Senin, 08 April 2013

SENIORITAS MENYENANGKAN ?


Mana yang lebih menyenangkan, menjadi seorang junior atau seorang senior? Ketika anda dalam posisi junior mungkin mimpi terdekat yang ingin anda capai adalah menjadi seorang senior agar bisa merasakan memperlakukan junior seperti yang anda rasakan saat menjadi junior. Namun tak jarang seorang senior akan berkata bahwa masa menjadi seorang junior adalah masa yang menyenangkan yang tak jarang ingin sekali untuk diulang. Senioritas itu tidak hanya terjadi dalam lingkup sekolah atau kuliah, namun juga dalam lingkungan pekerjaan seperti di kantor dan berbagai tempat kita bersosialisasi lainnya.


Seperti dalam sebuah perguruan bela diri. Seorang senior dengan sabuk yang lebih tinggi akan dengan sendirinya memiliki wibawa akan kekuatan dan kehandalan yang dirasa dimilikinya lebih dibanding dengan juniornya. Dari sudut seorang junior, senior dengan sabuk yang berlevel tinggi akan terlihat begitu menakutkan. Terlebih ketika ia harus melakukan fight dengan salah satu senior. Bukan masalah tinggi dari sabuknya, melainkan nyali yang berbeda jauh dengan si senior yang tentu memiliki jam terbang lebih tinggi. Hanya sedikit dari mereka yang berani untuk melakukan fight dengan sungguh-sungguh dan berhasil bertarung dengan baik, apapun hasilnya.

Itu tadi kalau di perguruan bela diri. Kalau di kantor, senioritas akan kental dengan urusan nyuruh-menyuruh. Pegawai baru yang masih muda akan kerap mendapatkan tugas yang ringan namun berat seperti mem-fotocopy berkas yang bertumpuk-tumpuk atau sekedar mengetik bahan yang berhalaman-halaman. Pekerjaan yang mengandalkan otak akan cenderung sedikit. Akan lebih menderita ketika harus memiliki senior atau atasan yang memang memegang prinsip senioritas yang tinggi. Anda bisa terus menjadi pesuruh sampai waktu yang cukup lama atau sampai ada pegawai baru yang bisa anda suruh.

Itulah senioritas. Senior akan cenderung jumawa di depan para juniornya. Seorang junior akan terlihat seperti orang yang tidak tahu apa-apa dan menjadi sasaran untuk disuruh, dimarahi, atau paling tidak menjadi sasaran menunjukkan kepintaran dan kebolehan. Sehingga bisa dikatakan dalam posisi menjadi seorang senior itu begitu menyenangkan, bukan?

Budaya dunia pendidikan kita memang membudayakan senioritas itu. Ospek di SMP, SMA, dan Universitas menciptakan budaya itu di tengah masyarakat. Masa orientasi menjadi sebuah momok dalam dunia pendidikan. Seorang anak SMP akan begitu girang ketika mendapat pengumuman bahwa diterima di SMA impiannya, namun akan segera ciut ketika harus membayangkan amukan senior SMA di masa orientasi nanti. Tak jauh berbeda saat masuk dunia perkuliahan. Kegirangan masuk dunia baru menjadi sedikit tergerus dengan rasa takut untuk mengikuti ospek, yang memang telah ter-setting  di otak kita dengan gambaran yang menyeramkan dan tentu penuh dengan teriakan-teriakan.

Lalu, apakah masa orientasi seperti itu buruk? Apakah senioritas itu seharusnya diharamkan? Dalam menjawab hal tersebut kita harus bisa memilah antara perasaan kita saat menjadi junior dan objektivitas dalam memandang hal tersebut.

Ketika seorang junior bertanya pada seniornya di kampus apakah ospek itu penting atau tidak maka sang senior wajarnya berkata bahwa itu penting. Apalagi jika ditanyakan dalam masa orientasi. Sebuah pertanyaan retoris. Tentu ospek memiliki sisi positif. Masalahnya disini adalah apakah seorang senior bisa memaknai nilai positif itu atau tidak dan mentransferkan nilai tersebut kepada juniornya. Ketika seorang senior tidak bisa memaknainya dengan benar dan hanya menganggap acara tersebut sebuah ajang seru-seruan dan balas dendam semata, maka di titik itulah ospek itu bisa dikatakan tidak penting, sangat tidak penting.

Hal yang paling merugikan bagi mereka yang tidak mengikuti rangkaian kegiatan ospek adalah bahwa mereka kehilangan cerita. Sebuah rangkaian ospek yang menyeramkan itu pada waktunya akan menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi mereka yang menderita di dalamnya. Bahkan tak jarang di masa SMA salah satu kegiatan yang paling diingat adalah kegiatan ospeknya begitu juga di masa kuliah. Bersama dengan  teman seangkatan menjalani penderitaan bersama tentu akan menjadi sebuah kenangan indah (pada waktunya). Cerita-cerita akan bertumpuk di kegiatan-kegiatan ospek dan menjadi selalu seru untuk dikenang. Mereka yang tidak ikut akan kehilangan masa itu.

Masa ospek juga merupakan masa transfer budaya. Selain cerita yang bisa dilewatkan, seseorang yang tidak mengikuti rangkaian ospek akan kehilangan informasi tentang budaya pergaulan di lingkungan sekolah atau kampusnya, atau setidaknya akan butuh waktu lebih lama untuk beradaptasi. Untuk dunia pekerjaan masa transfer budaya itu akan berlangsung di bulan-bulan awal. Seperti yang terjadi dalam restoran-restoran. Pegawai baru atau yang masih magang akan mengalami hari-hari terpanjang dalam hidupnya ketika masuk kerja. Bukan karena pekerjaan yang berat, melainkan karena omelan-omelan dari senior dan trainer mereka. Disuruh mencuci piring yang bertumpuk-tumpuk, berulang kali diomeli karena kesalahan-kesalahan kecil, harus terus berfokus dan minim bercanda, dan berbagai tantangan lainnya. Mereka yang tidak kuat mental akan dengan mudah keluar dan berhenti, dan bisa dipastikan dia akan kesulitan betah bekerja di suatu tempat karena budaya seperti itu sudah mengakar dimana-mana.

Kesalahan karena belum terbiasa itu biasa. Yang tidak biasa itu adalah ketika terus membuat kesalahan. Menjadi junior berarti menjadi dia yang akan banyak melakukan kesalahan. Itu wajar saja, salah itu manusiawi. Menjadi wajar pula ketika seorang senior menegur atau memarahi juniornya yang berbuat salah. Hukuman juga tak jarang diberikan. Yang paling sering adalah omelan. Namun tidak wajar ketika hukuman tersebut berlebihan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dan pagar yang telah ada. Ini juga menyangkut cara yang diberlakukan dalam prosesnya. Harus ada jalur dalam setiap kegiatan yang dilakukan dan menjadi koridor yang harus menjadi pembatas kekuasaan dari seorang senior.

Seorang anggota PASKIBRA akan dihukum dengan push up ketika melakukan kesalahan. Itu wajar karena memang cara yang digunakan diadaptasi dari cara militer yang menggunakan unsur fisik. Namun akan menjadi keluar dari jalurnya ketika diminta bugil di depan seniornya. Nilai mana yang ingin dicapai? Apakah hanya menjadi ajang untuk menunjukkan betapa berkuasanya seorang senior? Seorang senior harus tahu betul koridornya sebagai seorang senior dalam bertindak. Sama juga halnya seperti seorang pegawai yang banyak menyuruh-nyuruh pegawai baru. Beda urusannya jika yang menyuruh itu adalah seorang atasan yang memang memiliki hak dan koridor yang jelas dalam haknya untuk menyuruh.

Budaya senioritas memang akan terus bertahan di Indonesia. Yang menyedihkan adalah ketika budaya tersebut menjadi tidak berguna ketika tidak ada nilai yang bisa diambil oleh seorang junior selain kesenangan-kesenangan memerintah junior. Seorang junior nantinya hanya akan bertujuan untuk melakukan aksi balas dendam ke juniornya kelak ketika hanya sakit hati yang membekas dari masa-masanya sebagai junior. Senioritas kemudian bisa menjadi salah satu budaya buruk yang selalu ada di negara ini.

Menjadi seorang senior bukan berarti menjadi lebih hebat dibanding juniornya. Itu yang kerap kali menjadi salah tafsir di kebanyakan orang. Yang membedakan senior dan junior bukanlah masalah kualitas atau usia melainkan masalah pengalaman. Tak ada kelebihan lain dari seorang senior atas junior selain hal itu. Seorang senior hanya berarti sudah lebih dulu melakukan atau mengalami masa atau sesuatu yang belum dirasakan atau dialami seorang junior. Ketika seorang junior sudah mengalami pengalaman atau mendapat pengetahuan yang sama dengan seniornya maka mereka menjadi setara. Tak jarang seorang senior lupa akan hal itu dan terus saja berkutat dengan kebanggaan semu yang tidak ada artinya.

Karena pengalaman adalah hal utama maka menjadi penting untuk menjadi seorang senior yang tahu banyak dan bisa banyak dalam lingkup batasan dengan juniornya. Seperti yang telah saya utarakan di atas, senioritas bukan masalah usia. Bukan berarti seorang yang lebih tua lebih kaya pengalamannya. Pengalaman hanya bisa menjadi kaya ketika banyak yang telah dilakukan. Sehingga menjadi percuma untuk bangga menjadi seorang senior ketika kosong akan pengalaman. Kepribadian seorang senior memegang peran penting disini. Karena menjadi seorang senior berarti kita bertindak sebagai seorang figur yang akan dicontoh. Budaya yang buruk akan dengan mudah dimulai ketika seorang senior menunjukkan hal itu kepada juniornyayang akan dengan mudah patuh kepadanya.

Kesombongan seorang senior harus dibatasi. Mereka yang baru dalam sebuah lingkungan adalah mereka yang bisa dengan lebih bebas dalam memandang lingkungannya. Itu yang sebenarnya harus dimanfaatkan oleh senior untuk kemajuan lingkungannya. Junior bisa menjadi orang yang memberikan solusi yang fresh dalam sebuah masalah. Sekali lagi, junior dan senior itu bukanlah masalah kualitas. Sehingga menjadi bodoh ketika seorang senior mendiskreditkan pandangan seorang junior hanya karena ia seorang junior. Dan menjadi bodoh pula ketika seorang junior hanya bisa menyantap pandangan dan kebiasaan seniornya secara mentah-mentah. Kalau demikian adanya, seorang junior hanya akan menjadi robot yang tidak bisa berpikir kreatif dengan kemampuan diri sendiri. Senior tak selalu benar, dan junior pun tak selalu salah.

Seperti juga yang terjadi dalam pemerintahan negara kita. Jarang generasi muda yang bisa tampil di atas. Hampir semuanya adalah generasi tua. Calon presiden apalagi. Hanya orang-orang lama yang itu-itu saja. Yang muda seperti tidak seharusnya mendapatkan tempat yang strategis dalam pemerintahan. Padahal diperlukan pandangan generasi muda yang lebih fresh dan sudah bersahabat dengan era sekarang dibandingkan generasi tua yang masih membawa pandangan-pandangan kuno dan kepentingan politis pribadi. Perlu adanya penyerapan dan kaderisasi yang lebih baik agar bisa lebih banyak generasi muda yang mendapatkan jatah untuk memimpin.

Terlepas dari hal itu, seorang junior sudah sepatutnya belajar dari seniornya. Yang baik tirulah, dan yang buruk rubahlah kalau bisa. Seorang junior juga tak bisa mentulikan diri dari ucapan seniornya. Meski tak bisa dibedakan secara kualitas, namun junior tetap harus belajar dari pengalaman yang sudah dikecap oleh seniornya. Ketika tidak belajar maka junior tersebut hanya akan menjadi seseorang yang sok tahu dan semaunya sendiri. Tetap ada budaya yang harus dipelajari dari seorang senior untuk bisa bertahan di sebuah lingkungan.

Sesungguhnya senioritas juga memiliki nilai positif di dalamnya. Menghormati orang yang lebih tua sudah menjadi nilai yang dijunjung bangsa ini dan budaya senioritas menjadi salah satu penguatnya. Seseorang akan terbiasa menghormati seniornya karena telah melewati beberapa masa ospek dalam hidupnya. Dimulai dengan tekanan dan paksaan, kemudian akan menjadi kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Jadi, apakah senioritas itu baik? Bagaimanapun juga ini hanya opini saya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar