Tuli adalah sebutan untuk mereka
yang tak bisa mendengar. Kejam adalah sebutan untuk mereka yang membiarkan atau
bahkan membuat sesamanya sangat menderita. Dan marah adalah ketika seseorang
mendapati dirinya diperlakukan tidak adil atau di luar batas toleransinya.
Itulah yang ada dalam setiap penggusuran yang dilakukan di tengah masyarakat
kita, tak terkecuali yang dilakukan PT. KAI di peron-peron stasiun kereta api
di Jabodetabek.
Saat ini sudah ada beberapa
stasiun yang bersih dari kios-kios karena adanya penggusuran. Penggusuran yang
dilakukan untuk pelebaran peron kereta api. Dan di tengah penggusuran tersebut
ada pihak ketiga yang berdiri tegak untuk membela para pedagang. Pemerintah?
Tentu bukan. Aparat keamanan? Senjata mereka bukan untuk membela para pedagang.
Mahasiswa? Ya, hanya anak-anak muda yang masih mengerti esensi moral yang harus
ditegakkan dan mau membela mereka yang patut untuk dibela.
Hal paling mendasar mengapa
mereka bergerak untuk membela adalah karena adanya ketidakadilan yang terlihat
dari tindakan penggusuran yang dilakukan oleh PT. KAI. Yang membuat mereka lebih
kesal adalah karena pemberitahuan penggusuran dilakukan secara mendadak
sehingga para pedagang tidak bisa berbuat banyak. Bahkan ada pedagang yang masa
sewanya masih berlaku atau belum habis juga harus ikut tergusur. Karena itulah
maka para pedagang perlu untuk dibela dan memperjuangkan hak mereka.
Dari tuntutan yang diajukan oleh mahasiswa
bisa kita lihat adanya pemikiran yang bijak dimana mereka meminta untuk
diadakannya dialog antara pihak PT. KAI dengan para pedagang perihal
penggusuran tersebut. Sebuah solusi yang tidak memberatkan dan mengedepankan
hasil yang bisa diterima dari kedua belah pihak, pedagang dan PT.KAI. Namun
ternyata untuk berdialog saja PT.KAI tidak menggubrisnya. Untuk mencari sebuah
jalan keluar yang baik untuk semua pihak ternyata bukanlah pilihan mereka. Bisa
dilihat sebuah arogansi yang ditunjukkan oleh pihak PT.KAI yang memang tidak
memiliki etiket baik untuk mencari solusi bersama.
Kalau dilihat hanya dari sudut
pandang PT.KAI, tentu saja akan ada berat sebelah dimana para pedagang tidak
memiliki kekuatan untuk bisa menang dalam hal ini. Para pedagang hanya menyewa
, dan ketika masa sewa tersebut habis maka hal seperti inilah yang bisa
terjadi. Salah satu alasan penggusuran adalah untuk adanya peningkatan
kenyamanan bagi para penumpang kereta. Seperti di stasiun Universitas
Indonesia, para pedagang ingin digusur dengan alasan yang sama. Namun ketika
para mahasiswa UI yang paling banyak menjadi penumpang kereta di stasiun itu
ditanya perihal masalah itu, mereka sama sekali tidak merasa diganggu
kenyamanannya dengan adanya kios-kios pedagang tersebut. Bahkan para pedagang
kecil yang tak dianggap itu sangat membantu proses perkuliahan mahasiswa dengan
barang jualan mereka. Dari segi kerapihan kios-kios itu juga sama sekali tidak
mengganggu aktivitas. Dengan demikian bisa langsung kita lihat bahwa alasan
kenyamanan penumpang tidak bisa lagi bisa kita terima. Disinilah masyarakat
harus bisa dengan baik melihat masalah semacam ini dari dua sisi yang berbeda agar gambaran yang adil bisa terlihat.
Kabarnya kios-kios tersebut akan
digantikan dengan mini market seperti yang telah ada di beberapa stasiun di
jabodetabek. Jelas keuntungan yang bisa diraup oleh manajemen kereta api lebih
banyak jika mini market yang berdiri di peron mereka dibandingkan dengan hanya
pedagang-pedagang kecil saja. Jika memang tujuan dari manajemen mereka adalah
keuntungan semata maka penggusuran ini akan terus mereka upayakan. Ketika ada
yang lebih menguntungkan, maka mereka yang menghalangi akan dipaksa untuk
pergi, dalam hal ini pedagang. Jika hal seperti ini dilakukan oleh semua
pemilik modal yang berkuasa maka jurang kemiskinan akan semakin dalam.
Komnas HAM telah turun tangan
mengatasi hal ini. Namun nampaknya tak banyak juga yang bisa dilakukan oleh
mereka. Dirut PT.KAI telah dipanggil ke Komnas HAM , namun penggusuran juga
masih tetap dilakukan. Menjadi pertanyaan apakah Komnas HAM tidak memiliki
kekuatan yang berarti dalam menangani masalah semacam ini. Komnas HAM sebagai
satu-satunya lembaga yang diharapkan bisa membantu para pedagang belum bisa
dilihat kekuatannya. Jadi kemana lagi harus diupayakan solusi terbaik untuk
para pedagang?
Jika memang pemerintah memiiki
etiket yag baik untuk mensejahterakan masyarakatnya, yang memang seharusnya adalah
tujuan negara, maka untuk kasus semacam ini seharusnya pemerintah mengupayakan
bantuan dan akan ada solusi untuk para pedagang yang akan digusur. Hal yang
selama ini terjadi di kasus-kasus penggusuran adalah pemerintah tidak
memberikan solusi untuk rakyatnya yang tergusur. Sebagai contoh banyak rakyat
kecil yang tinggal di pemukiman kumuh berdekatan dengan tempat mereka mencari
nafkah atau bahkan mencari nafkah di tempat tinggal mereka. Pemerintah sering meminta
mereka pindah ke rusun yang dibangun untuk orang miskin namun tidak menjamin
pekerjaan mereka. Padahal pekerjaan adalah cara mereka untuk mendapatkan uang
yang bagi mereka lebih penting dibanding tinggal di rusun. Pekerjaan adalah
pegangan mereka dan ketika mereka harus pindah mereka tidak tahu lagi harus
mencari uang darimana. Mereka bukanlah orang dengan modal besar yang bisa
dengan tenang membangun usaha baru ketika usaha yang satu gagal. Mereka
hanyalah orang yang mengadu nasib dengan satu jenis pekerjaan dan tidak
memiliki cadangan lainnya. Disinilah pemerintah sering tidak sampai pada akar
masalah utama , yakni lapangan pekerjaan. Rakyat tidak akan mau pindah dari
tempat mereka ketika tidak ada jaminan untuk mereka mendapat pekerjaan yang
layak atau setidaknya setara dengan penghasilan yang telah mereka dapat selama
ini di tempat mereka. Dan sering kali berujung pada pentungan yang melayang
terhadap perlawanan mereka dan tangis yang menemani robohnya bangunan mereka.
Itu juga yang terjadi dalam kasus
pembongkaran kios di peron kereta api ini. Jangka waktu yang diberikan untuk
mengosongkan kios juga semakin menindas mereka. Bagaimana bisa mereka mencari
pekerjaan baru atau menjamin pekerjaan baru dengan waktu yang sangat singkat. Para
pedagang hanya digusur saja tanpa adanya solusi untuk hidup mereka. Ratusan
nyawa bergantung dari kios-kios tersebut dan mereka dipaksa untuk merelakan
tempat mereka mendapatkan uang untuk hidupnya dan akan ada banyak pengangguran
lagi yang tercipta dengan kebencian mendalam dan rasa tidak percaya terhadap
pemerintah. Itukah yang kita mau?
Orang-orang kecil seperti
pedagang selalu kalah dalam kasus semacam mereka karena tidak ada yang membela
mereka atau tak ada yang memiliki kekuatan yang mau membela mereka. Mungkin
ada, namun tidak kuat. Bagaimana cara mereka melawan mereka ,contohnya PT.KAI,
yang didukung oleh aparat kepolisian bahkan TNI? Hanya mahasiswa dan Komnas Ham
dan sedikit instansi yang membantu mereka dengan advokasi dan demonstrasi. Dimana
pemerintah? Para pedagang membutuhkan dukungan advokasi yang lebih karena
mereka sebagai korban seringkali hanya bisa menerima saja nasib mereka tanpa
bisa tahu masa depan mereka dan tidak tahu-menau akan hal yang bisa mereka
perjuangkan dan bela. Disinilah letak peran mahasiswa yang malah dikritik oleh
beberapa kalangan dengan aksi mulia mereka yang hanya mengedepankan kesejahteraan
rakyat yang dibela. Tekanan yang digunakan adalah karena ajakan dialog yang
damai tidak digubris. Sampai saat ini ketika mahasiswa turun tangan penggusuran
sulit dilakukan dan ditunda seperti di stasiun Universitas Indonesia dan Pondok
Cina. Berbeda dengan stasiun lainnya yang telah lebih dahulu diratakan kiosnya
karena tak ada yang berdiri membela para pedagang.
Kalau memang memiliki etiket
baik, ada banyak solusi yang bisa dikedepankan jika memang masalah kenyamanan
adalah alasan dari penggusuran tersebut. Dibanding harus mengganti kios
pedagang dengan mini market, kenapa tidak merenovasi kios yang telah ada agar
lebih bagus lagi untuk dipandang. Juga meningkatkan kebersihan di dalam kios
atau peron agar kenyamanan juga bisa lebih dirasakan. Para pedagang tidak perlu
digusur dan peron dapat lebih nampak indah dan rapi. Atau jika memang mau
memperpanjang peron, tempatkanlah dan berikanlah kios mereka tempat yang tepat
untuk berjualan. Itu hanya dua solusi yang terpikirkan di antara banyak solusi
yang sebetulnya bisa dicari jika semua pihak memiliki tujuan yang baik untuk
kebaikan semua pihak. Tidak memberatkan para pedagang saja. Menggusur bukanlah
satu-satunya solusi dalam hal peningkatan pelayanan. Ada cara-cara lain yang
bisa dipikirkan dan ditempuh bersama.
Seorang senior saya di jurusan
Ilmu Politik UI pernah berkata, “Kenapa rakyat turun ke jalan? Karena mereka
lapar.” Rakyat berteriak karena mereka lapar. Mahasiswa berdemonstrasi karena
mereka lapar untuk pemerintahan yang lebih baik. Mereka yang sudah kenyang
merasa tidak punya kepentingan lagi karena perut mereka sudah terisi. Ketika ajakan
dialog tidak didengar, ketika teriakan mereka tidak tersampaikan, maka hanya
ada kata “lawan!” yang tersisa dengan jejak para pedagang dan mahasiswa turun
ke jalan. Namun, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar