Selasa, 09 Oktober 2012

Kami Bayar Bukan Nyumbang


Ketika kita membayarkan sesuatu, kita berhak atas apa yang menjadi alasan kita membayar. Entah itu sebuah barang atau pun jasa pelayanan. Itulah hakekat dari kita membayar. Seperti halnya kita membeli siomay dengan harga lima ribu rupiah kita bisa mendapatkan lima siomay, pasti kita akan protes atau bahkan sampai memarahi si tukang siomay ketika kita hanya mendapatkan empat siomay. Hal ini umum di setiap saat kita membayar sesuatu, termasuk membayar kuliah. Kalau dalam hal perguruan tinggi, mahasiswa adalah konsumen utamanya.

Jika anda adalah seorang mahasiswa, tentu anda akan menjalankan tanggungjawab awal yakni membayar uang masuk universitas atau pun uang kuliah semester. Anda membayarkan itu dengan harapan mendapatkan pelayanan pendidikan yang maksimal dari pihak universitas. Biaya kuliah yang tinggi saat ini semakin membuat ekspetasi kita terhadap apa yang akan kita dapat dengan membayar ke pihak universitas semakin tinggi. Tak terkecuali di Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Indonesia.

Tidak seperti era sebelumnya dimana biaya kuliah di Perguruan Tinggi Negeri sangat murah, saat ini biaya yang dikeluarkan tak jauh berbeda dengan biaya masuk universitas swasta. Bahkan ada kelas-kelas yang dibuka di Perguruan Tinggi Negeri yang memakan biaya yang melebihi biaya masuk universitas swasta. Dahulu selain mencari kualitas yang terjamin dari universitas negeri orang-orang juga mencari biaya kuliah murah dengan masuk universitas negeri, kalau sekarang?

Saya saat ini berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri. Seperti yang saya utarakan di atas, biaya yang saya keluarkan cukup tinggi. Biaya yang tinggi itu sudah termasuk biaya masuk kuliah, uang semester, dan biaya lainnya yang tak disebutkan satu-persatu oleh pihak universitas. Untuk itu semua saya merogoh kocek sampai belasan juta rupiah.

Masalahnya ada ketika sebagai mahasiswa, saya atau setidaknya angkatan saya tidak mendapatkan hak kami secara maksimal. Sebagai contoh ada satu mata kuliah wajib universitas saya yang memakai 5 buku cetak yang seharusnya dibagikan oleh pihak universitas. Sampai saat ini buku-buku yang menjadi hak kami itu belum kami terima. Padahal menengok ke tahun-tahun sebelumnya, buku tersebut sudah bisa didapat dari awal masuk kuliah. Tapi untuk tahun ini, sampai mendekati UTS kami belum bisa mendapatkannya.

Masalah buku itu hanya salah satu hal di antara berbagai macam persoalan yang saya rasa tidak bisa diterima alasan apapun untuk menjelaskannya. Seperti kartu mahasiswa yang baru didapatkan setelah lewat berminggu-minggu dari masuk kuliah, fasilitas komputer mahal yang canggih yang tidak bisa berfungsi dengan baik, dll.

Dengan kasus-kasus semacam itu bisa saja muncul kecurigaan terhadap penyelewengan uang yang dibayarkan oleh mahasiswa. Sah-sah saja ketika mahasiswa mencurigai hal itu ketika mereka tidak mendapatkan hak yang sewajarnya. Seperti rakyat yang tak mampu mempertanyakan uang dana BOS untuk anak mereka yang tidak mereka terima. Adalah wajar untuk mempertanyakan hak kita.

Kita perlu menganggap hal ini sebagai hal yang serius. Jika memang kita ingin universitas kita mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi di mata internasional atau setidaknya dicap berkualitas internasional, hal-hal semacam ini tidak sepatutnya bisa terjadi. Jika pihak universitas saja tidak bisa memenuhi kewajibannya memberikan fasilitas dan pelayanan terbaik kepada mahasiswanya, bagaimana bisa pihak luar menilai kita dengan lebih baik?

Hal yang masih kurang dalam pengelolaan dana di Perguruan Tinggi Negeri salah satunya adalah transparansi terhadap dana yang dibebankan ke pihak mahasiswa. Ketika seorang mahasiswa membayar dana sebut saja sebesar lima belas juta rupiah, maka sudah sepatutnya mahasiswa mengetahui kemana perginya uang yang dibayarkan itu. Ini ada baiknya juga untuk hubungan yang baik antara fakultas dengan mahasiswa yakni meminimalisir kecurigaan yang akan berdampak negatif dalam berlangsungnya perkuliahan. Akuntabilitas pihak universitas masih patut untuk dipertanyakan.

Mahasiswa sekarang juga harus bisa bersikap kritis terhadap masalah semacam ini. Dari lingkungan saya sendiri, atau jika dipersempit dalam sebuah kelas, banyak yang tidak menyadari akan adanya hal yang tidak berjalan semestinya, dalam hal ini masalah buku tadi. Mungkin mereka mengeluh namun merasa hal itu bukanlah hal yang penting untuk ditindaklanjuti. Pihak universitas bisa saja membiarkan hal ini terjadi berlarut-larut karena dari mereka sendiri tidak merasa ada tekanan yang mengharuskan mereka untuk melakukan perubahan. Mahasiswa harus tetap responsif agar bisa terus mengingatkan pihak universitas jika terjadi hal yang tidak semestinya. 

Adalah tanggungjawab kita sebagai mahasiswa untuk mempertanyakan dan melakukan tindakan terhadap hal semacam ini. Dana pendidikan yang berasal dari rakyat sudah sepatutnya dipertanggungjawabkan, dan kita sebagai mahasiswa memiliki peran kontrol karena kita yang secara langsung merasakan apakah dana itu sudah dipakai dengan maksimal atau tidak. Kita sendirilah yang harus bertindak jika terjadi hal yang keluar pada jalur yang semestinya. Kalau bukan kita yang bergerak, maka siapa lagi? Pihak lain tak punya dorongan atau kepentingan untuk bergerak seperti kita. 

Seperti ungkapan di awal tulisan ini, kita ini membayar. Beda soal kalau kita menyumbang. Ketika menyumbang kita tidak mengharapkan imbalan atau timbal balik kepada kita yang setimpal. Sedangkan ketika kita membayar maka kita harus menuntut hak kita secara maksimal sesuai yang telah kita lakukan dalam kewajiban kita. Sudahkah anda mendapatkan hak anda? Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar