Selasa, 10 Juni 2014

MENGINTIP PROGRAM CAPRES-CAWAPRES (BAGIAN III)

None of us is ever fully represented – representation of our interest or identities in politics is always incomplete and partial..” – Michael Saward[1]

Sebelum saya memulai bagian ketiga tulisan saya ini, ada baiknya saya memberikan pandangan saya mengapa penting bagi kita untuk melihat visi-misi dan program masing-masing pasangan. Visi-misi dan program yang telah diberikan kepada KPU sebagai salah satu syarat pendaftaran adalah sebuah dasar bagi masyarakat untuk bisa mengontrol. Bagaimana caranya? Apa yang telah mereka tuangkan adalah sebuah janji. Janji tersebutlah yang bisa kita jadikan pegangan tertulis untuk dijadikan tuntutan kelak ketika mereka telah terpilih. Apalagi program tersebut berasal dari ide tim mereka sendiri. Karena itu penting bagi masing-masing calon untuk mengingat dan terus-menerus mensosialisasikan program-program tersebut kepada sebanyak mungkin masyarakat.
            Namun ada yang akan berpikiran sinis dengan mengatakan bahwa program itu bisa dimainkan oleh masing-masing calon untuk bisa menarik hati masyarakat. Mungkin memang demikian adanya. Tetapi bila kita melihat kembali, apa yang mereka utarakan sebagai visi-misi dan program adalah penawaran yang mereka berikan kepada kita untuk Indonesia. Kitalah yang harus memilih mana di antara mereka yang lebih bisa diterima sebagai solusi Indonesia. Mereka yang lebih ingin mengulas sosok para calon akan beranggapan bahwa para calon juga tak semuanya mengerti visi-misi dan program yang dibawa oleh masing-masing calon. Masing-masing pasang calon memiliki tim ahli untuk merumuskan itu semua. Namun menurut hemat saya, justru disanalah poin mengapa mengulas visi-misi dan program mereka begitu penting.
           
Yang akan memerintah Indonesia ke depan bukan hanya presiden dan wakil presiden semata. Kita tidak boleh lupa bahwa ada tim yang mengusung mereka dalam pemilu. Tim inilah, atau setidaknya kelompok pengusungnya, yang akan berkuasa dalam turunan-turunan kebijakannya kelak. Baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK nantinya akan memimpin kita bersama dengan kelompoknya. Bagaimana kita bisa melihat wujud dan pandangan kelompok tersebut terhadap Indonesia? Tentu saja dengan menganalisa program yang dibawa oleh masing-masing pasang calon. Di dalam rumusan visi-misi dan program terdapat banyak sekali kepentingan yang hadir dari berbagai partai maupun kelompok masyarakat. Sehingga dengan melihat pada program mereka kita bisa melihat dengan jelas kelompok mana sajakah yang akan banyak berperan dalam pemerintahan bila calon pilihan kita terpilih nanti.
            Sekarang mari kita beranjak pada pembahasan soal program yang dibawa oleh masing-masing pasang calon. Pada bagian ketiga ini saya akan membahas mengenai HAM dan korupsi.

HAM
            Isu ini sangat menjadi pembahasan di tengah masyarakat. Salah satu calon presiden dianggap bermasalah pada isu HAM. Pelanggar HAM adalah cap yang sering kita dengar. Entah itu dianggap sebagai kampanye hitam, atau pun gerakan untuk menolak lupa. Di sisi lain kelompok yang mendukung calon tersebut tak lelahnya memberikan klarifikasi tentang rekam jejak hitam yang terus terdengar tersebut. Berbagai amunisi peralihan isu seringkali digunakan untuk menepis kritik.
Saya pribadi berpendapat bahwa perdebatan soal isu HAM tidak akan ada habisnya bila kita hanya berhenti pada tataran rekam jejak masing-masing calon. Masyarakat pun akan kebingungan dan pada tataran ekstrem akan mengalami ketakutan. Bila kita melihat ke belakang masing-masing calon, ada jejeran jenderal yang terlibat kasus HAM.[2] Keduanya, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK, sama-sama memiliki setidaknya lima orang jenderal dengan kasus pelanggaran HAM sebagai tim sukses mereka. Dalam hal ini saya tidak menolak diskursus yang terjadi tentang isu HAM tersebut. Namun menurut saya tidaklah cukup bila kita tidak menyasar pada tataran masing-masing calon tentang isu HAM. Karena sekali lagi, program adalah hal kongkret yang bisa kita tuntut. Dari visi-misi dan program kita setidaknya bisa melihat keberpihakan masing-masing tim terhadap isu HAM tanah air.
            Secara objektif kita bisa katakan bahwa pasangan Jokowi-JK memiliki perhatian yang lebih terhadap HAM. Baik itu penyelesaian kasus HAM atau pun penegakkan HAM di masyarakat. Dalam beberapa poin Jokowi-JK secara eksplisit menyebutkan soal masalah tersebut. Di tataran yang umum, pasangan ini menyatakan akan membangun penegakan HAM. Bila kita turunkan, pasangan ini menyebutkan beberapa kelompok yang menjadi perhatian mereka seperti perempuan, anak,  masyarakat adat, dan penyandang disabilitas. Penyebutan-penyebutan kelompok ini adalah penting karena akan terlihat keberpihakan mereka terhadap kelompok tersebut.
            Salah satu masalah yang juga terkait dengan masalah HAM adalah kebebasan beragama. Pada Bagian I saya telah mengutarakan bahwa pasangan ini begitu menonjolkan sisi multikultural mereka. Poin kebebasan beragama ini semakin menguatkan citra tersebut. Terlebih ketika mereka menyebutkan dengan jelas akan menindak setiap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kekerasan terhadap agama minoritas memang telah menjadi masalah genting di Indonesia. Menarik untuk kita simak bagaimana sikap pasangan ini dalam menangani ormas-ormas agama yang sering berulah. Pemerintahan SBY seringkali dianggap terlalu ‘ringan’ dan hanya kuat di ucapan namun tidak tegas dalam menindak kekerasan terhadap agama. Sehingga menjadi logis ketika poin tadi bisa dijadikan sebagai sebuah harapan. Terkait hubungannya dengan dunia pendidikan, pasangan ini ingin memasukkan muatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum di SD dan SMP, serta di kurikulum pendidikan TNI dan Polri. Berbeda dengan pasangan Prabowo-Hatta yang lebih menekankan kepada pendidikan Pancasila.
            Di antara semua program terkait HAM yang pasangan ini tawarkan, tentu poin yang paling banyak menjadi perhatian adalah bagaimana mereka ingin menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM. Poin ini yang sering menjadi rujukan para pemerhati HAM. Pasangan ini dianggap setidaknya lebih menunjukkan niat, meskipun masih berupa janji, terhadap penuntasan kasus HAM masa lalu. Yang bagi saya lebih menarik, pasangan ini bahkan dengan jelas menyebutkan kasus-kasus HAM masa lalu tersebut antara lain Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Kampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.  Pasangan ini menganggap penyelesaian kasus HAM masa lalu menjadi penting karena telah menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia.
            Hal lain terkait HAM yang diangkat oleh pasangan ini adalah penghapusan impunitas di dalam sistem hukum nasional dan merevisi UU Peradilan Militer. Pasangan ini menilai UU ini menjadi salah satu sumber pelanggaran HAM masa lalu. Bila kita lihat kembali, banyak sekali poin HAM yang disebut oleh pasangan ini dalam visi-misi dan program yang mereka bawa.
            Sekarang mari kita lihat pada program yang dibawa pasangan Prabowo-Hatta. Poin penegakkan HAM juga terdapat di dalam program yang mereka tawarkan. Tetapi dari hemat saya, hanya ada satu poin terkait isu ini dimana mereka berjanji melindungi rakyat dari segala bentuk diskriminasi dan menjungjung tinggi hak asasi manusia sesuai UUD 1945 dan Pancasila. Selain poin itu saya tidak melihat lagi pasangan ini secara langsung menyasar isu HAM. Hal ini yang menurut saya bisa menjadi lubang dari program yang ditawarkan oleh pasangan ini.
            Yang menarik bagi saya adalah tidak adanya unsur purifikasi agama di dalam rangkaian program-program yang mereka tawarkan. Isu ini menjadi salah satu poin kontroversial dari Gerindra, pengusung Prabowo, yang banyak diperbincangkan. Beberapa kalangan menganggap hal tersebut sebagai perhatian sekaligus ketakutan utama, khususya kelompok agama minoritas. Tak lama sebelum tulisan ini ditulis, Gerindra menyatakan mencabut agenda purifikasi agama yang mereka canangkan. Menarik bagi kita untuk menggali lebih dalam lagi kepada calon ini terkait hal itu, apakah pencabutan poin tersebut karena mereka melihat tekanan di dalam masyarakat? Ataukah ketidak sepahaman pemikiran dengan koalisi yang mereka bentuk terkait poin tersebut?
            Di dalam 8 bagian dari Agenda dan Program Nyata Untuk Menyelamatkan Indonesia yang mereka bawa, Prabowo-Hatta sebagian besar berfokus pada isu ekonomi. Atau bisa kita katakan bahwa tim perumus dari pasangan ini tidak menjabarkan secara jelas langkah-langkah apa yang sebenarnya akan mereka lakukan untuk menegakkan HAM. Poin tentang perlindungan terhadap hak-hak rakyat hanya terdapat di bagian ke-8 agenda mereka. Tentu ini sangat minim bila kita bandingkan dengan tawaran yang diberikan oleh pasangan Jokowi-JK. Padahal pasangan ini seharusnya tahu betul bahwa isu HAM bisa menjadi bagian empuk dari mereka untuk diserang. Dengan tidak dicantumkannya program-program kongkret terkait HAM, mereka seperti tidak mempersiapkan self defense dengan baik. Di sisi lain, saya melihat pasangan Jokowi-JK cukup lihai dalam menggunakan isu HAM di dalam progam-program mereka. Kita bisa berasumsi pula bahwa program-program tersebut dipersiapkan untuk mengungguli pasangan Prabowo-Hatta yang memiliki kelemahan di sektor itu.

Korupsi
            Bisa kita prediksi kedua pasang calon akan ‘menjual’ KPK sebagai salah satu alat utama dalam mengkampanyekan pemberantasan korupsi. Hal ini terbukti bila kita melihat pada program yang mereka bawa terkait pemberantasan korupsi. Masing-masing calon mencantumkan poin penguatan KPK sebagai agenda utama mereka. Hanya ada beberapa poin kecil yang membedakan keduanya dalam menjabarkan pemberantasan korupsi.
            Pasangan Prabowo-Hatta ingin mencegah dan memberantas korupsi dengan melihat pula pada masalah KKN. Mereka ingin menerapkan manajemen terbuka dan akuntabel. Pemangkasan rantai dan proses birokrasi menjadi salah satu agenda yang akan mereka jalankan. Prabowo-Hatta menilai bahwa hal tadi bisa menjadi sumber KKN di dalam pemerintahan. Terkait penguatan KPK, pasangan ini ingin menambah tenaga penyidik dan fasilitas penyelidikan.
            Dalam pemberantasan korupsi, pasangan Jokowi-JK mencantumkan program pelayanan publik yang bebas korupsi dengan pemanfaatan teknologi informasi yang transparan. Seperti kita ketahui di banyak kesempatan Jokowi memang menjadikan teknologi informasi sebagai ‘senjata’ utama dalam memberikan layanan yang akuntabel dan transparan. Mereka ingin menerapkan Sistem Integritas Nasional (SIN) yang dianggap akan mendukung mekanisme yang transparan. Program ini juga mereka harapkan bisa meningkatkan peran serta publik dalam pengawasan terhadap pembuatan kebijakan. Selain itu pasangan ini mencantumkan beberapa RUU yang coba untuk dibentuk sebagai pendukung pemberantasan korupsi seperti RUU Perampasan Aset, RUU Perlindungan Saksi/Korban, RUU Kerjasama Timbal Balik (MLA) dan RUU Pembataasn Transaksi Tunai.
Di luar poin-poin tadi secara normatif kedua calon ingin meningkatkan integritas para aparatur negara agar bebas dari budaya korupsi. Sangsi tegas akan mereka berikan kepada para pelaku korupsi. Hal-hal normatif ini tentu adalah hal biasa dan normatif bila tidak bisa secara lebih jelas bagaimana cara mencapainya. Kedua pasang calon masih dalam tataran ingin menguatkan kerjasama KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Agenda seperti efek jera terhadap pelaku korupsi yang saat ini masih banyak dianggap ringan oleh wacana yang timbul di masyarakat juga tidak bisa kita tinggalkan.
Tidak ada langkah-langkah kongkret yang diberikan kedua pasang calon untuk menguatkan kepolisian. Perlu kita ketahui bahwa kepolisian pada dasarnya menjadi pihak yang bertugas dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja saat ini seakan-akan KPK menjadi satu-satunya kekuatan untuk menghadapi tindak pidana korupsi. Ini bisa kita lihat sebagai respon umum mereka terhadap kepercayaan publik yang lebih mengutamakan KPK ketimbang kepolisian dalam hal pemberantasan korupsi. Bila kita lihat dari kasus korupsi yang ditangani oleh kedua lembaga, KPK memang menangani kasus dengan jumlah yang lebih banyak.[3] Ditambah lagi dalam UU KPK berwenang mengambil alih kasus yang ditangani oleh kepolisian atau pun kejaksaan.[4] Namun bukan berarti kepolisian harus menjadi minim tindakannya dalam penanganan tindak pidana korupsi.
            Secara umum, menurut saya pribadi, keunggulan dari program Jokowi-JK memang terletak dari cara penulisan mereka yang banyak memuat narasi. Dari narasi tersebut, tim mereka dengan lebih terstruktur memberikan penjelasan akan poin-poin yang mereka sebutkan. Dengan cara tersebut para pembaca bisa lebih mengerti mengenai apa yang ingin mereka bawa. Sedangkan pasangan Prabowo-Hatta lebih mengutamakan penyampaian secara poin-poin sehingga masih butuh penjelasan secara langsung dari mereka terkait turunan dari poin tersebut. Dalam sebuah kesempatan tim Prabowo-Hatta mengatakan bahwa rincian terhadap program-program tersebut sebenarnya mereka miliki, tetapi tidak diberikan kepada masyarakat umum. Menurut saya memang tidak perlu secara mendetail semua program tersebut dijabarkan dalam visi-misi dan program yang mereka berikan kepada KPU. Tetapi ada baiknya penulisan poin-poin yang ada lebih diberikan penjelasan yang lebih kongkret. Karena pada dasarnya itulah yang harus dilihat oleh masyarakat luas. Mereka harus mengerti seutuhnya sebelum memilih calon yang tepat.




[1] Nuri Soeseno, Representasi Politik - Perkembangan dari Ajektiva ke Teori (Depok: Pusat Kajian Politik, 2013), hal.136.
[2] Yandi M.Rofiyandi, “Perang Jenderal Kubu Prabowo-Jokowi,” Koran TEMPO , Sabtu,7 Juni 2014, hal.8. Ada pun jenderal yang dianggap terlibat adalah, di kubu Prabowo-Hatta: Prabowo Subianto, Kivlan Zen, Syarwan Hamid, Syamsir Siregar, Chairawan, Bambang Kristiono; di kubu Jokowi-JK: Wiranto, Sutiyoso, A.M Hendropriyono, Muchdi Pr., Ryamizard Ryacudu. Secara umum jenderal-jenderal tersebut terlibat kasus kerusuhan Mei 1998 dan kerusuhan-kerusuhan lainnya pada masa transisi ke reformasi.
[3] http://www.kpk.go.id/images/pdf/laptah/annual_report_2013.pdf (akses 10 Juni 2014). Berdasarkan laporan tahun 2013, KPK melakukan penyidikan terhadap 102 perkara, dan melakukan penuntutan pada 73 perkara.
[4] UU no.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar