Sebuah Cerpen
T
|
ak ada kata
yang terucap. Nafas tak berhenti terengap-engap. Mata terus menjurus searah. Jemari
mulai bergetar sesekali. Otot leher menjadi kaku karenanya. Hanya 10 meter
jaraknya. Sebuah teriakan kecil tampaknya cukup untuk memalingkan dirinya. Aku duduk
disini, di sofa tak jauh darinya.
Pundaknya lebar. Begitu jelas
bagian punggung terpampang di depan mataku. Putih, halus. Bisa dibilang
terawat, mungkin juga tidak. Mungkin saja itu adalah karunia alam yang entah
kenapa memilihnya memiliki punggung seindah dirinya. Hanya bagian belakangnya
saja. Entah kenapa seperti sudah lama kukenali keindahannya. Seperti sudah
dekat kehalusannya. Jemari ini mulai bertanya satu sama lain, siapakah dia?