Sebuah Cerpen
M
|
asih terasa sentuhan
itu. Yang lembut membawa sejuta kasih nan berirama. Masih tercium wewangian itu
di kain lapuk ini. Yang pudar dibawa ke jalan-jalan yang ditapaki. Tangan ini
masih bertanya mana yang ingin digenggamnya. Sebuah kelembutan yang menenangkan
sukma, atau kasarnya kayu panjang yang terus bernoda kata mereka.
Bernoda? Tidak-tidak.
Tidak serendah itu! Aku tidak terima mereka menertawakan sahabatku ini yang
selalu dengan setia kuangkat tinggi-tinggi ketika jeritan dan tangisan
memanggil langkahku kembali ke aspal ini. Jangan kau samakan tongkat ini
seperti para menteri korup yang hanya bisa menjadi tongkat lapuk tanpa pantas
diikatkan bendera Merah Putih di batang jiwanya. Ini bukan sekedar tongkat.
Bukan kayu yang mudah lapuk seperti semangat mereka yang putus asa akan
perubahan pada pemikiran kolot wakil rakyat. Di kayu ini sebuah panji
kebanggaan selalu kuikatkan kencang-kencang. Bendera, lambang, panji, apa pun
kau menyebutnya, selalu dengan riang mengepak-ngepakkan sayapnya di udara
seraya aku dengan mantab menggunakan otot-otot tak terlatihku untuk mengangat
tongkat sahabatku.