Senin, 02 Juni 2014

MENGINTIP PROGRAM CAPRES-CAWAPRES (BAGIAN I)


Kurang lebih satu bulan lagi kita akan menghadapi momen pemilu presiden dan wakil presiden 2014. Namun dari hemat saya, yang terjadi saat ini masyarakat diasupi oleh kampanye-kampanye negatif atas masing-masing calon. Yang satu dicap sebagai pelanggar HAM, sedangkan yang satu dicap sebagai penipu. Satu isu negatif dilawan dengan isu lainnya. Saling menjatuhkan antar kutub terjadi dengan begitu ‘meriah’. Kampanye negatif sejatinya adalah bentuk dari demokrasi itu sendiri. Seluruh komponen masyarakat berhak untuk menyuarakan pendapat mereka. Media dibebaskan untuk memberikan informasi apa pun kepada masyarakat. Tetapi ketika kampanye negatif itu tidak diseimbangi dengan kampanye positif , ada masalah disana.
Kampanye positif yang saya maksudkan adalah dialog seputar visi-misi dan program aksi yang akan dibawa oleh masing-masing calon ke depan bila terpilih. Bahkan visi-misi saja belum cukup. Harus sampai pada tataran program aksi. Ini penting karena kita, masyarakat Indonesia, membutuhkan ide dan program yang bisa menjadi solusi atas permasalahan Indonesia saat ini. Dengan kata lain, masyarakat sudah seharusnya diajak untuk tidak lagi memilih karena sekedar melihat sosok dari si calon. Kita harus mengajak mereka untuk memilih berdasarkan pemikiran rasional atas program mana yang lebih baik dari antara calon yang ada.

Tulisan ini dibuat sebagai respon terhadap fenomena yang telah diuraikan di atas. Saya berusaha memberikan informasi tentang program calon-calon di bawah ini berdasarkan apa yang telah mereka bagikan ke masyarakat. Diskusi seputar program mereka saat ini tenggelam oleh maraknya kampanye negatif. Padahal menurut saya ada beberapa progam yang saya anggap ‘seksi’ untuk kita simak dan diskusikan bersama. Saya akan memisahkannya pada beberapa tulisan agar panjang dan efektivitas isi tulisan bisa lebih baik. Untuk tulisan kali ini saya akan membatasi  pembahasan pada program seputar masyarakat desa dan pendidikan. Saya menggabungkan masalah desa dan pendidikan pada satu tulisan karena keduanya merupakan masalah yang dekat dengan masyarakat miskin dan tertinggal.

Masyarakat Desa       
Masalah utama yang harus dihadapi oleh semua pemerintah di setiap negara adalah kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian agenda ekonomi yang dibawa oleh masing-masing calon adalah penting untuk kita simak bersama. Kelompok masyarakat yang sering menjadi sorotan sekaligus sasaran dari program-program populis dari calon adalah petani dan nelayan. Kelompok ini memang seringkali masuk dalam kategori masyarakat miskin sehingga harus menjadi perhatian bersama. Dari data BPS pada September 2013 presentasi penduduk miskin di desa mencapai angka 14%, sedangkan tingkat kesejahteraan petani Indonesia berada pada 104,56 poin. Angka tersebut tidak bisa kita lepaskan dari profesi petani yang memang masih begitu tinggi jumlahnya di Indonesia. Untuk hal itu, pemberdayaan desa sebagai lahan tempat para petani tinggal menjadi program masing-masing calon.        
Kedua pasang calon sama-sama memasukkan implementasi UU Desa sebagai program yang akan mereka bawa selama lima tahun ke depan. Mereka menjual program pemberdayaan desa. Program yang populis ini tentu bisa menjadi alat mereka untuk bisa mendapatkan suara konstituen yang berada di desa-desa. Untuk kasus masyarakat pedesaan ini, kedua calon sama-sama memiliki program aksi yang menurut saya memiliki nilai jual yang berbeda satu sama lain.
Pasangan nomor urut 1, Prabowo-Hatta, mencantumkan dalam program mereka sebuah langkah untuk mengalokasikan dana APBN minimal 1 milyar rupiah per desa untuk bisa diberdayakan dalam 8 program desa.[1] Ini menjadi menarik karena tentu ini akan menjadi sebuah dana yang besar dari APBN. Prabowo-Hatta mencantumkan angka 385 triliun rupiah untuk masa waktu lima tahun untuk 75.244 desa/kelurahan di Indonesia. Itu berarti pemerintah akan menghabiskan kira-kira 77 triliun rupiah per tahun, atau bila kita mengacu pada APBN 2014 maka itu akan menghabiskan 4% pengeluaran negara, atau setara atau bahkan melebihi angka subsidi listrik nasional. Harus ada anggaran yang dikurangi dari APBN bila pendanaan untuk desa ini ingin direalisasikan. Menurut hemat saya subsidi energi adalah yang paling mungkin untuk dikurangi. Namun pada program-program yang dibawa Prabowo-Hatta saya melihat belum jelas mana anggaran yang mungkin untuk dipindahkan kepada alokasi dana desa ini. Terlebih pada beberapa poin mereka juga ingin melanjutkan subsidi energi. Lebih dari itu, bantuan-bantuan langsung seringkali menghadapi kendala dimana dana tersebut tidak diterima secara langsung manfaatnya kepada masyarakat. Diperlukan aparat birokrasi desa yang memiliki integritas tinggi agar program ini benar-benar efektif.
Bila Prabowo-Hatta menjual program 1 milyar per desa, lain soal Jokowi-JK. Pasangan ini ,selain implementasi UU Desa, menjanjikan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Menurut saya ini juga akna menjadi fokus yang menarik untuk masyarakat desa yang masih banyak sekali merupakan masyarakat adat. Pasangan ini berjanji untuk melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. Fokus pasangan ini terhadap hak masyarakat adat ini menarik karena diusung sebagai salah satu alat untuk mengurangi konflik agraria yang seringkali menyudutkan hak-hak masyarakat adat. Untuk pembangunan infrastruktur desa sendiri Jokowi-JK juga menempatkannya pada rencana program mereka, namun tidak dengan pemberian alokasi dana yang tertulis besarannya seperti Prabowo-Hatta.
Selain itu kedua pasangan sama-sama ingin membangun Bank Petani atau pun Bank Nelayan. Bank tersebut diharapkan bisa membantu para petani dan nelayan untuk mendapatkan dana bagi kegiatan ekonomi mereka.

Pendidikan
Bagi mahasiswa, masalah pendidikan akan selalu menjadi isu yang dikaji setiap tahunnya. Negara selalu dituntut untuk memberikan pendidikan sebagai hak masyarakat seperti termaktub dalam UUD 1945. Setiap presiden yang terpilih selalu menjadi harapan bagi majunya pendidikan di Indonesia. Untuk 2014, saya rasa ada beberapa program penting di bidang pendidikan di kedua calon yang bisa kita simak dan nantikan.
Wajib belajar 12 tahun tetap menjadi sebuah hal wajib yang akan akan mereka bawa. Keduanya sama-sama menyatakan bahwa negara harus menjamin pendidikan gratis untuk sampai pada selesai 12 wajib belajar. Pada poin ini Jokowi-JK lebih berani mencantumkan bahwa pembebasan biaya tersebut tidak hanya di sekolah negeri namun juga di sekolah swasta.[2] Pada dasarnya program wajib belajar ini masih harus menjadi perhatian besar dari presiden yang terpilih karena jumlah penduduk yang menikmati pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah yang akan berdampak langsung pada daya saing bangsa.[3]
Untuk masalah pendidikan ini saya menilai bahwa program kedua pasangan sama-sama memiliki kelebihan masing-masing. Jokowi-JK selain mencantumkan sekolah swasta, yang akan ditanggung biaya pendidikannya oleh negara sampai 12 wajib belajar, juga berjanji untuk menghilangkan model penyeragaman sistem pendidikan nasional, dalam poin ini termasuk pula di dalamnya mengenai Ujian Akhir Nasional. Program ini bisa menjadi poin penting dalam meraup suara karena isu UN ini sedang menjadi perbincangan dalam beberapa tahun terakhir. Penyelenggaraan UN ini memang seringkali bermasalah dan dianggap harus dievaluasi ulang. Dalam hal ini saya melihat bahwa memang tim Jokowi-JK menaruh perhatian pada perbedaan pembangunan di tiap-tiap daerah. Mereka menggunakan konsep desentralisasi asimetris sebagai salah satu landasan mereka membangun Indonesia ke depannya. Maksudnya adalah bahwa setiap daerah harus diperhatikan secara berbeda, sesuai kebutuhan masing-masing. Sehingga program penghapusan UN ini juga bisa kita kaitkan dengan bagaimana mereka melihat pembangunan tiap daerah yang berbeda.
Di sisi lain Prabowo Hatta juga memiliki poin yang tidak kalah menarik. Mereka berniat untuk menghapuskan penggantian buku pelajaran setiap tahun. Ini berarti pula mereka akan mengurangi atau menghilangkan pergantian kurikulum yang sering terjadi beberapa tahun belakangan. Pergantian kurikulum pendidikan memiliki dampak yang besar terhadap proses belajar mengajar. Selain biaya yang besar, pergantian kurikulum juga bisa menyulitkan guru-guru untuk beradaptasi setiap tahunnya. Bila kita melihat pada sistem ekonomi kerakyatan yang mereka bawa, pasangan ini menjual program-program yang akan mengurangi biaya yang akan dikeluarkan khususnya oleh masyarakat kecil. Pergantian buku pelajaran ini juga menjadi turunan dari hal tersebut.
Selain pendidikan di tingkat dasar, kedua pasangan ini juga mencantumkan program untuk pendidikan tinggi. Prabowo-Hatta akan mewajibkan setiap sarjana dan dokter yang baru lulus untuk mengabdi di daerah miskin dan tertinggal. Dengan kata lain, program Kuliah Kerja Nyata akan diwajibkan untuk semua lulusan. Sedangkan Jokowi-JK banyak menyebutkan perihal kemajuan inovasi teknologi. Pasangan ini, meski tidak disebutkan angkanya, berniat untuk meningkatkan anggaran riset. Hal ini patut untuk diikuti oleh para akademisi yang mengidamkan kemajuan riset. Selain itu dalam masalah peningkatan teknologi, mereka ingin mendorong kemitraan antara industri dan perguruan tinggi. Namun sangat disayangkan ketika kedua calon sama sekali tidak membahas soal UU Perguruan Tinggi dalam program-program mereka yang sesungguhnya sedang menjadi perhatian serius di kalangan mahasiswa, khususnya di Perguruan Tinggi Negeri.
Dari dua isu di atas, desa dan pendidikan, bisa dilihat bahwa keduanya memiliki program yang sama dan ada pula yang berbeda. Persamaan program kedua pasangan ini sebatas pada hal-hal yang normatif, atau yang pasti akan dibawa oleh setiap orang yang maju dalam pemilu. Contoh dari program yang saya maksud tersebut adalah seperti wajib belajar 12 tahun atau pun pemberdayaan desa. Yang harus kita simak adalah detail-detail program yang menjadi turunannya seperti yang telah disebutkan di atas.
Dengan melihat poin-poin program kedua pasangan ini maka kita dapat melihat dengan jelas perbedaan kedua pasangan calon secara lebih substansif ketimbang berdasar pada biodata dan riwayat hidup semata. Barulah kemudian kita bisa memilih di antara keduanya, mana yang lebih bisa menjawab permasalahan Indonesia saat ini dan sesuai dengan harapan kita. Bukan semata-mata hanya bergantung pada kampenye negatif semata.


[1] 8 Program Desa itu adalah pembangunan infrastruktur desa yang meliputi: jalan, jembatan, dan infrastruktur desa dan pesisir; listrik dan air bersih desa; koperasi desa, BUMDES,BUMP, dan lembaga keuangan mikro; lumbung desa; pasar desa; klinik dan rumah sehat desa; pendidikan dan wirausaha desa; sistem informasi dan penguatan perangkat pemerintah desa.
[2] Dalam poin ini Prabowo-Hatta mencantumkan biaya pendidikan akan ditanggung negara tanpa menjelaskan apakah sekolah swasta juga termasuk didalamnya.
[3] Menurut data BPS pada tahun 2012 yang menikmati pendidikan di Indonesia hanya sekitar 15%.

2 komentar: