Politik adalah hiburan baru dalam
beberapa tahun belakangan. Politikus tak ubahnya menjadi artis di layar kaca.
Para pengamat pun mendapat ‘jatah’ tampil lebih banyak di acara-acara televisi.
Setiap pembicaraan politik menjadi sedemikian menariknya untuk diulas. Entah
dengan data dan diulas di dalam sebuah wadah yang besar seperti sebuah seminar
atau diskusi, sampai pada perbincangan warung kopi. Perbincangan seputar
politik menjadi sebuah bahan pembicaraan yang populer dan anak muda pun turut
serta untuk memperbicangkannya.
Terbukanya ranah politik secara
luas tidak bisa kita lepaskan dari reformasi tahun 1998. Pers dibebaskan untuk
bersuara, para pegiat politik membangun kekuatan-kekuatan baru dengan membuat
partai-partai, mahasiswa lebih berani untuk berteriak. Ada harapan besar untuk
terciptanya sebuah perubahan ke arah yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat
dan pembangunan bangsa. Dan di luar itu, masyarakat menjadi demam politik.
Terbukanya pers saat ini sangat
berhubungan erat dengan pergerakan mahasiswa periode setelah reformasi.
Mahasiswa dapat dengan lebih mudah mendapatkan informasi mengenai pemerintahan
dan isu-isu yang beredar di dalam negeri. Fokus isu bukan saja hanya di dalam
kelas yang disampaikan oleh dosen melainkan sudah lebih luas cakupannya.
Mahasiswa dapat dengan lebih mandiri mendapatkan informasi dan tak perlu secara
sembunyi-bunyi lagi. Kebebasan membuat mahasiswa dapat dengan leluasa melakukan
kritik dan kontrol sosial dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Banyak yang berpendapat bahwa
gerakan mahasiswa pada tahun 1998 adalah salah satu faktor utama turunnya rezim
Soeharto. Pada saat itu aksi mahasiswa menjadi motor penggerak rakyat untuk
turut bersama menekan pemerintah. Dan memang demikianlah yang diyakini oleh
para pakar politik. Dampak dari peristiwa itu menjadi hal utama yang membuat
budaya mahasiswa Indonesia begitu kental hingga saat ini. Setelah masa itu kepercayaan
diri mahasiswa menjadi terbentuk dan semakin menjadi-jadi. Mereka dapat lebih
lantang dan lebih sering lagi untuk berbicara mewakili rakyat dengan turun ke jalan
untuk berdemo. Ada kepercayaan diri dan semacam rasa keranjingan dalam diri
para mahasiswa untuk beraksi ke jalan atas nama rakyat. Mahasiswa kemudian
dalam banyak kesempatan memposisikan diri sebagai garda terdepan yang membela
rakyat.
Namun perkembangan tersebut tidak
berjalan secara merata. Makin banyak juga generasi muda yang apolitis. Dimana
isu politik menjadi sebuah hal yang tidak terlalu penting untuk dipikirkan dan
sikap apatis pun tidak sedikit. Pergerakan mahasiswa hanyalah segelintir dari
lingkup mahasiswa yang lebih besar. Dan kontrol terhadap pemerintah hanyalah
salah satu fungsi dari peran mahasiswa dalam masyarakat yang keefektifannya
masih dipertanyakan.
Untuk segi apolitis yang ada,
kita juga harus melihat pada fenomena ekonomi saat ini. Biaya perkuliahan yang
tinggi mau tidak mau membuat para mahasiswa harus fokus pada pelajaran mereka
di kelas. Batas tahun ajaran yang diberikan untuk kuliah membuat mahasiswa
harus terdorong untuk lulus dengan cepat. Dengan lulus cepat maka mahasiswa
bisa lebih meringankan beban yang ditanggung oleh orang tua. Selain itu ada
juga kebijakan di Universitas Negeri yang membolehkan mahasiswanya untuk lulus
tanpa mengambil skripsi. Tentu tawaran itu begitu menggiurkan untuk bisa lulus
dengan cepat. Dengan demikian berurusan dengan masalah sosial bisa menjadi
tereduksi.
Pendidikan adalah hal yang
penting dan harus dicapai setinggi-tingginya. Dengan kita menuntut ilmu dengan
maksimal maka pada nantinya kita dapat berguna bagi bangsa dan negara. Di titik
inilah mahasiswa harus sadar betul perannya. Menjadi kontrol bagi pemerintah
adalah baik adanya, namun jangan juga dilupakan peran untuk menuntut ilmu
sebagai mahasiswa. Efek dari hal ini hanya bisa dibuktikan setepas lulus dari
universitas masing-masing. Dengan prestasi yang diberikan maka itu adalah salah
satu bentuk tanggungjawab kita untuk negara, terutama untuk mahasiswa di
Perguruan Tinggi Negeri yang juga menjadi beban tanggungan negara.
Secara umum pasca reformasi,
mahasiswa yang biasa berperan dalam aksi-aksi masa adalah dari Universitas
Negeri. Hanya sedikit Universitas Swasta yang juga turut berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan yang dikatakan ‘membela rakyat’. Ini bisa kita kaitkan dengan
beberapa faktor. Salah satunya adalah bahwa mahasiswa dari Universitas Negeri
lebih dekat dengan kewajibannya memakai uang rakyat. Pembiayaan Universitas
Negeri sampai dengan saat ini masihlah menggunakan uang rakyat, dan dari sana
maka bisa ditarik peran mereka untuk membela rakyat yang sudah dipakai uangnya
untuk menyekolahkan mereka. Berbeda dengan Universitas Swasta yang tidak
mendapatkan subsidi. Para mahasiswa cenderung jauh dari praktek langsung
pergerakan mahasiswa dan fokus pada persoalan kampus masing-masing. Biaya yang
dikeluarkan untuk berkuliah di Universitas Negeri dan Universitas Swasta juga
menjadi faktor pembeda yang utama. Tentu dengan biaya yang tinggi di
Universitas Swasta para mahasiswa tidak lagi punya cukup waktu untuk memikirkan
persoalan membela rakyat. Tanggungjawab moral mereka terhadap rakyat tidak bisa
dilihat secara langsung seperti pada Universitas Negeri.
Menuntut ilmu setinggi-tingginya
dan melek terhadap isu politik bukanlah dua hal yang tidak mungkin untuk
dilakukan bersamaan. Di era modern seperti sekarang mahasiswa dapat dengan
mudah mengakses informasi politik dari internet, terutama dari social media. Intensifnya penggunaan social media juga melahirkan citizen journalism yang kerap meramaikan
pertukaran informasi lewat internet. Dengan adanya citizen journalism tersebut sepatutnya pemuda, dalam hal ini
mahasiswa, perlu secara bijak memberikan peran yang positif dalam kontrol
terhadap pemerintah. Pertukaran informasi bisa dilakukan dengan cepat begitu
juga dengan kritik sosial. Kritik lewat internet adalah salah satu yang paling
marak terjadi saat ini. Tak jarang bahkan perang opini terjadi dalam social media.
Yang harus menjadi perhatian
adalah informasi di social media
masih dangkal. Seringkali kita menyimpulkan apa yang terjadi dengan hanya
melihat tweet yang ada di Twitter
yang jelas sangatlah singkat. Kita menjadi lupa bahwa dalam sebuah judul berita
kita masih harus mengulasnya lagi dengan membaca secara lengkap berita-berita
untuk mendapatkan gambaran yang utuh. Kita tidak boleh terjebak dalam
judul-judul yang menarik dan terkadang menutupi kebenaran.
Hal tersebut menjadi berbahaya
ketika pers di negara kita hanyalah menjadi media belaka. Kita harus merujuk
pada UU 40/1999 tentang pers, yang menyebutkan fungsi dari pers itu sendiri.
Yang pertama adalah pers berfungsi sebagai lembaga atau pranata sosial yang
memenuhi kebutuhan publik akan informasi yang juga melakukan pendidikan,
memberi hiburan dan alat kontrol sosial. Yang kedua adalah pers berfungsi
sebagai lembaga ekonomi.
Di luar fungsi tersebut Muchlis
Hasyim, seorang jurnalis senior, dalam sebuah seminar mengenai pers
mengungkapkan bahwa pers juga menjaga akal sehat masyarakat (social virtue).
Dan itu hanya bisa terjadi dengan mengikuti hukum-hukum jurnalistik yang ketat dan
berorientasi pada persoalan faktual demi tujuannya mencari solusi untuk
kepentingan masyarakat luas. Disitulah kita bisa melihat bahwa social media tidak bisa memainkan peran
tersebut. Social media hanya merepresentaskan kepentingan perseorangan dan tidak
berdasarkan data yang valid. Kita menjadi sering terjebak pada opini-opini umum
dan tak jarang bersumber dari akun yang tak jelas asalnya.
Media dan mahasiswa sebenarnya
harus bekerjasama untuk bisa meningkatkan budaya menulis di tengah para pemuda.
Sudah saatnya kolom-kolom koran tanah air diisi oleh para pemuda. Menulis
adalah salah satu sarana efektif untuk menyalurkan pemikiran kita kepada
masyarakat, dan media masa memiliki peran untuk memberikan jalan terhadap hal
itu.
Mahasiswa bisa berperan lebih
lagi. Salah satunya dengan memperbanyak diskusi Dalam hal ini saya lebih
menekankan pada diskusi dibanding debat. Itu karena dalam berdebat tujuan kita
adalah menang dalam argumentasi dan menjatuhkan lawan kita, sedangkan dalam
diskusi kita menekankan pada pengkayaan informasi dari satu orang dan orang
lain sehingga kita bisa bersama-sama teredukasi dari pengalaman dan informasi
yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Budaya diskusi harus ditingkatkan
agar kepekaan terhadap isu sosial lebih bisa terbangun. Diskusi persoalan
politik bukan menjadi lahan eksklusif para tokoh dewasa saja. Kita generasi
muda juga bisa berpartisipasi. Malahan pemikiran seorang pemuda sangat
dibutuhkan untuk pembangunan bangsa ke depannya. Adalah salah besar ketika para
pemuda dilarang untuk berbicara tentang politik. Menurut analisia berbagai
sumber Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi salah satu negara yang memegang
kunci perekonomian dunia. Dengan kata lain Indonesia akan menjadi salah satu
negara terkuat dan berpengaruh seperti layaknya Amerika Serikat saat ini.
Siapakah mereka yang akan mengisi
tampuk kekuasaan pada tahun 2030? Tentu saja para pemuda yang saat ini
kira-kira berusia kisaran 20 – 30 tahun. Dengan demikian adalah sudah
sepantasnya para pemuda telah bermodalkan pengetahuan tenatang politik dan isu
sosial lainnya di negara ini. Para pemuda harus sadar bahwa merekalah yang akan
mengisi kekuasaan kelak, kitalah yang akan memimpin Indonesia. Sudah harus dari
sekarang kita memodalkan diri kita dengan ilmu masing-masing secara maksimal.
Amerika Serikat telah membuktikan
bahwa salah satu cara untuk menjadi negara maju adalah dengan gerakan kelas
menengah. Kelas mengenah tentu saja diisi oleh para cendekiawan muda. Begitu
juga Indonesia bisa melakukannya dengan jumlah kalangan menengah yag sudah
tinggi. Selain pertumbuhan ekonomi kita yang menjadi baik, politik juga bisa
lebih baik dari sebelumnya jika kita mau. Para kaum terpelajar harus berani
melakukan invasi terhadap birokrasi agar pemerintahan kita diisi oleh para
pemuda yang lebih segar dan memiliki pandangan yang baru.
Birokrasi kita sudah terlalu
banyak diisi oleh kelompok-kelompok yang ingin meraih kekuasaan dan lawan
politik dari masa orde baru. Generasi muda menjadi sebuah solusi dimana tidak
memiliki konflik sejarah dari masa orde baru. Dan itu berarti jika kelas
menengah yang diisi oleh para pemuda berani melakukan gerakan besar untuk masuk
pada jajaran birokrasi maka niscaya akan terjadi perubahan dalam pemerintahan
kita. Dengan orang yang baru tanpa kepentingan yang dibawa dari dulu tentu bisa
memerintah dengan lebih baik tanpa adanya tujuan poltis individu.
Pemuda adalah harapan bangsa.
Namun itu masih harus dibuktikan dengan tindakan nyata para pemuda itu sendiri. Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar