Sabtu, 18 Mei 2013

YANG MUDA YANG BERPOLITIK


Politik adalah hiburan baru dalam beberapa tahun belakangan. Politikus tak ubahnya menjadi artis di layar kaca. Para pengamat pun mendapat ‘jatah’ tampil lebih banyak di acara-acara televisi. Setiap pembicaraan politik menjadi sedemikian menariknya untuk diulas. Entah dengan data dan diulas di dalam sebuah wadah yang besar seperti sebuah seminar atau diskusi, sampai pada perbincangan warung kopi. Perbincangan seputar politik menjadi sebuah bahan pembicaraan yang populer dan anak muda pun turut serta untuk memperbicangkannya.


Terbukanya ranah politik secara luas tidak bisa kita lepaskan dari reformasi tahun 1998. Pers dibebaskan untuk bersuara, para pegiat politik membangun kekuatan-kekuatan baru dengan membuat partai-partai, mahasiswa lebih berani untuk berteriak. Ada harapan besar untuk terciptanya sebuah perubahan ke arah yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan bangsa. Dan di luar itu, masyarakat menjadi demam politik.

Terbukanya pers saat ini sangat berhubungan erat dengan pergerakan mahasiswa periode setelah reformasi. Mahasiswa dapat dengan lebih mudah mendapatkan informasi mengenai pemerintahan dan isu-isu yang beredar di dalam negeri. Fokus isu bukan saja hanya di dalam kelas yang disampaikan oleh dosen melainkan sudah lebih luas cakupannya. Mahasiswa dapat dengan lebih mandiri mendapatkan informasi dan tak perlu secara sembunyi-bunyi lagi. Kebebasan membuat mahasiswa dapat dengan leluasa melakukan kritik dan kontrol sosial dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Banyak yang berpendapat bahwa gerakan mahasiswa pada tahun 1998 adalah salah satu faktor utama turunnya rezim Soeharto. Pada saat itu aksi mahasiswa menjadi motor penggerak rakyat untuk turut bersama menekan pemerintah. Dan memang demikianlah yang diyakini oleh para pakar politik. Dampak dari peristiwa itu menjadi hal utama yang membuat budaya mahasiswa Indonesia begitu kental hingga saat ini. Setelah masa itu kepercayaan diri mahasiswa menjadi terbentuk dan semakin menjadi-jadi. Mereka dapat lebih lantang dan lebih sering lagi untuk berbicara mewakili rakyat dengan turun ke jalan untuk berdemo. Ada kepercayaan diri dan semacam rasa keranjingan dalam diri para mahasiswa untuk beraksi ke jalan atas nama rakyat. Mahasiswa kemudian dalam banyak kesempatan memposisikan diri sebagai garda terdepan yang membela rakyat.

Namun perkembangan tersebut tidak berjalan secara merata. Makin banyak juga generasi muda yang apolitis. Dimana isu politik menjadi sebuah hal yang tidak terlalu penting untuk dipikirkan dan sikap apatis pun tidak sedikit. Pergerakan mahasiswa hanyalah segelintir dari lingkup mahasiswa yang lebih besar. Dan kontrol terhadap pemerintah hanyalah salah satu fungsi dari peran mahasiswa dalam masyarakat yang keefektifannya masih dipertanyakan.

Untuk segi apolitis yang ada, kita juga harus melihat pada fenomena ekonomi saat ini. Biaya perkuliahan yang tinggi mau tidak mau membuat para mahasiswa harus fokus pada pelajaran mereka di kelas. Batas tahun ajaran yang diberikan untuk kuliah membuat mahasiswa harus terdorong untuk lulus dengan cepat. Dengan lulus cepat maka mahasiswa bisa lebih meringankan beban yang ditanggung oleh orang tua. Selain itu ada juga kebijakan di Universitas Negeri yang membolehkan mahasiswanya untuk lulus tanpa mengambil skripsi. Tentu tawaran itu begitu menggiurkan untuk bisa lulus dengan cepat. Dengan demikian berurusan dengan masalah sosial bisa menjadi tereduksi.

Pendidikan adalah hal yang penting dan harus dicapai setinggi-tingginya. Dengan kita menuntut ilmu dengan maksimal maka pada nantinya kita dapat berguna bagi bangsa dan negara. Di titik inilah mahasiswa harus sadar betul perannya. Menjadi kontrol bagi pemerintah adalah baik adanya, namun jangan juga dilupakan peran untuk menuntut ilmu sebagai mahasiswa. Efek dari hal ini hanya bisa dibuktikan setepas lulus dari universitas masing-masing. Dengan prestasi yang diberikan maka itu adalah salah satu bentuk tanggungjawab kita untuk negara, terutama untuk mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri yang juga menjadi beban tanggungan negara.

Secara umum pasca reformasi, mahasiswa yang biasa berperan dalam aksi-aksi masa adalah dari Universitas Negeri. Hanya sedikit Universitas Swasta yang juga turut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang dikatakan ‘membela rakyat’. Ini bisa kita kaitkan dengan beberapa faktor. Salah satunya adalah bahwa mahasiswa dari Universitas Negeri lebih dekat dengan kewajibannya memakai uang rakyat. Pembiayaan Universitas Negeri sampai dengan saat ini masihlah menggunakan uang rakyat, dan dari sana maka bisa ditarik peran mereka untuk membela rakyat yang sudah dipakai uangnya untuk menyekolahkan mereka. Berbeda dengan Universitas Swasta yang tidak mendapatkan subsidi. Para mahasiswa cenderung jauh dari praktek langsung pergerakan mahasiswa dan fokus pada persoalan kampus masing-masing. Biaya yang dikeluarkan untuk berkuliah di Universitas Negeri dan Universitas Swasta juga menjadi faktor pembeda yang utama. Tentu dengan biaya yang tinggi di Universitas Swasta para mahasiswa tidak lagi punya cukup waktu untuk memikirkan persoalan membela rakyat. Tanggungjawab moral mereka terhadap rakyat tidak bisa dilihat secara langsung seperti pada Universitas Negeri.

Menuntut ilmu setinggi-tingginya dan melek terhadap isu politik bukanlah dua hal yang tidak mungkin untuk dilakukan bersamaan. Di era modern seperti sekarang mahasiswa dapat dengan mudah mengakses informasi politik dari internet, terutama dari social media. Intensifnya penggunaan social media juga melahirkan citizen journalism yang kerap meramaikan pertukaran informasi lewat internet. Dengan adanya citizen journalism tersebut sepatutnya pemuda, dalam hal ini mahasiswa, perlu secara bijak memberikan peran yang positif dalam kontrol terhadap pemerintah. Pertukaran informasi bisa dilakukan dengan cepat begitu juga dengan kritik sosial. Kritik lewat internet adalah salah satu yang paling marak terjadi saat ini. Tak jarang bahkan perang opini terjadi dalam social media.

Yang harus menjadi perhatian adalah informasi di social media masih dangkal. Seringkali kita menyimpulkan apa yang terjadi dengan hanya melihat tweet yang ada di Twitter yang jelas sangatlah singkat. Kita menjadi lupa bahwa dalam sebuah judul berita kita masih harus mengulasnya lagi dengan membaca secara lengkap berita-berita untuk mendapatkan gambaran yang utuh. Kita tidak boleh terjebak dalam judul-judul yang menarik dan terkadang menutupi kebenaran.

Hal tersebut menjadi berbahaya ketika pers di negara kita hanyalah menjadi media belaka. Kita harus merujuk pada UU 40/1999 tentang pers, yang menyebutkan fungsi dari pers itu sendiri. Yang pertama adalah pers berfungsi sebagai lembaga atau pranata sosial yang memenuhi kebutuhan publik akan informasi yang juga melakukan pendidikan, memberi hiburan dan alat kontrol sosial. Yang kedua adalah pers berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Di luar fungsi tersebut Muchlis Hasyim, seorang jurnalis senior, dalam sebuah seminar mengenai pers mengungkapkan bahwa pers juga menjaga akal sehat masyarakat (social virtue). Dan itu hanya bisa terjadi dengan mengikuti hukum-hukum jurnalistik yang ketat dan berorientasi pada persoalan faktual demi tujuannya mencari solusi untuk kepentingan masyarakat luas. Disitulah kita bisa melihat bahwa social media tidak bisa memainkan peran tersebut. Social media hanya merepresentaskan kepentingan perseorangan dan tidak berdasarkan data yang valid. Kita menjadi sering terjebak pada opini-opini umum dan tak jarang bersumber dari akun yang tak jelas asalnya.

Media dan mahasiswa sebenarnya harus bekerjasama untuk bisa meningkatkan budaya menulis di tengah para pemuda. Sudah saatnya kolom-kolom koran tanah air diisi oleh para pemuda. Menulis adalah salah satu sarana efektif untuk menyalurkan pemikiran kita kepada masyarakat, dan media masa memiliki peran untuk memberikan jalan terhadap hal itu.

Mahasiswa bisa berperan lebih lagi. Salah satunya dengan memperbanyak diskusi Dalam hal ini saya lebih menekankan pada diskusi dibanding debat. Itu karena dalam berdebat tujuan kita adalah menang dalam argumentasi dan menjatuhkan lawan kita, sedangkan dalam diskusi kita menekankan pada pengkayaan informasi dari satu orang dan orang lain sehingga kita bisa bersama-sama teredukasi dari pengalaman dan informasi yang dimiliki oleh masing-masing individu.

Budaya diskusi harus ditingkatkan agar kepekaan terhadap isu sosial lebih bisa terbangun. Diskusi persoalan politik bukan menjadi lahan eksklusif para tokoh dewasa saja. Kita generasi muda juga bisa berpartisipasi. Malahan pemikiran seorang pemuda sangat dibutuhkan untuk pembangunan bangsa ke depannya. Adalah salah besar ketika para pemuda dilarang untuk berbicara tentang politik. Menurut analisia berbagai sumber Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi salah satu negara yang memegang kunci perekonomian dunia. Dengan kata lain Indonesia akan menjadi salah satu negara terkuat dan berpengaruh seperti layaknya Amerika Serikat saat ini.

Siapakah mereka yang akan mengisi tampuk kekuasaan pada tahun 2030? Tentu saja para pemuda yang saat ini kira-kira berusia kisaran 20 – 30 tahun. Dengan demikian adalah sudah sepantasnya para pemuda telah bermodalkan pengetahuan tenatang politik dan isu sosial lainnya di negara ini. Para pemuda harus sadar bahwa merekalah yang akan mengisi kekuasaan kelak, kitalah yang akan memimpin Indonesia. Sudah harus dari sekarang kita memodalkan diri kita dengan ilmu masing-masing secara maksimal.

Amerika Serikat telah membuktikan bahwa salah satu cara untuk menjadi negara maju adalah dengan gerakan kelas menengah. Kelas mengenah tentu saja diisi oleh para cendekiawan muda. Begitu juga Indonesia bisa melakukannya dengan jumlah kalangan menengah yag sudah tinggi. Selain pertumbuhan ekonomi kita yang menjadi baik, politik juga bisa lebih baik dari sebelumnya jika kita mau. Para kaum terpelajar harus berani melakukan invasi terhadap birokrasi agar pemerintahan kita diisi oleh para pemuda yang lebih segar dan memiliki pandangan yang baru.

Birokrasi kita sudah terlalu banyak diisi oleh kelompok-kelompok yang ingin meraih kekuasaan dan lawan politik dari masa orde baru. Generasi muda menjadi sebuah solusi dimana tidak memiliki konflik sejarah dari masa orde baru. Dan itu berarti jika kelas menengah yang diisi oleh para pemuda berani melakukan gerakan besar untuk masuk pada jajaran birokrasi maka niscaya akan terjadi perubahan dalam pemerintahan kita. Dengan orang yang baru tanpa kepentingan yang dibawa dari dulu tentu bisa memerintah dengan lebih baik tanpa adanya tujuan poltis individu.

Pemuda adalah harapan bangsa. Namun itu masih harus dibuktikan dengan tindakan nyata para pemuda itu sendiri. Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar