Sebuah Cerpen
T
|
ak ada kata
yang terucap. Nafas tak berhenti terengap-engap. Mata terus menjurus searah. Jemari
mulai bergetar sesekali. Otot leher menjadi kaku karenanya. Hanya 10 meter
jaraknya. Sebuah teriakan kecil tampaknya cukup untuk memalingkan dirinya. Aku duduk
disini, di sofa tak jauh darinya.
Pundaknya lebar. Begitu jelas
bagian punggung terpampang di depan mataku. Putih, halus. Bisa dibilang
terawat, mungkin juga tidak. Mungkin saja itu adalah karunia alam yang entah
kenapa memilihnya memiliki punggung seindah dirinya. Hanya bagian belakangnya
saja. Entah kenapa seperti sudah lama kukenali keindahannya. Seperti sudah
dekat kehalusannya. Jemari ini mulai bertanya satu sama lain, siapakah dia?
Rambutnya
terurai ke samping. Liukan membentuk keriting terurai indah. Tertidur di salah
satu sisi pundaknya yang halus. Cukup kulihat saja sekilas, kudapati betapa
wangi rambut itu. Berkilau tertembak cahaya. Indah. Entah kenapa aku menyukai
seorang wanita memiringkan rambutnya ke salah satu sisi saja. Membiarkannya jatuh
di salah satu sisi dada. Membiarkan leher bagian belakang memancarkan sisi
eksotis seorang wanita. Pancaran keanggunan menampar-nampar wajahku yang tak
berhentinya menjadi kaku.
Kuseruput lagi Root Beer di
sampingku. Kutelan pelan-pelan cairan penuh soda itu. Kukecap baik-baik rasa
manis yang tertinggal di lidahku. Kupandangi lagi sosok indah di depanku, tak
jauh di depanku. Ia masih berdiri disana. Entah menunggu apa. Menunggu aku kah?
Atau menunggu pejantan lain yang memang telah merantainya. Ingin aku berduel
dengan lelaki itu. Ingin kuhujat keberuntungannya. Ingin kumaki keegoisannya. Karya
alam terindah, kenapa harus dimilikinya?
Wanita itu mengenakan gaun. Kutebak
bukanlah barang murahan. Kutebak bukanlah barang obralan. Warnanya abu-abu. Mungkin
lebih tepat perak atau silver disebutnya. Warnanya penuh kilauan. Terdapat hiasan-hiasan
dari manik-manik yang berkilau di bagian pinggangnya. Gaun itu bermodel yang
disebut para wanita dengan model backless.
Membiarkan bagian belakang seorang wanita dipajang keindahannya. Membiarkan setiap
pria tak bisa menahan lehernya untuk menoleh barang sedetik. Ia tidak juga
menengok ke arahku. Hanya gaun indahnya yang terus menemani mataku.
Hanya telinga kanannya yang
terlihat olehku. Ada anting dengan ukuran cukup menonjol menggantung di daun
telinganya. Warnya kuning keemasan. Sesekali ia menengok sedikit ke kanan. Kudapati
sedikit potongan wajahnya. Namun hanya sesaat. Kembali ia hanya membiarkan
bagian belakang kepalanya yang berjumpa dengan tatapan mataku.
Jam tangan digital-ku menunjuk
pukul 07.41 malam. Layar laptop masih menyala di depanku. Namun tak cukup
tinggi untuk menghalangi pandanganku ke arahnya. Gelas Root Bear di sampingku
masih menyisakan setengah isinya. Kulihat telefon genggamku, tak ada sms masuk.
Orang-orang berlalu-lalang di samping kananku. Obrolan remaja di meja sampingku
tampak sangat seru. Suara musik yang menggema bercampur aduk dengan percakapan
mereka. Kebisingan itu cukup membuat seorang pendiam ingin pergi dari tempat
itu. Tapi aku tidak. Keindahan 10 meter di depanku menjadi lem yang membuatku
nyaman di sofa ini.
Aku memalingkan sebentar diriku
ke layar laptop. Kuketik lagi makalah yang harus aku selesaikan. Tak sampai
kuketik habis dua kalimat, seseorang dengan sepatu hak dan stoking hitam telah
berdiri di samping kananku.
“Disini toh rupanya...hufft.”
“Eh kamu haha.”
Wanita yang berdiri 10 meter di
depanku telah lenyap. Yang ada hanya dia, di sampingku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar