Kamis, 21 Februari 2013

JANGAN KAU TANYA


Sebuah Cerpen
M

asih terasa sentuhan itu. Yang lembut membawa sejuta kasih nan berirama. Masih tercium wewangian itu di kain lapuk ini. Yang pudar dibawa ke jalan-jalan yang ditapaki. Tangan ini masih bertanya mana yang ingin digenggamnya. Sebuah kelembutan yang menenangkan sukma, atau kasarnya kayu panjang yang terus bernoda kata mereka.

Bernoda? Tidak-tidak. Tidak serendah itu! Aku tidak terima mereka menertawakan sahabatku ini yang selalu dengan setia kuangkat tinggi-tinggi ketika jeritan dan tangisan memanggil langkahku kembali ke aspal ini. Jangan kau samakan tongkat ini seperti para menteri korup yang hanya bisa menjadi tongkat lapuk tanpa pantas diikatkan bendera Merah Putih di batang jiwanya. Ini bukan sekedar tongkat. Bukan kayu yang mudah lapuk seperti semangat mereka yang putus asa akan perubahan pada pemikiran kolot wakil rakyat. Di kayu ini sebuah panji kebanggaan selalu kuikatkan kencang-kencang. Bendera, lambang, panji, apa pun kau menyebutnya, selalu dengan riang mengepak-ngepakkan sayapnya di udara seraya aku dengan mantab menggunakan otot-otot tak terlatihku untuk mengangat tongkat sahabatku.


Sentuhan yang kurasakan itu masih belum beranjak dari kulitku yang mulai menghitam ini. Sampai pada akhirnya entah sejak kapan orang-orang sudah tidak bisa mengenali lagi rasku. Meskipun bagiku apa pun ras ku bukanlah hal yang penting. Aku Indonesia, lalu kenapa? Kenapa perlu mereka mempertanyakan kebangsaanku? Mengapa mereka perlu sekali menertawakan dan menyinggung rasku setiap kali watak dasar yang menjadi warisan di darah biologisku meluap. Mereka komentari kepelitanku tentang uang, mereka komentari mataku, dan juga kulitku dahulu sebelum terpanggang seperti sekarang. Aku tak meminta menjadi bagian dari ras ini, begitu juga tak meminta untuk mencintai negeriku sampai seperti ini. Mestinya mereka pun telah mengetahuinya seperti yang dikemukakan oleh antropolog Conrad, bahwa yang namanya ras ini adalah bawaan secara biologis. Tidak bisa kita rubah!

Namun entah mengapa dengan menghitamnya kulit ini ia masih tetap saja tak ingin menjauh. Meski larangannya selalu memberatkanku untuk memulai langkah pertama keluar dari zona nyamanku untuk melawan aparat birokrasi yang bersenjata itu, aku tahu senandung doa darinya selalu menjadi pelindung paling ampuh untuk tubuh yang sudah tak tertata lagi ini. Mungkin rasa lelahnya melebihiku. Aku bisa menyadari bagian otot-otot tanganku yang kaku karena selalu berusaha untuk terangkat tegak dan juga bisa langsung mengistirahatkannya. Namun ia tak bisa mengistirahatkan kekhawatirannya begitu saja setiap kali aku pergi ke jalanan itu dan setiap kali aku berusaha untuk melakukannya lagi dan lagi. Aku dan kau yang pria memang selalu membandingkan kekuatan kita dengan mereka. Merasa kita lebih berkuasa dengan kekuatan kita yang hanya terlihat dari luar yang hanya menjadi tameng untuk menghindar dari beban batin yang sudah pasti tak bisa kita lawan sebaik mereka.

Ia selalu bertanya, “untuk siapa?” Aku selalu menjawabnya dengan jawaban yang sama pula, “untuk rakyat!” Perbincangan klise yang kadang membuat diriku sendiri muak. Pertanyaan yang berulang-ulang selalu diutarakan yang terlihat seperti mengharapkan sebuah perkembangan jawaban dari pihakku. Entah memang akukah yang harus berpikir alasan lain, ataukah memang ia yang terlalu keras kepala sehingga tidak mau mengerti. Memangnya apa sulitnya mengerti jawaban yang kuberikan? Setahuku kita semua mendapat pendidikan Pancasila yang sama dan sudah mengerti akan hakekatnya dengan pengertian kita masing-masing. Kalau begitu, untuk apa ia selalu saja mempertanyakan alasanku.

Soe Hok Gie dalam masa hidupnya merasa bahwa memiliki pacar atau pasangan itu dapat membuatnya tumpul untuk bergerak. Pasangan itu akan menjadi beban dalam pergerakannya. Kadang aku merasa itu sangatlah cocok denganku. Seringkali ia menjadi beban pikiranku dan kemudian menjadi penghalang untukku bergabung dengan barisan yang telah bersiap di luar gerbang kampus. Dan sentuhan itu semakin terasa meremasku dengan erat seperti berusaha menahanku untuk pergi.

“Lim! Buruan! Lu kan musti siap-siap paling depan! Barisan lagi mau dibrief nih!” Teriakan Togar meraung-raung membangunkanku dari lamunan panjang seraya melepas sentuhan tak beraga yang masih berusaha menarikku di alam bawah sadarku. Suara orang Bataknya yang menggelegar itulah yang membuatnya sangat cepat untuk naik pangkat menajdi korlap bahkan saat ia masih menjadi orang baru. Dan aku? Masih mengemban tugas yang bisa kudapat karena koneksi pertemanan sekat dengan orang seperti Togar. Aku berdiri seraya membangunkan bendera panji dari tidurnya.

Aku berlari langsung menuju ke depan barisan. Seperti biasa, pandangan-pandangan penuh arti tajam menyerangku dari beberapa oknum dalam barisan. Karena selalu terjadi seperti itu yang membuatku menjadi tak peduli lagi. Biarkanlah mereka iri tak bisa menggenggam tongkat sahabatku ini dan panji semangatku ini. Terkadang aku merasa akan sangat baik kalau mereka yang berada di dalam barisan ini adalah orang seperti Togar sahabatku ini. Orang yang berpikiran bebas dan kritis yang bisa menerima perbedaan. Bagaimana mereka bisa berjuang kalau menerima perbedaan saja tak bisa mereka lakukan? Tak bisakah mereka seperti aku pula yang selalu berjuang tanpa memandang darimana asal mereka? Aku dan mereka sama saja. Sama-sama Indonesia.

Berdiriku sudah mantab di depan barisan. Pandanganku jauh ke depan. Tiba-tiba teringat kata-katanya seraya sentuhan lembut terasa kembali merangkulku. “Untuk apa kau berada di antara mereka yang bahkan tidak bisa menerimamu? Tidak bisakah kau diam saja disini bersamaku tanpa harus membuat dirimu lelah sia-sia. Lihatlah dari kejauhan dan lakukanlah porsimu saja! Kenapa tak kau dengarkan aku. Aku tak butuh kau jadi kaya, tapi bahagiakanlah aku dengan mendengar..” Masih kuingat wajahnya yang basah dengan air mata yang sudah tidak ia tahan tanpa perduli menjadi buruknya rupanya. Kakiku mulai goyah.

Ia sudah tidak perduli akan kemampuan finansialku yang terpuruk. Namun begitu juga dengan aku. Justru dengan bergerak seperti inilah aku menemukan kepuasanku di tengah keterbatasanku untuk melakukan kegemaran lainnya. Entah darimana datangnya rasa itu. Apakah karena aku merasa sependeritaan dengan mereka? Merasa sama-sama kekurangan? Bagiku tidak juga. Mungkin untuk beberapa kasus memang demikian. Tapi aku tidak terlalu merasa diriku tergerakkan oleh mereka. Alasan yang sering kuutarakan kepadanya mungkin hanya dusta belaka yang dibungkus oleh idealisme setengah-setengah yang diproyeksikan untuk membara. Mungkin bisa disebut inilah hobiku, kegemaranku. Terkadang aku tak butuh adanya alasan untuk melakukannya. Sebatas karena aku suka. Bahkan terkadang aku tak perduli lagi siapa yang aku bela. Bagiku selama aku bisa berdiri disana sambil memegang tinggi panji itu, cukuplah sudah. Keranjingan kata mereka.

Hari itu langit terik. Ribuan pria berjaket telah membentuk rantai manusia yang panjang dengan pandangan serius menatap mereka yang bersenjata. Aku berada di atas truk sambil menemani sahabatku Togar berteriak-teriak tak henti-hentinya. Entah sudah seperti apa bentuk tenggorokannya di dalam. Ia tak henti-hentinya meneriakkan lagu-lagu perjuangan yang terus diulang tanpa henti. Jiwa yang dibakar jumlahnya telah mencapai ribuan. Pun juga memancing mara bahaya dan resiko tertinggi kami berada disana untuk bergerak. Kami yang hanya bermodalkan kebanggaan besar atas jaket yang kami kenakan berdiri tegap memperlihatkan tekad yang tinggi.

Aku selalu berharap tidak datang saat dimana kami akan bertempur secara nyata. Baku hantam dengan aparat. Anarkisme bisa menjadi penyulutnya, karena itu kami berusaha untuk menghindarinya. Embel-embel damai selalu kami utarakan. Namun untuk apa berada disini tanpa kesiapan hati dan tekad yang kuat. Untuk apa aku tidak menggubris pernyataan tulus darinya yang ingin aku untuk berhenti. Untuk apa rasa tidak mau tahuku pada mereka yang tidak menganggapku berada dalam barisan ini. Dan untuk apa aku berada disini.

Dentuman keras mengudara. Suasana kacau seketika. Tak ada yang bisa menebak antara adanya provokator atau beberapa di antara kami yang habis kesabaran melempari mereka yang bertugas menjalankan perintah. Pagar-pagar terus berusaha tetap tegak menahan tarikan-tarikan otot para pemuda dan kemudian jatuh roboh dalam duel itu. Barisan telah pecah menjadi orang-orang yang berlari-larian menghindar dari serbuan gas air mata dan tangkapan para petugas bersenjata. Situasi kacau yang tak kuinginkan untuk terjadi akhirnya datang menyapa kami.

Aku tak tahu harus lari atau tidak. Yang kutahu hanyalah bahwa panji yang kukibarkan ini adalah hal yang bisa menyemangati mereka semua yang berlari sambil sesekali berbalik dan melempar batu-batu ke arah lawan. Kutatap dari kejauhan, tembakan-tembakan mulai dilepaskan. Aku tahu itu bukanlah senapan yang digunakan hanya untuk peringatan, melainkan untuk melumpuhkan. Banyak di antara kami yang melarikan diri. Aku pun demikian dan berusaha untuk memulai langkah cepatku. Saat itu aku teringat akan belaian dan sentuhan lembut itu yang entah kenapa sudah aku lupakan selama berjam-jam tadi.

Sebuah teriakan tak mengandung kata di dalamnya terdengar dekat ke arahku. Adalah salah seorang dari barisanku yang berlari ke arahku.  Dengan tubuh yang sudah luntai ia tanpa sengaja menabrakku. Seketika itu belaian lembut itu begitu terasa memelukku. Air mata seperti tumpah di dimensi waktu entah kapan dari kesempatan itu. Pemuda yang menabrakku itu berlari terus meninggalkanku. Aku tak bisa berdiri. Yang bisa kulakukan hanya menatap lurus ke depan. Kulihat seorang aparat berdiri  dua puluh meter di depanku. Entah bagaimana caranya aku bisa tahu bahwa ia sedang bergetar. Dan aku juga melihat, sebuah senapan laras panjang yang digenggamnya mengarah padaku dengan asap yang keluar dari corongnya.

Aku tersungkur. Tongkat sahabatku tak bisa lagi kukenggam dengan erat. Aku berteriak untuk meminta tolong. Yang hanya ada teriakan “Allahuakbar!” yang terus bersahut-sahutan. Mereka yang berjaket sama denganku terus berlari berusaha menyelamatkan nyawa masing-masing. Hei! tak lihatkah mereka akan aku yang terbaring disini! Suara sudah begitu sulit aku produksi. Hanya darah yang terus mengalir dari mulutku. Aku tahu ajalku dekat.

Berputar lagi ingatanku akan percakapan terakhirku dengannya. Apakah benar aku sendiri disini? Untuk apa sebenarnya aku disini? Apakah mereka benar-benar tak peduli denganku? Untuk apa aku selalu melakukannya selama ini? Maukah kau menjemputku sekarang wahai candu rasa sayangku. Tak perlulah kau belai aku. Seret saja aku. Aku minta ... .


@edbertgani

2 komentar: