Ketika kita membayarkan sesuatu, kita berhak atas apa yang
menjadi alasan kita membayar. Entah itu sebuah barang atau pun jasa pelayanan.
Itulah hakekat dari kita membayar. Seperti halnya kita membeli siomay dengan
harga lima ribu rupiah kita bisa mendapatkan lima siomay, pasti kita akan
protes atau bahkan sampai memarahi si tukang siomay ketika kita hanya
mendapatkan empat siomay. Hal ini umum di setiap saat kita membayar sesuatu,
termasuk membayar kuliah. Kalau dalam hal perguruan tinggi, mahasiswa adalah konsumen
utamanya.
Jika anda adalah seorang mahasiswa, tentu anda akan
menjalankan tanggungjawab awal yakni membayar uang masuk universitas atau pun
uang kuliah semester. Anda membayarkan itu dengan harapan mendapatkan pelayanan
pendidikan yang maksimal dari pihak universitas. Biaya kuliah yang tinggi saat
ini semakin membuat ekspetasi kita terhadap apa yang akan kita dapat dengan
membayar ke pihak universitas semakin tinggi. Tak terkecuali di Perguruan
Tinggi Negeri yang ada di Indonesia.
Tidak seperti era sebelumnya dimana biaya kuliah di
Perguruan Tinggi Negeri sangat murah, saat ini biaya yang dikeluarkan tak jauh
berbeda dengan biaya masuk universitas swasta. Bahkan ada kelas-kelas yang
dibuka di Perguruan Tinggi Negeri yang memakan biaya yang melebihi biaya masuk
universitas swasta. Dahulu selain mencari kualitas yang terjamin dari
universitas negeri orang-orang juga mencari biaya kuliah murah dengan masuk
universitas negeri, kalau sekarang?
Saya saat ini berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi
Negeri. Seperti yang saya utarakan di atas, biaya yang saya keluarkan cukup
tinggi. Biaya yang tinggi itu sudah termasuk biaya masuk kuliah, uang semester,
dan biaya lainnya yang tak disebutkan satu-persatu oleh pihak universitas.
Untuk itu semua saya merogoh kocek sampai belasan juta rupiah.
Masalahnya ada ketika sebagai mahasiswa, saya atau
setidaknya angkatan saya tidak mendapatkan hak kami secara maksimal. Sebagai
contoh ada satu mata kuliah wajib universitas saya yang memakai 5 buku cetak
yang seharusnya dibagikan oleh pihak universitas. Sampai saat ini buku-buku
yang menjadi hak kami itu belum kami terima. Padahal menengok ke tahun-tahun
sebelumnya, buku tersebut sudah bisa didapat dari awal masuk kuliah. Tapi untuk
tahun ini, sampai mendekati UTS kami belum bisa mendapatkannya.
Masalah buku itu hanya salah satu hal di antara berbagai
macam persoalan yang saya rasa tidak bisa diterima alasan apapun untuk
menjelaskannya. Seperti kartu mahasiswa yang baru didapatkan setelah lewat
berminggu-minggu dari masuk kuliah, fasilitas komputer mahal yang canggih yang
tidak bisa berfungsi dengan baik, dll.
Dengan kasus-kasus semacam itu bisa saja muncul kecurigaan
terhadap penyelewengan uang yang dibayarkan oleh mahasiswa. Sah-sah saja ketika
mahasiswa mencurigai hal itu ketika mereka tidak mendapatkan hak yang
sewajarnya. Seperti rakyat yang tak mampu mempertanyakan uang dana BOS untuk
anak mereka yang tidak mereka terima. Adalah wajar untuk mempertanyakan hak
kita.
Kita perlu menganggap hal ini sebagai hal yang serius. Jika
memang kita ingin universitas kita mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi di
mata internasional atau setidaknya dicap berkualitas internasional, hal-hal
semacam ini tidak sepatutnya bisa terjadi. Jika pihak universitas saja tidak
bisa memenuhi kewajibannya memberikan fasilitas dan pelayanan terbaik kepada
mahasiswanya, bagaimana bisa pihak luar menilai kita dengan lebih baik?
Hal yang masih kurang dalam pengelolaan dana di Perguruan
Tinggi Negeri salah satunya adalah transparansi terhadap dana yang dibebankan ke pihak mahasiswa.
Ketika seorang mahasiswa membayar dana sebut saja sebesar lima belas juta
rupiah, maka sudah sepatutnya mahasiswa mengetahui kemana perginya uang yang
dibayarkan itu. Ini ada baiknya juga untuk hubungan yang baik antara fakultas
dengan mahasiswa yakni meminimalisir kecurigaan yang akan berdampak negatif
dalam berlangsungnya perkuliahan. Akuntabilitas pihak universitas masih patut
untuk dipertanyakan.
Mahasiswa sekarang juga harus bisa bersikap kritis terhadap
masalah semacam ini. Dari lingkungan saya sendiri, atau jika dipersempit dalam sebuah kelas, banyak yang tidak menyadari
akan adanya hal yang tidak berjalan semestinya, dalam hal ini masalah buku
tadi. Mungkin mereka mengeluh namun merasa hal itu bukanlah hal yang penting
untuk ditindaklanjuti. Pihak universitas bisa saja membiarkan hal ini terjadi
berlarut-larut karena dari mereka sendiri tidak merasa ada tekanan yang
mengharuskan mereka untuk melakukan perubahan. Mahasiswa harus tetap responsif
agar bisa terus mengingatkan pihak universitas jika terjadi hal yang tidak
semestinya.
Adalah tanggungjawab kita sebagai mahasiswa untuk
mempertanyakan dan melakukan tindakan terhadap hal semacam ini. Dana pendidikan
yang berasal dari rakyat sudah sepatutnya dipertanggungjawabkan, dan kita
sebagai mahasiswa memiliki peran kontrol karena kita yang secara
langsung merasakan apakah dana itu sudah dipakai dengan maksimal atau tidak.
Kita sendirilah yang harus bertindak jika terjadi hal yang keluar pada jalur
yang semestinya. Kalau bukan kita yang bergerak, maka siapa lagi? Pihak lain tak punya dorongan atau kepentingan untuk bergerak seperti kita.
Seperti ungkapan di awal tulisan ini, kita ini membayar.
Beda soal kalau kita menyumbang. Ketika menyumbang kita tidak mengharapkan
imbalan atau timbal balik kepada kita yang setimpal. Sedangkan ketika kita
membayar maka kita harus menuntut hak kita secara maksimal sesuai yang telah
kita lakukan dalam kewajiban kita. Sudahkah anda mendapatkan hak anda?
Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar