Pendahuluan
Salah satu diskursus
yang menarik dalam studi tentang demokrasi adalah mengenai transisi. Apa yang
disebut dengan transisi ini adalah sebuah proses panjang yang harus dilalui
oleh sebuah negara untuk bisa sampai pada sebuah demokrasi yang
terkonsolidasikan. Atau dengan kata lain transisi demokrasi membicarakan apa
saja yang harus dihadapi oleh sebuah negara yang non demokratis untuk bisa
berubah menjadi negara demokrasi. Menarik bagi kita kemudian untuk mengamati
apa saja tantangan yang harus dihadapi oleh sebuah negara dalam transisi
demokrasi.
Untuk melihat hal tersebut saya mengambil salah satu
negara yang sedang dalam masa transisi dari rezim otoriter militeristik ke arah
lebih demokratis, yaitu Myanmar. Negara ini menarik untuk diamati karena
gelombang demokratisasi ketiga yang terjadi di hampir sebagian besar
negara-negara di dunia nyatanya tidak terlalu mempengaruhi pemerintahan militer
di Myanmar. Sejak tahun 1962 negara ini telah menganut pemerintahan junta
militer setelah melalui kudeta. Naiknya junta militer disinyalir akibat respon
yang lambat dari pemerintah sipil terhadap permasalahan yang ada di Myanmar.
Adapun rezim militeristik, yang tentunya non demokratis tersebut, dipimpin oleh
Jenderal Ne Win.
Selain kekuatan militer yang begitu sentral, tantangan
yang hinggap di Myanmar dalam demokratisasi mereka adalah masalah etnisitas. Dalam
tulisannya, Martin Smith mencatat Myanmar sebagai salah satu negara yang
memiliki keberagaman etnisitas terbanyak di dunia. Setidaknya tercatat ada 135
etnis nasional di Myanmar. Salah satu penyebabnya adalah lokasi geografis
Myanmar yang berbatasan dengan berbagai negara seperti Bangladesh, India, Cina,
Tibet, Laos, dan Thailand. Menurut Smith banyak populasi dari negara-negara
tersebut yang bermigrasi ke Myanmar lewat dataran-dataran tinggi dan membentuk
sepertiga dari populasi Myanmar.[1] Keberagaman
etnis yang ada di Myanmar dengan sendirinya membawa berbagai kepentingan yang
beragam pula. Kemudian keberagaman tersebut pada akhirnya akan menuntun pula
pada berbagai permasalahan laten seperti keadilan politik dan sosial bagi
setiap kelompok etnis atau daerah.
Paper ini ingin berangkat dari permasalahan bahwa bentuk
pemerintahan militer bukan satu-satunya hal yang membuat transisi demokrasi
Myanmar berjalan sangat lambat. Dengan segala perjuangan yang telah dilalui, saat
ini Myanmar masih sulit untuk dikatakan demokratis. Konflik-konflik etnis
mewarnai berbagai proses yang sedang terjadi. Berkenaan dengan hal ini paper
ini ingin menjawab pertanyaan apakah
masalah etnisitas menjadi tantangan serius yang harus dihadapi Myanmar dalam
transisi demokrasi?
Transisi
Demokrasi
Menurut Guillermo
O’Donnell dan Philippe Schmitter, transisi adalah interval dari satu rezim
politik dan lain. Transisi dipisahkan, di satu sisi dengan membubarkan rezim
otoriter, sementara di sisi lain dengan memasang beberapa bentuk dari demokrasi, kembali ke beberapa bentuk
pemerintahan otoriter, atau memunculkan alternatif yang revolusioner.[2]
Dalam menganalisa
transisi demokrasi di Myanmar ini saya mengacu pada analisa Dankwart A. Rustow[3]
dalam artikelnya yang berjudul Transitions
to Democracy: Toward a Dinamic Model.
Dalam proses transisi itu ia melihat ada beberapa kondisi yang muncul
dan dipahami mendukung demokratisasi. Beberapa kondisi itu disempurnakan dengan
momen yang tepat dimana semua kondisi itu terjadi pada saat yang sama. Beberapa
kondisi yang dianggap sangat diperlukan untuk mencapai demokrasi di antaranya
adalah persatuan nasional, adanya konflik, adanya adaptasi terhadap
aturan-aturan demokratis, dan para politisi menggunakan aturan itu dengan baik.
Selain itu Rustow melihat bahwa semua kondisi itu penting untuk bergabung pada
saat yang sama.
Pola
dari konflik yang terjadi di sebuah negara menurut Rustow sangat penting untuk
dikaji untuk melihat transisi negara tersebut. Dari pola tersebut juga akan
terlihat perubahan-perubahan apa saja yang akan terbentuk dan juga lebih lanjut
lagi akan membawa pada sebuah pilihan yang diambil.[4]
Dengan dasar itu maka konflik etnis yang terjadi di Myanmar tidak bisa
dikesampingkan begitu saja. Malahan konflik tersebut bisa jadi adalah titik
awal untuk menganalisa transisi yang terjadi di Myanmar.
Rustow dalam tulisannya
menjelaskan mengenai teori demokrasi genetik yang berbicara tentang bagaimana
demokrasi dapat lahir dalam konteks negara-negara yang masuk ke dalam transisi
demokrasi. Dalam melihat hal itu kita perlu mengacu pada hubungan kausalitas,
atau sebab akibat. Rustow berkesimpulan bahwa ada berbagai macam cara untuk
mencapai demokrasi. Tidak ada keseragaman mengenai kausalitas dari muculnya
demokrasi.[5]
Contohnya tidak selamanya ekonomi yang menjadi penyebab demokrasi, begitu juga
tidak selamanya kepercayaan dan ideologi yang menuntun pada demokrasi. Saya
memaknai argument Rustow ini juga dengan pengertian bahwa tantangan yang
dihadapi oleh tiap negara dalam transisi demokrasi juga beragam. Mungkin di
satu negara etnisitas bukan hal yang menjadi kendala untuk demokratisasi, namun
bagi Myanmar bisa saja hal itu adalah masalah yang berat.
Masalah
Etnis dan Struktural di Myanmar
Transisi menuju
demokrasi di Myanmar sering dikaitkan dengan tokoh perempuan bernama Aung San
Suu Kyi. Ia adalah anak dari tokoh pendiri Myanmar, Aung San. Tokoh populis ini
banyak dianggap sebagai cikal bakal masuknya Myanmar dalam proses transisi.
Kemenangan partainya, National League for
Democracy (NLD), pada pemilu tahun 1990 menjadi salah satu tolak ukur
keberhasilannya memobilisasi masyarakat. Akan tetapi menurut saya analisa aktor
saja tidak cukup untuk menjelaskan proses transisi tersebut. Sejalan dengan
pendapat Daniel Rothenberg[6],
transisi yang terjadi di Myanmar banyak pula dipengaruhi oleh alasan
struktural. Rezim militer yang otoriter telah gagal dalam membangun
perekonomian Myanmar. Pendapatan per kapita masyarakat Myanmar hanya 300 dolar
per tahun. Selain itu rule of law
tidak bekerja dengan buktinya adalah pelanggaran HAM yang massif oleh militer.
Banyak orang ditangkap dan dibunuh tanpa proses peradilan, penyiksaan dan
pemerkosaan, dan lain sebagainya. Semuanya itu, menurut catatan Rothenberg,
kebanyakan terjadi di daerah pedesaan yang banyak diisi oleh etnis minoritas.
Secara sederhana, semua kondisi tersebut adalah efek samping dari otoriterisme
yang dijalankan oleh Myanmar di bawah Jenderal Ne Win.
Pada saat naik berkuasa
di Myanmar tahun 1962, Ne Win mulai memberlakukan politik ‘Burmanisasi’. Ia
melakukan interpretasi sepihak atas sejarah Myanmar dan berusaha untuk
menyatukan seluruh unsur etnik yang ada di Myanmar dengan satu kultur dan sejarah yang sama yaitu Burma. Ne Win
memaksa dilakukannya asimilasi menggunakan kekuasaan yang dimilikinya. Hal ini
yang memicu perlawanan dari etnis-etnis minoritas dan mereka menuntut otonomi
bagi daerahnya masing-masing.[7]
Di
antara etnis-etnis tersebut, konflik Kachin adalah salah satu yang paling lama
berlangsungnya. Bahkan konflik Kachin menjadi salah satu konflik etnis terlama
dan masih berlangsung hingga saat ini di dunia.[8] Kachin
adalah salah satu etnis Myanmar yang berada di dataran tinggi yang berlokasi di
Timur Laut Myanmar. Kachin adalah etnis yang sangat mendorong pembentukan
negara federal.[9]
Menurut
International Crisis Group, konflik
panjang yang melibatkan Kachin ini disebabkan oleh adanya pembangunan yang
sentralistik di Rangoon. Gaya pembangunan yang sentralistik tersebut
mengakibatkan tersingkirnya kepentingan kelompok etnis minoritas seperti halnya
Kachin. Pemerintahan sentralistik memang dalam banyak kasus berujung pada rasa
iri dari daerah-daerah sisi terluar negara yang tidak terlalu mendapat
perhatian atau jangkauan pemerintah pusat. Konflik Kachin yang berkepanjangan
diltarbelakangi oleh masalah tersebut dan dimulai pada tahun 1950an akhir dan
1960an awal.[10]
Simbol
perlawanan Kachin terlihat dalam KIO (Kachin
Independence Organisation) yang merupakan oposisi bersenjata terbesar dan
paling terorganisir di Myanmar.[11] KIO
ini terbentuk pada Februari 1961 dan berasal dari para pemuda nasionalis Kachin
yang dimotori oleh mahasiswa Universitas Rangoon.[12]
Keberadaan kelompok ini bertahan sampai dengan saat ini dan menjadi tantangan
besar dalam rekonsiliasi yang berusaha diwujudkan dalam momen demokratisasi. Mereka
secara umum menuntut adanya otonomi untuk Kachin. Dukungan Kachin pada sistem
federal dapat dilihat dalam kacamata usaha mereka untuk mendapatkan otonomi
tersebut.
KIO
tidak semata-mata hanya melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah
pusat. Kelompok ini juga melakukan bakti sosial (social service) kepada penduduk Kachin khususnya di bidang
pendidikan. Mereke mulai membangun sekolah dari tahun 1964. Data tahun 2013
menyebutkan KIO telah menyediakan kursi pendidikan sekolah menengah atas,
menengah pertama, dan dasar yang bertotal kurang lebih 23.000 siswa.[13]
Usaha
Kachin untuk mendapatkan otonomi tidak datang dengan sendirinya. Kelompok ini
memilih untuk berjuang karena merasa memiliki hak yang besar atas sumber daya
alam yang ada di daerahnya. Daerah mereka kaya hasil alam, diantaranya adalah
giok dan emas. Akan tetapi yang sangat disayangkan adalah etnis Kachin tetap
menderita dalam kemiskinan. Hal ini disebabkan keuntungan hasil dari alam
mereka hanya dinikmati oleh elit pemerintah dan juga para investor asing yang
didominasi dari negara Cina.[14]
Martin Smith mencatat banyak penambang giok Kachin yang dipaksa meninggalkan
lahan yang mereka miliki secara turun oleh pemerintah pada tahun 1989-1990 saat
diberlakukannya hak mineral di daerah Hpakhan.[15]
Budaya
Politik Myanmar
Kim Jolliffe dalam
penelitiannya tentang Myanmar mengemukakan bahwa salah satu budaya politik yang
mengikat di negara tersebut adalah patron klien. Yang menarik patron klien di
Myanmar ini berlatarbelakang etnis. Seseorang bergantung pada afiliasi etnolinguistik
mereka untuk bisa mendapatkan keamanan dan kesempatan mobilitas sosial. Hal ini
menurut Jolliffe telah mengakar cukup dalam di masyarakat Myanmar , bahkan
sudah terbentuk sebelum mereka mendapatkan kemerdekaan.[16]
Sifat
patron klien dengan sifat etnolinguistik ini tidak sejalan dengan iklim
pemerintahan yang demokratis. Ada dua alasan yang membuat budaya tersebut
menjadi tantangan yang cukup berat bagi demokrasi di Myanmar. Demokrasi adalah
sebuah sistem yang menuntut adanya kebebasan politik dan kebebasan sosial. Hal
itu bermakna semua individu atau kelompok yang ada di dalam masyarakat berhak
mendapatkan kedua hak tersebut. Sehingga budaya patron klien tersebut akan
menutup hak politik dan hak sosial bagi etnis-etnis minoritas yang tidak
memiliki kekuasaan. Kedua, karena tidak memiliki hak tersebut maka kepentingan
etnis minoritas menjadi tidak terakomodir oleh pemerintah. Sehingga yang ada
hanyalah akomodasi dari kepentingan etnis mayoritas saja. Padahal demokrasi
adalah sebuah sistem yang memberikan akses seluas-luasnya bagi partisipasi
politik dan akomodasi atas banyak kepentingan yang berbeda-beda. Di luar kedua alasan tersebut, patron klien
seperti ini juga memiliki dampak negative pada integrasi atau rekonsiliasi
nasional. Ini karena yang terbentuk pada akhirnya hanyalah nasionalisme etnis
ketimbang negara bangsa.
Akan
tetapi budaya patron klien di atas memang cukup berat untuk dihilangkan. Jolliffe
menemukan hal menarik dimana kelompok-kelompok etnis minoritas bersenjata
seperti Kachin dengan KIO melakukan bakti sosial (social service) kepada penduduk mereka. Hal ini dilakukan untuk
bisa membantu mengakomodir kebutuhan penduduk etnis mereka yang dirasa tidak
tersentuh oleh pemerintah. Alhasil bakti sosial tersebut menambah kuat budaya
patron klien berlatar etnis di masyarakat Myanmar dan bahkan memperkuat
legitimasi kelompok tersebut di daerahnya.[17]
Kesimpulan
Bila
kita kembalikan ke pertanyaan di awal paper ini maka ada beberapa poin penting
yang bisa ditarik dari kasus transisi demokrasi di Myanmar. Hal pertama yang
penting untuk dicatat adalah bahwa tantangan berat dari transisi Myanmar menuju
demokrasi tidak semata-mata ada di dalam kekuatan junta militer saja. Dalam
kajian-kajian tentang demokrasi para ahli memang mengatakan bahwa demokratisasi
tidak bisa dilepaskan dari sebuah rezim yang non demokratis. Akan tetapi rezim
tersebut yang telah lama berkuasa ternyata menghasilkan efek samping lain yang
membentuk sebuah budaya politik yang mengakar lama.
Kedua,
budaya patron klien yang etnislinguistik menjadi tantangan serius dari
demokratisasi di Myanmar. Budaya politik ini bisa saja dikatakan adalah salah
satu efek samping dari otoriterisme yang bertahan sangat lama. Akan tetapi pada
akhirnya, setelah menjadi sebuah budaya politik, sifat ini membentuk sebuah
nasionalisme etnis yang harus mendapatkan perhatian khusus agar rekonsiliasi
benar-benar ingin dicapai.
Ketiga,
di luar budaya politik di atas, kita tetap tidak bisa melupakan masalah
struktural seperti kemiskinan atau ketimpangan sosial dalam mempengaruhi
transisi yang terjadi. Kondisi structural Myanmar yang terpuruk adalah efek
samping yang dapat dengan mudah terlihat dari rezim otoriter Ne Win yang cukup
lama berkuasa. Kondisi struktural pula sebenarnya yang mendorong terjadinya
perlawanan bersenjata di berbagai tempat di Myanmar.
[1] Martin Smith, Ethnic Groups in Burma: Development,
Democracy, and Human Rights (London: Anty Slavery International, 1994),
hal. 17.
[2] Guillermo O’Donnell, Philippe
Schmitter, dan Laurence Whitehead, Transitions from Authoritarian Rule:
Prospects for Democracy, 1986, Baltimore:
Johns Hopkins University Press, hal. 6.
[3] Lihat Dankwart A. Rustow
“Transitions to Democracy: Toward a Dinamic Model”, Comparative Politics, Vol.2 , No.3 (April, 1970), hal. 337-363.
[4] Ibid., hal. 344.
[5] Ibid., hal. 345.
[6] Daniel
Rothenberg, “Burma’s Democratic Transition: About Justice, Legitimacy, and Past
Political Violence” Legal Issues on Burma Journal, No.1 (Desember, 2001), hal.
58.
[7] Martin Smith, Op.Cit., hal. 18.
[8] International Crisis Group, A Tentative Peace in Myanmar’s Kachin
Conflict, (Yangon, Jakarta, Brussel, 12 Juni ,2013).
[9] Martin Smith, Op.Cit., hal. 38.
[10] International Crisis Group, Loc.Cit.
[11] Ibid., hal. 4.
[12] Martin Smith, Op.Cit., hal. 39.
[13] The Asian Foundation, Kim
Jolliffe, Ethnic Conflict and Social
Services in Myanmar’s Contested Regions. (Tanpa Kota, Juni, 2014).
[14] Martin Smith, Op.Cit., hal. 41.
[15] Ibid., hal. 97.
[16] The Asian Foundation, Loc.Cit., hal. 5.
[17] Ibid., hal. 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar