Kamis, 20 September 2012

Ketika Kelingking Jakarta Menjadi Ungu

Jari kelingking telah dicelupkan. Warna ungu menempel di kulit yang kasar atau pun halus. Kertas-kertas penuh bolongan dihitung satu persatu sebelum menjadi tumpukan sampah yang entah akan dibakar atau ditimbun. Ibu-ibu rumah tangga mengajak anak kecilnya duduk-duduk di kursi tamu sambil menyaksikan orang-orang, mulai remaja sampai yang sudah sepuh, berlalu-lalang mengotori jari kelingking mereka dengan tinta seperti sebuah pertunjukan sesaat di sebuah kampung yang sumpek dengan bau selokan yang menyengat. Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua telah dilaksanakan.

Pesta demokrasi itu telah diikuti oleh ribuan remaja dan dewasa, oleh mereka mengenal calon dari siaran televisi, mereka yang tahu karena diceritakan oleh orangtua, atau mereka yang mengikuti jalannya kampanye calon sambil dengan seru berdebat dengan kawan-kawannya setiap kali menyinggung perbincangan seputar pemilukada DKI Jakarta. Bahkan warga Jakarta yang sedang berkelana di luar kota atau luar negeri yang tidak bisa turut serta dalam pemilukada ini sangat antusias mencari tahu hasil quick count.

Dalam hasil quick count yang telah dimumkan di TV sampai tweet para remaja di twitter, Jokowi-Ahok memenangkan perolehan suara di putaran kedua ini. Sebuah hasil yang bagi banyak orang tidaklah mengagetkan. Fauzi Bowo kalah dalam adu popularitas. Ya, popularitas. Bagaimana kemudian dengan perang visi misi? Apakah betul Foke kalah ketimbang Jokowi?

Pada rentang waktu putaran pertama dan putaran kedua masyarakat bukanlah disajikan sebuah pertarungan visi misi yang menggiurkan untuk dipikirkan sebagai bahan memilih calon pemimpin mereka. Masyarakat malah dipertontonkan perang SARA yang membawa unsur agama dan ras. Apakah anda melihat itu indah adanya? Atau mungkin kita sebagai masyarakat Jakarta malah lebih tertarik dengan pertarungan macam itu? Bisa saja demikian karena unsur yang berbau SARA terkadang sangat menarik untuk diperdebatkan dan menarik minat untuk membawa konflik ke permukaan.

Menurut Samuel P. Huntington, interaksi politik dunia saat ini bukanlah berasal dari perang ideologi. Dunia saat ini lebih digerakkan oleh konflik antar peradaban yakni agama dan ras. Agama terutama, merupakan penggerak yang paling kuat dalam mengatur sebuah masyarakat sampai pada taraf politis. Dan hal itu bisa kita lihat dengan apa yang terjadi dalam masa pemilihan calon gubernur baru DKI Jakarta ini.

Kalau konsep dunia yang diungkapkan oleh Huntington kita sempitkan sebatas lingkup DKI Jakarta saja maka kita bisa melihat bagaimana memang kita sebagai masyarakat sangat terpengaruh dengan isu ras dan agama. Bila kita bayangkan secara sederhana saja maka saya bisa mencontohkan sebagai berikut. Banyak di antara kita yang tiba-tiba mengikuti jalannya pilkada karena ada isu SARA yang naik ke permukaan. Apakah anda satu di antaranya? Apakah sebelumnya anda mengikuti dan telah mengenal visi misi dan program para calon? Jika memang anda menjadi tertarik dengan berita seputar pilkada karena ada unsur SARA yang menurut anda sangat seru berarti anda sendiri sebagai masyarakat akan sulit untuk melihat seorang pemimpin secara objektif.

Itu semakin diperparah oleh media yang memang saat ini sangat diuntungkan dengan berita-berita semacam ini dan tentu saja semakin membuat panas suasana yang ada di tengah masyarakat. Majunya social media juga semakin membantu percepatan informasi termasuk provokasi. Calon yang diuntungkan hanya tinggal duduk sambil tersenyum melihat masyarakat yang ternyata belum bisa berpikir maju mudah terprovokasi.

Jika tak ada kesalahan dalam perhitungan quick count maka bisa dipastikan bahwa Jokowi adalah pemimpin baru Jakarta. Banyak orang-orang yang tidak rugi telah membeli baju kotak-kotak di pinggir jalan atau di mobil-mobil keliling yang berhenti di tempat-tempat secara acak. Apakah janji-janjinya dan kredibilitasnya yang katanya telah teruji di kota Solo mampu merubah Jakarta sesuai keinginan masyarakat?

Yang menarik disini bagi saya adalah kekalahan Foke berarti juga kekalahan Demokrat. Secara tidak langsung DKI Jakarta akan dipimpin oleh partai oposisi. Seperti yang kita tahu Jokowi-Ahok adalah pasangan yang diusung oleh PDIP dan Gerindra. Sangat menarik untuk diikuti karena Jakarta adalah kota yang di dalamnya berisi inti pemerintahan negara. Negara yang dikuasai Demokrat dan Jakarta yang dipimpin lawannya. Akan menjadi seperti apakah perpolitikan di Jakarta kedepannya?

Pemerintahan Jokowi nanti tentu saja akan dipengaruhi oleh partai pengusungnya. Melihat dasar ilmu Jokowi yang kehutanan tentu akan sulit bagi dirinya jika tidak dibantu oleh para ahli perkotaan dalam menata kota Jakarta. Dan bantuan itu bisa saja dan tidak mungkin akan dimonopoli oleh partai-partai pendukungnya. Ini bisa saja menjadi tantangan warga Jakarta untuk turut berpartisipasi mengawasi jalannya pemerintahan di Jakarta agar tidak menyeleweng ke kepentingan kelompok tertentu atau hanya sebagai alat penjaring kekuasaan semata.

Namun pada dasarnya siapapun yang terpilih akan mengemban amanat dan harapan dari masyarakat Jakarta yang telah lelah, basah, dan frustasi karena macet, banjir, dan kesenjangan sosial yang menyelimuti setiap saat ketika panas udara Jakarta mengenai kulit kita yang mulai menghitam. Bukan tidak mungkin memimpin Jakarta adalah awal untuk pada nantinya mengambil bagian dalam jajaran penguasa Indonesia. Sekali lagi, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar