Mana yang lebih menyenangkan, menjadi seorang
junior atau seorang senior? Ketika anda dalam posisi junior mungkin mimpi
terdekat yang ingin anda capai adalah menjadi seorang senior agar bisa
merasakan memperlakukan junior seperti yang anda rasakan saat menjadi junior. Namun
tak jarang seorang senior akan berkata bahwa masa menjadi seorang junior adalah
masa yang menyenangkan yang tak jarang ingin sekali untuk diulang. Senioritas
itu tidak hanya terjadi dalam lingkup sekolah atau kuliah, namun juga dalam lingkungan
pekerjaan seperti di kantor dan berbagai tempat kita bersosialisasi lainnya.
Seperti dalam sebuah perguruan bela diri. Seorang
senior dengan sabuk yang lebih tinggi akan dengan sendirinya memiliki wibawa
akan kekuatan dan kehandalan yang dirasa dimilikinya lebih dibanding dengan
juniornya. Dari sudut seorang junior, senior dengan sabuk yang berlevel tinggi
akan terlihat begitu menakutkan. Terlebih ketika ia harus melakukan fight dengan salah satu senior. Bukan masalah
tinggi dari sabuknya, melainkan nyali yang berbeda jauh dengan si senior yang
tentu memiliki jam terbang lebih tinggi. Hanya sedikit dari mereka yang berani
untuk melakukan fight dengan
sungguh-sungguh dan berhasil bertarung dengan baik, apapun hasilnya.
Itu tadi kalau di perguruan bela diri. Kalau di
kantor, senioritas akan kental dengan urusan nyuruh-menyuruh. Pegawai baru yang masih muda akan kerap
mendapatkan tugas yang ringan namun berat seperti mem-fotocopy berkas yang bertumpuk-tumpuk atau sekedar mengetik bahan
yang berhalaman-halaman. Pekerjaan yang mengandalkan otak akan cenderung
sedikit. Akan lebih menderita ketika harus memiliki senior atau atasan yang
memang memegang prinsip senioritas yang tinggi. Anda bisa terus menjadi pesuruh
sampai waktu yang cukup lama atau sampai ada pegawai baru yang bisa anda suruh.
Itulah senioritas. Senior akan cenderung
jumawa di depan para juniornya. Seorang junior akan terlihat seperti orang yang
tidak tahu apa-apa dan menjadi sasaran untuk disuruh, dimarahi, atau paling
tidak menjadi sasaran menunjukkan kepintaran dan kebolehan. Sehingga bisa
dikatakan dalam posisi menjadi seorang senior itu begitu menyenangkan, bukan?
Budaya dunia pendidikan kita memang
membudayakan senioritas itu. Ospek di SMP, SMA, dan Universitas menciptakan
budaya itu di tengah masyarakat. Masa orientasi menjadi sebuah momok dalam
dunia pendidikan. Seorang anak SMP akan begitu girang ketika mendapat
pengumuman bahwa diterima di SMA impiannya, namun akan segera ciut ketika harus
membayangkan amukan senior SMA di masa orientasi nanti. Tak jauh berbeda saat
masuk dunia perkuliahan. Kegirangan masuk dunia baru menjadi sedikit tergerus
dengan rasa takut untuk mengikuti ospek, yang memang telah ter-setting di otak kita dengan gambaran yang menyeramkan
dan tentu penuh dengan teriakan-teriakan.
Lalu, apakah masa orientasi seperti itu
buruk? Apakah senioritas itu seharusnya diharamkan? Dalam menjawab hal tersebut
kita harus bisa memilah antara perasaan kita saat menjadi junior dan
objektivitas dalam memandang hal tersebut.
Ketika seorang junior bertanya pada seniornya
di kampus apakah ospek itu penting atau tidak maka sang senior wajarnya berkata
bahwa itu penting. Apalagi jika ditanyakan dalam masa orientasi. Sebuah pertanyaan
retoris. Tentu ospek memiliki sisi positif. Masalahnya disini adalah apakah
seorang senior bisa memaknai nilai positif itu atau tidak dan mentransferkan
nilai tersebut kepada juniornya. Ketika seorang senior tidak bisa memaknainya
dengan benar dan hanya menganggap acara tersebut sebuah ajang seru-seruan dan
balas dendam semata, maka di titik itulah ospek itu bisa dikatakan tidak
penting, sangat tidak penting.
Hal yang paling merugikan bagi mereka yang
tidak mengikuti rangkaian kegiatan ospek adalah bahwa mereka kehilangan cerita.
Sebuah rangkaian ospek yang menyeramkan itu pada waktunya akan menjadi
pengalaman yang tidak terlupakan bagi mereka yang menderita di dalamnya. Bahkan
tak jarang di masa SMA salah satu kegiatan yang paling diingat adalah kegiatan
ospeknya begitu juga di masa kuliah. Bersama dengan teman seangkatan menjalani penderitaan
bersama tentu akan menjadi sebuah kenangan indah (pada waktunya). Cerita-cerita
akan bertumpuk di kegiatan-kegiatan ospek dan menjadi selalu seru untuk
dikenang. Mereka yang tidak ikut akan kehilangan masa itu.
Masa ospek juga merupakan masa transfer
budaya. Selain cerita yang bisa dilewatkan, seseorang yang tidak mengikuti
rangkaian ospek akan kehilangan informasi tentang budaya pergaulan di
lingkungan sekolah atau kampusnya, atau setidaknya akan butuh waktu lebih lama
untuk beradaptasi. Untuk dunia pekerjaan masa transfer budaya itu akan
berlangsung di bulan-bulan awal. Seperti yang terjadi dalam restoran-restoran. Pegawai
baru atau yang masih magang akan mengalami hari-hari terpanjang dalam hidupnya
ketika masuk kerja. Bukan karena pekerjaan yang berat, melainkan karena omelan-omelan
dari senior dan trainer mereka. Disuruh mencuci piring yang bertumpuk-tumpuk,
berulang kali diomeli karena kesalahan-kesalahan kecil, harus terus berfokus
dan minim bercanda, dan berbagai tantangan lainnya. Mereka yang tidak kuat
mental akan dengan mudah keluar dan berhenti, dan bisa dipastikan dia akan
kesulitan betah bekerja di suatu tempat karena budaya seperti itu sudah
mengakar dimana-mana.
Kesalahan karena belum terbiasa itu biasa. Yang
tidak biasa itu adalah ketika terus membuat kesalahan. Menjadi junior berarti
menjadi dia yang akan banyak melakukan kesalahan. Itu wajar saja, salah itu
manusiawi. Menjadi wajar pula ketika seorang senior menegur atau memarahi
juniornya yang berbuat salah. Hukuman juga tak jarang diberikan. Yang paling
sering adalah omelan. Namun tidak wajar ketika hukuman tersebut berlebihan dan
tidak sesuai dengan nilai-nilai dan pagar yang telah ada. Ini juga menyangkut
cara yang diberlakukan dalam prosesnya. Harus ada jalur dalam setiap kegiatan
yang dilakukan dan menjadi koridor yang harus menjadi pembatas kekuasaan dari
seorang senior.
Seorang anggota PASKIBRA akan dihukum dengan push up ketika melakukan kesalahan. Itu wajar
karena memang cara yang digunakan diadaptasi dari cara militer yang menggunakan
unsur fisik. Namun akan menjadi keluar dari jalurnya ketika diminta bugil di
depan seniornya. Nilai mana yang ingin dicapai? Apakah hanya menjadi ajang
untuk menunjukkan betapa berkuasanya seorang senior? Seorang senior harus tahu
betul koridornya sebagai seorang senior dalam bertindak. Sama juga halnya
seperti seorang pegawai yang banyak menyuruh-nyuruh pegawai baru. Beda urusannya
jika yang menyuruh itu adalah seorang atasan yang memang memiliki hak dan
koridor yang jelas dalam haknya untuk menyuruh.
Budaya senioritas memang akan terus bertahan
di Indonesia. Yang menyedihkan adalah ketika budaya tersebut menjadi tidak
berguna ketika tidak ada nilai yang bisa diambil oleh seorang junior selain
kesenangan-kesenangan memerintah junior. Seorang junior nantinya hanya akan
bertujuan untuk melakukan aksi balas dendam ke juniornya kelak ketika hanya
sakit hati yang membekas dari masa-masanya sebagai junior. Senioritas kemudian
bisa menjadi salah satu budaya buruk yang selalu ada di negara ini.
Menjadi seorang senior bukan berarti menjadi
lebih hebat dibanding juniornya. Itu yang kerap kali menjadi salah tafsir di
kebanyakan orang. Yang membedakan senior dan junior bukanlah masalah kualitas
atau usia melainkan masalah pengalaman. Tak ada kelebihan lain dari seorang
senior atas junior selain hal itu. Seorang senior hanya berarti sudah lebih
dulu melakukan atau mengalami masa atau sesuatu yang belum dirasakan atau
dialami seorang junior. Ketika seorang junior sudah mengalami pengalaman atau
mendapat pengetahuan yang sama dengan seniornya maka mereka menjadi setara. Tak
jarang seorang senior lupa akan hal itu dan terus saja berkutat dengan
kebanggaan semu yang tidak ada artinya.
Karena pengalaman adalah hal utama maka
menjadi penting untuk menjadi seorang senior yang tahu banyak dan bisa banyak
dalam lingkup batasan dengan juniornya. Seperti yang telah saya utarakan di
atas, senioritas bukan masalah usia. Bukan berarti seorang yang lebih tua lebih
kaya pengalamannya. Pengalaman hanya bisa menjadi kaya ketika banyak yang telah
dilakukan. Sehingga menjadi percuma untuk bangga menjadi seorang senior ketika
kosong akan pengalaman. Kepribadian seorang senior memegang peran penting
disini. Karena menjadi seorang senior berarti kita bertindak sebagai seorang
figur yang akan dicontoh. Budaya yang buruk akan dengan mudah dimulai ketika
seorang senior menunjukkan hal itu kepada juniornyayang akan dengan mudah patuh
kepadanya.
Kesombongan seorang senior harus dibatasi. Mereka
yang baru dalam sebuah lingkungan adalah mereka yang bisa dengan lebih bebas
dalam memandang lingkungannya. Itu yang sebenarnya harus dimanfaatkan oleh
senior untuk kemajuan lingkungannya. Junior bisa menjadi orang yang memberikan
solusi yang fresh dalam sebuah
masalah. Sekali lagi, junior dan senior itu bukanlah masalah kualitas. Sehingga
menjadi bodoh ketika seorang senior mendiskreditkan pandangan seorang junior hanya
karena ia seorang junior. Dan menjadi bodoh pula ketika seorang junior hanya
bisa menyantap pandangan dan kebiasaan seniornya secara mentah-mentah. Kalau demikian
adanya, seorang junior hanya akan menjadi robot yang tidak bisa berpikir
kreatif dengan kemampuan diri sendiri. Senior tak selalu benar, dan junior pun
tak selalu salah.
Seperti juga yang terjadi dalam pemerintahan
negara kita. Jarang generasi muda yang bisa tampil di atas. Hampir semuanya
adalah generasi tua. Calon presiden apalagi. Hanya orang-orang lama yang
itu-itu saja. Yang muda seperti tidak seharusnya mendapatkan tempat yang
strategis dalam pemerintahan. Padahal diperlukan pandangan generasi muda yang
lebih fresh dan sudah bersahabat
dengan era sekarang dibandingkan generasi tua yang masih membawa
pandangan-pandangan kuno dan kepentingan politis pribadi. Perlu adanya
penyerapan dan kaderisasi yang lebih baik agar bisa lebih banyak generasi muda
yang mendapatkan jatah untuk memimpin.
Terlepas dari hal itu, seorang junior sudah
sepatutnya belajar dari seniornya. Yang baik tirulah, dan yang buruk rubahlah
kalau bisa. Seorang junior juga tak bisa mentulikan diri dari ucapan seniornya.
Meski tak bisa dibedakan secara kualitas, namun junior tetap harus belajar dari
pengalaman yang sudah dikecap oleh seniornya. Ketika tidak belajar maka junior
tersebut hanya akan menjadi seseorang yang sok tahu dan semaunya sendiri. Tetap
ada budaya yang harus dipelajari dari seorang senior untuk bisa bertahan di
sebuah lingkungan.
Sesungguhnya senioritas juga memiliki nilai
positif di dalamnya. Menghormati orang yang lebih tua sudah menjadi nilai yang
dijunjung bangsa ini dan budaya senioritas menjadi salah satu penguatnya. Seseorang
akan terbiasa menghormati seniornya karena telah melewati beberapa masa ospek
dalam hidupnya. Dimulai dengan tekanan dan paksaan, kemudian akan menjadi
kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Jadi, apakah senioritas itu baik?
Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar