Sebuah Cerpen
M
|
asih terasa sentuhan
itu. Yang lembut membawa sejuta kasih nan berirama. Masih tercium wewangian itu
di kain lapuk ini. Yang pudar dibawa ke jalan-jalan yang ditapaki. Tangan ini
masih bertanya mana yang ingin digenggamnya. Sebuah kelembutan yang menenangkan
sukma, atau kasarnya kayu panjang yang terus bernoda kata mereka.
Bernoda? Tidak-tidak.
Tidak serendah itu! Aku tidak terima mereka menertawakan sahabatku ini yang
selalu dengan setia kuangkat tinggi-tinggi ketika jeritan dan tangisan
memanggil langkahku kembali ke aspal ini. Jangan kau samakan tongkat ini
seperti para menteri korup yang hanya bisa menjadi tongkat lapuk tanpa pantas
diikatkan bendera Merah Putih di batang jiwanya. Ini bukan sekedar tongkat.
Bukan kayu yang mudah lapuk seperti semangat mereka yang putus asa akan
perubahan pada pemikiran kolot wakil rakyat. Di kayu ini sebuah panji
kebanggaan selalu kuikatkan kencang-kencang. Bendera, lambang, panji, apa pun
kau menyebutnya, selalu dengan riang mengepak-ngepakkan sayapnya di udara
seraya aku dengan mantab menggunakan otot-otot tak terlatihku untuk mengangat
tongkat sahabatku.
Sentuhan yang kurasakan
itu masih belum beranjak dari kulitku yang mulai menghitam ini. Sampai pada
akhirnya entah sejak kapan orang-orang sudah tidak bisa mengenali lagi rasku.
Meskipun bagiku apa pun ras ku bukanlah hal yang penting. Aku Indonesia, lalu
kenapa? Kenapa perlu mereka mempertanyakan kebangsaanku? Mengapa mereka perlu
sekali menertawakan dan menyinggung rasku setiap kali watak dasar yang menjadi
warisan di darah biologisku meluap. Mereka komentari kepelitanku tentang uang,
mereka komentari mataku, dan juga kulitku dahulu sebelum terpanggang seperti
sekarang. Aku tak meminta menjadi bagian dari ras ini, begitu juga tak meminta
untuk mencintai negeriku sampai seperti ini. Mestinya mereka pun telah
mengetahuinya seperti yang dikemukakan oleh antropolog Conrad, bahwa yang
namanya ras ini adalah bawaan secara biologis. Tidak bisa kita rubah!
Namun entah mengapa
dengan menghitamnya kulit ini ia masih tetap saja tak ingin menjauh. Meski
larangannya selalu memberatkanku untuk memulai langkah pertama keluar dari zona
nyamanku untuk melawan aparat birokrasi yang bersenjata itu, aku tahu senandung
doa darinya selalu menjadi pelindung paling ampuh untuk tubuh yang sudah tak
tertata lagi ini. Mungkin rasa lelahnya melebihiku. Aku bisa menyadari bagian
otot-otot tanganku yang kaku karena selalu berusaha untuk terangkat tegak dan
juga bisa langsung mengistirahatkannya. Namun ia tak bisa mengistirahatkan
kekhawatirannya begitu saja setiap kali aku pergi ke jalanan itu dan setiap
kali aku berusaha untuk melakukannya lagi dan lagi. Aku dan kau yang pria
memang selalu membandingkan kekuatan kita dengan mereka. Merasa kita lebih
berkuasa dengan kekuatan kita yang hanya terlihat dari luar yang hanya menjadi
tameng untuk menghindar dari beban batin yang sudah pasti tak bisa kita lawan
sebaik mereka.
Ia selalu bertanya,
“untuk siapa?” Aku selalu menjawabnya dengan jawaban yang sama pula, “untuk
rakyat!” Perbincangan klise yang kadang membuat diriku sendiri muak. Pertanyaan
yang berulang-ulang selalu diutarakan yang terlihat seperti mengharapkan sebuah
perkembangan jawaban dari pihakku. Entah memang akukah yang harus berpikir
alasan lain, ataukah memang ia yang terlalu keras kepala sehingga tidak mau
mengerti. Memangnya apa sulitnya mengerti jawaban yang kuberikan? Setahuku kita
semua mendapat pendidikan Pancasila yang sama dan sudah mengerti akan
hakekatnya dengan pengertian kita masing-masing. Kalau begitu, untuk apa ia
selalu saja mempertanyakan alasanku.
Soe Hok Gie dalam masa
hidupnya merasa bahwa memiliki pacar atau pasangan itu dapat membuatnya tumpul
untuk bergerak. Pasangan itu akan menjadi beban dalam pergerakannya. Kadang aku
merasa itu sangatlah cocok denganku. Seringkali ia menjadi beban pikiranku dan
kemudian menjadi penghalang untukku bergabung dengan barisan yang telah bersiap
di luar gerbang kampus. Dan sentuhan itu semakin terasa meremasku dengan erat
seperti berusaha menahanku untuk pergi.
“Lim! Buruan! Lu kan
musti siap-siap paling depan! Barisan lagi mau dibrief nih!” Teriakan Togar
meraung-raung membangunkanku dari lamunan panjang seraya melepas sentuhan tak
beraga yang masih berusaha menarikku di alam bawah sadarku. Suara orang
Bataknya yang menggelegar itulah yang membuatnya sangat cepat untuk naik
pangkat menajdi korlap bahkan saat ia masih menjadi orang baru. Dan aku? Masih
mengemban tugas yang bisa kudapat karena koneksi pertemanan sekat dengan orang
seperti Togar. Aku berdiri seraya membangunkan bendera panji dari tidurnya.
Aku berlari langsung
menuju ke depan barisan. Seperti biasa, pandangan-pandangan penuh arti tajam menyerangku
dari beberapa oknum dalam barisan. Karena selalu terjadi seperti itu yang
membuatku menjadi tak peduli lagi. Biarkanlah mereka iri tak bisa menggenggam
tongkat sahabatku ini dan panji semangatku ini. Terkadang aku merasa akan
sangat baik kalau mereka yang berada di dalam barisan ini adalah orang seperti
Togar sahabatku ini. Orang yang berpikiran bebas dan kritis yang bisa menerima
perbedaan. Bagaimana mereka bisa berjuang kalau menerima perbedaan saja tak
bisa mereka lakukan? Tak bisakah mereka seperti aku pula yang selalu berjuang
tanpa memandang darimana asal mereka? Aku dan mereka sama saja. Sama-sama
Indonesia.
Berdiriku sudah mantab
di depan barisan. Pandanganku jauh ke depan. Tiba-tiba teringat kata-katanya
seraya sentuhan lembut terasa kembali merangkulku. “Untuk apa kau berada di
antara mereka yang bahkan tidak bisa menerimamu? Tidak bisakah kau diam saja
disini bersamaku tanpa harus membuat dirimu lelah sia-sia. Lihatlah dari
kejauhan dan lakukanlah porsimu saja! Kenapa tak kau dengarkan aku. Aku tak
butuh kau jadi kaya, tapi bahagiakanlah aku dengan mendengar..” Masih kuingat
wajahnya yang basah dengan air mata yang sudah tidak ia tahan tanpa perduli
menjadi buruknya rupanya. Kakiku mulai goyah.
Ia sudah tidak perduli
akan kemampuan finansialku yang terpuruk. Namun begitu juga dengan aku. Justru
dengan bergerak seperti inilah aku menemukan kepuasanku di tengah
keterbatasanku untuk melakukan kegemaran lainnya. Entah darimana datangnya rasa
itu. Apakah karena aku merasa sependeritaan dengan mereka? Merasa sama-sama
kekurangan? Bagiku tidak juga. Mungkin untuk beberapa kasus memang demikian.
Tapi aku tidak terlalu merasa diriku tergerakkan oleh mereka. Alasan yang
sering kuutarakan kepadanya mungkin hanya dusta belaka yang dibungkus oleh
idealisme setengah-setengah yang diproyeksikan untuk membara. Mungkin bisa
disebut inilah hobiku, kegemaranku. Terkadang aku tak butuh adanya alasan untuk
melakukannya. Sebatas karena aku suka. Bahkan terkadang aku tak perduli lagi
siapa yang aku bela. Bagiku selama aku bisa berdiri disana sambil memegang
tinggi panji itu, cukuplah sudah. Keranjingan kata mereka.
Hari itu langit terik.
Ribuan pria berjaket telah membentuk rantai manusia yang panjang dengan
pandangan serius menatap mereka yang bersenjata. Aku berada di atas truk sambil
menemani sahabatku Togar berteriak-teriak tak henti-hentinya. Entah sudah
seperti apa bentuk tenggorokannya di dalam. Ia tak henti-hentinya meneriakkan
lagu-lagu perjuangan yang terus diulang tanpa henti. Jiwa yang dibakar
jumlahnya telah mencapai ribuan. Pun juga memancing mara bahaya dan resiko
tertinggi kami berada disana untuk bergerak. Kami yang hanya bermodalkan
kebanggaan besar atas jaket yang kami kenakan berdiri tegap memperlihatkan
tekad yang tinggi.
Aku selalu berharap
tidak datang saat dimana kami akan bertempur secara nyata. Baku hantam dengan
aparat. Anarkisme bisa menjadi penyulutnya, karena itu kami berusaha untuk
menghindarinya. Embel-embel damai selalu kami utarakan. Namun untuk apa berada
disini tanpa kesiapan hati dan tekad yang kuat. Untuk apa aku tidak menggubris
pernyataan tulus darinya yang ingin aku untuk berhenti. Untuk apa rasa tidak
mau tahuku pada mereka yang tidak menganggapku berada dalam barisan ini. Dan
untuk apa aku berada disini.
Dentuman keras mengudara.
Suasana kacau seketika. Tak ada yang bisa menebak antara adanya provokator atau
beberapa di antara kami yang habis kesabaran melempari mereka yang bertugas
menjalankan perintah. Pagar-pagar terus berusaha tetap tegak menahan
tarikan-tarikan otot para pemuda dan kemudian jatuh roboh dalam duel itu.
Barisan telah pecah menjadi orang-orang yang berlari-larian menghindar dari
serbuan gas air mata dan tangkapan para petugas bersenjata. Situasi kacau yang
tak kuinginkan untuk terjadi akhirnya datang menyapa kami.
Aku tak tahu harus lari
atau tidak. Yang kutahu hanyalah bahwa panji yang kukibarkan ini adalah hal
yang bisa menyemangati mereka semua yang berlari sambil sesekali berbalik dan
melempar batu-batu ke arah lawan. Kutatap dari kejauhan, tembakan-tembakan
mulai dilepaskan. Aku tahu itu bukanlah senapan yang digunakan hanya untuk
peringatan, melainkan untuk melumpuhkan. Banyak di antara kami yang melarikan
diri. Aku pun demikian dan berusaha untuk memulai langkah cepatku. Saat itu aku
teringat akan belaian dan sentuhan lembut itu yang entah kenapa sudah aku
lupakan selama berjam-jam tadi.
Sebuah teriakan tak mengandung
kata di dalamnya terdengar dekat ke arahku. Adalah salah seorang dari barisanku
yang berlari ke arahku. Dengan tubuh
yang sudah luntai ia tanpa sengaja menabrakku. Seketika itu belaian lembut itu
begitu terasa memelukku. Air mata seperti tumpah di dimensi waktu entah kapan
dari kesempatan itu. Pemuda yang menabrakku itu berlari terus meninggalkanku.
Aku tak bisa berdiri. Yang bisa kulakukan hanya menatap lurus ke depan. Kulihat
seorang aparat berdiri dua puluh meter
di depanku. Entah bagaimana caranya aku bisa tahu bahwa ia sedang bergetar. Dan
aku juga melihat, sebuah senapan laras panjang yang digenggamnya mengarah
padaku dengan asap yang keluar dari corongnya.
Aku tersungkur. Tongkat
sahabatku tak bisa lagi kukenggam dengan erat. Aku berteriak untuk meminta
tolong. Yang hanya ada teriakan “Allahuakbar!” yang terus bersahut-sahutan.
Mereka yang berjaket sama denganku terus berlari berusaha menyelamatkan nyawa masing-masing.
Hei! tak lihatkah mereka akan aku yang terbaring disini! Suara sudah begitu
sulit aku produksi. Hanya darah yang terus mengalir dari mulutku. Aku tahu
ajalku dekat.
Berputar lagi ingatanku
akan percakapan terakhirku dengannya. Apakah benar aku sendiri disini? Untuk
apa sebenarnya aku disini? Apakah mereka benar-benar tak peduli denganku? Untuk
apa aku selalu melakukannya selama ini? Maukah kau menjemputku sekarang wahai
candu rasa sayangku. Tak perlulah kau belai aku. Seret saja aku. Aku minta ...
.
@edbertgani
Ganiiiiii ini bagus banget loh :D
BalasHapusMakasih banyak ya, semoga bisa tambah bagus :)
BalasHapus