Permasalahan Ujian Nasional (UN) seperti
sebuah dongeng yang akan terus diceritakan di setiap tahunnya. Pergantian kepemimpinan
di atas tak kunjung memberikan solusi maupun perubahan terhadap permasalahan
UN. Orang-orang bertanya apakah UN itu masih diperlukan untuk menguji
kompetensi anak-anak Indonesia atau persamaan standar kompetensi dari seluruh
pelajar di Indonesia ataukah memang sudah saatnya UN di Indonesia ditiadakan. Namun
sebelum kita sampai pada menjawab pertanyaan itu saya ingin mengajak Anda untuk
mengintip sedikit budaya menyontek yang ternyata paralel terhadap boroknya
pelaksanaan UN di Indonesia.
Menyontek adalah salah satu
perbuatan mencuri yang dilakukan oleh manusia. Namun yang dicuri bukanlah
barang riil melainkan sebuah pemikiran yang dalam konteks pendidikan telah
dituangkan ke dalam jawaban-jawaban. Menyontek adalah jalan tol untuk
mendapatkan nilai yang baik atau mungkin setidaknya bisa lolos dari standar
nilai yang diperlukan untuk lulus. Dari sisi ini bisa dikatakan bahwa orang
yang menyontek cenderung mengedepankan hasil yang dicapainya nanti dibanding
proses dirinya belajar dan mencari ilmu dari materi pelajaran yang dihadapinya.
Namun pola pendidikan kita
memang mengarahkan peserta didik untuk mengacu pada hasil akhir. Penilaian proses
cenderung dilupakan. Hanya hasil nilai akhir yang terlihat di Ulangan atau
tugas-tugas dengan bobot tinggi yang dianggap bernilai. Proses di anak dalam
belajar dan usahanya belajar cenderung tidak diapresiasi. Pendidikan pun pada
akhirnya hanyalah ajang mendapatkan nilai bagus. Terjadi diskredit dari nilai
pendidikan dimana seharusnya yang dikejar dari seorang siswa adalah ilmu. Namun
ternyata angka lebih penting dari wawasan atau pengetahuan.
Ketika sistem penilaian
berlangsung demikian ini akan menekan para siswa yang ingin mendapatkan nilai
yang baik. Ketika proses tidak dihargai maka orang-orang yang malas akan
mengejar hasil akhir dengan menyontek. Dan saat yang menyontek mendapatkan
nilai lebih baik dibandingkan mereka yang bertindak jujur maka itu akan
memberikan tantangan pada si jujur untuk menahan godaan tidak menyontek di
ujian selanjutnya. Ini adalah hal umum kita ketahui dan menjadi buruk ketika
kita biarkan terus terjadi. Namun melawan sifat dan sikap demikian adalah hal
naif jika dilakukan hanya seorang diri. Sama saja dengan kita ingin memerangi
narkoba ketika kita hidup di lingkungan yang banyak teman kita sendiri yang
menjadi pemakainya.
Untuk memerangi hal ini
sebenarnya bisa lewat sistem yang dijalankan dengan benar. Tidak cukup sampai
benar saja melainkan harus tegas dan konsisten. Salah satu contoh yang paling
bisa kita jadikan acuan adalah sistem yang dijalankan di sekolah SMA Kanisius
Jakarta. Di SMA tersebut setiap siswa yang tertangkap menyontek akan
dikeluarkan dari sekolah. Tidak hanya untuk ulangan semester atau pun tengah
semester melainkan juga untuk ulangan harian juga. Bisa dibayangkan konsekuensi
yang sangat tinggi untuk seseorang yang berani menyontek. Siswanya harus
dihadapkan pada hukuman terberat yakni dikeluarkan dari sekolah. Setiap siswa
yang tertangkap dengan tegas dikeluarkan dari sekolah tanpa kompromi. Ini menunjukkan
ketegasan dan konsistensi dari sekolah untuk mendidik siswanya.
Ini dilakukan sekolah tersebut
hingga kini. Konsistensinya bisa diuji setiap tahunnya. Efeknya pun sangat
jelas. Siswanya menjadi terbiasa untuk mendapatkan nilai dari jerih payah
sendiri. Sejelek apa pun nilainya siswa harus menerimanya dan berusaha
memperbaikinya di kesempatan kedua. Yang terpenting adalah siswa harus bisa
berusaha dengan usaha sendiri. Karena esensi dari ujian adalah menguji apa yang
telah dipelajari sebelumnya. Disinilah letak proses itu harus diperhatikan. Dan
sistemlah yang bisa mengontrolnya. Unsur represif itu perlu jika memang ingin
menelurkan peserta didik yang memang tangguh dan memiliki kualitas yang baik. Mereka
yang telah menjadi alumni dari sekolah tersebut telah terinternalisasi bahwa
menyontek adalah hal yang sangat haram. Di perkuliahan dan tingkat selanjutnya mereka
bisa tetap membawa nilai yang telah ia anut di sekolahnya.
Dari sekolah tersebut kita bisa
melihat bahwa betapa sistem yang dijalankan dengan baik sebenarnya bisa merubah
kebiasaan buruk yang terjadi di sistem belajar siswa. Namun yang terjadi di
lingkup Indonesia, tidak semuanya demikian. Menyontek seperti sebuah hal biasa
yang memang sewajarnya terjadi di tingkat pendidikan dasar, menengah, atas,
bahkan tinggi. Ketika seorang siswa diberikan keleluasaan untuk itu dari
jenjang-jenjang awal maka ia akan melanjutkannya di jenjang selanjutnya.
Permasalahan di UN sebenarnya
kebanyakan berpangkal dari akar yang sama, yakni menyontek. Siswa telah
tergantung dengan contekan untuk menghadapi ujian. Sehingga dari ketergantungan
tersebut timbul celah untuk mendapatkan keuntungan seperti penjualan kunci
jawaban. Bisnis yang tidak mendidik ini sangat menyedihkan terjadi di negara
Indonesia. Banyak pelajar yang mencari jalan pintas termanjakan dengan
ketenangan dari para penjual kunci jawaban.
Ini diperparah ketika guru
bahkan sekolah terlibat dalam membantu siswa mendapatkan jalan pintas mereka
mendapatkan nilai yang baik. Sistem di sekolah sendiri yang membantu siswa
menjalankan aksi menyontek. Salah satu yang saya rasa sangat parah adalah terjadi
di tingkat SD. Dilaporkan oleh Koran Tempo
06/05/13 sebuah sekolah di Jakarta Pusat membentuk tim sukses untuk UN bagi
siswanya. Bahkan tim sukses ini tidak hanya terjadi di satu sekolah Tim sukses
ini memberikan kunci soal kepada para siswanya dan selanjutnya kertas jawaban
mereka diperiksa lagi oleh pihak sekolah sebelum disetor ke rayon. Sangat menyedihkan
ketika dari SD siswa telah ‘dibantu’ untuk mendapatkan nilai yang baik di dalam
ujian oleh sistem pendidikan di sekolah. Para pengawas UN juga tak jarang
menjadi aktor dalam memperjualbelikan bantuan jawaban terhadap peserta ujian. Ketika
yang ingin menyontek malah disuapi dengan contekan dan segala kemudahan lainnya
oleh sekolah mereka sendiri, apa lagi esensi ujian bagi pendidikan?
Di samping itu, peringkat
sekolah bisa terdongkrak jika siswa-siswanya mendapatkan nilai yang baik saat
UN. Menjadi logis ketika sekolah membantu para siswanya mendapatkan nilai yang
baik karena dengan demikian peringkat sekolah tersebut bisa naik dan juga popularitasnya
pun bisa meningkat. Sehingga dilaksanakannya UN benar-benar harus dikaji ulang.
UN malah memberikan slot bagi
penyimpangan-penyimpangan yang bisa membahayakan kualitas pendidikan negara
kita. Dan ini belum termasuk pelaksanaan yang masih tidak memuaskan dari
pemerintah. Mulai dari distribusi soal yang masih saja terhambat bahkan sampai
UN tingkat SD , meski padahal seharusnya sudah bisa belajar dari kesalahan UN
SMA dan SMP sebelumnya, yang membuat ditundanya hari pelaksanaan ujian. Bayangkan
betapa siswa dibuat rugi waktu dan mendapat tekanan psikologis karena harus
menunda waktu ujian yang sudah mereka persiapkan sebelumnya.
Kesan UN yang ada sekarang ini
seperti sebuah hal yang sangat menakutkan bagi siswa. Padahal ketakutan
tersebut adalah buah dari ketidaksiapan diri sendiri dalam menghadapi ujian. Ketidaksiapan
itu ditunjang dari kebiasaan menyontek yang biasa dilakukan di dalam kelas. Dan
ketidaksiapan itu memberikan peluang kepada orang-orang yang ingin mencari
untung dengan cara menjual kunci jawaban. Ketidaksiapan itu juga yang membuat
sekolah sendiri ‘ketakutan’ untuk mempercayakan hasil ujian para siswa dengan
jerih payah mereka sendiri. Dan teman dari ketidaksiapan itu tadi tak lain adalah
rasa malas.
Apakah itu semua kondisi yang memprihatinkan?
Pertanyaan itu perlu dijawab dengan berkaca dari diri sendiri. Yang mendapatkan
manfaat dari proses belajar adalah diri kita sendiri. Seorang mahasiswa yang
mempersiapkan contekan di kelas saat ujian atau meminta jawaban dari teman di
sampingnya adalah produk-produk dari sistem belajar yang tidak baik di jenjang
sebelumnya. Dan pemandangan semacam itu sudah sering terlihat. Ini adalah
masalah yang krusial jika kita ingin meningkatkan kualitas didikan kita. Dan ini
sudah harus benar-benar dilakukan dari jenjang yang terendah. Menyontek itu
sama sekali bukan kewajaran. Dan kejujuran bukanlah sebuah impian. Namun
bagaimanapun juga ini hanya opini saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar