Kamis, 20 Desember 2012

DI BAWAH KOLONG KAMPUNG MELAYU YANG GELAP


Lihatlah dengan seksama foto di atas. Apa yang anda lihat dari foto itu? Sampah? Banyak tentunya. Botol-botol plastik? Bertumpuk-tumpuk! Lampu? Jelas bisa terlihat dari foto itu. Manusia? Ya, disana juga ada manusia. Dan disana pun ada kehidupan. Ya, ada manusia-manusia yang menjalankan kehidupannya.

Kemudian anda bertanya, pilar besar apakah itu yang berdiri kokoh menopang atap berupa beton yang besar itu? Apakah perempuan dan anak kecil itu sedang berada di sebuah reruntuhan gedung yang tak terpakai lagi? Ataukah di gedung parkir yang terbengkalai? Keduanya tak ada yang mendekati benar. Selamat datang di  Komunitas Kolong Kampung Melayu.

Apa yang anda ketahui tentang kemiskinan? Apakah anda merasa salah satu yang termasuk di dalam pengertiannya? Apakah menurut anda gambar di atas adalah sebuah contoh dari kemiskinan?


Sebelum datang ke tempat pengambilan gambar itu saya dan juga anda mungkin sudah sering melihat pemukiman kumuh yang ada di kota Jakarta atau kota-kota lainnya yang ada di Indonesia. Pemukiman kumuh tersebar di bantaran  kali adalah hal biasa yang kita temui. Begitu juga dengan gubuk-gubuk di sepanjang rel kereta api yang menjadi pemandangan selama kita berada di dalam kereta. Orang yang tinggal di kolong jembatan juga mungkin sudah menjadi hal biasa yang kita lihat jika melintas di samping kolong jembatan atau flyover. Ada juga pemulung yang tinggal di gerobaknya, atau mereka yang tidur di pinggir jalan atau lantai depan minimarket. Dan Komunitas Kolong Kampung Melayu memberikan macam tempat tinggal yang lain dari yang selama ini saya lihat.

Bagi anda yang sering melintas di terminal Kampung Melayu, pernahkah anda mendengar tentang Komunitas Kolong Kampung Melayu? Kalau belum pernah, setidaknya mungkin anda pernah melintasinya. Melintasinya? Ya, tanpa sadar anda dan juga saya sering melintas di atas komunitas itu. Saya tidak bisa menjelaskan dengan jelas lokasinya dengan tulisan. Namun setidaknya lokasinya berada di jalan yang menuju terminal Kampung Melayu jika anda berjalan dari arah Tebet. Setelah melewati minimarket 7 Eleven anda akan melewati jalan raya yang melintas di atas kali Ciliwung yang jika anda jalan terus anda akan dipisahkan di jalur kiri yang menuju terminal dan jalur kanan yang akan menaiki flyover. Di bawah jalan raya itulah Komunitas Kolong itu berada. Tepat di bawah jalan raya dimana kendaraan bermotor berlalu lalang dengan suara bising, sebuah kelompok manusia menjalani keseharian mereka dan hidup disana. 

Sesuai yang saya utarakan sebelumnya, jalanan itu melintas di atas sungai. Bisa dibayangkan dengan mudah oleh anda bahwa lokasi tempat tinggal komunitas itu berbatasan langsung dengan sungai itu. Berbatasan disini  mengandung pengertian bahwa orang-orang disana akan dengan mudah terbanjiri dan tenggelam oleh air sungai yang berwarna seperti air kopi itu. Ketika salah satu warga ditanya oleh rekan saya bagaimana jika sungai meluap, salah seorang bapak dari komunitas itu menjawab "Ya kelelep. Haha, mau gimana lagi, harus keluar ke atas." Jawaban yang mudah dan singkat. Cara bicara yang dibumbui sedikit gurauan tak bisa membuat kita yang mendengar berusaha tersenyum atau bahkan tertawa karenanya. Hanya muka tanpa ekspresi yang bisa di tampilkan di wajah. Hanya kemirisan yang terasa di dada. Bahkan rasa empati tak cukup untuk bisa membayangkan bagaimana mereka bisa hidup dengan ancaman air sungai yang berada hanya beberapa kaki jauhnya dari tempat mereka tidur setiap malamnya.

Si dalam kolong itu mereka tidur, bekerja, bermain, memasak, bersenda gurau, dan makan setiap harinya. Anjing-anjing berbulu rontok yang entah sudah berpenyakit apa dan kucing-kucing berinteraksi tanpa dendam. Entah bagaimana orang disana membagi jatah makanan mereka dengan binatang yang tak sedikit bermukim bersama mereka disana. Hanya triplek-triplek penuh tambalanlah yang memisahkan satu per satu kepala keluarga di dalam kolong itu. MCK seadanya yang reot dan udara yang sangat lembab melengkapi kemuraman kehidupan di bawah kolong yang terlihat oleh saya dan rekan-rekan mahasiswa yang datang kesana. Jika kolong itu di-scan dengan antivirus seperti di komputer mungkin penyakit atau virus yang terdeteksi akan membuat kita men-scroll dengan cukup lama ke bawah, menggambarkan betapa lingkungan yang mereka tinggali sudah sangat jauh dari kata sehat. Hanya ada satu pertanyaan yang terus berteriak untuk dijawab di dalam benak saya, bagaimana mereka bisa hidup dengan kondisi seperti itu? Bahkan mungkin mereka sudah lupa akan definisi hidup layak itu seperti apa.

Salah seorang rekan saya yang biasa dipanggil Arby adalah seseorang yang terpanggil untuk memberikan perhatian lebih ke Komunitas Kolong Kampung Melayu. Ia sering sekali mendatangi tempat itu minimal sekedar untuk berinteraksi dengan penduduk disana termasuk anak-anak kecil yang impiannya tertutup oleh jalan raya yang bising. Arby yang telah membantu dan memberikan perhatian ke penduduk disana juga pernah membela mereka yang sempat ingin digusur oleh pemerintah daerah setempat. Salah satu alasan penggusuran adalah karena komunitas itu mengganggu kenyamanan publik dan tidak seharusnya tinggal di tempat publik. Konyol! Pada sisi mana mereka mengganggu kenyamanan publik? Bahkan mereka terlihat oleh publik saja tidak, bagaimana mereka bisa mengganggu?! Mereka hanya menggunakan bagian sisi kota yang tertutup dan tidak terawat sebagai lahan mereka tinggal. Kotornya pinggiran kali juga bukan tanggungjawab mereka. Sampah-sampah itu datang dari anda, saya, kita semua yang tidak peduli akan lingkungan ini. 

Penduduk disana berusaha membuat perut mereka dan anak-anaknya terisi dengan mengumpulkan sampah plastik yang terdiri dari gelas atau pun botol plastik. Dengan demikian sungai yang menjadi ancaman kehidupan mereka juga menjadi salah satu sumber sampah plastik yang nantinya mereka gunakan untuk mencari uang. Sebuah roda kehidupan yang hanya bergelinding di kolong jalan raya, jalan raya yang seharusnya menjadi tempat sebuah roda bergelinding mencari arah kehidupan. 

Gubernur DKI Jakarta pernah mendatangi komunitas ini saat masa kampanye. Ia menawarkan kepada komunitas ini untuk pindah dari sana. Namun warga disana menolak karena mereka telah lama mendiami tempat itu dan sudah kerasan disana. Selain itu tempat itu juga dekat dengan tempat penimbangan plastik, tempat mereka menukarkan botol-botol plastik itu dengan selembar dua lembar rupiah yang mungkin tidak ada artinya untuk sebagian dari anda. Lalu karena mereka tidak ingin pindah dengan alasan seperti itu, apakah pemerintah lalu diam saja dan membiarkan mereka tinggal di tempat yang mereka pilih dan sukai yaitu kolong jalan raya itu?

Pemerintah seringkali memberikan opsi kepada warga perkampungan kumuh untuk tinggal di tempat yang lain seperti rumah susun. kebanyakan dari mereka menolak ajakan itu. Seharusnya pemerintah bisa melihat faktor lapangan pekerjaan yang menjadi masalah utama seperti pada alasan yang terucap oleh warga Komunitas Kolong itu. Mereka takut jika mereka pindah ke tempat yang baru mereka akan kesulitan mencari nafkah yang selama ini telah tercukupi menurut mereka dengan mengumpulkan sampah. Pemerintah hanya melihat masalah dari sisi tempat tinggal saja tanpa melihat bagaimana warga kekurangan itu bisa bertahan ekonominya. Ketika lapangan kerja telah terjamin maka masalah yang tadi terucap bahwa mereka telah dekat dengan tempat penimbangan palstik menjadi tidak berlaku lagi. Kalau memang ada usaha untuk membantu mereka maka tempat tinggal saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kepastian lapangan pekerjaan. Itulah cara memecahkan masalah yang ada seperti yang terjadi dengan Komunitas Kolong itu. 

Berat? Memakan biaya? Memang iya! Sudah barang tentu! Dan memang sudah sewajarnya pemerintah dan juga negara bertanggungjawab akan hal itu. Kalau memang ada niatan yang benar dari pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya maka ada jalan-jalan yang bisa ditempuh. Begitu juga dengan kita sebagai warga negara yang sama statusnya dengan mereka. Ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka. Bukan sekedar hanya membantu memberikan sumbangan semata yang akan habis mereka telan namun tidak memindahkan mereka dari gelapnya kolong jalan raya, tapi bantuan advokasi yang bisa menyokong mereka untuk maju mendapatkan kehidupan yang lebih layak, seperti apa yang telah coba diperjuangkan oleh rekan saya Arby selama ini. 

Semua dari kita pada dasarnya bisa mengambil peran, sekecil apapun itu. Komunitas Kolong Kampung Melayu hanyalah salah satu obsi bagi kita untuk bertindak di tengah ribuan bahkan jutaan orang lainnya yang membutuhkan perhatian kita. Dari sebuah kolong yang lembab kita belajar tentang sebuah perbedaan nan jauh, antara mereka yang terhangatkan oleh sinar matahari dan masih menggerutu di karenanya dan mereka yang hidup di bawah aspal pembangunan yang tak terlihat bahkan oleh mata kaki yang berpijak.

Bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar