“Demokrasi
hanya berjalan kalau disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada demokrasi tanpa
tanggung jawab. Dan, demokrasi yang melewati batasnya dan meluap menjadi anarki
akan menemui ajalnya dan digantikan sementara waktu oleh diktator.” – Moh.
Hatta
Pada
penghujung tahun 2015 ini terdapat fenomena-fenomena menarik terkait dengan
demokrasi. Mungkin salah satu berita yang paling menyedot perhatian kita selama
2015 adalah soal terorisme, dengan ISIS sebagai aktor utamanya. Selain itu
perang dan penyerangan yang tidak berkesudahan di Timur Tengah menjadi fakta
yang berjalan berdampingan. Meski bukan berarti masalah tersebut tidak
berkaitan dengan demokrasi, penulis tidak ingin mengulas mengenai ini. Penulis lebih
ingin mengulas dua fenomena, yang sebenarnya juga luar biasa, dalam konteks demokrasi,
yang mungkin terlewat dari pengamatan kita. Fenomena ini terjadi di negara berkembang
yang punya kesamaan dengan negara kita dalam kadarnya masing-masing.
Transisi Myanmar dan jatuhnya sosialisme Venezuela
Pertama mari kita bergerak ke salah
satu negara Asia Tenggara yaitu Myanmar. Pada tahun ini, di bulan November,
negara tersebut mengadakan pemilu yang bersejarah karena memenangkan Partai Liga
Nasional Untuk Demokrasi yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Ini adalah sebuah
fenomena bersejarah setelah sebelumnya hal yang sama juga terjadi pada tahun
1990. Akan tetapi pada tahun 1990 yang terjadi adalah pihak militer tidak
menerima hasil tersebut dan menahan Suu Kyi, Alhasil sebuah negara yang sedang
berharap terjadinya reformasi harus dikecewakan dengan transisi yang tertunda.
Pada tahun ini harapan itu muncul kembali. Suu Kyi dan partainya berada pada
posisi yang sama. Mereka menang pemilu dan berharap bisa melakukan transisi
pemerintahan ke arah yang lebih demokratis.
Militerisme telah lama berkuasa di
Myanmar. Segala sendi kehidupan bisa dikatakan berada di bawah kontrol militer.
Hal ini pula yang memungkinkan militer untuk tidak mengakui hasil pemilu 1990.
Hal ini mungkin saja terjadi lagi di tahun ini. Namun nampaknya de ja vu semacam itu sulit untuk
terjadi. Kondisi politik global telah jauh berubah dari tahun 1990. Myanmar
memang bisa dikatakan terlambat melakukan demokratisasi, atau melangkah mundur,
saat tidak mengakui kemenangan Suu Kyi dan partainya. Akan tetapi setelah
tahun-tahun tersebut, demokrasi telah semakin mapan di berbagai negara dan
memberikan efek domino.
Tantangan
yang dihadapi Myanmar ini sangat menarik untuk kita ikuti. Kita punya sejarah
yang hampir mirip. Meski dikatakan terlambat dari negara-negara lain dalam
gelombang demokratisasi ketiga menurut Huntington, reformasi akhirnya lahir
pada 1998 ketika sudah lebih dari tiga puluh tahun Indonesia dipimpin oleh
militer. Perbedaannya adalah Indonesia mengalami transisi yang bisa dibilang
sukses. Militer mengalami reformasi dari dalam dan perubahan politik cepat
terjadi. Kedaulatan sipil bisa terwujud. Akan tetapi Myanmar telah mengalami
transisi yang gagal pada tahun 1990. Perkembangan yang menarik dari transisi
yang terjadi di tahun ini adalah pihak militer Myanmar masih akan masuk dalam
pemerintahan di kementrian yang strategis. Sementara itu Suu Kyi, yang juga
seorang peraih nobel, tidak bisa mendapatkan kursi sebagai presiden karena terhambat
undang-undang yang dibuat oleh militier yang berkaitan dengan statusnya.
Sehingga di negara yang tidak jauh letaknya dari kita itu, demokrasi sedang
diperjuangkan sebagai barang mahal dan langka. Sama seperti Indonesia dahulu.
Fenomena kedua terjadi di belahan Amerika
Selatan, khususnya Venezuela. Di bulan Desember ini negara tersebut mengalami
pergantian kekuasaan yang cukup mengagetkan. Rezim sosialis yang telah bertahan
17 tahun lamanya tumbang dalam pemilu. Nikolas Maduro dan Partai Sosialis yang
sebelumnya berkuasa kalah oleh koalisi oposisi. Maduro adalah penerus jalan
politik Chavez yang anti Amerika. Venezuela adalah salah satu negara Amerika
Latin yang sangat menarik untuk dibahas. Jalan sosialisme baru yang
dikumandangkan oleh Hugo Chavez berhasil berkuasa lewat jalur demokrasi elektoral.
Kemenangan Chavez membawa Venezuela melakukan perlawanan terhadap ekonomi
Barat, khususnya Amerika Serikat. Konsistensi selama 17 tahun ini pun akhirnya
harus berakhir lewat demokrasi elektoral yang tadinya menjadi alat mereka untuk
berkuasa. Kekalahan Maduro akan memberikan dampak yang besar dalam politik
Venezuela, bahkan Amerika Latin. Ini menjadi semacam tamparan bagi gerakan kiri
baru yang telah berkembang di Amerika Latin. Argentina bahkan telah memenangkan
Mauricio Macri, seorang pebisnis berhaluan konservatif, sebagai presiden mereka.
Sosialisme
yang berkembang di Amerika Latin sebelumnya telah menjadi contoh bagaimana
demokrasi memiliki bentuknya sendiri-sendiri dan dapat dijadikan alat untuk
perjuangan politik. Contohnya adalah Evo Morales di Bolivia. Ia merupakan
presiden yang berasal dari kalangan masyarakat adat yang memiliki masalah
ketimpangan di Bolivia. Sehingga saat menang, Morales menjadi harapan baru.
Begitu pula saat Chavez berhasil menjadi pemimpin Venezuela. Masyarakat
mendukung gerakan sosialisme yang digadang-gadang dapat memberikan kemakmuran
bagi masyarakat. Independensi ekonomi dari modal Amerika Serikat menjadi tujuan
utama Chavez. Amerika Latin memang sudah lama menjadi ‘halaman belakang’ bagi
Amerika Serikat. Sehingga perjuangan sosialisme ini mendapat ancaman dari
jatuhnya Maduro.
Lalu apa
yang bisa kita ambil dari dua negara tersebut dalam konteks demokrasi yang ada
saat ini di dunia? Setidaknya penulis merangkum tiga hal. Pertama, demokrasi
elektoral bukanlah sebuah titik akhir. Bahkan tidak bisa kita hanya menjadikan
itu satu-satunya dimensi dalam demokrasi. Tantangan utamanya adalah menciptakan
kedaulatan sipil. Ini yang sedang dihadapi oleh Myanmar. Kedua, demokrasi
menuntut adanya persaingan ideologis yang melibatkan masyarakat. Dengan kata
lain demokrasi secara langsung mengundang masyarakat untuk bisa menjadi penentu
atas arah politik ke depannya. Kemenangan golongan oposisi Venezuela adalah
keniscayaan demokrasi. Ketiga, menyambung poin kedua, demokrasi digunakan oleh,
dan menjadi arena kontestasi, semua aliran politik. Militer bersaing atau
memanipulasi politik lewat sistem demokrasi elektoral. Ideologi sosialis dan
liberalis bersaing mendapat kursi di parlemen. Sehingga sebenarnya demokrasi
tidak bisa dimonopoli oleh satu paham saja dan membuka kesempatan bagi siapapun
untuk bersaing. Ketiga poin ini saling berkaitan satu dengan yang lain.
Akan tetapi,
ketiga poin tersebut akan bermuara pada satu hal yang sama. Hal itu adalah
bahwa perjuangan sesungguhnya akan terjadi pasca pemilu. Apakah transisi dari
militer ke pihak sipil benar-benar bisa diawasi dengan baik? Apakah arah
ekonomi pihak oposisi benar-benar bisa menjadi solusi yang lebih baik dari arah
partai sosialis? Pengawasan itu mau tidak mau kembali lagi kepada masyarakat
dan konsolidasi para elit yang akhirnya berkuasa. Karena kita sering terjebak
dengan mengkerdilkan demokrasi hanya sebatas pemilu. Tanpa sadar bahwa
demokrasi adalah barang mahal, bukan karena biaya nominalnya, namun dalam hal substantif
untuk membantu kita memperjuangkan hak politik, ekonomi, maupun sosial.
Apakah
Indonesia lebih baik ketimbang kedua negara di atas? Jawabannya bisa ya, bisa
tidak. Ketiga negara ini, baik Indonesia, Venezuela, atau Myanmar, sama-sama
sudah melakukan konsolidasi demokrasi. Pengertiannya adalah demokrasi telah
disepakati menjadi sistem politik yang dipergunakan. Sehingga ketiganya tentunya
telah masuk dalam diskursus mengenai demokrasi. Untuk membandingkannya kita
perlu melihat pada tahap mana demokrasi kita berada. Namun tulisan ini tidak
bertujuan untuk membandingkan ketiga negara. Hanya ingin memperlihatkan
fenomena yang berbeda dari ketiga negara. Sehingga yang manakah yang lebih baik
akan penulis kembalikan lagi pada pembaca.
Untuk Indonesia, mari kita mulai
dengan laporan dari Bank Dunia berjudul “Ketimpangan yang Semakin Lebar”.
Laporan tersebut menyajikan fakta menarik tentang pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Ketimpangan ekonomi telah masuk dalam level yang sangat
mengkhawatirkan. Data menunjukkan satu persen rumah tangga terkaya di Indonesia
menguasai 50,3 persen dari seluruh kekayaan negara. Angka ini hanya kalah dari
Rusia dan Thailand. Data tersebut menjadi representasi dari pola pertumbuhan
ekonomi yang telah menemani Indonesia sejak masa Reformasi dimulai di negara
ini. Sebagai catatan, Rusia dan Thailand sulit untuk bisa disebut dengan negara
demokrasi seperti Indonesia. Rusia sering disebut oleh para ilmuan politik
sebagai hybrid regime. Ini disebabkan
otoriterisme pemerintah mereka dibalut dengan demokrasi elektoral (dalam hal
ini pemilu) yang tetap berlangsung. Sedangkan
Thailand masih mengalami masalah yang tidak kunjung selesai dengan kudeta
militer yang terus-menerus terjadi.
Lalu apa makna yang bisa diambil
dari data Bank Dunia tersebut? Sering kita mendengarkan demonstrasi dari
mahasiswa atau LSM yang bertajuk ‘hapuskan oligarki’[1].
Ini mungkin berhubungan erat dengan data tersebut. Bila kita berandai-andai,
mungkin angka satu persen tersebut bissa jadi hanya berputar di lingkaran
oligark Indonesia, birokrasi, dan masyarakat kelas atas perkotaan. Mari kita
bayangkan lewat perhitungan sederhana. Apabila penduduk Indonesia berjumlah 250
juta orang, dan kita anggap satu rumah tangga berjumlah empat orang, maka
terdapat 62,5 juta rumah tangga. Satu persen kepala keluarga dengan demikian
hanya berjumlah 625 ribu rumah tangga. Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan
jumlah rumah tangga di Jakarta Pusat ditambah dengan Jakarta Selatan.[2]
Dengan
demikian demokrasi elektoral yang sebenarnya bisa memberikan ruang politik
alternatif bagi mayarakat yang terpojokkan, untuk menciptakan kesetaraan baik
politik dan ekonomi, sebenarnya tidak terjadi di Indonesia. Tapi pertanyaannya
adalah, apakah benar demokrasi diciptakan untuk menciptakan kesetaraan ekonomi?
Tulisan ini tidak ingin menjawab hal itu. Akan tetapi faktanya adalah demokrasi
memang bisa hidup di semua negara dengan kondisi politik, ekonomi, dan sosial
yang berbeda-beda. Sehingga ini mematahkan anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi
adalah hal mutlak untuk menciptakan demokrasi. Setidaknya itulah yang diucapkan
oleh Amartya Sen. Kita bisa lihat negara miskin seperti Banglades juga
melakukan pemilu sebagaimana Amerika Serikat juga menjalankannya.
Pada tahun ini Indonesia mencatatkan
sejarah dengan menyelenggarakan Pilkada serentak. Pesta demokrasi ini menjadi
yang terbesar di dunia. Banyak yang menilai ini sebagai prestasi. Benarkah
demikian? Penilaian-penilaian tersebut bisa dikatakan menjadi sebuah hal yang dijadikan
tolak ukur demokrasi kita belakangan ini. Kelancaran penyelenggaraan pemilu,
banyaknya partisipasi pemilih, rekam jejak calon dalam hal korupsi dan berbagai
hal lain yang sifatnya sistemik, menjadi hal-hal yang lebih disoroti ketika
berbicara demokrasi. Hal ini memiliki kecenderungan menjadi semacam tren.
Kacamata kita terhadap demokrasi menjadi hanya sebatas institusionalisasi.
Dengan kata lain yang dicari hanyalah bagaimana bisa menjalankan demokrasi
elektoral dengan lancar dan meraup suara masuk yang maksimal. Tidak salah
mencari sistem terbaik. Namun demokrasi tidak bisa hanya dilihat dalam satu
kacamata saja.
Bersamaan
dengan gegap gempita demokrasi elektoral, politik sendiri telah menjadi
komoditas bisnis yang menjanjikan. Media dan lembaga-lembaga yang
mengatasnamakan ‘lembaga survei’ atau ‘pengamat politik’ bersatu atas nama
pengawasan, dan tentunya saling menguntungkan. Demokrasi dibentangkan hanya
sebatas pemilu dan partai politik. Bahkan seringkali politik dikerdilkan
sebatas cara berkomunikasi dengan baik. Tanpa niat menyinggung beberapa profesi
ini, kondisi ini membuat masyarakat memerlukan niat dan tenaga lebih untuk mau
lebih ‘mencari ilmu’ di luar media (termasuk media sosial).
Demokrasi
yang diimani di Indonesia telah kehilangan daya juang dan semangat kritisnya. Ketimpangan
ekonomi dan juga monopoli definisi demokrasi – menjadi hanya sekedar hal yang
bersifat institusional- yang disebutkan di atas semakin memperlihatkan hal ini.
Dalam sudut pandang lain, bisa jadi ini adalah wajah demokrasi yang dimiliki
oleh masa yang kita sebut sebagai ‘Reformasi’ ini. Politik tak ubahnya ‘dunia hiburan’.
Kampus yang seharusnya menjadi
tempat diskursus dan diskusi ilmu juga bergerak statis. Pola pemikiran
institusionalis yang cenderung tidak kritis justru semakin banyak berkembang,
bila tidak bisa dikatakan bertahan. Sehingga yang ada hanyalah
pengertian-pengertian demokrasi dan politik yang sebatas sistem pemilu, sistem
pemerintahan, kebijakan publik, atau ulasan partisipasi politik yang itu-itu
saja. Ini semua membentuk sebuah gerak yang stagnan dari demokrasi di dalam
negeri. Dalam hal ini bukan berarti hal-hal tersebut tidak perlu dipelajari.
Itu penting. Namun perlu diimbangi dengan kekritisan, yang seharusnya menjadi
modal utama sebuah ilmu untuk bisa berkembang. Bila tidak, maka kampus tidak
bisa memberikan alternatif bagi demokrasi kita yang stagnan ini dan hanya
berada pada lingkaran yang sama dengan sektor lain di atas.[3]
Lalu apa?
Demokrasi kita menjadi stagnan karena tidak jelas apa yang
diperjuangkan lewat sistem tersebut. Identitas ideologi yang tidak jelas
membuat sebenarnya persaingan yang ada hanya bersifat semu, bila tidak bisa
dikatakan kosong. Pengertian penulis adalah bahwa sebenarnya tidak ada yang
benar-benar diperbenturkan selain kepentingan uang para kontestan. Jatuhnya
pemerintahan sosialis Venezuela dikarenakan evaluasi negatif masyarakat
terhadap ekonomi negara tersebut yang sedang terpuruk. Akan tetapi persaingan
mereka jelas secara ideologis. Sehingga ketika Maduro kalah kita bisa
mengatakan akan ada perubahan haluan yang besar dari politik negara tersebut.
Sedangkan yang ada di Indonesia hanyalah lompatan dari satu aktor ke aktor
lainnya yang sama-sama menggunakan populisme semata. Kedua negara sama-sama
menerapkan demokrasi. Namun perbedaan mendasar terlihat dengan jelas. Masalahnya
sebenarnya bukan pada Jokowi. Namun ada pada bagaimana kita mengawasinya.
Kita seharusnya sudah jauh
meninggalkan Myanmar dalam hal demokrasi. Namun bukan berarti jalan yang sama
akan dilalui oleh Myanmar. Dari usianya, seharusnya masyarakat kita sudah dalam
kemapanan akan sistem demokrasi ini. Akan tetapi perlu kita uji apakah benar
posisi kita sekarang adalah sebuah kemapanan, ataukah jalah buntu? Cara kita
mengetahui apakah kita berada di posisi itu atau tidak adalah dengan daya
kritis. Kita perlu mengerti untuk apa demokrasi ini ada dan sampai dimanakah
kemampuannya dalam mengakomodir kebebasan politik, sosial, dan ekonomi kita
dalam bernegara. Transisi dari pemerintahan militeristik telah menjadi cerita
lama bagi kita. Tantangan selanjutnya adalah berusaha keluar dari hanya
membicarakan soal pemilu.
Selain di Myanmar dan Venezuela,
tahun 2015 juga memuat berbagai fenomena menarik terkait demokrasi. Arab Saudi
untuk pertama kalinya memperbolehkan perempuan memilih dalam pemilu lokal.
Warga Catalunya di Spanyol memenangkan pemilu referendum, yang tentunya semakin
mendorong terjadinya kemerdekaan. Serta berbagai fakta menarik lainnya yang
terlewatkan oleh kita yang setiap hari memegang gadget ini. Kita semua adalah penikmat demokrasi. Namun sampai
dimana kita bisa menikmatinya hanya bisa kita ketahui apabila kita berusaha,
barang sedikit, untuk mencari tahu lebih. Namun bagaimanapun juga ini hanya
opini saya. Selamat menyambut Tahun Baru
2016!
[1]
Dalam hal ini penulis ingin mengomentari mengenai penggunaan konsep ‘oligarki’
oleh masyarakat. Sebelumnya kita perlu terlebih dahulu mengenal konsep oligark.
Definisi oligark adalah segelintir orang yang memiliki kekuasaan sumber daya
modal yang besar yang menguasai ekonomi sebuah negara. Ia punya kekuatan yang
lebih besar ketimbang elit politik. Jumlah mereka sedikit, namun sangat
berkuasa. Sedangkan oligarki adalah politik pertahanan kekayaan oleh para
oligark tersebut. Seringkali masyarakat menggunakan kata oligarki dan oligark
dengan makna yang sama. Sehingga pertanyaannya adalah yang mana sebenarnya
harus dihapuskan? Apakah mungkin oligarki dihapuskan? Pembahasan mengenai hal
ini menarik untuk dibahas dalam tulisan yang lain.
[2]
Dengan pola generalisasi yang sama apabila jumlah penduduk Jakarta Pusat 900
ribu jiwa dan Jakarta Selatan sekitar 1,8 juta jiwa.
[3]
Dalam dunia kampus pandangan kritis seringkali hanya disematkan pada mereka
yang memiliki ideologi Marxis. Saya kurang sepkt akan hal ini. Memang ‘ibu’
dari pemikiran kritis atas teori-teori Marx. Akan tetapi sebenarnya kritis yang
saya maksud di sini secara sederhana lebih kepada daya untuk menghadirkan
diskursus ke dalam sebuah fenomena. Masalahnya sekarang adalah tidak ada usaha
untuk saling membenturkan pemikiran, atau kemunculan antitesa terhadap tesis
tertentu jarang ditemukan dalam hemat saya. Mahasiswa hanya sebatas konsumen
dan dosen tak ubahnya seperti dewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar