dianggap sok suci dan aneh. Ini hal kecil? Tidak sama sekali! Anak-anak SMP dan SMA membeli kunci jawaban UN, guru-guru membantu meluluskan siswa-siswinya, sampai mahasiswa yang hanya mencari nilai A dengan menyalin jawaban teman. Mental buruk itu ada di ranah pendidikan kita yang merupakan pondasi peradaban bangsa. Silahkan gabungkan contoh diatas dengan budaya buruk lainnya di tingkat dan ranah lain yang sudah dianggap biasa. Kita tidak boleh tutup mata dan menganggap itu hal biasa. Itu semua adalah masalah mental.
            Prabowo-Hatta seringkali berbicara soal pembangunan ekonomi. Selalu dikobar-kobarkan bahwa yang paling utama adalah masyarakat harus sejahtera. Saya selalu teringat dengan presiden kedua kita almarhum Soeharto. Janji-janji pembangunan ekonomi itu begitu mirip dengan yang dibawa oleh Soeharto pada zamannya. Saya menilai bahwa peningkatan kesejahteraan adalah hal yang perlu dilakukan. Tetapi bila kita melihat itu lagi, kesejahteraan masyarakat adalah sebuah tujuan adanya negara. Sehingga itu sebenarnya adalah hal dasar yang memang harus diwujudkan. Dengan demikian apa yang dibawa Prabowo menurut saya pribadi bukanlah hal baru. Tidak ada adaptasi lebih lanjut. Bahkan menurut pengamatan saya cenderung ingin mengembalikan gema-gema pembangunan ekonomi ala Orde Baru.
            Hal di atas menjadi penting karena menurut saya masyarakat membutuhkan hal-hal baru yang lebih fresh terhadap permasalahan yang ada saat ini. Kita tidak memerlukan retorika-retorika normatif semata tanpa adanya turunan kongkret di tataran eksekusi. Mengapa retorika Prabowo meyakinkan adalah hanya karena gaya orasinya yang kuat dan penuh gelora. Saya sudah berusaha membandingkan dokumen visi-misi masing-masing pasang calon. Hasilnya adalah pasangan Jokowi-JK, secara objektif, lebih jelas dalam menguraikan poin-poin mereka secara kongkret. Prabowo-Hatta masih banyak berkutat pada hal normatif dan cenderung tidak menguraikannya dengan lebih jauh. Padahal masyarakat membutuhkan poin-poin mendetail soal program mereka. Ditambah lagi, perlu secara jujur kita akui, terdapat beberapa ketidaksinambungan antara program yang mereka perjuangkan dengan fakta rekam jejak yang telah dilalui oleh cawapres Hatta selama menjadi menko perekonomian. Secara khusus MP3EI yang salah satu penggagasnya adalah Hatta Rajasa menurut saya sangat tidak berkesinambungan dengan wacana pihaknya untuk penambahan lahan pertanian. Tak ada salahnya Anda meluangkan waktu sejenak untuk mencari dokumen MP3EI tersebut di internet terkait hal ini. Mudah sekali, cari, baca, kritisi.  
Dari awal saya tidak menganggap pasangan Prabowo-Hatta sebagai pilihan. Saya rasa kita perlu membedakan dengan jelas sampai saat ini antara mana yang menggunakan kampanye hitam dan mana yang menggunakan kampanye negatif. Kampanye hitam tidak berdasarkan fakta. Sedangkan di sisi lain, kampanye negatif berdasarkan fakta dan ada pihak yang berani untuk mempertanggungjawabkan fakta tersebut. Untuk menilainya kita perlu jujur kepada diri sendiri dan membuang fanatisme berlebihan. Saya sangat setuju dengan pendapat juru kampanye pasangan Jokowi-JK, Anies Baswedan, yang mengatakan bahwa ketegasan seorang pemimpin salah satu indikatornya adalah apakah ia berani untuk menindak dengan tegas para bawahan maupun pihak dari kelompoknya yang melakukan tindakan kampanye hitam atau fitnah secara terbuka kepada orang lain. Untuk hal ini, saya tidak melihat ketegasan itu, bahkan niatan sekalipun.
Untuk hal ini, saya akan mengatakan bahwa tinta hitam Prabowo dalam isu HAM bukanlah hal yang bisa kita tinggalkan begitu saja. Ini bukan soal pengungkit-ungkitan masa lalu, tetapi bangsa ini tidak akan pernah bisa maju bila tidak pernah berniat menyelesaikan beban-beban sejarah masa lalunya. Pelajaran paling baik saya temukan dari buku Jusuf Wanandi yang terakhir, Shades of Grey. Dalam buku itu ia, yang merupakan salah seorang tokoh mahasiswa yang turut serta membantu Soeharto untuk naik, merefleksikan dengan baik bahwa setiap momen politik akan memiliki beban yang harus ditanggung. Namun beban itu bukanlah hal yang boleh dilupakan begitu saja. Pada saatnya ia dan kelompoknya memang menjadikan kelompok PKI sebagai dalang situasi yang kacau pada masa peralihan kekuasaan Soekarno ke Soeharto. Namun pada akhirnya ia berani mengakui bahwa apa yang kelompoknya dan pemerintah lakukan adalah hal yang salah dan ia pun pada akhirnya memperjuangkan hak-hak orang-orang yang ditindas karena dianggap PKI pada waktu dulu. Poin yang bisa kita pelajari adalah bahwa kita tidak boleh terlambat dan takut untuk mengupas noda hitam sejarah yang kita miliki. Dalam hal ini, saya secara pribadi tidak akan memilih mereka yang bahkan berusaha untuk menggiring masa untuk mengesampingkan beban sejarah dan bahkan mengajak melupakannya.
            Debat kelima yang diselenggarakan KPU tak dapat dipungkiri menjadi sebuah momen yang sangat mendebarkan. Di dalam debat ini saya melihat perkembangan kemampuan pidato Jokowi yang sangat meningkat dibanding beberapa kesempatan debat sebelumnya. Ia berbicara dengan begitu lancar dan melakukan penekanan pada poin-poin yang tepat dan jelas. Apa yang dikatakannya sangat kongkret karena menyentuh sampai tataran teknis. Inilah keunikan Jokowi yang ia dapatkan dengan gaya blusukan. Ia menjadi mengerti dinamika yang terjadi langsung di lapangan. Apa yang dikatakannya mungkin terdengar sepele namun sebenarnya sangat esensial. Gaya berbicaranya dalam debat tersebut terlihat sangat tegas dan berwibawa. Entah apa yang dilakukannya untuk melakukan persiapan, apapun itu, yang terpenting ia berhasil menguasai panggung tersebut.
        Indikator keberhasilannya di panggung tersebut bagi saya sangat sederhana, saya bergetar menontonnya di layar kaca. Hal yang bisa membuat saya merasa demikian biasanya adalah ketika berada pada momen-momen penting yang akan saya lalui. Entah itu harus memutuskan sesuatu, berbicara di depan orang banyak, atau mendapatkan kabar sukacita atau pun dukacita. Dengan demikian kata-kata Jokowi telah menjadi sebuah hal penting bagi saya. Telah saya gantungkan cita-cita dan harapan tinggi terhadap orang kurus itu. Lalu saya bertanya, apakah hal ini juga dirasakan oleh orang-orang dalam setiap momen pemilu? Mungkin saja ini hanya karena saya begitu bersemangat karena akan mengalami pemilu presiden pertama saya. Tetapi begitu pun tak apa. Itulah indahnya menjadi anak muda. Idealisme kita menuntut darah mengalir kencang dan jantung berdetak tak karuan untuk menantikan sebuah perubahan. Getaran ini saya syukuri sebagai sebuah momen berharga yang akan saya lalui sebagai seorang pemuda, menjadi saksi lahirnya calon pemimpin baru di negeri ini.
            Terkait Jusuf Kalla, saya memiliki pandangan tersendiri terkait beliau. Menurut saya Jusuf Kalla adalah seorang pemimpin yang jenaka. Mengapa? Gaya bicara dan ucapan beliau seringkali membuat banyak orang terkaget-kaget bahkan tertawa, termasuk saya. Di dalam beberapa kesempatan debat, ia seringkali mengeluarkan komentar-komentar menusuk. Ia juga tak ragu untuk langsung menembak kandidat lain dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat terbuka dan menyerang. Saya merasa gaya politik Jusuf Kalla begitu jujur. Gayanya yang ceplas-ceplos dan terkesan sangat berani itu membuat suasana politik kita bisa lebih ceria. Ini juga sudah terlihat dari periode ia menjadi wakil presiden atau saat menjadi host sebuah acara talkshow di sebuah stasiun TV swasta. Saya sendiri sering tertawa mendengar ucapan dan pertanyaan beliau pada debat terakhir. Selain itu ekspresi wajahnya begitu ceria. Poin ini menjadi perhatian tersendiri bagi saya. Menurut saya kita memerlukan pemimpin yang sering mengeluarkan ekspresi wajah ceria dengan senyuman lebar kepada masyarakat. Ekspresi wajah seorang pemimpin akan memberikan harapan dan motivasi lebih kepada mereka yang menggantungkan harapan kepadanya. Semakin banyak senyuman lebar yang bisa diberikan berarti menunjukkan ada sebuah kegembiraan dari orang tersebut pada saat melakukan sesuatu, dan menurut saya kita memerlukan rasa positif itu.
Seorang pemikir politik bernama Herbert Marcuse berpendapat bahwa satu-satunya kelompok di dalam masyarakat modern saat ini yang memiliki potensi untuk merubah sistem buruk yang sudah ada adalah seniman. Ia menilai karena para seniman memiliki apa yang disebutnya dengan orisinalitas sehingga tidak mudah terpengaruh oleh trend atau sistem yang sudah ada. Dalam hari-hari terakhir masa pemilu banyak musisi dan seniman yang menyatakan mendukung pasangan Jokowi-JK. Bila kita ingin mempercayai apa yang dikatakan oleh Marcuse, maka kita bisa optimis bahwa dukungan para seniman bisa memberikan angin segar untuk perubahan besar. Saya sangat mengapresiasi para musisi dan seniman yang mau mengisi konser “Salam 2 Jari” Sabtu 5 Juli 2014 sebagai wujud dukungan terhadap Jokowi-JK. Dalam berita-berita dikatakan bahwa artis dan seniman ternama itu tidak dibayar. Bila itu benar-benar fakta, kekaguman saya akan semakin menjadi nyata.
            Pada titik ini saya telah dengan jujur menyatakan keberpihakan saya. Saya mengajak pula rekan-rekan sekalian untuk segera memilih pilihan dan memantapkannya. Inilah esensi dari masa tenang. Masa untuk berpikir dan menentukan pilihan. Akan baik bila semakin banyak yang dengan berani mengungkapkan keberpihakannya. Menurut saya itu hal yang sah-sah saja bila kita mengatasnamakan diri kita masing-masing. Mengapa penting? Agar bisa menjadi racun positif bagi orang-orang di dekatnya. Bantulah para swing voters di lingkungan terdekat anda untuk memilih, atau mengajak rekan kita untuk memikirkan kembali pilihan mereka.
            Adanya media sosial sangat membantu kita untuk menyebar racun itu. Ramaikan media sosial dengan pilihan anda. Ajak orang-orang untuk berpikir ulang. Termasuk perihal memilih atau tidak memilih. Saya memilih untuk menggunakan hak suara saya karena itu adalah tiket saya untuk menagih janji yang telah diberikan oleh sang penguasa kelak. Seperti pemikiran John Locke mengenai kontrak sosial, suara yang kita berikan adalah sebagian dari hak kita sebagai manusia yang kita percayakan kepada penguasa, untuk mengatur kehidupan kita menjadi lebih baik. Pemberian hak tersebut membuat kita dapat mengontrol penguasa agar tidak keluar dari koridornya. Tiket itulah yang tidak akan saya sia-siakan saat ini. Namun sekali lagi, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Pesan Untuk Kawan-kawan
           
            Perlu diketahui sebelumnya bahwa tulisan ini adalah hasil buah pikir dan perasaan saya sendiri. Yang terwakili di dalam tulisan ini hanyalah diri saya sendiri. Tulisan ini bukanlah pandangan organisasi atau pun institusi yang menaungi saya. Lalu mungkin pertanyaannya adalah, mengapa baru sekarang?
            Untuk semua kawan-kawan mahasiswa maupun pemuda-pemudi Indonesia, sekarang sudah saatnya kita menentukan pilihan. Lusa kita akan mencoblos salah satu pasang calon dan menggantungkan harapan kita. Dengan demikian saya lebih berpandangan bahwa pada titik ini tak ada salahnya bila kita mencoba untuk jujur mengenai pilihan kita. Tak ada yang buruk dari sebuah sikap. Hal yang penting adalah bahwa sikap tersebut tidak berdiri sendiri melainkan telah melewati banyak pertimbangan.
            Dalam kondisi menentukan sikap kita seringkali terhambat dalam tataran posisi kita di sebuah lembaga publik atau pun organisasi. Tak terkecuali lembaga-lembaga kampus. Kita takut bahwa opini kita dianggap sebuah pandangan tempat kita bernaung. Untuk hal ini saya sepakat bahwa organisasi dan lembaga kampus tidak bisa kita gunakan untuk memobilisasi suara atau pun mendukung salah satu pasang calon. Bagi saya organisasi kampus seperti BEM atau Senat harus bersikap netral. Ini disebabkan banyaknya golongan yang harus mereka representasikan.
Tetapi poin pentingnya adalah bukan berarti orang-orang di dalam lembaga tersebut harus netral pula. Adalah hak seorang individu untuk berpendapat dan memilih. Saya selama ini tidak ingin menciderai semangat untuk melakukan edukasi politik yang dilakukan oleh organisasi saya yang mengharuskan keadaan berimbang kepada kedua pasang calon. Masa kampanye telah usai. Dengan demikian sekarang kita bisa dengan bebas memilih siapa calon yang paling tepat. Bagi saya ini juga sebuah sarana edukasi politik dimana mengajak setiap orang untuk berani bersikap setelah mengamati dan turut serta mengawal masa kampanye.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar