Tetesan
air mulai mengalir. Jatuh halus membasahi sedikit demi sedikit celana yang
sudah lusuh. Berulang-ulang kali tangan kanannya digunakan sebagai pengganti
sapu tangan untuk menyeka pipinya. Lendir yang sudah mengental berulang kali disedotnya
kembali. Jarum panjang dan pendek pada jam masih saling berlarian menuju angka
8. Televisi tua dipaksa untuk melek di pagi itu. Pagi yang terasa sepi namun
begitu riuh di dalam hati.
Wanita Tua dengan hati-hati mengambil
remote TV tuanya dan menaikkan volume suara TV tersebut. Disampingnya Anak
Bocah dengan kaos yang sudah tak berlengan , yang tampak entah kapan dengan
sengaja merobek lengan bajunya itu, duduk termangu menemai Wanita Tua itu.
Tombol volume berulang kali ditekan. TV tua itu dipaksa untuk berteriak lebih
keras.
“Bu, sudahlah,” Lelaki dengan kulit sawo
matang berdiri menyandar pada bahu pintu kayu yang catnya telah rontok ditelan
usia.
“Diam kau! Tak usah kau atur apa yang
musti aku lakukan! Bukan polisi kan kau? Bahkan polisi tak layak atur aku!
Apalagi kau?!”
“Ya memang Bu, siapa pula yang sangka aku
sebagai polisi? Rendahkanlah suara TV itu. Tak enak kan didengar oleh
tetangga.” Si Lelaki melangkah mendekat.
Lelaki tadi mulai berusaha untuk meraih
remote TV dari tangan si Wanita Tua. Yang didapatinya adalah pukulan keras
namun tak seberapa yang menghujam lengan kirinya. “Tak dengar kau?! Hei kau,
suruh pemanmu yang bodoh ini diam.” Anak Bocah yang tadinya hanya duduk mulai
berusaha untuk bangun. Namun keinginannya untuk bangun tertahan oleh tatapan
tajam Lelaki kekar yang langsung mengarah pada matanya. Ia pun hanya melihat ke
Wanita Tua yang lebih tepat dipanggil nenek
olehnya.
Pembawa berita di TV masih membawakan
berita dengan mimik yang sangat serius. Kemudian gambar berganti dengan seorang
berjas yang dikerubuti oleh wartawan yang terlihat seperti kawanan hewan
kelaparan yang ingin menerkam mangsanya dan memakannya bersama-sama. Wanita Tua
memandangi setiap ucapan yang keluar dari bibir kering laki-laki berjas itu.
Tak sepotong kata pun yang luput dari pendengarannya. Bola matanya tak bisa
menahan urat-urat merah untuk keluar di pojok-pojok matanya. Kembali tangan
kanannya menyeka pipinya yang sudah begitu basah.
“Gila! Mereka hanyalah kumpulan orang
gila!” Wanita tua berteriak kemudian melempar remote TV itu ke lantai yang
sudah mulai banyak retak disana-sini. Ia tertunduk. Kain jilbabnya yang
memanjang digunakannya untuk menutup wajah. Anak Bocah kemudian turut serta
mengeluarkan air mata, tak tega ia melihat seorang wanita yang sudah begitu
menua dipaksa untuk mengeluarkan tenaganya untuk menahan teriakan untuk tetap
tersimpan di rongga tenggorokannya.
Si Lelaki menggapai remote TV yang sudah
terkulai di lantai. Tombol berwarna merah di bagian atas remote itu ditekannya.
Seketika ruangan tempat mereka saat itu hanya diisi oleh rintihan yang hanya
terdengar kecil karena dihambat oleh kain jilbab. TV bisa tidur kembali untuk
sejenak.
... ... ...
Wanita Tua berteriak-teriak dengan lawan
bicaranya di telepon genggamnya. Telepon itu tampak ingin merintih karena
genggaman Wanita Tua yang begitu kuat, ditambah teriakan penuh amarah yang
melayang ke lubang-lubang kecil di bagian bawah tubuhnya. Kasihan telepon itu.
Sebentar lagi ia akan punah. Dirinya sudah tak memiliki nilai jual. Bahkan bisa
diragukan namanya masih diingat di luar sana. Namun di akhir masa hidupnya ia
harus mengabdi pada seorang Wanita Tua yang bahkan harus mengutang untuk bisa
memberikannya pulsa. Namun belakangan ia sedikit bersyukur karena si Wanita Tua
begitu betah untuk menantikan dirinya bergetar. Ia merasa begitu diharapkan.
Kesal karena tak juga kunjung berdering,
Wanita Tua memijat-mijat tombol telepon genggam dengan kuat-kuat namun lambat. Ia tak bisa menandingi kecepatan
anak muda dalam mengetik di telepon genggam yang bahkan bisa menghasilkan
sebuah irama ketukan cepat yang teratur. Didengarnya nada sambung dan
ditunggunya ada suara seseorang yang akan menyapanya. Lima detik, sepuluh
detik, dua puluh detik. Hanya suara wanita penjawab otomatis yang menyapanya.
Perintah untuk meninggalkan pesan tak digubrisnya. Dengan cepat ia menekan
tombol merah dan mengulangi menekan tombol angka dengan rangkaian nomor yang
sama pula.
Berulang kali ia lakukan hal yang serupa.
Ia telah mencoba sampai tujuh belas kali dan tak ada jawaban. Lelaki menyambar
telepon genggam Wanita Tua. “Bu, sudah.” “Kembalikan! Sini, berikan.” Wanita
Tua kembali menekan nomor telepon yang ditujunya.
“Mereka itu tak akan menanggapi telponmu
Bu. Mereka sudah terlalu sibuk dengan urusan mereka di jam seperti ini. Nomor
Ibu juga tak mereka kenali kan? Jadi sudahlah. Mereka bilang kan akan menelpon
kita nanti kalau ada kabar terbaru. Sekarang yang bisa kita lakukan hanya
menunggu. Ayo mending ikut aku pergi sekarang.”
“Apa salahnya aku mencoba? Kau ini tak
mengerti! Memang mereka itu sudah tuli! Tuli!! Tapi setulinya mereka, kuping
pemberian Allah tetap ada untuk digunakan kan?”
“Ya tapi kan kita sudah berusaha Bu.
Janganlah kau buat aku semakin berat bebannya. Sudah cukup menderitalah kita
dengan ini semua. Kita bisa apa?”
“Tak ada yang kita bisa, tak ada. Kau
lihat tuh koran. Hanya mereka saja yang bisa. Dengan mudahnya mereka pakai
pajak kita untuk foya-foya, cari isteri muda.” Mata Wanita Tua mulai menggenang
kembali.
“Tuh, Ibu sudah tahu kan? Kita ini memang
tak bisa apa-apa kan?”
“Lalu kau suruh aku diam? Kau suruh aku
diam saja seperti tak terjadi apa-apa? Sumirnah itu aku yang lahirin , Di! Tak
tahulah aku gimana ia sekarang. Aku ini yang berdosa , Di! Aku! Lalu masih kau
suruh aku diam?” Telepon genggam tua itu kali ini hanya diremas kuat-kuat.
“Kita kan tidak diam , Bu. Sudah kita
coba datangi itu Komnas HAM. Mereka bilang akan bantu kan. Kita percayalah
saja. Mereka bilang kan akan hubungi, ya percayalah pada mereka.”
“Aku muak , Di! Muak! Apa kerjanya
menteri-menteri itu?!” Lelaki mendekati Wanita Tua. Ia duduk di lantai di bawah
kursi si Wanita Tua. “Iya, aku juga Bu, aku juga.”
“Seharusnya tak kusuruh dia pergi , Di.
Dosanya di aku ini! Menyesal aku , Di. Kukira disana budayanya baik, lebih baik
dari negeri kita ini. Aku kira disana ia bisa dapat uang lebih banyak. Untuk
usia tua aku juga duit itu. Tapi aku salah di. Malang dia harus begitu. Aku gak
tahan, gak tahan.” Air mata mengalir deras tak tertahankan. Seperti ada yang
melumat hatinya sampai rusak tak berbentuk.
“Jangan kau salahkan dirimu lagi, Bu.
Kita doakan saja dia agar tahan sampai mereka datang jemput dia disana.”
“Kapan mereka akan jemput dia , Di?
Kapan? Sudah seminggu lewat sejak berita itu kita dengar kan. Bahkan mungkin
dia sudah tergeletak begitu lebih dari seminggu kan? Aku ini ibu. Ingin sekali
aku bunuh orang-orang itu!”
“Istighfar Bu! Jangan kau bilang lagi
itu! Kita semua salah disini. Siapa bisa kira ia bisa dapat majikan seperti
itu? Kita kan hanya pikir ia bisa bekerja dan bawa banyak uang pulang. Gampang
lah perkara kalau begitu kan? Tapi kan ternyata tidak begitu. Lalu mau apa? Aku
bahkan tak sampai hati lihat dia sekarang.”
Wanita tua hanya bisa menangis. Adalah
hati seorang ibu yang tak bisa terlukiskan hanya dari kata kasih sayang. Dan
penyesalan adalah sebuah hal yang tak ingin dijumpai oleh setiap ibu. Ketika ia
sadari hal itu, ingin sekali ia memutar waktu. Tepat sebelum Sumirnah ingin
mengikuti tes itu. Ingin sekali ia menyetop keinginan Sumirnah untuk pergi.
Tapi semua sudah terlambat. Hanya luka yang berbekas di hati kecil seorang ibu.
... ... ...
Matahari sudah meninggi. Si Lelaki telah
bersiap dengan kemeja cokelat yang menjadi pakaian kebanggaannya satu-satunya.
“Bu, ayo cepat.” Wanita Tua keluar dari kamarnya. Sekeliling matanya hitam.
Keriput di wajahnya mendukung ekspresinya yang sendu. Sebuah amplop cokelat
muda besar digenggam tangan kanannya yang hanya tulang berbungkuskan kulit dan
urat-urat yang telah melayu.
“Semua kertasnya kau masukkan ke dalam?”
Tanya si Lelaki tanpa menoleh ke Wanita Tua.
“Sudah.” Wanita Tua meraih tas ransel
merah muda yang tergeletak si sofa lapuk dekat pintu. Anak Bocah datang dari
luar, “Ayo-ayo! Sudah pada nunggu mereka.”
“Kau siap , Bu?”
“Siap katamu? Tentulah aku siap. Hanya
saja aku merasa malu.”
“Malu kenapa?”
“Tak bisa aku basuh dia disana. Tak bisa
aku suapi dia disana saat ia merintih. Ibu macam apa aku ini. Aku biarkan
anakku sendiri dinodai. Aku biarkan dia babak belur dipukuli. Dan aku
biarkan... “ Wanita tua tak menghabiskan kata-katanya.
“Sudah Bu, sudah. Allah sudah ampuni
kita.”
“Ya, tapi jangan sampai Allah ampuni
mereka. Mereka itu binatang! Pemerintah juga tak jauh berbeda. Sudah hampir
sebulan Sumirnah merintih disana, tapi apa?” Wanita Tua kembali meninggikan
suaranya. “Mereka sibuk cari kursi di negeri sendiri! Mereka sibuk urusi partai
sendiri! Tak mereka pikir warganya di luar yang hanya ingin cari nasi, namun
harus bela diri sampai hampir mati!”
Wanita tua melangkah pada meja kecil di
depannya. Diraihnya koran yang ada di atas meja itu. “Lihat nih , Di. Aku mau
mereka seperti ini! Hukum mati! Bahkan dengan hati aku mau jadi yang menekan
pelatuknya.” Dilemparnya koran itu kembali ke atas meja.
“Ya, memang Bu. Apa bedanya mereka dengan
para pengedar itu. Bahkan mereka lebih binatang! Negara Islam apanya? Tak akan
kumaafkan mereka bahkan sampai neraka aku bertemu dengan mereka.”
“Sudah kau bawa payungnya?” Wanita Tua
bertanya pada si Anak Bocah. “Sudah Bu.”
... ... ...
Setiap langkah Wanita Tua layaknya
menghitung tetes-tetes kesedihan yang dirasakan buah hatinya yang tak sanggup
dibelainya. Hanya derita yang bisa dibayangkan oleh Wanita Tua. Apalah artinya
seorang ibu jika tidak bisa menjadi tempat mengadu si anak. Hanya dendam yang
dirasakan untuk majikan yang tak tahu adab. Mati adalah kata yang terus-menerus
meluap di dadanya untuk hukuman yang layak.
“Bu, mau buka payungnya sekarang?” “Iya,
buka saja.” Anak Bocah membuka payung dan menghalangi cahaya matahari menusuk
kulit si Wanita Tua. Jilbab hitam dikenakan si Wanita Tua dengan rumbai
minimalis di ujung kainnya. Tatapan sayu namun tegar terpampang di wajah Wanita
Tua.
Layaknya deretan malaikat pencabut nyawa,
sebuah barisan manusia berpakaian hitam telah terjajar di pinggir jalan.
Payung-payung hitam membumbung di setiap kepala mereka. Disana ada ibu, ayah,
kakak, adik, kerabat, dan semua yang merasa bernasib sama. Sama-sama merasa
duka dan amarah. Namun saat melihat kasta, mereka tak bisa apa-apa.
Mereka berdiri tegap. Hanya diam. Benar-benar
membuat kesunyian tanpa suara. Wanita Tua terus memandang jauh ke depan. Fokus dan
terarah. Tak sampai enam puluh orang juga melakukan hal yang sama. Anak-anak
kecil yang digendong juga terdiam tak tahu apa yang dilakukan ayah-ibunya. Anak
Bocah menggenggam erat tangan Lelaki yang juga menggenggam tangannya tak kalah
eratnya.
Deretan hitam itu seperti kumpulan semut
hitam. Semut-semut itu berdiri di antara dua lokasi yang menjadi lambang dari
kota dan negara. Tepat di belakang mereka adalah sebuah taman besar yang
ditengah-tengahnya sebuah monumen tinggi menjulang ke angkasa. Sebuah emas
raksasa bertengger di puncaknya dan tertawa melihat kemiskinan yang bukan
dunianya. Dan tepat di seberang semut-semut itu adalah sebuah bangunan putih
megah tak ubahnya sebuah istana.
Semut-semut itu menatap tajam ke istana itu.
Mereka menatap tamannya, namun jauh ke dalam lagi. Didapati oleh pandangan
mereka anak tanggayang menuntun ke pintu masuk, namun jauh ke dalam lagi. Pandangan
tajam itu masih terus ingin masuk ke dalam istana itu dan mencari-cari objek
utama pandangan mereka. Orang yang seharusnya bisa menjadi tempat mereka
mengadukan hak mereka.
Deretan aparat bersenjata berjaga di
depan muka para semut itu. Kawat duri telah melingkar-lingkar menghalangi fokus
pandangan para semut ke istana. Semut yang ini bukan binatang. Mereka tahu
pasti apa yang mereka bisa lakukan. Diam adalah salah satunya. Lalu untuk
apakah kawat dan senjata-senjata itu? Bahkan tak ada satu kata pun yang terucap
dari mulut semut-semut itu. Hanya tatapan lurus menuju istana yang juga
melemparkan bisu ke barisan semut itu.
Barisan penjaga dan semut itu hanya
bertukar pandang. Sudah hampir satu jam lamanya. Tak ada satu pun orang yang
tampak keluar dari istana. Para semut pun juga tak tampak menuntut ada yang
keluar menegur mereka dari balik pintu istana itu. Mereka hanya diam tak
bersuara.
Kaki Wanita Tua tampak bergetar. Usia tak
mengizinkannya untuk berdiri terlampau lama. Lelaki membantu Wanita Tua untuk
tetap berdiri. Digenggam erat tangan Lelaki itu, dan matanya enggan untuk
memalingkan pandangan pada istana.
Terlintas seketika sebuah tangisan dan
raungan di benak Wanita Tua. Rasa sakit dari luka tubuh dan jiwa memaksa air
mata untuk mengalir lebih deras. Wanita Tua bagai melompat jauh ke daratan
luar, lebih jauh lagi sampai menyebrang lautan, jauh lagi sampai melewati
padang pasir yang hangat, masuk ke dalam kota, di sebuah Rumah Sakit kelas
bawah, di kamar yang terisi oleh sepuluh orang, dibaringkan seorang wanita yang
terbaring tak berdaya. Air mata keluar perlahan dari matanya, membangunkannya
dari imajinasi nan pedih.
Wanita Tua menengok ke kanan. Dimintanya sebuah
triplek kotak yang dipegang oleh seorang anak muda. Diraihnya triplek itu dan
diangkatnya tinggi-tinggi dengan tangan kanannya yang mulai lemas. Air mata
mengalir deras dan jatuh membasahi lumut jalanan yang dengan senang hati
menerima air mata tulus seorang ibu untuk kesuburannya.
Di triplek itu tertulis kalimat dengan
huruf besar, ‘Pulangkan Anak Kami dari
Arab Saudi!’.
@edbertgani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar