Sudah seminggu lewat sejak bencana banjir tahun ini datang melanda Jakarta. Bencana kali ini sangat terasa karena intensitas banjir ini dibanding-bandingkan dengan banjir serupa pada tahun 2007 silam. Landmark Jakarta yakni bundaran Hotel Indonesia dibuat terendam tak berdaya oleh air banjir yang dengan leluasa mematikan akses-akses jalan ibukota. Sekali lagi rakyat diajak untuk berhenti sejenak melihat rumah-rumah terendam, anak-anak berenang riang di air cokelat, BNPB sibuk mengkoordinir bantuan maupun evakuasi, LSM dan partai ramai turun ke jalan, dan reporter-reporter menyelam ke banjir untuk mendapat gambar terbaik di tengah air yang merendam daerah-daerah ibu kota.
Banyak golongan yang tidak terlalu menyalahkan pemerintah untuk banjir. Tentu saja Jokowi masih aman karena ia baru saja menjadi gubernur. Ironisnya di saat ia langsung ngebut untuk menjadikan kebijakan-kebijakan dalam menanggulangi banjir secara cepat seperti yang selalu ia katakan, yang penting cepat, banjir menyapa Jakarta lebih dahulu dan Jokowi harus pasrah mendapatkan 'bencana' pertamanya. Banjir kanal Timur dan Barat yang digadang-gadang pemerintahan sebelumnya bisa membebaskan Jakarta dari banjir ternyata tidak terbukti. Ada juga masyarakat yang menyadari bahwa banjir adalah masalah dan tanggungjawab semua elemen masyarakat sebagai anggota dari kota Jakarta. Tidak adanya perhatian masyarakat terhadap keadaan sungai maupun daerah resapan yang semakin minim di tengah kota Jakarta tak bisa dilepaskan dari faktor penunjang banjir yang parah terjadi di Jakarta. Baik masyarakat biasa sampai pengusaha sama-sama tidak peduli dan hanya sama-sama 'pasrah' saat banjir datang.