Minggu, 20 September 2015

ISU ETNISITAS SEBAGAI TANTANGAN DALAM TRANSISI MENUJU DEMOKRASI: STUDI KASUS NEGARA MYANMAR

Pendahuluan

Salah satu diskursus yang menarik dalam studi tentang demokrasi adalah mengenai transisi. Apa yang disebut dengan transisi ini adalah sebuah proses panjang yang harus dilalui oleh sebuah negara untuk bisa sampai pada sebuah demokrasi yang terkonsolidasikan. Atau dengan kata lain transisi demokrasi membicarakan apa saja yang harus dihadapi oleh sebuah negara yang non demokratis untuk bisa berubah menjadi negara demokrasi. Menarik bagi kita kemudian untuk mengamati apa saja tantangan yang harus dihadapi oleh sebuah negara dalam transisi demokrasi. 

            Untuk melihat hal tersebut saya mengambil salah satu negara yang sedang dalam masa transisi dari rezim otoriter militeristik ke arah lebih demokratis, yaitu Myanmar. Negara ini menarik untuk diamati karena gelombang demokratisasi ketiga yang terjadi di hampir sebagian besar negara-negara di dunia nyatanya tidak terlalu mempengaruhi pemerintahan militer di Myanmar. Sejak tahun 1962 negara ini telah menganut pemerintahan junta militer setelah melalui kudeta. Naiknya junta militer disinyalir akibat respon yang lambat dari pemerintah sipil terhadap permasalahan yang ada di Myanmar. Adapun rezim militeristik, yang tentunya non demokratis tersebut, dipimpin oleh Jenderal Ne Win.
            Selain kekuatan militer yang begitu sentral, tantangan yang hinggap di Myanmar dalam demokratisasi mereka adalah masalah etnisitas. Dalam tulisannya, Martin Smith mencatat Myanmar sebagai salah satu negara yang memiliki keberagaman etnisitas terbanyak di dunia. Setidaknya tercatat ada 135 etnis nasional di Myanmar. Salah satu penyebabnya adalah lokasi geografis Myanmar yang berbatasan dengan berbagai negara seperti Bangladesh, India, Cina, Tibet, Laos, dan Thailand. Menurut Smith banyak populasi dari negara-negara tersebut yang bermigrasi ke Myanmar lewat dataran-dataran tinggi dan membentuk sepertiga dari populasi Myanmar.[1] Keberagaman etnis yang ada di Myanmar dengan sendirinya membawa berbagai kepentingan yang beragam pula. Kemudian keberagaman tersebut pada akhirnya akan menuntun pula pada berbagai permasalahan laten seperti keadilan politik dan sosial bagi setiap kelompok etnis atau daerah.
            Paper ini ingin berangkat dari permasalahan bahwa bentuk pemerintahan militer bukan satu-satunya hal yang membuat transisi demokrasi Myanmar berjalan sangat lambat. Dengan segala perjuangan yang telah dilalui, saat ini Myanmar masih sulit untuk dikatakan demokratis. Konflik-konflik etnis mewarnai berbagai proses yang sedang terjadi. Berkenaan dengan hal ini paper ini ingin menjawab pertanyaan apakah masalah etnisitas menjadi tantangan serius yang harus dihadapi Myanmar dalam transisi demokrasi?

Transisi Demokrasi
Menurut Guillermo O’Donnell dan Philippe Schmitter, transisi adalah interval dari satu rezim politik dan lain. Transisi dipisahkan, di satu sisi dengan membubarkan rezim otoriter, sementara di sisi lain dengan memasang beberapa bentuk dari demokrasi, kembali ke beberapa bentuk pemerintahan otoriter, atau memunculkan alternatif yang revolusioner.[2]
Dalam menganalisa transisi demokrasi di Myanmar ini saya mengacu pada analisa Dankwart A. Rustow[3] dalam artikelnya yang berjudul Transitions to Democracy: Toward a Dinamic Model.  Dalam proses transisi itu ia melihat ada beberapa kondisi yang muncul dan dipahami mendukung demokratisasi. Beberapa kondisi itu disempurnakan dengan momen yang tepat dimana semua kondisi itu terjadi pada saat yang sama. Beberapa kondisi yang dianggap sangat diperlukan untuk mencapai demokrasi di antaranya adalah persatuan nasional, adanya konflik, adanya adaptasi terhadap aturan-aturan demokratis, dan para politisi menggunakan aturan itu dengan baik. Selain itu Rustow melihat bahwa semua kondisi itu penting untuk bergabung pada saat yang sama.
            Pola dari konflik yang terjadi di sebuah negara menurut Rustow sangat penting untuk dikaji untuk melihat transisi negara tersebut. Dari pola tersebut juga akan terlihat perubahan-perubahan apa saja yang akan terbentuk dan juga lebih lanjut lagi akan membawa pada sebuah pilihan yang diambil.[4] Dengan dasar itu maka konflik etnis yang terjadi di Myanmar tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Malahan konflik tersebut bisa jadi adalah titik awal untuk menganalisa transisi yang terjadi di Myanmar.
Rustow dalam tulisannya menjelaskan mengenai teori demokrasi genetik yang berbicara tentang bagaimana demokrasi dapat lahir dalam konteks negara-negara yang masuk ke dalam transisi demokrasi. Dalam melihat hal itu kita perlu mengacu pada hubungan kausalitas, atau sebab akibat. Rustow berkesimpulan bahwa ada berbagai macam cara untuk mencapai demokrasi. Tidak ada keseragaman mengenai kausalitas dari muculnya demokrasi.[5] Contohnya tidak selamanya ekonomi yang menjadi penyebab demokrasi, begitu juga tidak selamanya kepercayaan dan ideologi yang menuntun pada demokrasi. Saya memaknai argument Rustow ini juga dengan pengertian bahwa tantangan yang dihadapi oleh tiap negara dalam transisi demokrasi juga beragam. Mungkin di satu negara etnisitas bukan hal yang menjadi kendala untuk demokratisasi, namun bagi Myanmar bisa saja hal itu adalah masalah yang berat.

Masalah Etnis dan Struktural di Myanmar
Transisi menuju demokrasi di Myanmar sering dikaitkan dengan tokoh perempuan bernama Aung San Suu Kyi. Ia adalah anak dari tokoh pendiri Myanmar, Aung San. Tokoh populis ini banyak dianggap sebagai cikal bakal masuknya Myanmar dalam proses transisi. Kemenangan partainya, National League for Democracy (NLD), pada pemilu tahun 1990 menjadi salah satu tolak ukur keberhasilannya memobilisasi masyarakat. Akan tetapi menurut saya analisa aktor saja tidak cukup untuk menjelaskan proses transisi tersebut. Sejalan dengan pendapat Daniel Rothenberg[6], transisi yang terjadi di Myanmar banyak pula dipengaruhi oleh alasan struktural. Rezim militer yang otoriter telah gagal dalam membangun perekonomian Myanmar. Pendapatan per kapita masyarakat Myanmar hanya 300 dolar per tahun. Selain itu rule of law tidak bekerja dengan buktinya adalah pelanggaran HAM yang massif oleh militer. Banyak orang ditangkap dan dibunuh tanpa proses peradilan, penyiksaan dan pemerkosaan, dan lain sebagainya. Semuanya itu, menurut catatan Rothenberg, kebanyakan terjadi di daerah pedesaan yang banyak diisi oleh etnis minoritas. Secara sederhana, semua kondisi tersebut adalah efek samping dari otoriterisme yang dijalankan oleh Myanmar di bawah Jenderal Ne Win.
Pada saat naik berkuasa di Myanmar tahun 1962, Ne Win mulai memberlakukan politik ‘Burmanisasi’. Ia melakukan interpretasi sepihak atas sejarah Myanmar dan berusaha untuk menyatukan seluruh unsur etnik yang ada di Myanmar dengan satu kultur  dan sejarah yang sama yaitu Burma. Ne Win memaksa dilakukannya asimilasi menggunakan kekuasaan yang dimilikinya. Hal ini yang memicu perlawanan dari etnis-etnis minoritas dan mereka menuntut otonomi bagi daerahnya masing-masing.[7]
            Di antara etnis-etnis tersebut, konflik Kachin adalah salah satu yang paling lama berlangsungnya. Bahkan konflik Kachin menjadi salah satu konflik etnis terlama dan masih berlangsung hingga saat ini di dunia.[8] Kachin adalah salah satu etnis Myanmar yang berada di dataran tinggi yang berlokasi di Timur Laut Myanmar. Kachin adalah etnis yang sangat mendorong pembentukan negara federal.[9]
            Menurut International Crisis Group, konflik panjang yang melibatkan Kachin ini disebabkan oleh adanya pembangunan yang sentralistik di Rangoon. Gaya pembangunan yang sentralistik tersebut mengakibatkan tersingkirnya kepentingan kelompok etnis minoritas seperti halnya Kachin. Pemerintahan sentralistik memang dalam banyak kasus berujung pada rasa iri dari daerah-daerah sisi terluar negara yang tidak terlalu mendapat perhatian atau jangkauan pemerintah pusat. Konflik Kachin yang berkepanjangan diltarbelakangi oleh masalah tersebut dan dimulai pada tahun 1950an akhir dan 1960an awal.[10]
            Simbol perlawanan Kachin terlihat dalam KIO (Kachin Independence Organisation) yang merupakan oposisi bersenjata terbesar dan paling terorganisir di Myanmar.[11] KIO ini terbentuk pada Februari 1961 dan berasal dari para pemuda nasionalis Kachin yang dimotori oleh mahasiswa Universitas Rangoon.[12] Keberadaan kelompok ini bertahan sampai dengan saat ini dan menjadi tantangan besar dalam rekonsiliasi yang berusaha diwujudkan dalam momen demokratisasi. Mereka secara umum menuntut adanya otonomi untuk Kachin. Dukungan Kachin pada sistem federal dapat dilihat dalam kacamata usaha mereka untuk mendapatkan otonomi tersebut.
            KIO tidak semata-mata hanya melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah pusat. Kelompok ini juga melakukan bakti sosial (social service) kepada penduduk Kachin khususnya di bidang pendidikan. Mereke mulai membangun sekolah dari tahun 1964. Data tahun 2013 menyebutkan KIO telah menyediakan kursi pendidikan sekolah menengah atas, menengah pertama, dan dasar yang bertotal kurang lebih 23.000 siswa.[13]
            Usaha Kachin untuk mendapatkan otonomi tidak datang dengan sendirinya. Kelompok ini memilih untuk berjuang karena merasa memiliki hak yang besar atas sumber daya alam yang ada di daerahnya. Daerah mereka kaya hasil alam, diantaranya adalah giok dan emas. Akan tetapi yang sangat disayangkan adalah etnis Kachin tetap menderita dalam kemiskinan. Hal ini disebabkan keuntungan hasil dari alam mereka hanya dinikmati oleh elit pemerintah dan juga para investor asing yang didominasi dari negara Cina.[14] Martin Smith mencatat banyak penambang giok Kachin yang dipaksa meninggalkan lahan yang mereka miliki secara turun oleh pemerintah pada tahun 1989-1990 saat diberlakukannya hak mineral di daerah Hpakhan.[15]
           
Budaya Politik Myanmar
Kim Jolliffe dalam penelitiannya tentang Myanmar mengemukakan bahwa salah satu budaya politik yang mengikat di negara tersebut adalah patron klien. Yang menarik patron klien di Myanmar ini berlatarbelakang etnis. Seseorang bergantung pada afiliasi etnolinguistik mereka untuk bisa mendapatkan keamanan dan kesempatan mobilitas sosial. Hal ini menurut Jolliffe telah mengakar cukup dalam di masyarakat Myanmar , bahkan sudah terbentuk sebelum mereka mendapatkan kemerdekaan.[16]
            Sifat patron klien dengan sifat etnolinguistik ini tidak sejalan dengan iklim pemerintahan yang demokratis. Ada dua alasan yang membuat budaya tersebut menjadi tantangan yang cukup berat bagi demokrasi di Myanmar. Demokrasi adalah sebuah sistem yang menuntut adanya kebebasan politik dan kebebasan sosial. Hal itu bermakna semua individu atau kelompok yang ada di dalam masyarakat berhak mendapatkan kedua hak tersebut. Sehingga budaya patron klien tersebut akan menutup hak politik dan hak sosial bagi etnis-etnis minoritas yang tidak memiliki kekuasaan. Kedua, karena tidak memiliki hak tersebut maka kepentingan etnis minoritas menjadi tidak terakomodir oleh pemerintah. Sehingga yang ada hanyalah akomodasi dari kepentingan etnis mayoritas saja. Padahal demokrasi adalah sebuah sistem yang memberikan akses seluas-luasnya bagi partisipasi politik dan akomodasi atas banyak kepentingan yang berbeda-beda.  Di luar kedua alasan tersebut, patron klien seperti ini juga memiliki dampak negative pada integrasi atau rekonsiliasi nasional. Ini karena yang terbentuk pada akhirnya hanyalah nasionalisme etnis ketimbang negara bangsa.
            Akan tetapi budaya patron klien di atas memang cukup berat untuk dihilangkan. Jolliffe menemukan hal menarik dimana kelompok-kelompok etnis minoritas bersenjata seperti Kachin dengan KIO melakukan bakti sosial (social service) kepada penduduk mereka. Hal ini dilakukan untuk bisa membantu mengakomodir kebutuhan penduduk etnis mereka yang dirasa tidak tersentuh oleh pemerintah. Alhasil bakti sosial tersebut menambah kuat budaya patron klien berlatar etnis di masyarakat Myanmar dan bahkan memperkuat legitimasi kelompok tersebut di daerahnya.[17]

Kesimpulan
            Bila kita kembalikan ke pertanyaan di awal paper ini maka ada beberapa poin penting yang bisa ditarik dari kasus transisi demokrasi di Myanmar. Hal pertama yang penting untuk dicatat adalah bahwa tantangan berat dari transisi Myanmar menuju demokrasi tidak semata-mata ada di dalam kekuatan junta militer saja. Dalam kajian-kajian tentang demokrasi para ahli memang mengatakan bahwa demokratisasi tidak bisa dilepaskan dari sebuah rezim yang non demokratis. Akan tetapi rezim tersebut yang telah lama berkuasa ternyata menghasilkan efek samping lain yang membentuk sebuah budaya politik yang mengakar lama.
            Kedua, budaya patron klien yang etnislinguistik menjadi tantangan serius dari demokratisasi di Myanmar. Budaya politik ini bisa saja dikatakan adalah salah satu efek samping dari otoriterisme yang bertahan sangat lama. Akan tetapi pada akhirnya, setelah menjadi sebuah budaya politik, sifat ini membentuk sebuah nasionalisme etnis yang harus mendapatkan perhatian khusus agar rekonsiliasi benar-benar ingin dicapai.
            Ketiga, di luar budaya politik di atas, kita tetap tidak bisa melupakan masalah struktural seperti kemiskinan atau ketimpangan sosial dalam mempengaruhi transisi yang terjadi. Kondisi structural Myanmar yang terpuruk adalah efek samping yang dapat dengan mudah terlihat dari rezim otoriter Ne Win yang cukup lama berkuasa. Kondisi struktural pula sebenarnya yang mendorong terjadinya perlawanan bersenjata di berbagai tempat di Myanmar.



[1] Martin Smith, Ethnic Groups in Burma: Development, Democracy, and Human Rights (London: Anty Slavery International, 1994), hal. 17.
[2] Guillermo O’Donnell, Philippe Schmitter, dan Laurence Whitehead, Transitions from Authoritarian Rule: Prospects for Democracy, 1986, Baltimore: Johns Hopkins University Press, hal. 6.
[3] Lihat Dankwart A. Rustow “Transitions to Democracy: Toward a Dinamic Model, Comparative Politics, Vol.2 , No.3 (April, 1970), hal. 337-363.
[4] Ibid., hal. 344.
[5] Ibid., hal. 345.
[6] Daniel Rothenberg, “Burma’s Democratic Transition: About Justice, Legitimacy, and Past Political Violence” Legal Issues on Burma Journal, No.1 (Desember, 2001), hal. 58.
[7] Martin Smith, Op.Cit., hal. 18.
[8] International Crisis Group, A Tentative Peace in Myanmar’s Kachin Conflict, (Yangon, Jakarta, Brussel, 12 Juni ,2013).
[9] Martin Smith, Op.Cit., hal. 38.
[10] International Crisis Group, Loc.Cit.
[11] Ibid., hal. 4.
[12] Martin Smith, Op.Cit., hal. 39.
[13] The Asian Foundation, Kim Jolliffe, Ethnic Conflict and Social Services in Myanmar’s Contested Regions. (Tanpa Kota, Juni, 2014).
[14] Martin Smith, Op.Cit., hal. 41.
[15] Ibid., hal. 97.
[16] The Asian Foundation, Loc.Cit., hal. 5.
[17] Ibid., hal. 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar