“None of us is ever fully represented – representation
of our interest or identities in politics is always incomplete and partial..”
– Michael Saward[1]
Sebelum
saya memulai bagian ketiga tulisan saya ini, ada baiknya saya memberikan
pandangan saya mengapa penting bagi kita untuk melihat visi-misi dan program
masing-masing pasangan. Visi-misi dan program yang telah diberikan kepada KPU
sebagai salah satu syarat pendaftaran adalah sebuah dasar bagi masyarakat untuk
bisa mengontrol. Bagaimana caranya? Apa yang telah mereka tuangkan adalah
sebuah janji. Janji tersebutlah yang bisa kita jadikan pegangan tertulis untuk dijadikan
tuntutan kelak ketika mereka telah terpilih. Apalagi program tersebut berasal
dari ide tim mereka sendiri. Karena itu penting bagi masing-masing calon untuk
mengingat dan terus-menerus mensosialisasikan program-program tersebut kepada
sebanyak mungkin masyarakat.
Namun ada yang akan berpikiran sinis
dengan mengatakan bahwa program itu bisa dimainkan oleh masing-masing calon
untuk bisa menarik hati masyarakat. Mungkin memang demikian adanya. Tetapi bila
kita melihat kembali, apa yang mereka utarakan sebagai visi-misi dan program
adalah penawaran yang mereka berikan kepada kita untuk Indonesia. Kitalah yang
harus memilih mana di antara mereka yang lebih bisa diterima sebagai solusi
Indonesia. Mereka yang lebih ingin mengulas sosok para calon akan beranggapan
bahwa para calon juga tak semuanya mengerti visi-misi dan program yang dibawa
oleh masing-masing calon. Masing-masing pasang calon memiliki tim ahli untuk
merumuskan itu semua. Namun menurut hemat saya, justru disanalah poin mengapa
mengulas visi-misi dan program mereka begitu penting.
Yang akan memerintah Indonesia ke depan bukan hanya presiden dan wakil presiden semata. Kita tidak boleh lupa bahwa ada tim yang mengusung mereka dalam pemilu. Tim inilah, atau setidaknya kelompok pengusungnya, yang akan berkuasa dalam turunan-turunan kebijakannya kelak. Baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK nantinya akan memimpin kita bersama dengan kelompoknya. Bagaimana kita bisa melihat wujud dan pandangan kelompok tersebut terhadap Indonesia? Tentu saja dengan menganalisa program yang dibawa oleh masing-masing pasang calon. Di dalam rumusan visi-misi dan program terdapat banyak sekali kepentingan yang hadir dari berbagai partai maupun kelompok masyarakat. Sehingga dengan melihat pada program mereka kita bisa melihat dengan jelas kelompok mana sajakah yang akan banyak berperan dalam pemerintahan bila calon pilihan kita terpilih nanti.
Sekarang mari kita beranjak pada
pembahasan soal program yang dibawa oleh masing-masing pasang calon. Pada
bagian ketiga ini saya akan membahas mengenai HAM dan korupsi.
HAM
Isu ini sangat menjadi pembahasan di tengah masyarakat.
Salah satu calon presiden dianggap bermasalah pada isu HAM. Pelanggar HAM
adalah cap yang sering kita dengar. Entah itu dianggap sebagai kampanye hitam,
atau pun gerakan untuk menolak lupa. Di sisi lain kelompok yang mendukung calon
tersebut tak lelahnya memberikan klarifikasi tentang rekam jejak hitam yang
terus terdengar tersebut. Berbagai amunisi peralihan isu seringkali digunakan
untuk menepis kritik.
Saya
pribadi berpendapat bahwa perdebatan soal isu HAM tidak akan ada habisnya bila
kita hanya berhenti pada tataran rekam jejak masing-masing calon. Masyarakat
pun akan kebingungan dan pada tataran ekstrem akan mengalami ketakutan. Bila
kita melihat ke belakang masing-masing calon, ada jejeran jenderal yang
terlibat kasus HAM.[2]
Keduanya, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK, sama-sama memiliki setidaknya
lima orang jenderal dengan kasus pelanggaran HAM sebagai tim sukses mereka. Dalam
hal ini saya tidak menolak diskursus yang terjadi tentang isu HAM tersebut.
