Sabtu, 05 Januari 2013

MENGGUSUR BUKAN SOLUSI


Tuli adalah sebutan untuk mereka yang tak bisa mendengar. Kejam adalah sebutan untuk mereka yang membiarkan atau bahkan membuat sesamanya sangat menderita. Dan marah adalah ketika seseorang mendapati dirinya diperlakukan tidak adil atau di luar batas toleransinya. Itulah yang ada dalam setiap penggusuran yang dilakukan di tengah masyarakat kita, tak terkecuali yang dilakukan PT. KAI di peron-peron stasiun kereta api di Jabodetabek.

Saat ini sudah ada beberapa stasiun yang bersih dari kios-kios karena adanya penggusuran. Penggusuran yang dilakukan untuk pelebaran peron kereta api. Dan di tengah penggusuran tersebut ada pihak ketiga yang berdiri tegak untuk membela para pedagang. Pemerintah? Tentu bukan. Aparat keamanan? Senjata mereka bukan untuk membela para pedagang. Mahasiswa? Ya, hanya anak-anak muda yang masih mengerti esensi moral yang harus ditegakkan dan mau membela mereka yang patut untuk dibela.


Hal paling mendasar mengapa mereka bergerak untuk membela adalah karena adanya ketidakadilan yang terlihat dari tindakan penggusuran yang dilakukan oleh PT. KAI. Yang membuat mereka lebih kesal adalah karena pemberitahuan penggusuran dilakukan secara mendadak sehingga para pedagang tidak bisa berbuat banyak. Bahkan ada pedagang yang masa sewanya masih berlaku atau belum habis juga harus ikut tergusur. Karena itulah maka para pedagang perlu untuk dibela dan memperjuangkan hak mereka.

Dari tuntutan yang diajukan oleh mahasiswa bisa kita lihat adanya pemikiran yang bijak dimana mereka meminta untuk diadakannya dialog antara pihak PT. KAI dengan para pedagang perihal penggusuran tersebut. Sebuah solusi yang tidak memberatkan dan mengedepankan hasil yang bisa diterima dari kedua belah pihak, pedagang dan PT.KAI. Namun ternyata untuk berdialog saja PT.KAI tidak menggubrisnya. Untuk mencari sebuah jalan keluar yang baik untuk semua pihak ternyata bukanlah pilihan mereka. Bisa dilihat sebuah arogansi yang ditunjukkan oleh pihak PT.KAI yang memang tidak memiliki etiket baik untuk mencari solusi bersama.

Kalau dilihat hanya dari sudut pandang PT.KAI, tentu saja akan ada berat sebelah dimana para pedagang tidak memiliki kekuatan untuk bisa menang dalam hal ini. Para pedagang hanya menyewa , dan ketika masa sewa tersebut habis maka hal seperti inilah yang bisa terjadi. Salah satu alasan penggusuran adalah untuk adanya peningkatan kenyamanan bagi para penumpang kereta. Seperti di stasiun Universitas Indonesia, para pedagang ingin digusur dengan alasan yang sama. Namun ketika para mahasiswa UI yang paling banyak menjadi penumpang kereta di stasiun itu ditanya perihal masalah itu, mereka sama sekali tidak merasa diganggu kenyamanannya dengan adanya kios-kios pedagang tersebut. Bahkan para pedagang kecil yang tak dianggap itu sangat membantu proses perkuliahan mahasiswa dengan barang jualan mereka. Dari segi kerapihan kios-kios itu juga sama sekali tidak mengganggu aktivitas. Dengan demikian bisa langsung kita lihat bahwa alasan kenyamanan penumpang tidak bisa lagi bisa kita terima. Disinilah masyarakat harus bisa dengan baik melihat masalah semacam ini dari dua sisi yang berbeda agar gambaran yang adil bisa terlihat.

Kabarnya kios-kios tersebut akan digantikan dengan mini market seperti yang telah ada di beberapa stasiun di jabodetabek. Jelas keuntungan yang bisa diraup oleh manajemen kereta api lebih banyak jika mini market yang berdiri di peron mereka dibandingkan dengan hanya pedagang-pedagang kecil saja. Jika memang tujuan dari manajemen mereka adalah keuntungan semata maka penggusuran ini akan terus mereka upayakan. Ketika ada yang lebih menguntungkan, maka mereka yang menghalangi akan dipaksa untuk pergi, dalam hal ini pedagang. Jika hal seperti ini dilakukan oleh semua pemilik modal yang berkuasa maka jurang kemiskinan akan semakin dalam.

Komnas HAM telah turun tangan mengatasi hal ini. Namun nampaknya tak banyak juga yang bisa dilakukan oleh mereka. Dirut PT.KAI telah dipanggil ke Komnas HAM , namun penggusuran juga masih tetap dilakukan. Menjadi pertanyaan apakah Komnas HAM tidak memiliki kekuatan yang berarti dalam menangani masalah semacam ini. Komnas HAM sebagai satu-satunya lembaga yang diharapkan bisa membantu para pedagang belum bisa dilihat kekuatannya. Jadi kemana lagi harus diupayakan solusi terbaik untuk para pedagang?

Jika memang pemerintah memiiki etiket yag baik untuk mensejahterakan masyarakatnya, yang memang seharusnya adalah tujuan negara, maka untuk kasus semacam ini seharusnya pemerintah mengupayakan bantuan dan akan ada solusi untuk para pedagang yang akan digusur. Hal yang selama ini terjadi di kasus-kasus penggusuran adalah pemerintah tidak memberikan solusi untuk rakyatnya yang tergusur. Sebagai contoh banyak rakyat kecil yang tinggal di pemukiman kumuh berdekatan dengan tempat mereka mencari nafkah atau bahkan mencari nafkah di tempat tinggal mereka. Pemerintah sering meminta mereka pindah ke rusun yang dibangun untuk orang miskin namun tidak menjamin pekerjaan mereka. Padahal pekerjaan adalah cara mereka untuk mendapatkan uang yang bagi mereka lebih penting dibanding tinggal di rusun. Pekerjaan adalah pegangan mereka dan ketika mereka harus pindah mereka tidak tahu lagi harus mencari uang darimana. Mereka bukanlah orang dengan modal besar yang bisa dengan tenang membangun usaha baru ketika usaha yang satu gagal. Mereka hanyalah orang yang mengadu nasib dengan satu jenis pekerjaan dan tidak memiliki cadangan lainnya. Disinilah pemerintah sering tidak sampai pada akar masalah utama , yakni lapangan pekerjaan. Rakyat tidak akan mau pindah dari tempat mereka ketika tidak ada jaminan untuk mereka mendapat pekerjaan yang layak atau setidaknya setara dengan penghasilan yang telah mereka dapat selama ini di tempat mereka. Dan sering kali berujung pada pentungan yang melayang terhadap perlawanan mereka dan tangis yang menemani robohnya bangunan mereka.

Itu juga yang terjadi dalam kasus pembongkaran kios di peron kereta api ini. Jangka waktu yang diberikan untuk mengosongkan kios juga semakin menindas mereka. Bagaimana bisa mereka mencari pekerjaan baru atau menjamin pekerjaan baru dengan waktu yang sangat singkat. Para pedagang hanya digusur saja tanpa adanya solusi untuk hidup mereka. Ratusan nyawa bergantung dari kios-kios tersebut dan mereka dipaksa untuk merelakan tempat mereka mendapatkan uang untuk hidupnya dan akan ada banyak pengangguran lagi yang tercipta dengan kebencian mendalam dan rasa tidak percaya terhadap pemerintah. Itukah yang kita mau?

Orang-orang kecil seperti pedagang selalu kalah dalam kasus semacam mereka karena tidak ada yang membela mereka atau tak ada yang memiliki kekuatan yang mau membela mereka. Mungkin ada, namun tidak kuat. Bagaimana cara mereka melawan mereka ,contohnya PT.KAI, yang didukung oleh aparat kepolisian bahkan TNI? Hanya mahasiswa dan Komnas Ham dan sedikit instansi yang membantu mereka dengan advokasi dan demonstrasi. Dimana pemerintah? Para pedagang membutuhkan dukungan advokasi yang lebih karena mereka sebagai korban seringkali hanya bisa menerima saja nasib mereka tanpa bisa tahu masa depan mereka dan tidak tahu-menau akan hal yang bisa mereka perjuangkan dan bela. Disinilah letak peran mahasiswa yang malah dikritik oleh beberapa kalangan dengan aksi mulia mereka yang hanya mengedepankan kesejahteraan rakyat yang dibela. Tekanan yang digunakan adalah karena ajakan dialog yang damai tidak digubris. Sampai saat ini ketika mahasiswa turun tangan penggusuran sulit dilakukan dan ditunda seperti di stasiun Universitas Indonesia dan Pondok Cina. Berbeda dengan stasiun lainnya yang telah lebih dahulu diratakan kiosnya karena tak ada yang berdiri membela para pedagang.

Kalau memang memiliki etiket baik, ada banyak solusi yang bisa dikedepankan jika memang masalah kenyamanan adalah alasan dari penggusuran tersebut. Dibanding harus mengganti kios pedagang dengan mini market, kenapa tidak merenovasi kios yang telah ada agar lebih bagus lagi untuk dipandang. Juga meningkatkan kebersihan di dalam kios atau peron agar kenyamanan juga bisa lebih dirasakan. Para pedagang tidak perlu digusur dan peron dapat lebih nampak indah dan rapi. Atau jika memang mau memperpanjang peron, tempatkanlah dan berikanlah kios mereka tempat yang tepat untuk berjualan. Itu hanya dua solusi yang terpikirkan di antara banyak solusi yang sebetulnya bisa dicari jika semua pihak memiliki tujuan yang baik untuk kebaikan semua pihak. Tidak memberatkan para pedagang saja. Menggusur bukanlah satu-satunya solusi dalam hal peningkatan pelayanan. Ada cara-cara lain yang bisa dipikirkan dan ditempuh bersama.

Seorang senior saya di jurusan Ilmu Politik UI pernah berkata, “Kenapa rakyat turun ke jalan? Karena mereka lapar.” Rakyat berteriak karena mereka lapar. Mahasiswa berdemonstrasi karena mereka lapar untuk pemerintahan yang lebih baik. Mereka yang sudah kenyang merasa tidak punya kepentingan lagi karena perut mereka sudah terisi. Ketika ajakan dialog tidak didengar, ketika teriakan mereka tidak tersampaikan, maka hanya ada kata “lawan!” yang tersisa dengan jejak para pedagang dan mahasiswa turun ke jalan. Namun, bagaimanapun juga ini hanya opini saya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar