“Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di
mana semua orang sama di depan Hukum. Tidak seperti di Hindia ini. Kata dongeng
itu juga: negeri itu memashurkan, menjunjung dan memuliakan kebebasan,
persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam
kenyataan.” – Pramoedya Ananta
Toer
Tulisan
ini bukanlah sebuah karya ilmiah. Bukan pula sebuah kajian komprehensif. Bukan pula alat kampanye. Ini
hanya sebuah ungkapan rasa dan juga pandangan murni dari seorang anak muda yang
sudah menentukan pilihannya. Tetapi apa yang tertulis disini tidak hadir begitu
saja. Ada sebuah proses panjang yang mendahuluinya. Mulai dari pengamatan
berbulan-bulan lewat media-media, membaca literatur yang beraneka ragam,
berdiskusi tanpa hentinya, mengkaji dalam tataran program dan rekam jejak
masing-masing calon, dan refleksi mendalam. Mungkin dalam tulisan ini Anda akan
mendapati ungkapan-ungkapan konyol. Mungkin pula anda akan berbeda pendapat
jauh dengan saya. Tulisan ini adalah tulisan yang begitu bebas. Mungkin tidak
fokus atau terstruktur dengan baik. Tak ada sub bab atau pembagian khusus. Saya
biarkan jemari ini menari dan kata-kata pun mengalir. Dalam tulisan ini saya
hanya ingin mengungkapkan semua yang saya pikirkan dan rasakan dengan terbuka
dan dengan gembira.
Sudut
pandang yang saya gunakan adalah pandangan saya sebagai salah satu bagian
masyarakat biasa. Saya tidak berusaha, dalam tulisan ini, mempelajari sudut
pandang para pengusaha atau elit-elit politik negeri ini. Saya lebih ingin menampilkan
pemikiran saya sebagai masyarakat yang butuh rasa aman dan keadilan karena akan
berada pada kondisi jauh dari akses terhadap penguasa setelah masa pemilu
berakhir. Pilihan saya sendiri juga berdasarkan pandangan tentang pasangan mana
yang bisa memungkinkan saya, sebagai masyarakat biasa, untuk lebih mudah
mendapatkan akses tersebut. Untuk catatan, saya bukan kader salah satu partai
politik, bukan tim sukses salah satu pasang calon, atau pun tergabung dalam sebuah
kelompok relawan untuk membantu kampanye salah satu pasang calon.
Dengan
berakhirnya debat kelima dari KPU, beberapa jam sebelum tulisan ini mulai dibuat,
saya akan dengan gembira mengatakan bahwa saya mendukung calon presiden dan
wakil presiden nomor urut 2. I stand on the right side, kata
orang kebanyakan. Ada berbagai macam alasan dan nilai plus yang saya berikan
kepada pasangan Jokowi-JK sehingga saya dengan mantab mendukung mereka. Sebelum
adanya tulisan ini saya menulis beberapa tulisan perbandingan antara program
masing-masing pasang calon.[1]
Saya dengan inisiatif pribadi mencoba membedah visi-misi dan program yang
mereka tawarkan lewat dokumen yang mereka berikan kepada KPU dan juga lewat
penyampaian langsung mereka dalam debat-debat yang ada. Tak hanya sampai
disana, apa yang saya dapat itu coba saya kaitkan pula dengan rekam jejak
masing-masing pasang calon. Setelah melalui proses itu saya akhirnya
mendapatkan beberapa poin penting yang menjadi hal utama mengapa saya memilih
mereka.
Kebetulan
saya sangat tertarik dengan isu multikulturalisme di Indonesia. Saya sangat
berminat untuk mendalami secara teoritis di ranah akademis dan juga mengamati dinamika
yang ada di masyarakat terkait-terkait multikulturalisme. Keadaan menjadi
seseorang yang merupakan bagian kelompok masyarakat yang secara jumlah menjadi
minoritas di negeri ini memicu saya untuk menaruh perhatian lebih terhadap isu
ini. Didalam dokumen visi-misi Jokowi-JK setebal 42 halaman ada satu hal yang
paling spesial bagi saya :
“Kami
akan memberikan jaminan perlindungan dan hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan serta melakukan langkah-langkah hukum terhadap pelaku kekerasan
yang mengatasnamakan agama.”[2]
Poin yang jelas ini saya temukan didalam visi misi maupun program Jokowi-JK. Rasa aman untuk bisa
beribadah di negeri ini adalah hal yang masih perlu diperjuangkan dengan
sungguh-sungguh. Untuk melihat permasalahan kebebasan beragama kita tidak bisa
melihatnya hanya dari kacamata mayoritas saja. Kita perlu melihat langsung di
lapangan bagaimana fakta yang terjadi. Aparat keamanan seringkali justru
mengamankan mereka yang diserang ketimbang mengusir para penyerang. Keimanan adalah
sesuatu yang tidak bisa kita perdebatkan. Namun di luar itu adalah hak seorang
warga negara untuk mendapatkan rasa aman untuk bisa beragama dan beribadah.
Jusuf Kalla telah terbukti banyak menangani konflik-konflik di Indonesia. Itu
adalah modal besar untuk bisa menggantungkan harapan bahwa poin janji yang
disebutkan di atas tadi benar-benar bisa terealisasikan. Di sisi lain, saya
mendapati bahwa kelompok ormas agama yang sering terlibat kasus kekerasan
terhadap agama lain mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Bahkan menurut saya Anda
tak harus menyelesaikan membaca tulisan ini karena poin ini sudah menjadi
alasan paling besar bagi saya mengapa saya memilih no.2.
Takut?
Ya, dalam hal ini saya patut takut. Sebagai minoritas ketakutan itu adalah hal
yang lumrah. Sampai saat ini rasa aman yang benar-benar 100% untuk kebebasan
beragama belum terwujud. Namun saya ingin berbagi salah satu cerita menarik
terkait hal ini. Tak jauh dari rumah saya ada sebuah gereja Katolik yang
berdiri di sebuah komplek sempit. Hanya beberapa langkah dari gereja itu ada
sebuah mesjid. Gereja itu beberapa kali mendapatkan serangan dan tekanan dari
kelompok di daerah tersebut karena terkait izin ibadah. Dalam suatu kesempatan
pernah suatu kali segerombol orang mendatangi gereja itu dan berniat menutup
kegiatan ibadah disana. Yang menarik adalah pada saat itu ada seorang pejabat
baru yang datang kesana langsung untuk melerai pihak yang berkonflik. Orang
tersebut menjanjikan hal-hal yang bertujuan untuk meredam emosi kedua belah
pihak. Kedatangan orang tersebut ke gereja itu nyatanya berhasil meredam
suasana tegang dan untuk sementara waktu umat gereja disana bisa dengan tenang
beribadah. Nama orang itu adalah Joko Widodo.
Saya
masih ingat pertama kali saya melihat wajah seorang Jokowi di layar TV. Saat
itu ia sedang dalam acara debat calon gubernur DKI Jakarta di salah satu
stasiun TV. Kalau ingatan saya tidak salah ia mengatakan bahwa bila ia terpilih
nanti ia bahkan bisa tidak memerlukan ruang kerja karena setiap hari ia akan
berada di lapangan untuk langsung turun melihat situasi dan menyelesaikan
masalah. Saya pun masih ingat respon saya pada saat itu yang cenderung
meremehkannya. Bagaimana bisa seorang pemimpin ibu kota negara tidak sering
berada di ruang kerjanya? Ia punya banyak sekali bawahan yang harus dikomandoi
dari ruang kerjanya dan berbagai tugas birokrasi lainnya. Namun lambat laun
sikap meremehkan saya itu berubah menjadi sebuah kekaguman. Jokowi bagaimanapun
juga telah berhasil menciptakan trend
baru yaitu turun langsung ke masyarakat untuk menyelesaikan masalah, atau
sering disebut blusukan. Apa yang
dilakukan oleh Jokowi itu sebenarnya adalah hal paling simple yang bisa dilakukan oleh seorang pemimpin bila ingin
menyelesaikan masalah daerahnya. Saya memaknai blusukan sebagai sebuah gerakan
yang bisa mendorong para pemimpin lainnya untuk mau “jemput bola” dan tidak
hanya menunggu di kursi empuk semata.
Bayangkan bila Jokowi dengan trend blusukan itu berada di tampuk
kekuasaan tertinggi di negeri ini. Definisi kekuasaan yang paling mudah adalah
ketika A bisa membuat B melakukan seperti yang dikehendaki oleh A. Bila Jokowi
memiliki kekuasaan maka ia bisa membuat birokrasi di negeri ini lebih mau turun
ke masyarakat dan dekat dengan masalah. Virus tersebut bisa dengan efektif menjangkiti
cara kerja birokrasi kita. Sehingga menurut saya cara agar birokrasi kita bisa
berjalan dengan lebih efektif, seorang pemimpin dengan gaya Jokowi harus
memiliki kekuasaan terbesar di negeri ini. Kita tidak berbicara tentang Jokowi
yang harus blusukan ke semua daerah di Indonesia tanpa terkecuali. Kita tidak
berbicara hanya pada satu subjek saja. Kita berbicara tentang menciptakan
Jokowi-Jokowi baru, para aparat pemimpin birokrasi yang memiliki rasa
kepemimpinan yang sama.
Konsep revolusi mental yang
dibumingkan oleh pasangan Jokowi-JK sendiri adalah hal yang sangat menarik dan
sangat mengena. Saya sangat sepakat bahwa revolusi mental adalah sebuah hal
yang diperlukan. Mengapa harus revolusi? Karena memang kita perlu perubahan
cepat terkait hal ini. Negara-negara besar di dunia memiliki masyarakat yang
berani untuk menertawai diri mereka sendiri. Bagi saya itu bukanlah hal yang
buruk. Kita tidak perlu malu untuk mengakui bahwa mental negeri ini banyak
sekali yang telah mencapai titik nadir. Apa yang kita temui di berita-berita
media semuanya mengacu pada mental yang telah rapuh.
Kita tak perlu secara ekstrem
mengatakan bahwa revolusi mental ini berarti mengganti nilai-nilai Pancasila
dan budaya yang telah ada. Tentu budaya kita dan nilai Pancasila adalah sesuatu
yang tidak bisa kita hilangkan dan harus terus pertahankan. Tetapi kita tidak
bisa juga terus mengatakan bahwa masyarakat kita baik-baik saja secara mental,
baik itu mental kerja maupun mental berpolitik. Ada baiknya kita melihat
hal-hal kecil, kebiasaan-kebiasaan yang kita dapati setiap harinya, yang justru
menjadi modal buruk untuk mendapatkan sumber daya manusia dengan kualitas
tinggi.
Saya sebagai mahasiswa seringkali
menemukan kawan-kawan yang dengan bangga mencontek saat ujian. Banyak yang
tidak menghargai kesempatannya untuk berkuliah dengan malas mengerjakan tugas
sampai dengan pada tahap plagiarisme. Semuanya melakukan tanpa adanya rasa
beban. Mereka yang mengkritik justru dianggap sok suci dan aneh. Ini hal kecil?
Tidak sama sekali! Anak-anak SMP dan SMA membeli kunci jawaban UN, guru-guru
membantu meluluskan siswa-siswinya, sampai mahasiswa yang hanya mencari nilai A
dengan menyalin jawaban teman. Mental buruk itu ada di ranah pendidikan kita
yang merupakan pondasi peradaban bangsa. Silahkan gabungkan contoh diatas
dengan budaya buruk lainnya di tingkat dan ranah lain yang sudah dianggap
biasa. Kita tidak boleh tutup mata dan menganggap itu hal biasa. Itu semua
adalah masalah mental.
Prabowo-Hatta seringkali berbicara
soal pembangunan ekonomi. Selalu dikobar-kobarkan bahwa yang paling utama
adalah masyarakat harus sejahtera. Saya selalu teringat dengan presiden kedua
kita almarhum Soeharto. Janji-janji pembangunan ekonomi itu begitu mirip dengan
yang dibawa oleh Soeharto pada zamannya. Saya menilai bahwa peningkatan
kesejahteraan adalah hal yang perlu dilakukan. Tetapi bila kita melihat itu
lagi, kesejahteraan masyarakat adalah sebuah tujuan adanya negara. Sehingga itu
sebenarnya adalah hal dasar yang memang harus diwujudkan. Dengan demikian apa
yang dibawa Prabowo menurut saya pribadi bukanlah hal baru. Tidak ada adaptasi
lebih lanjut. Bahkan menurut pengamatan saya cenderung ingin mengembalikan
gema-gema pembangunan ekonomi ala Orde Baru.
Hal di atas menjadi penting karena
menurut saya masyarakat membutuhkan hal-hal baru yang lebih fresh terhadap permasalahan yang ada
saat ini. Kita tidak memerlukan retorika-retorika normatif semata tanpa adanya
turunan kongkret di tataran eksekusi. Mengapa retorika Prabowo meyakinkan
adalah hanya karena gaya orasinya yang kuat dan penuh gelora. Saya sudah
berusaha membandingkan dokumen visi-misi masing-masing pasang calon. Hasilnya
adalah pasangan Jokowi-JK, secara objektif, lebih jelas dalam menguraikan
poin-poin mereka secara kongkret. Prabowo-Hatta masih banyak berkutat pada hal
normatif dan cenderung tidak menguraikannya dengan lebih jauh. Padahal
masyarakat membutuhkan poin-poin mendetail soal program mereka. Ditambah lagi,
perlu secara jujur kita akui, terdapat beberapa ketidaksinambungan antara
program yang mereka perjuangkan dengan fakta rekam jejak yang telah dilalui
oleh cawapres Hatta selama menjadi menko perekonomian. Secara khusus MP3EI yang
salah satu penggagasnya adalah Hatta Rajasa menurut saya sangat tidak
berkesinambungan dengan wacana pihaknya untuk penambahan lahan pertanian. Tak
ada salahnya Anda meluangkan waktu sejenak untuk mencari dokumen MP3EI tersebut
di internet terkait hal ini. Mudah sekali, cari, baca, kritisi.
Dari
awal saya tidak menganggap pasangan Prabowo-Hatta sebagai pilihan. Saya rasa
kita perlu membedakan dengan jelas sampai saat ini antara mana yang menggunakan
kampanye hitam dan mana yang menggunakan kampanye negatif. Kampanye hitam tidak
berdasarkan fakta. Sedangkan di sisi lain, kampanye negatif berdasarkan fakta
dan ada pihak yang berani untuk mempertanggungjawabkan fakta tersebut. Untuk
menilainya kita perlu jujur kepada diri sendiri dan membuang fanatisme
berlebihan. Saya sangat setuju dengan pendapat juru kampanye pasangan
Jokowi-JK, Anies Baswedan, yang mengatakan bahwa ketegasan seorang pemimpin
salah satu indikatornya adalah apakah ia berani untuk menindak dengan tegas
para bawahan maupun pihak dari kelompoknya yang melakukan tindakan kampanye
hitam atau fitnah secara terbuka kepada orang lain. Untuk hal ini, saya tidak
melihat ketegasan itu, bahkan niatan sekalipun.
Untuk
hal ini, saya akan mengatakan bahwa tinta hitam Prabowo dalam isu HAM bukanlah
hal yang bisa kita tinggalkan begitu saja. Ini bukan soal pengungkit-ungkitan
masa lalu, tetapi bangsa ini tidak akan pernah bisa maju bila tidak pernah
berniat menyelesaikan beban-beban sejarah masa lalunya. Pelajaran paling baik
saya temukan dari buku Jusuf Wanandi yang terakhir, Shades of Grey. Dalam buku itu ia, yang merupakan salah seorang
tokoh mahasiswa yang turut serta membantu Soeharto untuk naik, merefleksikan
dengan baik bahwa setiap momen politik akan memiliki beban yang harus ditanggung.
Namun beban itu bukanlah hal yang boleh dilupakan begitu saja. Pada saatnya ia
dan kelompoknya memang menjadikan kelompok PKI sebagai dalang situasi yang
kacau pada masa peralihan kekuasaan Soekarno ke Soeharto. Namun pada akhirnya
ia berani mengakui bahwa apa yang kelompoknya dan pemerintah lakukan adalah hal
yang salah dan ia pun pada akhirnya memperjuangkan hak-hak orang-orang yang
ditindas karena dianggap PKI pada waktu dulu. Poin yang bisa kita pelajari
adalah bahwa kita tidak boleh terlambat dan takut untuk mengupas noda hitam
sejarah yang kita miliki. Dalam hal ini, saya secara pribadi tidak akan memilih
mereka yang bahkan berusaha untuk menggiring masa untuk mengesampingkan beban
sejarah dan bahkan mengajak melupakannya.
Debat kelima yang diselenggarakan
KPU tak dapat dipungkiri menjadi sebuah momen yang sangat mendebarkan. Di dalam
debat ini saya melihat perkembangan kemampuan pidato Jokowi yang sangat
meningkat dibanding beberapa kesempatan debat sebelumnya. Ia berbicara dengan
begitu lancar dan melakukan penekanan pada poin-poin yang tepat dan jelas. Apa
yang dikatakannya sangat kongkret karena menyentuh sampai tataran teknis.
Inilah keunikan Jokowi yang ia dapatkan dengan gaya blusukan. Ia menjadi
mengerti dinamika yang terjadi langsung di lapangan. Apa yang dikatakannya
mungkin terdengar sepele namun sebenarnya sangat esensial. Gaya berbicaranya
dalam debat tersebut terlihat sangat tegas dan berwibawa. Entah apa yang
dilakukannya untuk melakukan persiapan, apapun itu, yang terpenting ia berhasil
menguasai panggung tersebut.
Indikator keberhasilannya di
panggung tersebut bagi saya sangat sederhana, saya bergetar menontonnya di
layar kaca. Hal yang bisa membuat saya merasa demikian biasanya adalah ketika
berada pada momen-momen penting yang akan saya lalui. Entah itu harus
memutuskan sesuatu, berbicara di depan orang banyak, atau mendapatkan kabar
sukacita atau pun dukacita. Dengan demikian kata-kata Jokowi telah menjadi
sebuah hal penting bagi saya. Telah saya gantungkan cita-cita dan harapan
tinggi terhadap orang kurus itu. Lalu saya bertanya, apakah hal ini juga
dirasakan oleh orang-orang dalam setiap momen pemilu? Mungkin saja ini hanya
karena saya begitu bersemangat karena akan mengalami pemilu presiden pertama
saya. Tetapi begitu pun tak apa. Itulah indahnya menjadi anak muda. Idealisme
kita menuntut darah mengalir kencang dan jantung berdetak tak karuan untuk
menantikan sebuah perubahan. Getaran ini saya syukuri sebagai sebuah momen
berharga yang akan saya lalui sebagai seorang pemuda, menjadi saksi lahirnya
calon pemimpin baru di negeri ini.
Terkait Jusuf Kalla, saya memiliki
pandangan tersendiri terkait beliau. Menurut saya Jusuf Kalla adalah seorang
pemimpin yang jenaka. Mengapa? Gaya bicara dan ucapan beliau seringkali membuat
banyak orang terkaget-kaget bahkan tertawa, termasuk saya. Di dalam beberapa
kesempatan debat, ia seringkali mengeluarkan komentar-komentar menusuk. Ia juga
tak ragu untuk langsung menembak kandidat lain dengan pertanyaan-pertanyaan
yang sangat terbuka dan menyerang. Saya merasa gaya politik Jusuf Kalla begitu
jujur. Gayanya yang ceplas-ceplos dan terkesan sangat berani itu membuat
suasana politik kita bisa lebih ceria. Ini juga sudah terlihat dari periode ia
menjadi wakil presiden atau saat menjadi host
sebuah acara talkshow di sebuah
stasiun TV swasta. Saya sendiri sering tertawa mendengar ucapan dan pertanyaan
beliau pada debat terakhir. Selain itu ekspresi wajahnya begitu ceria. Poin ini
menjadi perhatian tersendiri bagi saya. Menurut saya kita memerlukan pemimpin
yang sering mengeluarkan ekspresi wajah ceria dengan senyuman lebar kepada
masyarakat. Ekspresi wajah seorang pemimpin akan memberikan harapan dan
motivasi lebih kepada mereka yang menggantungkan harapan kepadanya. Semakin
banyak senyuman lebar yang bisa diberikan berarti menunjukkan ada sebuah
kegembiraan dari orang tersebut pada saat melakukan sesuatu, dan menurut saya
kita memerlukan rasa positif itu.
Seorang
pemikir politik bernama Herbert Marcuse berpendapat bahwa satu-satunya kelompok
di dalam masyarakat modern saat ini yang memiliki potensi untuk merubah sistem
buruk yang sudah ada adalah seniman. Ia menilai karena para seniman memiliki
apa yang disebutnya dengan orisinalitas sehingga tidak mudah terpengaruh oleh trend atau sistem yang sudah ada. Dalam
hari-hari terakhir masa pemilu banyak musisi dan seniman yang menyatakan
mendukung pasangan Jokowi-JK. Bila kita ingin mempercayai apa yang dikatakan
oleh Marcuse, maka kita bisa optimis bahwa dukungan para seniman bisa
memberikan angin segar untuk perubahan besar. Saya sangat mengapresiasi para musisi
dan seniman yang mau mengisi konser “Salam 2 Jari” Sabtu 5 Juli 2014 sebagai
wujud dukungan terhadap Jokowi-JK. Dalam berita-berita dikatakan bahwa artis
dan seniman ternama itu tidak dibayar. Bila itu benar-benar fakta, kekaguman
saya akan semakin menjadi nyata.
Pada
titik ini saya telah dengan jujur menyatakan keberpihakan saya. Saya mengajak
pula rekan-rekan sekalian untuk segera memilih pilihan dan memantapkannya.
Inilah esensi dari masa tenang. Masa untuk berpikir dan menentukan pilihan.
Akan baik bila semakin banyak yang dengan berani mengungkapkan keberpihakannya.
Menurut saya itu hal yang sah-sah saja bila kita mengatasnamakan diri kita
masing-masing. Mengapa penting? Agar bisa menjadi racun positif bagi
orang-orang di dekatnya. Bantulah para swing
voters di lingkungan terdekat anda untuk memilih, atau mengajak rekan kita
untuk memikirkan kembali pilihan mereka.
Adanya media sosial sangat membantu
kita untuk menyebar racun itu. Ramaikan media sosial dengan pilihan anda. Ajak
orang-orang untuk berpikir ulang. Termasuk perihal memilih atau tidak memilih.
Saya memilih untuk menggunakan hak suara saya karena itu adalah tiket saya
untuk menagih janji yang telah diberikan oleh sang penguasa kelak. Seperti
pemikiran John Locke mengenai kontrak sosial, suara yang kita berikan adalah sebagian
dari hak kita sebagai manusia yang kita percayakan kepada penguasa, untuk
mengatur kehidupan kita menjadi lebih baik. Pemberian hak tersebut membuat kita
dapat mengontrol penguasa agar tidak keluar dari koridornya. Tiket itulah yang
tidak akan saya sia-siakan saat ini. Namun sekali lagi, bagaimanapun juga ini
hanya opini saya.
Pesan Untuk Kawan-kawan
Perlu diketahui sebelumnya bahwa
tulisan ini adalah hasil buah pikir dan perasaan saya sendiri. Yang terwakili
di dalam tulisan ini hanyalah diri saya sendiri. Tulisan ini bukanlah pandangan
organisasi atau pun institusi yang menaungi saya. Lalu mungkin pertanyaannya
adalah, mengapa baru sekarang?
Untuk semua kawan-kawan mahasiswa
maupun pemuda-pemudi Indonesia, sekarang sudah saatnya kita menentukan pilihan.
Lusa kita akan mencoblos salah satu pasang calon dan menggantungkan harapan
kita. Dengan demikian saya lebih berpandangan bahwa pada titik ini tak ada
salahnya bila kita mencoba untuk jujur mengenai pilihan kita. Tak ada yang
buruk dari sebuah sikap. Hal yang penting adalah bahwa sikap tersebut tidak
berdiri sendiri melainkan telah melewati banyak pertimbangan.
Dalam kondisi menentukan sikap kita
seringkali terhambat dalam tataran posisi kita di sebuah lembaga publik atau
pun organisasi. Tak terkecuali lembaga-lembaga kampus. Kita takut bahwa opini
kita dianggap sebuah pandangan tempat kita bernaung. Untuk hal ini saya sepakat
bahwa organisasi dan lembaga kampus tidak bisa kita gunakan untuk memobilisasi
suara atau pun mendukung salah satu pasang calon. Bagi saya organisasi kampus
seperti BEM atau Senat harus bersikap netral. Ini disebabkan banyaknya golongan
yang harus mereka representasikan.
Tetapi
poin pentingnya adalah bukan berarti orang-orang di dalam lembaga tersebut
harus netral pula. Adalah hak seorang individu untuk berpendapat dan memilih. Saya
selama ini tidak ingin menciderai semangat untuk melakukan edukasi politik yang
dilakukan oleh organisasi saya yang mengharuskan keadaan berimbang kepada kedua
pasang calon. Masa kampanye telah usai. Dengan demikian sekarang kita bisa
dengan bebas memilih siapa calon yang paling tepat. Bagi saya ini juga sebuah
sarana edukasi politik dimana mengajak setiap orang untuk berani bersikap
setelah mengamati dan turut serta mengawal masa kampanye.
[1] Baca:
Mengintip Program Capres Cawapres Bagian I http://fragmented-mind.blogspot.com/2014/06/mengintip-program-capres-cawapres.html ; Bagian II
http://fragmented-mind.blogspot.com/2014/06/mengintip-program-capres-cawapres_3.html ; Bagian
III http://fragmented-mind.blogspot.com/2014/06/mengintip-program-capres-cawapres_10.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar