Jumat, 15 Maret 2013

TOLERANSI MINIMALIS


Perpektif yang seringkali digunakan dalam melihat keberagaman adalah sudut pandang dari diri sendiri atau golongan sendiri. Seorang Islam melihat masalah dari sudut pandang ajaran agamanya, begitu juga dengan orang Kristen yang akan melihat dari sudut pandangnya pula. Sehingga konsep agama menjadi kabur. Kabur disini berdasar pada agama mana sebenarnya yang dimaksud? Ajaran agama Islam kah? Agama Kristen kah? Budha kah? Atau nilai universal dari agama itu sendiri? Konsep ini yang seringkali menjadi pemicu perbedaan persepsi. Ketika nilai universal agama yang dikedepankan maka sepatutnya konflik horizontal yang disebabkan agama tidaklah menjadi persoalan.

Dalam hal ini mari kita lihat dari bagaimana kita memandang sebuah keberagaman dari sudut pandang universal, tidak lagi dari sudut pandang salah satu agama saja. Penanaman unsur agama tidaklah harus dilakukan dari pendekatan satu agama saja. Malahan lebih baik digunakan dalam lingkup yang bisa diterima seluruh anggota kelompok. Agama tak perlu dipungkiri merupakan salah satu landasan utama dalam bertindak dan mengatur pola dalam masyarakat. Dan masing-masing agama memiliki cara masing-masing yang juga berbeda mengingat agama juga merupakan produk kebudayaan. Sehingga bisa dibilang jika kita menggunakan salah satu agama saja di tengah kehidupan yang plural sebagai pedoman maka yang terjadi adalah diskriminasi yang sering dikaburkan.


Mari kita melihat hal ini dalam lingkup lingkungan kampus. Lingkungan kampus menjadi tempat untuk mempraktekkan budaya yang ada dari masing-masing agama dan bisa digunakan sebagai acuan penghargaan terhadap keberagaman. Dalam hal ini saya akan mengajak anda untuk melihat kultur yang ada di dalam universitas negeri yang dimana merupakan tempat mahasiswa dari berbagai daerah untuk menuntut ilmu dan juga berasal dari berbagai latar belakang lainnya termasuk agama.

Di lingkungan universitas negeri , seperti halnya Indonesia secara luas, mayoritas agama yang ada adalah Islam. Tak jarang para mahasiswa dan setiap unsur yang ada di dalamnya seperti dosen dan staf yang lainnya menggunakan budaya Islam dalam menyelenggarakan kegiatan disana. Seperti contoh kecilnya memulai sebuah pembicaraan dengan kata Assalamualaikum. Untuk agama Kristiani sapaan yang sering digunakan adalah kata ‘Salam Sejahtera’ atau Shallom , atau Om Swastiastu untuk Hindu. Seberapa sering seorang pembicara, entah dia seorang mahasiswa, dosen, atau dekan sekalipun menggunakan semua sapaan itu? Untuk hal ini saya berfokus pada mereka yang sedang tampil di depan umum dalam sebuah rangkaian acara yang formal atau acara yang diikuti oleh banyak orang dan ia menjadi salah satu pembicara, bukan dalam perbincangan biasa atau non formal. Bisa dipastikan yang pasti digunakan adalah sapaan dalam budaya Islam. Untuk sapaan agama Kristen tidak selalu digunakan. Untuk masalah sapaan kadang juga dipengaruhi oleh seberapa sering seseorang tampil di muka umum. Ketika ia sudah memiliki pangkat atau jam terbang yang cukup lama maka ia akan terbiasa menyapa dengan panggilan dari masing-masing budaya yang ada dalam setiap agama. Namun yang jadi masalah adalah ketika memang mereka terbiasa hidup dalam lingkungan yang hampir seluruhnya adalah beragama Islam.

Mengapa menyapa menjadi begitu penting? Ketika kita ingin kembali pada permasalahan penghargaan terhadap agama lain berarti kita harus kembali pada nilai universal itu tadi. Sapaan yang secara umum digunakan adalah selamat pagi, selamat siang, selamat sore atau pun selamat malam, sesuai waktu latar waktunya. Dan jarang sekali ucapan salam tersebut tidak dibubuhi atau diawali dengan sapaan dalam budaya Islam. Dan ketika hanya sapaan dari sudut budaya Islam saja, berarti audience atau lawan bicara yang diakui secara sapaan hanyalah mereka yang beragama Islam saja. Atau secara tidak langsung budaya sapaan tersebut dianggap menjadi budaya semua orang di Indonesia, dalam hal ini yang ada dalam lingkungan kampus, menerimanya.

Lebih parah lagi ketika dalam suatu acara doa yang digunakan adalah doa dengan tata cara agama tertentu, yaitu Islam. Para mahasiswa harus menyadari bahwa mereka tidak belajar di lingkungan kampus Islam. Mereka belajar di lingkungan yang berasal dari berbagai latar belakang termasuk agama. Ketika mereka dalam sebuah kegiatan atau pun forum kecil melakukan doa sesuai tata cara agama Islam maka tidak ada penghargaan terhadap yang lain. Berbeda soal ketika memang acaranya adalah acara keagamaan dimana sah-sah saja dan memang harus menggunakan tata cara doa sesuai agama Islam. Tetapi lain ceritanya ketika acara tersebut bukanlah acara keagamaan.

Namun tindakan berdoa seperti yang dilakukan di atas hanyalah bentuk kecolongan yang tidak dilakukan di setiap kegiatan. Cara yang paling tepat sebenarnya sudah dilakukan yakni dengan cara meminta berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Seperti yang diutarakan oleh Praticko, seorang mahasiswa yang menjadi bagian tim futsal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik salah satu Universitas Negeri terkemuka, bahwa setiap ingin bertanding mereka berdoa dengan cara demikian meskipun seluruh bagian dari tim tersebut beragama Islam. Disanalah toleransi sebenarnya bisa mengakar. Mereka berada di lingkungan plural sehingga itulah yang mereka harus lakukan untuk menghargai agama lain. Dan memang sudah sepatutnya dilakukan di setiap kegiatan di Universitas Negeri.

Disini kita bisa melihat faktor mayoritas menjadi penentu. Dengan mahasiswa yang didominasi oleh yang beragama Islam maka budaya yang menonjol adalah budaya Islam. Bahkan ketika diberi embel-embel kebersamaan tetap saja yang akan diambil sebagai acara adalah acara yang berdasar dari budaya agama Islam seperti buka bersama. Padahal jika memang kita menginginkan solidaritas yang sebenarnya, tak ada salahnya membuat sebuah acara dari agama Islam dan agama Kristen atau mungkin acara untuk agama Budha atau Hindu. Ketika itu bisa dilakukan maka barulah kita bisa menilai sejauh mana kebersamaan yang dimaksud selama ini. Namun hal tersebut terkesan mustahil. Dikarenakan ada ajaran Islam yang memang tidak diperkenankan untuk mengucapkan selamat Natal, apalagi untuk merayakan hari besar agama lain seperti Natal. Disini prinsip ajaran atau budaya itu sendiri mengandung unsur utama. Ketika sudah terkekang dengan ajaran dan budaya masing-masing maka toleransi tersebut menjadi hanya lip service belaka.

Hal-hal tersebut hanyalah sebagian kecil dari tindakan-tindakan lainnya yang sebenarnya bisa dikoreksi jika kita ingin melihat dari segi toleransi agama. Hal di atas juga merupakan hal yang jarang sekali dikritisi oleh orang-orang. Seperti sapaan yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari dari kecil. Karena telah menjadi sebuah kebiasaan maka hal tersebut dianggap sah-sah saja. Dan ternyata ada yang bisa dikritisi lebih lanjut dari budaya yang selama ini kita pakai.
Toleransi hanya pada tataran memberikan kesempatan yang sama. Tidak lebih dari itu. Seperti contohnya adalah memberikan kesempatan untuk menerima pelajarn agama masing-masing. Dari lingkungan kampus tadi kita bisa melihat yang terjadi pada negara ini secara keseluruhan. Mayoritas menjadi penentu yang minoritas. Ingin mengubahnya? Itu sama saja melawan budaya yang telah mengakar puluhan tahun semenjak negara ini terbentuk. Yang kita lawan juga sejarah atau ungkapan ‘Dari dulu sudah begitu’. Yang muda hanya meneruskan apa yang menjadi budaya di generasi atasnya. Dan ketika mereka tidak merasa ada yang terganggu maka budaya demikian akan terus berlanjut.

Indonesia bukan negara Islam, namun memang kita mayoritas Islam. Memaknai dua hal tersebut memang sangatlah sulit. Ketika kita inginkan penghargaan terhadap agama lain kita kembali lagi kepada konsep mayoritas. Dan ketika konsep mayoritas itu dipakai akan ada perlawanan untuk kembali lagi pada konsep bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. Sirkulasi ini akan terjadi terus menerus.

Yang merasa dirugikan untuk hal ini tentu adalah minoritas. Oleh karena itu tentu yang harus speak up terhadap hal itu tentu adalah mereka yang minoritas. Karena pada dasarnya ketika yang merasa terganggu tidak melakukan apa-apa maka dianggap semuanya masih baik-baik saja. Kepekaan yang minoritas hanya bisa disadarkan terlebih dahulu oleh teguran dari yang minoritas. Namun seringkali kaum minoritas mencari aman dengan berdiam di zona nyaman mereka. Padahal seharusnya harus lebih banyak mereka yang berasal dari latar belakang minoritas menyebar dan berbaur dengan kelompok lainnya agar lingkungan yang terjalin dalam setiap kelompok benar-benar beragam dan toleransi lebih bisa dibangun.

Apa yang terjadi di Indonesia bisa kita lihat dalam lingkup kecil seperti kehidupan kampus. Toleransi antar umat beragama telah dimulai dari jenjang ini atau bahkan dibawahnya. Ketika kita ingin melihat suatu hal yang dikaitkan dengan agama, kita tidak bisa hanya melihat dari satu perspektif agama saja. Disinilah sebenarnya kehidupan Universitas Negeri telah memiliki modal penting karena bisa menyerap orang-orang dari lintas agama. Dari jenjang ini kita bisa merubah budaya yang telah ada. Karena generasi tua sudah terlampau sulit untuk dirubah. Mereka yang muda lebih segar dalam berpikir dan lebih tidak kaku. Ada pola yang berubah dalam pergaulan dan toleransi sepatutnya juga berjalan ke arah yang benar. Namun terlepas dari itu semua, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

2 komentar:

  1. Bagaimana dengan, menghapuskan agama? :)
    Agama hanyalah produk kebudayaan. Begitu juga bahasa, tari-tarian, sastra, makanan, dll. Tidak lebih. Lain ladang lain belalang, lain tempat lain juga tuhannya. :))

    ~erc

    BalasHapus
  2. Kalau dunia bisa menghendaki itu, mungkin itu akan saya pilih :)

    BalasHapus