Perpektif
yang seringkali digunakan dalam melihat keberagaman adalah sudut pandang dari
diri sendiri atau golongan sendiri. Seorang Islam melihat masalah dari sudut
pandang ajaran agamanya, begitu juga dengan orang Kristen yang akan melihat
dari sudut pandangnya pula. Sehingga konsep agama menjadi kabur. Kabur disini
berdasar pada agama mana sebenarnya yang dimaksud? Ajaran agama Islam kah?
Agama Kristen kah? Budha kah? Atau nilai universal dari agama itu sendiri?
Konsep ini yang seringkali menjadi pemicu perbedaan persepsi. Ketika nilai
universal agama yang dikedepankan maka sepatutnya konflik horizontal yang
disebabkan agama tidaklah menjadi persoalan.
Dalam hal
ini mari kita lihat dari bagaimana kita memandang sebuah keberagaman dari sudut
pandang universal, tidak lagi dari sudut pandang salah satu agama saja. Penanaman
unsur agama tidaklah harus dilakukan dari pendekatan satu agama saja. Malahan
lebih baik digunakan dalam lingkup yang bisa diterima seluruh anggota kelompok.
Agama tak perlu dipungkiri merupakan salah satu landasan utama dalam bertindak
dan mengatur pola dalam masyarakat. Dan masing-masing agama memiliki cara
masing-masing yang juga berbeda mengingat agama juga merupakan produk
kebudayaan. Sehingga bisa dibilang jika kita menggunakan salah satu agama saja
di tengah kehidupan yang plural sebagai pedoman maka yang terjadi adalah
diskriminasi yang sering dikaburkan.
Mari kita
melihat hal ini dalam lingkup lingkungan kampus. Lingkungan kampus menjadi
tempat untuk mempraktekkan budaya yang ada dari masing-masing agama dan bisa
digunakan sebagai acuan penghargaan terhadap keberagaman. Dalam hal ini saya
akan mengajak anda untuk melihat kultur yang ada di dalam universitas negeri
yang dimana merupakan tempat mahasiswa dari berbagai daerah untuk menuntut ilmu
dan juga berasal dari berbagai latar belakang lainnya termasuk agama.
Di
lingkungan universitas negeri , seperti halnya Indonesia secara luas, mayoritas
agama yang ada adalah Islam. Tak jarang para mahasiswa dan setiap unsur yang
ada di dalamnya seperti dosen dan staf yang lainnya menggunakan budaya Islam
dalam menyelenggarakan kegiatan disana. Seperti contoh kecilnya memulai sebuah
pembicaraan dengan kata Assalamualaikum.
Untuk agama Kristiani sapaan yang sering digunakan adalah kata ‘Salam
Sejahtera’ atau Shallom , atau Om
Swastiastu untuk Hindu. Seberapa sering seorang pembicara, entah dia seorang
mahasiswa, dosen, atau dekan sekalipun menggunakan semua sapaan itu? Untuk hal
ini saya berfokus pada mereka yang sedang tampil di depan umum dalam sebuah
rangkaian acara yang formal atau acara yang diikuti oleh banyak orang dan ia
menjadi salah satu pembicara, bukan dalam perbincangan biasa atau non formal. Bisa
dipastikan yang pasti digunakan adalah sapaan dalam budaya Islam. Untuk sapaan
agama Kristen tidak selalu digunakan. Untuk masalah sapaan kadang juga
dipengaruhi oleh seberapa sering seseorang tampil di muka umum. Ketika ia sudah
memiliki pangkat atau jam terbang yang cukup lama maka ia akan terbiasa menyapa
dengan panggilan dari masing-masing budaya yang ada dalam setiap agama. Namun
yang jadi masalah adalah ketika memang mereka terbiasa hidup dalam lingkungan
yang hampir seluruhnya adalah beragama Islam.
Mengapa
menyapa menjadi begitu penting? Ketika kita ingin kembali pada permasalahan
penghargaan terhadap agama lain berarti kita harus kembali pada nilai universal
itu tadi. Sapaan yang secara umum digunakan adalah selamat pagi, selamat siang,
selamat sore atau pun selamat malam, sesuai waktu latar
waktunya. Dan jarang sekali ucapan salam tersebut tidak dibubuhi atau diawali
dengan sapaan dalam budaya Islam. Dan ketika hanya sapaan dari sudut budaya
Islam saja, berarti audience atau
lawan bicara yang diakui secara sapaan hanyalah mereka yang beragama Islam
saja. Atau secara tidak langsung budaya sapaan tersebut dianggap menjadi budaya
semua orang di Indonesia, dalam hal ini yang ada dalam lingkungan kampus, menerimanya.
Lebih parah
lagi ketika dalam suatu acara doa yang digunakan adalah doa dengan tata cara
agama tertentu, yaitu Islam. Para mahasiswa harus menyadari bahwa mereka tidak
belajar di lingkungan kampus Islam. Mereka belajar di lingkungan yang berasal
dari berbagai latar belakang termasuk agama. Ketika mereka dalam sebuah
kegiatan atau pun forum kecil melakukan doa sesuai tata cara agama Islam maka
tidak ada penghargaan terhadap yang lain. Berbeda soal ketika memang acaranya
adalah acara keagamaan dimana sah-sah saja dan memang harus menggunakan tata
cara doa sesuai agama Islam. Tetapi lain ceritanya ketika acara tersebut
bukanlah acara keagamaan.
Namun
tindakan berdoa seperti yang dilakukan di atas hanyalah bentuk kecolongan yang tidak dilakukan di
setiap kegiatan. Cara yang paling tepat sebenarnya sudah dilakukan yakni dengan
cara meminta berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Seperti yang
diutarakan oleh Praticko, seorang mahasiswa yang menjadi bagian tim futsal Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik salah satu Universitas Negeri terkemuka, bahwa setiap ingin bertanding mereka berdoa
dengan cara demikian meskipun seluruh bagian dari tim tersebut beragama Islam.
Disanalah toleransi sebenarnya bisa mengakar. Mereka berada di lingkungan
plural sehingga itulah yang mereka harus lakukan untuk menghargai agama lain. Dan
memang sudah sepatutnya dilakukan di setiap kegiatan di Universitas Negeri.
Disini kita
bisa melihat faktor mayoritas menjadi penentu. Dengan mahasiswa yang didominasi
oleh yang beragama Islam maka budaya yang menonjol adalah budaya Islam. Bahkan
ketika diberi embel-embel kebersamaan tetap saja yang akan diambil sebagai
acara adalah acara yang berdasar dari budaya agama Islam seperti buka bersama.
Padahal jika memang kita menginginkan solidaritas yang sebenarnya, tak ada
salahnya membuat sebuah acara dari agama Islam dan agama Kristen atau mungkin
acara untuk agama Budha atau Hindu. Ketika itu bisa dilakukan maka barulah kita
bisa menilai sejauh mana kebersamaan yang dimaksud selama ini. Namun hal
tersebut terkesan mustahil. Dikarenakan ada ajaran Islam yang memang tidak diperkenankan
untuk mengucapkan selamat Natal, apalagi untuk merayakan hari besar agama lain
seperti Natal. Disini prinsip ajaran atau budaya itu sendiri mengandung unsur
utama. Ketika sudah terkekang dengan ajaran dan budaya masing-masing maka
toleransi tersebut menjadi hanya lip
service belaka.
Hal-hal tersebut
hanyalah sebagian kecil dari tindakan-tindakan lainnya yang sebenarnya bisa
dikoreksi jika kita ingin melihat dari segi toleransi agama. Hal di atas juga
merupakan hal yang jarang sekali dikritisi oleh orang-orang. Seperti sapaan
yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari dari kecil. Karena telah menjadi sebuah
kebiasaan maka hal tersebut dianggap sah-sah saja. Dan ternyata ada yang bisa
dikritisi lebih lanjut dari budaya yang selama ini kita pakai.
Toleransi
hanya pada tataran memberikan kesempatan yang sama. Tidak lebih dari itu. Seperti
contohnya adalah memberikan kesempatan untuk menerima pelajarn agama
masing-masing. Dari lingkungan kampus tadi kita bisa melihat yang terjadi pada
negara ini secara keseluruhan. Mayoritas menjadi penentu yang minoritas. Ingin
mengubahnya? Itu sama saja melawan budaya yang telah mengakar puluhan tahun
semenjak negara ini terbentuk. Yang kita lawan juga sejarah atau ungkapan ‘Dari
dulu sudah begitu’. Yang muda hanya meneruskan apa yang menjadi budaya di
generasi atasnya. Dan ketika mereka tidak merasa ada yang terganggu maka budaya
demikian akan terus berlanjut.
Indonesia
bukan negara Islam, namun memang kita mayoritas Islam. Memaknai dua hal
tersebut memang sangatlah sulit. Ketika kita inginkan penghargaan terhadap
agama lain kita kembali lagi kepada konsep mayoritas. Dan ketika konsep
mayoritas itu dipakai akan ada perlawanan untuk kembali lagi pada konsep bahwa
Indonesia bukanlah negara Islam. Sirkulasi ini akan terjadi terus menerus.
Yang merasa
dirugikan untuk hal ini tentu adalah minoritas. Oleh karena itu tentu yang
harus speak up terhadap hal itu tentu
adalah mereka yang minoritas. Karena pada dasarnya ketika yang merasa terganggu
tidak melakukan apa-apa maka dianggap semuanya masih baik-baik saja. Kepekaan
yang minoritas hanya bisa disadarkan terlebih dahulu oleh teguran dari yang
minoritas. Namun seringkali kaum minoritas mencari aman dengan berdiam di zona
nyaman mereka. Padahal seharusnya harus lebih banyak mereka yang berasal dari
latar belakang minoritas menyebar dan berbaur dengan kelompok lainnya agar
lingkungan yang terjalin dalam setiap kelompok benar-benar beragam dan
toleransi lebih bisa dibangun.
Apa yang
terjadi di Indonesia bisa kita lihat dalam lingkup kecil seperti kehidupan
kampus. Toleransi antar umat beragama telah dimulai dari jenjang ini atau
bahkan dibawahnya. Ketika kita ingin melihat suatu hal yang dikaitkan dengan
agama, kita tidak bisa hanya melihat dari satu perspektif agama saja. Disinilah
sebenarnya kehidupan Universitas Negeri telah memiliki modal penting karena
bisa menyerap orang-orang dari lintas agama. Dari jenjang ini kita bisa merubah
budaya yang telah ada. Karena generasi tua sudah terlampau sulit untuk dirubah.
Mereka yang muda lebih segar dalam berpikir dan lebih tidak kaku. Ada pola yang
berubah dalam pergaulan dan toleransi sepatutnya juga berjalan ke arah yang
benar. Namun terlepas dari itu semua, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.
Bagaimana dengan, menghapuskan agama? :)
BalasHapusAgama hanyalah produk kebudayaan. Begitu juga bahasa, tari-tarian, sastra, makanan, dll. Tidak lebih. Lain ladang lain belalang, lain tempat lain juga tuhannya. :))
~erc
Kalau dunia bisa menghendaki itu, mungkin itu akan saya pilih :)
BalasHapus