Namun menurut saya tidaklah cukup bila kita tidak menyasar pada tataran
masing-masing calon tentang isu HAM. Karena sekali lagi, program adalah hal
kongkret yang bisa kita tuntut. Dari visi-misi dan program kita setidaknya bisa
melihat keberpihakan masing-masing tim terhadap isu HAM tanah air.
Secara objektif kita bisa katakan
bahwa pasangan Jokowi-JK memiliki perhatian yang lebih terhadap HAM. Baik itu
penyelesaian kasus HAM atau pun penegakkan HAM di masyarakat. Dalam beberapa
poin Jokowi-JK secara eksplisit menyebutkan soal masalah tersebut. Di tataran
yang umum, pasangan ini menyatakan akan membangun penegakan HAM. Bila kita
turunkan, pasangan ini menyebutkan beberapa kelompok yang menjadi perhatian
mereka seperti perempuan, anak,
masyarakat adat, dan penyandang disabilitas. Penyebutan-penyebutan
kelompok ini adalah penting karena akan terlihat keberpihakan mereka terhadap
kelompok tersebut.
Salah satu masalah yang juga terkait
dengan masalah HAM adalah kebebasan beragama. Pada Bagian I saya telah
mengutarakan bahwa pasangan ini begitu menonjolkan sisi multikultural mereka.
Poin kebebasan beragama ini semakin menguatkan citra tersebut. Terlebih ketika
mereka menyebutkan dengan jelas akan menindak setiap pelaku kekerasan yang
mengatasnamakan agama. Kekerasan terhadap agama minoritas memang telah menjadi
masalah genting di Indonesia. Menarik untuk kita simak bagaimana sikap pasangan
ini dalam menangani ormas-ormas agama yang sering berulah. Pemerintahan SBY
seringkali dianggap terlalu ‘ringan’ dan hanya kuat di ucapan namun tidak tegas
dalam menindak kekerasan terhadap agama. Sehingga menjadi logis ketika poin
tadi bisa dijadikan sebagai sebuah harapan. Terkait hubungannya dengan dunia
pendidikan, pasangan ini ingin memasukkan muatan HAM dalam kurikulum pendidikan
umum di SD dan SMP, serta di kurikulum pendidikan TNI dan Polri. Berbeda dengan
pasangan Prabowo-Hatta yang lebih menekankan kepada pendidikan Pancasila.
Di antara semua program terkait HAM
yang pasangan ini tawarkan, tentu poin yang paling banyak menjadi perhatian
adalah bagaimana mereka ingin menyelesaikan secara berkeadilan terhadap
kasus-kasus pelanggaran HAM. Poin ini yang sering menjadi rujukan para pemerhati
HAM. Pasangan ini dianggap setidaknya lebih menunjukkan niat, meskipun masih
berupa janji, terhadap penuntasan kasus HAM masa lalu. Yang bagi saya lebih
menarik, pasangan ini bahkan dengan jelas menyebutkan kasus-kasus HAM masa lalu
tersebut antara lain Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan
Paksa, Talang Sari-Kampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965. Pasangan ini menganggap penyelesaian kasus
HAM masa lalu menjadi penting karena telah menjadi beban sosial politik bagi
bangsa Indonesia.
Hal lain terkait HAM yang diangkat
oleh pasangan ini adalah penghapusan impunitas di dalam sistem hukum nasional
dan merevisi UU Peradilan Militer. Pasangan ini menilai UU ini menjadi salah
satu sumber pelanggaran HAM masa lalu. Bila kita lihat kembali, banyak sekali
poin HAM yang disebut oleh pasangan ini dalam visi-misi dan program yang mereka
bawa.
Sekarang mari kita lihat pada
program yang dibawa pasangan Prabowo-Hatta. Poin penegakkan HAM juga terdapat
di dalam program yang mereka tawarkan. Tetapi dari hemat saya, hanya ada satu
poin terkait isu ini dimana mereka berjanji melindungi rakyat dari segala
bentuk diskriminasi dan menjungjung tinggi hak asasi manusia sesuai UUD 1945
dan Pancasila. Selain poin itu saya tidak melihat lagi pasangan ini secara
langsung menyasar isu HAM. Hal ini yang menurut saya bisa menjadi lubang dari
program yang ditawarkan oleh pasangan ini.
Yang menarik bagi saya adalah tidak adanya
unsur purifikasi agama di dalam rangkaian program-program yang mereka tawarkan.
Isu ini menjadi salah satu poin kontroversial dari Gerindra, pengusung Prabowo,
yang banyak diperbincangkan. Beberapa kalangan menganggap hal tersebut sebagai perhatian
sekaligus ketakutan utama, khususya kelompok agama minoritas. Tak lama sebelum tulisan
ini ditulis, Gerindra menyatakan mencabut agenda purifikasi agama yang mereka canangkan.
Menarik bagi kita untuk menggali lebih dalam lagi kepada calon ini terkait hal itu,
apakah pencabutan poin tersebut karena mereka melihat tekanan di dalam masyarakat?
Ataukah ketidak sepahaman pemikiran dengan koalisi yang mereka bentuk terkait poin
tersebut?
Di dalam 8 bagian dari Agenda dan
Program Nyata Untuk Menyelamatkan Indonesia yang mereka bawa, Prabowo-Hatta
sebagian besar berfokus pada isu ekonomi. Atau bisa kita katakan bahwa tim
perumus dari pasangan ini tidak menjabarkan secara jelas langkah-langkah apa
yang sebenarnya akan mereka lakukan untuk menegakkan HAM. Poin tentang
perlindungan terhadap hak-hak rakyat hanya terdapat di bagian ke-8 agenda
mereka. Tentu ini sangat minim bila kita bandingkan dengan tawaran yang
diberikan oleh pasangan Jokowi-JK. Padahal pasangan ini seharusnya tahu betul
bahwa isu HAM bisa menjadi bagian empuk dari mereka untuk diserang. Dengan
tidak dicantumkannya program-program kongkret terkait HAM, mereka seperti tidak
mempersiapkan self defense dengan
baik. Di sisi lain, saya melihat pasangan Jokowi-JK cukup lihai dalam
menggunakan isu HAM di dalam progam-program mereka. Kita bisa berasumsi pula
bahwa program-program tersebut dipersiapkan untuk mengungguli pasangan
Prabowo-Hatta yang memiliki kelemahan di sektor itu.
Korupsi
Bisa kita prediksi kedua pasang
calon akan ‘menjual’ KPK sebagai salah satu alat utama dalam mengkampanyekan
pemberantasan korupsi. Hal ini terbukti bila kita melihat pada program yang
mereka bawa terkait pemberantasan korupsi. Masing-masing calon mencantumkan
poin penguatan KPK sebagai agenda utama mereka. Hanya ada beberapa poin kecil
yang membedakan keduanya dalam menjabarkan pemberantasan korupsi.
Pasangan Prabowo-Hatta ingin
mencegah dan memberantas korupsi dengan melihat pula pada masalah KKN. Mereka
ingin menerapkan manajemen terbuka dan akuntabel. Pemangkasan rantai dan proses
birokrasi menjadi salah satu agenda yang akan mereka jalankan. Prabowo-Hatta
menilai bahwa hal tadi bisa menjadi sumber KKN di dalam pemerintahan. Terkait
penguatan KPK, pasangan ini ingin menambah tenaga penyidik dan fasilitas
penyelidikan.
Dalam
pemberantasan korupsi, pasangan Jokowi-JK mencantumkan program pelayanan publik
yang bebas korupsi dengan pemanfaatan teknologi informasi yang transparan.
Seperti kita ketahui di banyak kesempatan Jokowi memang menjadikan teknologi
informasi sebagai ‘senjata’ utama dalam memberikan layanan yang akuntabel dan
transparan. Mereka ingin menerapkan Sistem Integritas Nasional (SIN) yang
dianggap akan mendukung mekanisme yang transparan. Program ini juga mereka
harapkan bisa meningkatkan peran serta publik dalam pengawasan terhadap
pembuatan kebijakan. Selain itu pasangan ini mencantumkan beberapa RUU yang
coba untuk dibentuk sebagai pendukung pemberantasan korupsi seperti RUU
Perampasan Aset, RUU Perlindungan Saksi/Korban, RUU Kerjasama Timbal Balik
(MLA) dan RUU Pembataasn Transaksi Tunai.
Di
luar poin-poin tadi secara normatif kedua calon ingin meningkatkan integritas
para aparatur negara agar bebas dari budaya korupsi. Sangsi tegas akan mereka
berikan kepada para pelaku korupsi. Hal-hal normatif ini tentu adalah hal biasa
dan normatif bila tidak bisa secara lebih jelas bagaimana cara mencapainya. Kedua
pasang calon masih dalam tataran ingin menguatkan kerjasama KPK, kepolisian, dan
kejaksaan. Agenda seperti efek jera terhadap pelaku korupsi yang saat ini masih
banyak dianggap ringan oleh wacana yang timbul di masyarakat juga tidak bisa kita
tinggalkan.
Tidak
ada langkah-langkah kongkret yang diberikan kedua pasang calon untuk menguatkan
kepolisian. Perlu kita ketahui bahwa kepolisian pada dasarnya menjadi pihak
yang bertugas dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja saat ini seakan-akan KPK
menjadi satu-satunya kekuatan untuk menghadapi tindak pidana korupsi. Ini bisa
kita lihat sebagai respon umum mereka terhadap kepercayaan publik yang lebih
mengutamakan KPK ketimbang kepolisian dalam hal pemberantasan korupsi. Bila kita
lihat dari kasus korupsi yang ditangani oleh kedua lembaga, KPK memang menangani
kasus dengan jumlah yang lebih banyak.[3] Ditambah
lagi dalam UU KPK berwenang mengambil alih kasus yang ditangani oleh kepolisian
atau pun kejaksaan.[4]
Namun bukan berarti kepolisian harus menjadi minim tindakannya dalam penanganan
tindak pidana korupsi.
Secara umum, menurut saya pribadi,
keunggulan dari program Jokowi-JK memang terletak dari cara penulisan mereka
yang banyak memuat narasi. Dari narasi tersebut, tim mereka dengan lebih
terstruktur memberikan penjelasan akan poin-poin yang mereka sebutkan. Dengan
cara tersebut para pembaca bisa lebih mengerti mengenai apa yang ingin mereka
bawa. Sedangkan pasangan Prabowo-Hatta lebih mengutamakan penyampaian secara
poin-poin sehingga masih butuh penjelasan secara langsung dari mereka terkait
turunan dari poin tersebut. Dalam sebuah kesempatan tim Prabowo-Hatta
mengatakan bahwa rincian terhadap program-program tersebut sebenarnya mereka
miliki, tetapi tidak diberikan kepada masyarakat umum. Menurut saya memang
tidak perlu secara mendetail semua program tersebut dijabarkan dalam visi-misi
dan program yang mereka berikan kepada KPU. Tetapi ada baiknya penulisan
poin-poin yang ada lebih diberikan penjelasan yang lebih kongkret. Karena pada
dasarnya itulah yang harus dilihat oleh masyarakat luas. Mereka harus mengerti
seutuhnya sebelum memilih calon yang tepat.
[1] Nuri Soeseno,
Representasi Politik - Perkembangan dari Ajektiva
ke Teori (Depok: Pusat Kajian Politik, 2013), hal.136.
[2] Yandi
M.Rofiyandi, “Perang Jenderal Kubu Prabowo-Jokowi,” Koran TEMPO , Sabtu,7 Juni 2014, hal.8. Ada pun jenderal yang
dianggap terlibat adalah, di kubu Prabowo-Hatta: Prabowo Subianto, Kivlan Zen,
Syarwan Hamid, Syamsir Siregar, Chairawan, Bambang Kristiono; di kubu
Jokowi-JK: Wiranto, Sutiyoso, A.M Hendropriyono, Muchdi Pr., Ryamizard Ryacudu.
Secara umum jenderal-jenderal tersebut terlibat kasus kerusuhan Mei 1998 dan
kerusuhan-kerusuhan lainnya pada masa transisi ke reformasi.
[3] http://www.kpk.go.id/images/pdf/laptah/annual_report_2013.pdf (akses 10 Juni
2014). Berdasarkan laporan tahun 2013, KPK melakukan penyidikan terhadap 102 perkara,
dan melakukan penuntutan pada 73 perkara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar