Minggu, 27 Januari 2013

SAMPAH DAN SOLUSINYA: DARI TEMPATNYA SAMPAI TUKANGNYA

Sudah seminggu lewat sejak bencana banjir tahun ini datang melanda Jakarta. Bencana kali ini sangat terasa karena intensitas banjir ini dibanding-bandingkan dengan banjir serupa pada tahun 2007 silam. Landmark Jakarta yakni bundaran Hotel Indonesia dibuat terendam tak berdaya oleh air banjir yang dengan leluasa mematikan akses-akses jalan ibukota. Sekali lagi rakyat diajak untuk berhenti sejenak melihat rumah-rumah terendam, anak-anak berenang riang di air cokelat, BNPB sibuk mengkoordinir bantuan maupun evakuasi, LSM dan partai ramai turun ke jalan, dan reporter-reporter menyelam ke banjir untuk mendapat gambar terbaik di tengah air yang merendam daerah-daerah ibu kota.

Banyak golongan yang tidak terlalu menyalahkan pemerintah untuk banjir. Tentu saja Jokowi masih aman karena ia baru saja menjadi gubernur. Ironisnya di saat ia langsung ngebut untuk menjadikan kebijakan-kebijakan dalam menanggulangi banjir secara cepat seperti yang selalu ia katakan, yang penting cepat,  banjir menyapa Jakarta lebih dahulu dan Jokowi harus pasrah mendapatkan 'bencana' pertamanya. Banjir kanal Timur dan Barat yang digadang-gadang pemerintahan sebelumnya bisa membebaskan Jakarta dari banjir ternyata tidak terbukti. Ada juga masyarakat yang menyadari bahwa banjir adalah masalah dan tanggungjawab semua elemen masyarakat sebagai anggota dari kota Jakarta. Tidak adanya perhatian masyarakat terhadap keadaan sungai maupun daerah resapan yang semakin minim di tengah kota Jakarta tak bisa dilepaskan dari faktor penunjang banjir yang parah terjadi di Jakarta. Baik masyarakat biasa sampai pengusaha sama-sama tidak peduli dan hanya sama-sama 'pasrah' saat banjir datang.


Cuaca ekstrem akhir-akhir ini adalah hal yang sangat mempengaruhi 'lumpuhnya' Jakarta beberapa saat yang lalu atau mungkin masih bisa terjadi dalam waktu dekat. Hujan deras ditambah badai menjadi penyebab air meluap dan menggenang dengan tenangnya. Namun selain curah hujan tinggi, banjir juga memiliki sahabat karib yang tak kalah dekatnya. Ya, ia adalah sampah, berton-ton sampah. Sampah industri, sampah rumah tangga, sampah mereka, sampah anda, sampah saya.

Saya akan mengajak kita untuk lebih fokus dalam hal ini melihat kepada persoalan penanggulangan sampah yang ada di Jakarta. Sebuah persoalan klise yang tak kunjung juga diperhatikan oleh kita. Ketika anak-anak SD diajari untuk membuang sampah pada tempatnya dan berbagai anjuran manis seputar menjaga kebersihan, kenyataan di kota kita menjadi guru mereka yang sebenarnya. Buanglah sampah ke tempat dimana sampah-sampah berkumpul atau pun bertumpuk disana. Entah itu trotoar, punggung jalan raya, got, pot besar di pinggir jalan, sudut-sudut tembok, dan tentu saja, sungai. Tempat sampah saat ini mengandung pengertian tempat dimana sampah bertumpuk. Dan sungai yang telah menjadi tempat sampah menjadi hal yang paling sulit untuk ditanggulangi. Kekeruhan air serta sungai atau kali yang telah sangat dangkal karena sampah dan lumpur menjadi perkara yang tidak mudah untuk ditanggulangi. Namun bagaimanapun juga sampah harus ditanggulangi sesegera mungkin karena jumlahnya tidak akan pernah berhenti dan kunjung bertambah sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, dan 'perang' melawan sampah harus dilakukan dalam berbagai level.

Dari level pemerintah tentu saja kebijakan penanggulangan sampah harus dikedepankan. Pengerukan sampah di sungai yang memang telah menjadi salah satu program pemerintah DKI Jakarta harus terus dilakukan dan diberi pengawasan yang ketat. Mungkin dengan tipe blusukan dari Jokowi pengawasan dapat  dilakukan dengan lebih ketat karena ia akan sering turun ke jalan dilihat dari yang telah ia lakukan sampai saat ini dalam meninjau lokasi. Menghilangkan sampah dari sungai adalah hal yang sangat berat dan memerlukan waktu yang lama dan terus menerus karena akan terus berlomba dengan sampah yang akan terus datang.

Selain itu perlu diperbanyak tempat sampah yang ada di jalan raya dan berbagai tempat lainnya atau di dekat kali. Selama ini yang menjadi kendala bagi masyarakat adalah tempat sampah yang tidak ada di semua tempat atau tidak berada di tempat mereka berlalu-lalang. Tidak tersedianya tempat sampah akan memancing seseorang untuk membuang sampah sembarangan, apalagi ketika telah melihat tumpukan sampah ada di depan matanya. Yang harus kita lawan adalah budaya seseorang yang suka membuang sampah sembarangan. Anjuran atau persuasi saja tak cukup dalam mengajak orang membuang sampah pada tempatnya ketika tempat sampah saja tak ada. Harus lebih banyak lagi tempat sampah di pinggir-pinggir jalan raya atau di tempat umum. Tempat sampah yang ada pun harus dirawat dan pihak yang mengelola harus dengan ketat mengawasi pengumpulan sampah yang ada. Dinas Kebersihan maupun Pekerjaan Umum harus lebih memperhatikan hal ini karena membuat lingkungan yang bersih tidak cukup hanya dengan menyapu namun juga dengan memperbanyak tempat sampah. Rakyat harus dipancing dengan benda nyata yaitu tempat sampah yang ada dimana-mana, karena masyarakat membuang sampah pun dimana-mana.

Di luar hal di atas tadi, ada cara lain yang mungkin bisa menjadi terobosan baru dengan mendorong sebuah mobilisasi kelas profesi tukang sampah dalam stratifikasi sosial maupun ekonomi. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan menaikkan kelas sosial para pengumpul sampah atau tukang sampah. Sebut saja sebuah pembaharuan profesi dimana akan berdampak pada naiknya skala prestise pekerjaan dari tukang sampah.  

Selama ini profesi tukang sampah dikenal sebagai pekerjaan yang rendah atau bahkan sangat rendah. Tanpa disadari hal ini menjadikan pengelolaan sampah pun menjadi rendah nilainya. Tukang sampah diidentikkan dengan hidup kekurangan atau hidup dalam lingkungan kumuh dan kotor. Berbeda dengan Amerika Serikat misalnya. Disana tukang sampah adalah hanya satu dari banyak profesi yang sama levelnya dalam hal kelas sosial maupun pendapatan. Tukang sampah di AS dapat hidup sejahtera dengan pendapatan yang cukup untuk hidup layak, bahkan berkecukupan. Itu juga ditunjang dengan fasilitas dan teknologi yang memfasilitasi mereka dalam bekerja. Semuanya berseragam dan berkeliling dengan menggunakan mobil sampah yang bisa langsung menggiling sampah yang dibuang kedalamnya. Bandingkan dengan tukang sampah yang ada di Indonesia dimana mereka hanya dengan berpakaian kumal dan seadanya berkeliling dengan menarik gerobak sampah ditambah sapu dan pengki seadanya.

Hal ini juga paralel dengan budaya membuang sampah kita yang masih belum mengenal pemisahan sampah organik dan anorganik. Pemisahan tempat sampah dengan warna atau tulisan organik dan anorganik tidak digubris. Sampah rumah tangga dicampur-aduk tidak karuan dan seringkali tidak dikumpulkan di plastik yang layak dan langsung dibuang di tempat sampah depan rumah sehingga bertumpuk tak karuan. Tukang sampah akan datang dan mengais-ngais disana. Sedangkan di AS warganya sangat membantu dalam penanggulangan sampah. Dimana sampah mereka telah pisahkan dan mereka masukkan ke kantong plastik sampah yang besar dan layak. Para tukang sampah yang lewat hanya tinggal mengambil plastik-plastik itu dan dengan mudahnya menaruhnya ke dalam mobil atau truk sampah yang mereka bawa. Disini edukasi terhadap masyarakat untuk secara mandiri memisahkan sampah rumah tangga dan dengan rapi mengikatnya satu-persatu sangat penting. Membuang sampah pada tempatnya adalah hal mutlak jika kita ingin jalan-jalan yang ada di kota bersih dari sampah. Jika generasi sekarang sudah terlambat setidaknya generasi depan harus diberikan edukasi lebih.

Kembali ke kelas sosial tukang sampah. Profesi tukang sampah perlu untuk dinaikkan derajatnya agar penaggulangan sampah pun bisa lebih efektif. Caranya adalah dengan merekrut mereka yang menjadi tukang sampah keliling dan bersama dengan petugas kebersihan yang sudah ada sebelumnya dinaikkan gajinya dan diberi manajemen yang baik. Anggaplah jadikan tukang sampah sejajar dengan PNS. Dengan gaji yang setara maka para tukang sampah pun bisa naik kelas sosialnya dan kesejahteraan pun bisa sangat ditingkatkan. Dengan naiknya derajat profesi mereka maka bisa berdampak pula pada etos kerja mereka yang akan membaik sehingga bisa memperbaiki kualitas hidup dan ketrampilan. Ini juga harus ditunjang dengan adanya fasilitas yang mereka bisa gunakan. Mobil sampah adalah satu yang sangat penting untuk diperbanyak jumlahnya dan dinaikkan serta dijaga kelayakannya. Berikan mereka seragam layaknya polisi di jalan raya dan sadarkan bahwa pekerjaan itu adalah hal yang mulia. Karena sebenarnya menjaga kebersihan di kota yang kotor seperti Jakarta tidak kalah penting dengan tugas seorang polisi bukan?

Dengan naiknya kelas sosial tukang sampah, maka mungkin saja kata 'tukang' yang terkesan rendah itu pun akan bisa hilang dan berubah sebutannya menjadi petugas kebersihan yang bisa menjadi salah satu profesi yang sama mulianya dengan profesi seperti mungkin pemadam kebakaran saat disebutkan oleh anak-anak SD di kelas. Ini penting agar menangani sampah tidak lagi dianggap remeh atau sebelah mata saja, atau bahkan sebuah pekerjaan yang rendah. Tidak menutup kemungkinan pula dengan naiknya status profesi tersebut maka dapat menyerap tenaga kerja yang banyak dan menjadi sebuah lapangan pekerjaan yang baik. Seperti pada Transjakarta yang menyerap tenaga kerja dengan cukup banyak sebagai penjaga pintu bus, penjaga halte, atau sopir bus, yang mungkin adalah profesi yang juga ada pada transportasi dengan level di bawah seperti angkutan umum Kopaja atau Metro Mini. Namun meskipun pekerjaannya sama saja namun orang tetap akan tertarik karena bekerja di Transjakarta lebih menjamin hidup dan merupakan pekerjaan yang bisa dianggap layak. Disanalah letak prestise profesi itu menjadi penting adanya. Tenaga kerja baru tidak akan malu menjadi penjaga pintu di dalam bus Transjakarta meski apa yang dilakukannya bisa dianggap tak jauh berbeda dengan yang dilakukan kondektur bus Kopaja misalnya. 

Begitu juga nantinya dengan profesi petugas kebersihan ini bisa diminati oleh banyak tenaga kerja karena sudah menjadi sebuah pekerjaan yang layak. Dengan syarat bahwa sebelumnya telah dilakukan revolusi besar dalam profesi ini dengan perekrutan para tukang sampah yang sudah ada sebelumnya untuk menjadi tenaga kerja dengan manajemen yang ketat dan dibarengi dengan penyediaan fasilitas yang maju dan memadai seperti mobil sampah yang banyak jumlahnya. Secara perlahan para tukang sampah yang ada akan melakukan mobilisasi sosial karena penghidupan yang lebih layak. Peningkatan kesejahteraan akan menjadi keuntungan lain karenanya. 

Petugas kebersihan ini selanjutnya harus menjadi lapangan pekerjaan baru yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Kenapa harus? Jika kita melihat sampah Jakarta yang jumlahnya tak terhitung lagi seperti sekarang maka kita memerlukan begitu banyak tenaga kerja di bidang ini. Petugas kebersihan yang berseragam saat ini sangat sedikit jumlahnya. Rekrut saja semua tukang sampah yang ada. Mereka bisa memainkan peran penting dalam mengelola sampah di Jakarta jika mau untuk diberdayakan. Tak perlu takut akan sedikitnya tenaga kerja karena masih banyak di antara mereka yang memerlukan pekerjaan yang layak. Di luar mereka juga masih banyak angkatan kerja yang memerlukan pekerjaan.

Dengan naiknya prestise pekerjaan ini masyarakat pun akan dengan sendirinya memperhatikan perihal sampah mereka sendiri. Selama ini masyarakat seenaknya saja dalam mengurus sampah rumah tangganya karena menganggap ada si tukang sampah tadi yang akan membereskannya kelak. Naiknya kelas profesi ptugas kebersihan dapat membuat keseganan dan mendorong masyarakat untuk lebih peduli dengan sampah. Sampah pun bukan lagi menjadi urusan rendahan. Dan pemisahan sampah akan bisa dilakukan secara lebih ketat dengan adanya petugas-petugas tersebut. Peraturan atau kebijakan pun bisa dibuat untuk hal itu karena pengontrolannya bisa dilakukan menggunakan para petugas kebersihan itu.

Sekali lagi, sampah adalah masalah yang harus diperangi. Budaya kita membuang sembarangan adalah musuh yang harus kita kalahkan masing-masing. Berton-ton sampah terus kita produksi setiap harinya. Jika kita tidak melakukan sesuatu untuk merubah budaya dan manajemen sampah kita maka kota kita akan benar-benar tertutup oleh sampah. Berapapun banyaknya taman kota yang dibangun akan sama saja kalau tidak ada penanggulangan sampah yang dilakukan bersamaan dengan itu. Jakarta hanya akan tinggi oleh gedung, dan dangkal karena sampah. Solusi yang diutarakan di atas adalah salah satu cara yang bisa ditempuh demi tercapainya Jakarta yang bersih dan nyaman. Kapan memulai? Sekarang.

Namun sekali lagi, bagaimanapun juga ini hanya opini saya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar