Minggu, 21 April 2013

SEPULUH METER


Sebuah Cerpen

T
ak ada kata yang terucap. Nafas tak berhenti terengap-engap. Mata terus menjurus searah. Jemari mulai bergetar sesekali. Otot leher menjadi kaku karenanya. Hanya 10 meter jaraknya. Sebuah teriakan kecil tampaknya cukup untuk memalingkan dirinya. Aku duduk disini, di sofa tak jauh darinya.

                Pundaknya lebar. Begitu jelas bagian punggung terpampang di depan mataku. Putih, halus. Bisa dibilang terawat, mungkin juga tidak. Mungkin saja itu adalah karunia alam yang entah kenapa memilihnya memiliki punggung seindah dirinya. Hanya bagian belakangnya saja. Entah kenapa seperti sudah lama kukenali keindahannya. Seperti sudah dekat kehalusannya. Jemari ini mulai bertanya satu sama lain, siapakah dia?


                  Rambutnya terurai ke samping. Liukan membentuk keriting terurai indah. Tertidur di salah satu sisi pundaknya yang halus. Cukup kulihat saja sekilas, kudapati betapa wangi rambut itu. Berkilau tertembak cahaya. Indah. Entah kenapa aku menyukai seorang wanita memiringkan rambutnya ke salah satu sisi saja. Membiarkannya jatuh di salah satu sisi dada. Membiarkan leher bagian belakang memancarkan sisi eksotis seorang wanita. Pancaran keanggunan menampar-nampar wajahku yang tak berhentinya menjadi kaku.

                Kuseruput lagi Root Beer di sampingku. Kutelan pelan-pelan cairan penuh soda itu. Kukecap baik-baik rasa manis yang tertinggal di lidahku. Kupandangi lagi sosok indah di depanku, tak jauh di depanku. Ia masih berdiri disana. Entah menunggu apa. Menunggu aku kah? Atau menunggu pejantan lain yang memang telah merantainya. Ingin aku berduel dengan lelaki itu. Ingin kuhujat keberuntungannya. Ingin kumaki keegoisannya. Karya alam terindah, kenapa harus dimilikinya?

                Wanita itu mengenakan gaun. Kutebak bukanlah barang murahan. Kutebak bukanlah barang obralan. Warnanya abu-abu. Mungkin lebih tepat perak atau silver disebutnya. Warnanya penuh kilauan. Terdapat hiasan-hiasan dari manik-manik yang berkilau di bagian pinggangnya. Gaun itu bermodel yang disebut para wanita dengan model backless. Membiarkan bagian belakang seorang wanita dipajang keindahannya. Membiarkan setiap pria tak bisa menahan lehernya untuk menoleh barang sedetik. Ia tidak juga menengok ke arahku. Hanya gaun indahnya yang terus menemani mataku.

                Hanya telinga kanannya yang terlihat olehku. Ada anting dengan ukuran cukup menonjol menggantung di daun telinganya. Warnya kuning keemasan. Sesekali ia menengok sedikit ke kanan. Kudapati sedikit potongan wajahnya. Namun hanya sesaat. Kembali ia hanya membiarkan bagian belakang kepalanya yang berjumpa dengan tatapan mataku.

                Jam tangan digital-ku menunjuk pukul 07.41 malam. Layar laptop masih menyala di depanku. Namun tak cukup tinggi untuk menghalangi pandanganku ke arahnya. Gelas Root Bear di sampingku masih menyisakan setengah isinya. Kulihat telefon genggamku, tak ada sms masuk. Orang-orang berlalu-lalang di samping kananku. Obrolan remaja di meja sampingku tampak sangat seru. Suara musik yang menggema bercampur aduk dengan percakapan mereka. Kebisingan itu cukup membuat seorang pendiam ingin pergi dari tempat itu. Tapi aku tidak. Keindahan 10 meter di depanku menjadi lem yang membuatku nyaman di sofa ini.

                Aku memalingkan sebentar diriku ke layar laptop. Kuketik lagi makalah yang harus aku selesaikan. Tak sampai kuketik habis dua kalimat, seseorang dengan sepatu hak dan stoking hitam telah berdiri di samping kananku.

                “Disini toh rupanya...hufft.”

                “Eh kamu haha.”

                Wanita yang berdiri 10 meter di depanku telah lenyap. Yang ada hanya dia, di sampingku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar