Sabtu, 16 Februari 2013

Timang-timang Partai dan Dapur Yang Rusak

Masih segar di ingatan saya saat kita ingin menyongsong tahun 2013 presiden SBY menjanjikan para menteri tetap profesional dalam pekerjaan masing-masing di sisa masa jabatan mereka sampai 2014. Begitu mantab diucapkan bahwa para menteri dan jajarannya dihimbau untuk tetap fokus dalam pekerjaan mengatur negara dan tidak terpengaruh dalam persiapan masing-masing partai meyongsong persiapan Pemilu tahun 2014. Namun tampaknya yang diharuskan untuk tetap fokus pada pekerjaan mengatur negara hanyalah menterinya saja. Presiden?


Sudah mewarnai surat kabar dan media-media lainnya mengenai tindakan Susilo Bambang Yudhoyono, selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, yang turun tangan menyelamatkan Partai Demokrat yang dirasa sedang dalam keadaan terpuruk. Tindakan SBY ini menuai kontroversi mengenai status Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Banyak pengurus partai di daerah yang mendukung Anas dan memberikan tekanan ke pimpinan pusat partai seraya terus memagari Anas. Apakah kemudian tindakan yang dilakukan oleh SBY tersebut tepat?

Saya tidak ingin membahas mengenai tepat atau tidaknya tindakan SBY dalam menyelamatkan Partai Demokrat. Yang ingin lebih saya bahas kali ini adalah bagaimana dampak dari tindakan SBY tersebut terhadap budaya politik di Indonesia.

Dengan tindakan yang dilakukan olehnya, jika kita menghubungkannya dengan janjinya yang saya utarakan di awal tadi, menjadi wajar jika masyarakat menjadi semakin antipati terhadap pemerintahan SBY di sisa masa jabatannya. Ia sendiri sebagai presiden yang menyangkal janji itu, bahkan secara terang-terangan. Bagaimana tidak, ia turun tangan langsung untuk menangani masalah Demokrat di saat ia masih menjabat sebagai presiden. Bahkan langkah yang diambilnya dirasa sangat kuat kaitannya dengan tekanan dari para menteri dari Partai Demokrat, sebut saja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, Menteri Transportasi E.E. Mangindaan, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin, sampai dengan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo. Mereka semua angkat bicara soal merosotnya elektabilitas partai yang dipicu oleh hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting yang menyatakan bahwa tingkat keterpilihan Partai Demokrat hanya tinggal 8,3%. Mereka sependapat bahwa hanya SBY yang bisa menyelamatkan karamnya partai tersebut. Dapat dilihat sebuah ketakutan dalam diri elit-elit partai tersebut memancing SBY melupakan konsistensi.

Namun sekarang kita bertanya kembali, apakah memang kekuatan Partai Demokrat hanya SBY? Begitu menyedihkannya ketika sebuah partai yang berkuasa saat ini hanya bisa menggantungkan nasibnya pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono. Demokrat adanya menjadi sebuah contoh bagaimana partai di Indonesia masih tidak berbeda dengan partai pada rezim Orde Baru. Sebuah partai cenderung hanya berdiri dan bersandar pada sebuah nama besar. Sebut saja SBY pada Demokrat, Megawati pada PDIP, atau Prabowo pada Gerindra. Apa bedanya dengan Soeharto pada Golkar dalam masa Orde Baru? Politik dinasti masih terus berlangsung sampai sekarang, dan itu berarti kita sama sekali belum memperbaiki sistem politik di negara ini. Apa yang sudah kita rubah sampai saat ini?

Partai di negara kita belum bisa bergerak menjadi sebuah partai yang maju atau modern. Yang dijual oleh partai-partai di Indonesia adalah tokoh utama dalam partai itu, bukan ideologi partai tersebut. Ideologi partai seperti hanyalah pelengkap formalitas yang seharusnya malah menjadi dasar mereka dalam bergerak. Ideologi partai yang tidak jelas menjadikan partai-partai kita dengan mudahnya mengorbitkan orang-orang untuk menjadi kadernya, termasuk artis-artis. Jadilah istilah 'mobil partai' menjadi hal yang biasa di negara ini. Para calon yang ingin maju dalam pemilu hanya menjadikan partai sebagai alat mereka. Ketika dasarnya saja sudah tidak ada, menjadi tidak aneh ketika mereka bertindak tanpa ada dasar ideologi yang jelas saat mereka bekerja yang berdampak pada penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan organisasi mahasiswa dapat lebih baik dalam menanamkan ideologi kepada anggotanya ketimbang partai politik saat ini. 

Kembali kepada persoalan Demokrat. SBY sama sekali tidak memberikan contoh yang baik dalam memberikan pendidikan politik bagi kader-kadernya ataupun juga kepada masyarakat. Usahanya menyelamatkan Demokrat sama sekali bukanlah sikap heroik yang perlu dinilai positif oleh para kadernya. Tindakannya sangat menunjukkan bagaimana kepentingan pragmatis begitu nyata di dalam partai tersebut. Para pengamat bahkan yakin bahwa upaya yang dilakukan SBY tidak dapat menolong tingkat elektabilitas Partai Demokrat. 

Bagi saya adalah tepat tekanan yang dilakukan oleh kader-kader Demokrat di daerah. Partai harus bisa mandiri dalam menyelesaikan masalah internalnya. SBY selaku Ketua Dewan Pembina ada baiknya menjadi orang yang mengawasi dari luar tanpa perlu terjun langsung dengan cara yang telah dilakukannya saat ini. Ia memiliki tugas yang lebih penting sebagai presiden yang masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam sisa masa jabatannya. Sebagai partai yang berkuasa seharusnya Partai Demokrat memiliki kapasitas dalam untuk mengatasi masalah internal partai tanpa harus 'ditimang-timang' oleh SBY yang masih menjabat sebagai presiden. 

Entah seberapa pentingnya kaderisasi di dalam partai saat ini kalau para tokoh utama dalam partai tersebut masih memiliki ambisi luar biasa dalam mendapatkan kekuasaan atau masih belum puas dalam mengontrol partai. Keran calon presiden dari kader-kader partai menjadi tertutup. Mari kita lihat dari PDIP dan Megawati yang kembali muncul namanya di bursa calon presiden 2014. Megawati selalu mencalonkan diri dalam beberapa pemilu terakhir yang diselenggarakan. Dengan kembali munculnya nama tersebut memperlihatkan bagaimana ambisi besar masih dimilikinya. Entah apakah dengan niat tulus untuk memperbaiki Indonesia atau secara tak sadar ia malah tenggelam dalam ambisi untuk mendapat kekuasaan. Dan hal serupa terjadi pada tokoh-tokoh partai lain yang belum puas dalam bersaing mendapat kekuasaan. Inilah mengapa calon-calon alternatif yang berasal dari partai yang didalamnya telah ada sosok yang kuat sulit untuk muncul. Calon-calon presiden selalu didominasi oleh nama-nama lama. 

Ini menjadi ironis karena partai politik adalah sebuah unsur utama dari demokrasi negara ini. Demokrasi yang selama bertahun-tahun lamanya dikekang di bawah rezim militer. Bobroknya partai akan berimbas pada bobroknya pemerintahan karena bagaimanapun juga partai politik adalah penyalur kader yang akan menduduki jabatan pemerintahan dengan ideologi poltiik yang ia bawa. Jangan sampai kader orbitan terus bertambah banyak di dalam gedung DPR. Fungsi partai sebagai sarana sosialisasi politik harus dikembalikan. Politik pragmatis harus dihindari untuk bisa menciptakan politik yang stabil dengan bernilai. Dan partai harus menjadi dapur politik, bukan mobil politik. Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar