Minggu, 24 Maret 2013

PULANGKAN DIA


Tetesan air mulai mengalir. Jatuh halus membasahi sedikit demi sedikit celana yang sudah lusuh. Berulang-ulang kali tangan kanannya digunakan sebagai pengganti sapu tangan untuk menyeka pipinya. Lendir yang sudah mengental berulang kali disedotnya kembali. Jarum panjang dan pendek pada jam masih saling berlarian menuju angka 8. Televisi tua dipaksa untuk melek di pagi itu. Pagi yang terasa sepi namun begitu riuh di dalam hati.

Wanita Tua dengan hati-hati mengambil remote TV tuanya dan menaikkan volume suara TV tersebut. Disampingnya Anak Bocah dengan kaos yang sudah tak berlengan , yang tampak entah kapan dengan sengaja merobek lengan bajunya itu, duduk termangu menemai Wanita Tua itu. Tombol volume berulang kali ditekan. TV tua itu dipaksa untuk berteriak lebih keras.


“Bu, sudahlah,” Lelaki dengan kulit sawo matang berdiri menyandar pada bahu pintu kayu yang catnya telah rontok ditelan usia.

“Diam kau! Tak usah kau atur apa yang musti aku lakukan! Bukan polisi kan kau? Bahkan polisi tak layak atur aku! Apalagi kau?!”

“Ya memang Bu, siapa pula yang sangka aku sebagai polisi? Rendahkanlah suara TV itu. Tak enak kan didengar oleh tetangga.” Si Lelaki melangkah mendekat.

Lelaki tadi mulai berusaha untuk meraih remote TV dari tangan si Wanita Tua. Yang didapatinya adalah pukulan keras namun tak seberapa yang menghujam lengan kirinya. “Tak dengar kau?! Hei kau, suruh pemanmu yang bodoh ini diam.” Anak Bocah yang tadinya hanya duduk mulai berusaha untuk bangun. Namun keinginannya untuk bangun tertahan oleh tatapan tajam Lelaki kekar yang langsung mengarah pada matanya. Ia pun hanya melihat ke Wanita Tua yang lebih tepat dipanggil nenek  olehnya.

Pembawa berita di TV masih membawakan berita dengan mimik yang sangat serius. Kemudian gambar berganti dengan seorang berjas yang dikerubuti oleh wartawan yang terlihat seperti kawanan hewan kelaparan yang ingin menerkam mangsanya dan memakannya bersama-sama. Wanita Tua memandangi setiap ucapan yang keluar dari bibir kering laki-laki berjas itu. Tak sepotong kata pun yang luput dari pendengarannya. Bola matanya tak bisa menahan urat-urat merah untuk keluar di pojok-pojok matanya. Kembali tangan kanannya menyeka pipinya yang sudah begitu basah.

“Gila! Mereka hanyalah kumpulan orang gila!” Wanita tua berteriak kemudian melempar remote TV itu ke lantai yang sudah mulai banyak retak disana-sini. Ia tertunduk. Kain jilbabnya yang memanjang digunakannya untuk menutup wajah. Anak Bocah kemudian turut serta mengeluarkan air mata, tak tega ia melihat seorang wanita yang sudah begitu menua dipaksa untuk mengeluarkan tenaganya untuk menahan teriakan untuk tetap tersimpan di rongga tenggorokannya.

Si Lelaki menggapai remote TV yang sudah terkulai di lantai. Tombol berwarna merah di bagian atas remote itu ditekannya. Seketika ruangan tempat mereka saat itu hanya diisi oleh rintihan yang hanya terdengar kecil karena dihambat oleh kain jilbab. TV bisa tidur kembali untuk sejenak.

... ... ...

Wanita Tua berteriak-teriak dengan lawan bicaranya di telepon genggamnya. Telepon itu tampak ingin merintih karena genggaman Wanita Tua yang begitu kuat, ditambah teriakan penuh amarah yang melayang ke lubang-lubang kecil di bagian bawah tubuhnya. Kasihan telepon itu. Sebentar lagi ia akan punah. Dirinya sudah tak memiliki nilai jual. Bahkan bisa diragukan namanya masih diingat di luar sana. Namun di akhir masa hidupnya ia harus mengabdi pada seorang Wanita Tua yang bahkan harus mengutang untuk bisa memberikannya pulsa. Namun belakangan ia sedikit bersyukur karena si Wanita Tua begitu betah untuk menantikan dirinya bergetar. Ia merasa begitu diharapkan.

Kesal karena tak juga kunjung berdering, Wanita Tua memijat-mijat tombol telepon genggam dengan kuat-kuat namun lambat. Ia tak bisa menandingi kecepatan anak muda dalam mengetik di telepon genggam yang bahkan bisa menghasilkan sebuah irama ketukan cepat yang teratur. Didengarnya nada sambung dan ditunggunya ada suara seseorang yang akan menyapanya. Lima detik, sepuluh detik, dua puluh detik. Hanya suara wanita penjawab otomatis yang menyapanya. Perintah untuk meninggalkan pesan tak digubrisnya. Dengan cepat ia menekan tombol merah dan mengulangi menekan tombol angka dengan rangkaian nomor yang sama pula.

Berulang kali ia lakukan hal yang serupa. Ia telah mencoba sampai tujuh belas kali dan tak ada jawaban. Lelaki menyambar telepon genggam Wanita Tua. “Bu, sudah.” “Kembalikan! Sini, berikan.” Wanita Tua kembali menekan nomor telepon yang ditujunya.

“Mereka itu tak akan menanggapi telponmu Bu. Mereka sudah terlalu sibuk dengan urusan mereka di jam seperti ini. Nomor Ibu juga tak mereka kenali kan? Jadi sudahlah. Mereka bilang kan akan menelpon kita nanti kalau ada kabar terbaru. Sekarang yang bisa kita lakukan hanya menunggu. Ayo mending ikut aku pergi sekarang.”

“Apa salahnya aku mencoba? Kau ini tak mengerti! Memang mereka itu sudah tuli! Tuli!! Tapi setulinya mereka, kuping pemberian Allah tetap ada untuk digunakan kan?”

“Ya tapi kan kita sudah berusaha Bu. Janganlah kau buat aku semakin berat bebannya. Sudah cukup menderitalah kita dengan ini semua. Kita bisa apa?”

“Tak ada yang kita bisa, tak ada. Kau lihat tuh koran. Hanya mereka saja yang bisa. Dengan mudahnya mereka pakai pajak kita untuk foya-foya, cari isteri muda.” Mata Wanita Tua mulai menggenang kembali.

“Tuh, Ibu sudah tahu kan? Kita ini memang tak bisa apa-apa kan?”

“Lalu kau suruh aku diam? Kau suruh aku diam saja seperti tak terjadi apa-apa? Sumirnah itu aku yang lahirin , Di! Tak tahulah aku gimana ia sekarang. Aku ini yang berdosa , Di! Aku! Lalu masih kau suruh aku diam?” Telepon genggam tua itu kali ini hanya diremas kuat-kuat.

“Kita kan tidak diam , Bu. Sudah kita coba datangi itu Komnas HAM. Mereka bilang akan bantu kan. Kita percayalah saja. Mereka bilang kan akan hubungi, ya percayalah pada mereka.”

“Aku muak , Di! Muak! Apa kerjanya menteri-menteri itu?!” Lelaki mendekati Wanita Tua. Ia duduk di lantai di bawah kursi si Wanita Tua. “Iya, aku juga Bu, aku juga.”

“Seharusnya tak kusuruh dia pergi , Di. Dosanya di aku ini! Menyesal aku , Di. Kukira disana budayanya baik, lebih baik dari negeri kita ini. Aku kira disana ia bisa dapat uang lebih banyak. Untuk usia tua aku juga duit itu. Tapi aku salah di. Malang dia harus begitu. Aku gak tahan, gak tahan.” Air mata mengalir deras tak tertahankan. Seperti ada yang melumat hatinya sampai rusak tak berbentuk.

“Jangan kau salahkan dirimu lagi, Bu. Kita doakan saja dia agar tahan sampai mereka datang jemput dia disana.”

“Kapan mereka akan jemput dia , Di? Kapan? Sudah seminggu lewat sejak berita itu kita dengar kan. Bahkan mungkin dia sudah tergeletak begitu lebih dari seminggu kan? Aku ini ibu. Ingin sekali aku bunuh orang-orang itu!”

“Istighfar Bu! Jangan kau bilang lagi itu! Kita semua salah disini. Siapa bisa kira ia bisa dapat majikan seperti itu? Kita kan hanya pikir ia bisa bekerja dan bawa banyak uang pulang. Gampang lah perkara kalau begitu kan? Tapi kan ternyata tidak begitu. Lalu mau apa? Aku bahkan tak sampai hati lihat dia sekarang.”

Wanita tua hanya bisa menangis. Adalah hati seorang ibu yang tak bisa terlukiskan hanya dari kata kasih sayang. Dan penyesalan adalah sebuah hal yang tak ingin dijumpai oleh setiap ibu. Ketika ia sadari hal itu, ingin sekali ia memutar waktu. Tepat sebelum Sumirnah ingin mengikuti tes itu. Ingin sekali ia menyetop keinginan Sumirnah untuk pergi. Tapi semua sudah terlambat. Hanya luka yang berbekas di hati kecil seorang ibu.

... ... ...

Matahari sudah meninggi. Si Lelaki telah bersiap dengan kemeja cokelat yang menjadi pakaian kebanggaannya satu-satunya. “Bu, ayo cepat.” Wanita Tua keluar dari kamarnya. Sekeliling matanya hitam. Keriput di wajahnya mendukung ekspresinya yang sendu. Sebuah amplop cokelat muda besar digenggam tangan kanannya yang hanya tulang berbungkuskan kulit dan urat-urat yang telah melayu.

“Semua kertasnya kau masukkan ke dalam?” Tanya si Lelaki tanpa menoleh ke Wanita Tua.

“Sudah.” Wanita Tua meraih tas ransel merah muda yang tergeletak si sofa lapuk dekat pintu. Anak Bocah datang dari luar, “Ayo-ayo! Sudah pada nunggu mereka.”

“Kau siap , Bu?”

“Siap katamu? Tentulah aku siap. Hanya saja aku merasa malu.”

“Malu kenapa?”

“Tak bisa aku basuh dia disana. Tak bisa aku suapi dia disana saat ia merintih. Ibu macam apa aku ini. Aku biarkan anakku sendiri dinodai. Aku biarkan dia babak belur dipukuli. Dan aku biarkan... “ Wanita tua tak menghabiskan kata-katanya.

“Sudah Bu, sudah. Allah sudah ampuni kita.”

“Ya, tapi jangan sampai Allah ampuni mereka. Mereka itu binatang! Pemerintah juga tak jauh berbeda. Sudah hampir sebulan Sumirnah merintih disana, tapi apa?” Wanita Tua kembali meninggikan suaranya. “Mereka sibuk cari kursi di negeri sendiri! Mereka sibuk urusi partai sendiri! Tak mereka pikir warganya di luar yang hanya ingin cari nasi, namun harus bela diri sampai hampir mati!”

Wanita tua melangkah pada meja kecil di depannya. Diraihnya koran yang ada di atas meja itu. “Lihat nih , Di. Aku mau mereka seperti ini! Hukum mati! Bahkan dengan hati aku mau jadi yang menekan pelatuknya.” Dilemparnya koran itu kembali ke atas meja.

“Ya, memang Bu. Apa bedanya mereka dengan para pengedar itu. Bahkan mereka lebih binatang! Negara Islam apanya? Tak akan kumaafkan mereka bahkan sampai neraka aku bertemu dengan mereka.”

“Sudah kau bawa payungnya?” Wanita Tua bertanya pada si Anak Bocah. “Sudah Bu.”

... ... ...

Setiap langkah Wanita Tua layaknya menghitung tetes-tetes kesedihan yang dirasakan buah hatinya yang tak sanggup dibelainya. Hanya derita yang bisa dibayangkan oleh Wanita Tua. Apalah artinya seorang ibu jika tidak bisa menjadi tempat mengadu si anak. Hanya dendam yang dirasakan untuk majikan yang tak tahu adab. Mati adalah kata yang terus-menerus meluap di dadanya untuk hukuman yang layak.

“Bu, mau buka payungnya sekarang?” “Iya, buka saja.” Anak Bocah membuka payung dan menghalangi cahaya matahari menusuk kulit si Wanita Tua. Jilbab hitam dikenakan si Wanita Tua dengan rumbai minimalis di ujung kainnya. Tatapan sayu namun tegar terpampang di wajah Wanita Tua.

Layaknya deretan malaikat pencabut nyawa, sebuah barisan manusia berpakaian hitam telah terjajar di pinggir jalan. Payung-payung hitam membumbung di setiap kepala mereka. Disana ada ibu, ayah, kakak, adik, kerabat, dan semua yang merasa bernasib sama. Sama-sama merasa duka dan amarah. Namun saat melihat kasta, mereka tak bisa apa-apa.

Mereka berdiri tegap. Hanya diam. Benar-benar membuat kesunyian tanpa suara. Wanita Tua terus memandang jauh ke depan. Fokus dan terarah. Tak sampai enam puluh orang juga melakukan hal yang sama. Anak-anak kecil yang digendong juga terdiam tak tahu apa yang dilakukan ayah-ibunya. Anak Bocah menggenggam erat tangan Lelaki yang juga menggenggam tangannya tak kalah eratnya.

Deretan hitam itu seperti kumpulan semut hitam. Semut-semut itu berdiri di antara dua lokasi yang menjadi lambang dari kota dan negara. Tepat di belakang mereka adalah sebuah taman besar yang ditengah-tengahnya sebuah monumen tinggi menjulang ke angkasa. Sebuah emas raksasa bertengger di puncaknya dan tertawa melihat kemiskinan yang bukan dunianya. Dan tepat di seberang semut-semut itu adalah sebuah bangunan putih megah tak ubahnya sebuah istana.

Semut-semut itu menatap tajam ke istana itu. Mereka menatap tamannya, namun jauh ke dalam lagi. Didapati oleh pandangan mereka anak tanggayang menuntun ke pintu masuk, namun jauh ke dalam lagi. Pandangan tajam itu masih terus ingin masuk ke dalam istana itu dan mencari-cari objek utama pandangan mereka. Orang yang seharusnya bisa menjadi tempat mereka mengadukan hak mereka.

Deretan aparat bersenjata berjaga di depan muka para semut itu. Kawat duri telah melingkar-lingkar menghalangi fokus pandangan para semut ke istana. Semut yang ini bukan binatang. Mereka tahu pasti apa yang mereka bisa lakukan. Diam adalah salah satunya. Lalu untuk apakah kawat dan senjata-senjata itu? Bahkan tak ada satu kata pun yang terucap dari mulut semut-semut itu. Hanya tatapan lurus menuju istana yang juga melemparkan bisu ke barisan semut itu.

Barisan penjaga dan semut itu hanya bertukar pandang. Sudah hampir satu jam lamanya. Tak ada satu pun orang yang tampak keluar dari istana. Para semut pun juga tak tampak menuntut ada yang keluar menegur mereka dari balik pintu istana itu. Mereka hanya diam tak bersuara.

Kaki Wanita Tua tampak bergetar. Usia tak mengizinkannya untuk berdiri terlampau lama. Lelaki membantu Wanita Tua untuk tetap berdiri. Digenggam erat tangan Lelaki itu, dan matanya enggan untuk memalingkan pandangan pada istana.

Terlintas seketika sebuah tangisan dan raungan di benak Wanita Tua. Rasa sakit dari luka tubuh dan jiwa memaksa air mata untuk mengalir lebih deras. Wanita Tua bagai melompat jauh ke daratan luar, lebih jauh lagi sampai menyebrang lautan, jauh lagi sampai melewati padang pasir yang hangat, masuk ke dalam kota, di sebuah Rumah Sakit kelas bawah, di kamar yang terisi oleh sepuluh orang, dibaringkan seorang wanita yang terbaring tak berdaya. Air mata keluar perlahan dari matanya, membangunkannya dari imajinasi nan pedih.

Wanita Tua menengok ke kanan. Dimintanya sebuah triplek kotak yang dipegang oleh seorang anak muda. Diraihnya triplek itu dan diangkatnya tinggi-tinggi dengan tangan kanannya yang mulai lemas. Air mata mengalir deras dan jatuh membasahi lumut jalanan yang dengan senang hati menerima air mata tulus seorang ibu untuk kesuburannya.

Di triplek itu tertulis kalimat dengan huruf besar, ‘Pulangkan Anak Kami dari Arab Saudi!’.

@edbertgani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar