Selasa, 07 Mei 2013

MENYONTEK BUKAN KEWAJARAN


Permasalahan Ujian Nasional (UN) seperti sebuah dongeng yang akan terus diceritakan di setiap tahunnya. Pergantian kepemimpinan di atas tak kunjung memberikan solusi maupun perubahan terhadap permasalahan UN. Orang-orang bertanya apakah UN itu masih diperlukan untuk menguji kompetensi anak-anak Indonesia atau persamaan standar kompetensi dari seluruh pelajar di Indonesia ataukah memang sudah saatnya UN di Indonesia ditiadakan. Namun sebelum kita sampai pada menjawab pertanyaan itu saya ingin mengajak Anda untuk mengintip sedikit budaya menyontek yang ternyata paralel terhadap boroknya pelaksanaan UN di Indonesia.

             Menyontek adalah salah satu perbuatan mencuri yang dilakukan oleh manusia. Namun yang dicuri bukanlah barang riil melainkan sebuah pemikiran yang dalam konteks pendidikan telah dituangkan ke dalam jawaban-jawaban. Menyontek adalah jalan tol untuk mendapatkan nilai yang baik atau mungkin setidaknya bisa lolos dari standar nilai yang diperlukan untuk lulus. Dari sisi ini bisa dikatakan bahwa orang yang menyontek cenderung mengedepankan hasil yang dicapainya nanti dibanding proses dirinya belajar dan mencari ilmu dari materi pelajaran yang dihadapinya.


           Namun pola pendidikan kita memang mengarahkan peserta didik untuk mengacu pada hasil akhir. Penilaian proses cenderung dilupakan. Hanya hasil nilai akhir yang terlihat di Ulangan atau tugas-tugas dengan bobot tinggi yang dianggap bernilai. Proses di anak dalam belajar dan usahanya belajar cenderung tidak diapresiasi. Pendidikan pun pada akhirnya hanyalah ajang mendapatkan nilai bagus. Terjadi diskredit dari nilai pendidikan dimana seharusnya yang dikejar dari seorang siswa adalah ilmu. Namun ternyata angka lebih penting dari wawasan atau pengetahuan.

         Ketika sistem penilaian berlangsung demikian ini akan menekan para siswa yang ingin mendapatkan nilai yang baik. Ketika proses tidak dihargai maka orang-orang yang malas akan mengejar hasil akhir dengan menyontek. Dan saat yang menyontek mendapatkan nilai lebih baik dibandingkan mereka yang bertindak jujur maka itu akan memberikan tantangan pada si jujur untuk menahan godaan tidak menyontek di ujian selanjutnya. Ini adalah hal umum kita ketahui dan menjadi buruk ketika kita biarkan terus terjadi. Namun melawan sifat dan sikap demikian adalah hal naif jika dilakukan hanya seorang diri. Sama saja dengan kita ingin memerangi narkoba ketika kita hidup di lingkungan yang banyak teman kita sendiri yang menjadi pemakainya.

      Untuk memerangi hal ini sebenarnya bisa lewat sistem yang dijalankan dengan benar. Tidak cukup sampai benar saja melainkan harus tegas dan konsisten. Salah satu contoh yang paling bisa kita jadikan acuan adalah sistem yang dijalankan di sekolah SMA Kanisius Jakarta. Di SMA tersebut setiap siswa yang tertangkap menyontek akan dikeluarkan dari sekolah. Tidak hanya untuk ulangan semester atau pun tengah semester melainkan juga untuk ulangan harian juga. Bisa dibayangkan konsekuensi yang sangat tinggi untuk seseorang yang berani menyontek. Siswanya harus dihadapkan pada hukuman terberat yakni dikeluarkan dari sekolah. Setiap siswa yang tertangkap dengan tegas dikeluarkan dari sekolah tanpa kompromi. Ini menunjukkan ketegasan dan konsistensi dari sekolah untuk mendidik siswanya.

     Ini dilakukan sekolah tersebut hingga kini. Konsistensinya bisa diuji setiap tahunnya. Efeknya pun sangat jelas. Siswanya menjadi terbiasa untuk mendapatkan nilai dari jerih payah sendiri. Sejelek apa pun nilainya siswa harus menerimanya dan berusaha memperbaikinya di kesempatan kedua. Yang terpenting adalah siswa harus bisa berusaha dengan usaha sendiri. Karena esensi dari ujian adalah menguji apa yang telah dipelajari sebelumnya. Disinilah letak proses itu harus diperhatikan. Dan sistemlah yang bisa mengontrolnya. Unsur represif itu perlu jika memang ingin menelurkan peserta didik yang memang tangguh dan memiliki kualitas yang baik. Mereka yang telah menjadi alumni dari sekolah tersebut telah terinternalisasi bahwa menyontek adalah hal yang sangat haram. Di perkuliahan dan tingkat selanjutnya mereka bisa tetap membawa nilai yang telah ia anut di sekolahnya.

         Dari sekolah tersebut kita bisa melihat bahwa betapa sistem yang dijalankan dengan baik sebenarnya bisa merubah kebiasaan buruk yang terjadi di sistem belajar siswa. Namun yang terjadi di lingkup Indonesia, tidak semuanya demikian. Menyontek seperti sebuah hal biasa yang memang sewajarnya terjadi di tingkat pendidikan dasar, menengah, atas, bahkan tinggi. Ketika seorang siswa diberikan keleluasaan untuk itu dari jenjang-jenjang awal maka ia akan melanjutkannya di jenjang selanjutnya.

     Permasalahan di UN sebenarnya kebanyakan berpangkal dari akar yang sama, yakni menyontek. Siswa telah tergantung dengan contekan untuk menghadapi ujian. Sehingga dari ketergantungan tersebut timbul celah untuk mendapatkan keuntungan seperti penjualan kunci jawaban. Bisnis yang tidak mendidik ini sangat menyedihkan terjadi di negara Indonesia. Banyak pelajar yang mencari jalan pintas termanjakan dengan ketenangan dari para penjual kunci jawaban.

       Ini diperparah ketika guru bahkan sekolah terlibat dalam membantu siswa mendapatkan jalan pintas mereka mendapatkan nilai yang baik. Sistem di sekolah sendiri yang membantu siswa menjalankan aksi menyontek. Salah satu yang saya rasa sangat parah adalah terjadi di tingkat SD. Dilaporkan oleh Koran Tempo 06/05/13 sebuah sekolah di Jakarta Pusat membentuk tim sukses untuk UN bagi siswanya. Bahkan tim sukses ini tidak hanya terjadi di satu sekolah Tim sukses ini memberikan kunci soal kepada para siswanya dan selanjutnya kertas jawaban mereka diperiksa lagi oleh pihak sekolah sebelum disetor ke rayon. Sangat menyedihkan ketika dari SD siswa telah ‘dibantu’ untuk mendapatkan nilai yang baik di dalam ujian oleh sistem pendidikan di sekolah. Para pengawas UN juga tak jarang menjadi aktor dalam memperjualbelikan bantuan jawaban terhadap peserta ujian. Ketika yang ingin menyontek malah disuapi dengan contekan dan segala kemudahan lainnya oleh sekolah mereka sendiri, apa lagi esensi ujian bagi pendidikan?

        Di samping itu, peringkat sekolah bisa terdongkrak jika siswa-siswanya mendapatkan nilai yang baik saat UN. Menjadi logis ketika sekolah membantu para siswanya mendapatkan nilai yang baik karena dengan demikian peringkat sekolah tersebut bisa naik dan juga popularitasnya pun bisa meningkat. Sehingga dilaksanakannya UN benar-benar harus dikaji ulang. UN malah memberikan slot bagi penyimpangan-penyimpangan yang bisa membahayakan kualitas pendidikan negara kita. Dan ini belum termasuk pelaksanaan yang masih tidak memuaskan dari pemerintah. Mulai dari distribusi soal yang masih saja terhambat bahkan sampai UN tingkat SD , meski padahal seharusnya sudah bisa belajar dari kesalahan UN SMA dan SMP sebelumnya, yang membuat ditundanya hari pelaksanaan ujian. Bayangkan betapa siswa dibuat rugi waktu dan mendapat tekanan psikologis karena harus menunda waktu ujian yang sudah mereka persiapkan sebelumnya.  
               
      Kesan UN yang ada sekarang ini seperti sebuah hal yang sangat menakutkan bagi siswa. Padahal ketakutan tersebut adalah buah dari ketidaksiapan diri sendiri dalam menghadapi ujian. Ketidaksiapan itu ditunjang dari kebiasaan menyontek yang biasa dilakukan di dalam kelas. Dan ketidaksiapan itu memberikan peluang kepada orang-orang yang ingin mencari untung dengan cara menjual kunci jawaban. Ketidaksiapan itu juga yang membuat sekolah sendiri ‘ketakutan’ untuk mempercayakan hasil ujian para siswa dengan jerih payah mereka sendiri. Dan teman dari ketidaksiapan itu tadi tak lain adalah rasa malas.

Apakah itu semua kondisi yang memprihatinkan? Pertanyaan itu perlu dijawab dengan berkaca dari diri sendiri. Yang mendapatkan manfaat dari proses belajar adalah diri kita sendiri. Seorang mahasiswa yang mempersiapkan contekan di kelas saat ujian atau meminta jawaban dari teman di sampingnya adalah produk-produk dari sistem belajar yang tidak baik di jenjang sebelumnya. Dan pemandangan semacam itu sudah sering terlihat. Ini adalah masalah yang krusial jika kita ingin meningkatkan kualitas didikan kita. Dan ini sudah harus benar-benar dilakukan dari jenjang yang terendah. Menyontek itu sama sekali bukan kewajaran. Dan kejujuran bukanlah sebuah impian. Namun bagaimanapun juga ini hanya opini saya.
               
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar