Kisah sejarah
layaknya kepingan puzzle yang perlu
untuk dirangkai satu persatu untuk menjadi sebuah gambaran indah yang sambung
menyambung. Dalam mengaitkannya satu-persatu akan sering terjadi salah pasang
karena konsepsi yang keliru. Panorama maupun tokoh yang ingin digambarkan
menjadi seringkali buruk rupanya karena rangkaian yang salah, ataupun bolong
dengan pecahan yang tak terpasang atau hilang. Tugas kitalah para pewaris
sejarah untuk menyusun kepingan-kepingan tersebut dan belajar darinya.
Tak
cukup hanya mendengar dari dalam kelas selama waktu wajib belajar saja. Tak
cukup hanya mendengar dari cerita tidur para orangtua. Tak cukup pula mendengar
cerita yang hanya berhenti pada subjudulnya semata. Kita punya banyak waktu
untuk menggali sejarah itu. Kita sudah punya banyak cangkul dan sekop untuk
menggali itu semua. Buku bisa membawa kita jauh ke bawah tanah, sejarah yang
telah tertimbun oleh zaman.
Sedikit
menengok ke masa perjuangan bangsa kita mempertehankan kemerdekaan. Sebuah masa
lanjutan yang ternyata lebih menyulitkan dibanding memproklamirkan Indonesia.
Dari masa panjang itu mari kita menyelinap sedikit ke kamar yang lebih sempit.
Pada tahun 1948-1949, masa dimana Belanda kembali ingkar janji dan melakukan
agresi militernya yang kedua.
Dari
satu tahun yang sempit itu ada banyak hal yang bisa kita pelajari untuk
bercermin dengan para pembuat sejarah yang sedang beraksi di masa ini. Banyak
tokoh yang ingin turut tampil menguraikan cerita-cerita. Ada para protagonis
seperti Soekarno, Hatta, atau Sudirman. Ada juga antagonis seperti dua Radjawali Belanda, Simon Spoor dan Beel.
Namun biarlah panggung kita berikan terlebih dahulu kepada Sultan yang sudah
gatal ingin bersua, Sultan Hamengkoe Boewono IX. Sang aktor itupun ingin tebang
ke masa ini dan bertanya kepada cucuk-cicitnya yang hidup saat ini.
Sri
Sultan ingin bertanya kepada para pemilik modal ataupun uang. Kepada para
golongan priayi, saudagar,maupun raja-raja. Bisakah mereka memiliki wibawa
sesungguhnya sebagai manusia yang terlahir ataupun dengan kerja keras bisa
menjadi kalangan atas? Wibawa yang bisa menjadi panutan dan tempat bersandar
paling tegak bagi para pengikut dan rakyatnya.
Bisakah
mereka membuka sendiri simpanan uang mereka untuk secara sukarela membantu
pemerintah yang kesulitan mendanai para pekerjanya? Layaknya yang dilakukan
oleh Sultan pada masa-masa itu. Dimana uang simpanan Keraton dibuka dan diambil
untuk kemudian dikirimkan masing-masing kepada para birokrat agar tetap bisa
memihak kepada negara sendiri di saat pihak asing sedang mengancam kesetiaan
seorang warga negara. Uang memang dapat sangat menggiurkan. Sisi itu sebenarnya
bisa digunakan untuk melawan balik nafsu yang timbul karena tekanan kebutuhan.
Jika memang bisa digunakan untuk menjadi magnet bagi bangsa sendiri, mengapa
harus membiarkan rakyat pergi mencaplok pancingan dari penjajah?
Sanggupkah
juga para pemilik tanah menutup pintu untuk asing yang hanya ingin menggerogoti
negara kita? Mampukah mereka seperti
Sultan Hamengkoe Boewono IX yang dengan tetap angkuh menutup pintu Keraton bagi
Belanda yang ingin masuk menerobos. Pintu tetap ditutup rapat-rapat dan dari
dalam dengan tenang mengayomi rakyatnya dan membantu pemerintahan yang sekarat.
Kelimpahan uang bukanlah alasan untuk meminta lebih, melainkan alasan untuk
tetap teguh membantu Indonesia. Ia memang raja, namun Indonesia tetap
negaranya. Keraton akan dibuka untuk mereka yang memang dengan maksud baik
ingin bekerjasama untuk membangun dan pastinya saling menguntungkan. Namun
untuk mereka yang hanya ingin meraup lebih dan memporak-porandakan?
Sejengkalpun tak dapatlah izin untuk masuk ke dalam.
Kemudian
Sri Sultan juga ingin bertanya kepada para cucu-cucu lulusan perguruan tinggi di
luar negeri yang telah memperoleh gengsi gelar yang tinggi. Apakah mereka mampu
untuk dengan tegap menantang bicara asing yang ingin menggunakan keangkuhan
negara maju untuk mengeksploitasi kelemahan negara lemah dalam berbicara tatap
muka langsung dengan penuh wibawa kebangsaan yang kuat? Titel pendidikan yang
tinggi dan bergengsi sepatutnya bisa digunakan untuk meninggikan martabat bangsa
dibanding hanya sebatas mencari gengsi pribadi. Sultan pun juga merupakan
lulusan perguruan tinggi luar negeri, dan ia bahkan bisa menggunakan itu untuk
melawan keangkuhan tentara Belanda yang ingin menggeledah Keraton karena
kecurigaan menjadi tempat bersembunyi para gerilyawan.
Dikisahkan
dalam Tahta Untuk Rakyat dan dipetik
ulang ole Julius Pour dalam Doorstoot
Naar Djokja, Letnan Kolonel Scheers yang merupakan insinyur lulusan
Universiteit Delf memaksa masuk dengan membawa pasukan ke dalam keraton. Sultan
pun beranjak dan menemuinya bertatap muka. Tak ada rasa takut meski senjata
telah terpasang di depan muka. Universiteit Leiden tempat Sultan bersekolah
memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding universitas sang Letnan Kolonel
karena merupakan universitas tertua. Derajat yang lebih tinggi tersebut membuat
orang-orang dari universitas lain tidak berani macam-macam. Tak terkecuali sang
Letnan Kolonel tersebut. Dengan derajat pendidikannya yang lebih rendah letnan
Belanda itu tak berani berbuat banyak dan harus pergi dari Keraton.
Tak berhenti
disitu datanglah orang dengan pangkat lebih tinggi ke Keraton. Sultan menang
wibawa dalam percakapan dan bahkan berani berkata untuk membunuh dirinya
terlebih dahulu sebelum berani mengacak-acak Keraton. Kali ini lawan bicaranya bahkan
seorang Jenderal bernama Meijer. Pembawaan yang sangat tegas memberikan respek
yang tinggi dari pihak Belanda. Namun memang itulah sebenarnya yang dibutuhkan,
ketegasan terhadap pihak luar. Belanda menaruh respek dan pergi dengan terlebih
dahulu menjabat tangan Sri Sultan.
Di akhir
lakonnya Sultan ingin menutupnya dengan bertanya kepada seluruh daerah-daerah
dan lapisan rakyat Indonesia. Masihkah ingin menjadi bagian dari Republik?
Seperti yang dilakukannya kepada kesultanannya. Posisi Keraton sangat
menentukan nasib perundingan sat itu. Mereka tidak memihak Belanda, namun juga
tidak terlibat langsung dalam perang gerilya. Ketika diharuskan memilih untuk
mengikuti pemerintahan Belanda atau berpihak kepada Indonesia, pilihan kedua
tak perlu lagi dipikirkan. Tak menjadi seorang pemimpin Bunglon yang pada saat
itu banyak terjadi di pemerintah yang ingin mencari aman. Menanggalkan
patriotisme untuk sekedar menambah waktu
hidup bersama asing yang telah jelas-jelas melanggar sebuah janji dengan
mengadakan agresi militer.
Di dalam
sebuah negara terdapat pemimpin-pemimpin yang memegang kendali atas rakyat.
Bahkan ada raja-raja kecil yang memonopoli ekonomi daerah. Sultan Hamengkoe
Boewono IX juga seorang raja. Bahkan seorang raja yang sangat dihormati oleh
rakyat Jogja. Ia cerdas dan kaya. Namun ia tidak pernah mendusta bahwa ia bukan
bagian dari Indonesia. Memilih menjadi Indonesia dan bertanggungjawab akan hal
itu.
Layar
panggung ditutup. Sang penulis sekali lagi inging mengingatkan, bagaimanapun
juga ini hanya opini saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar