Selasa, 13 Agustus 2013

SULTAN BERTANYA

Kisah sejarah layaknya kepingan puzzle yang perlu untuk dirangkai satu persatu untuk menjadi sebuah gambaran indah yang sambung menyambung. Dalam mengaitkannya satu-persatu akan sering terjadi salah pasang karena konsepsi yang keliru. Panorama maupun tokoh yang ingin digambarkan menjadi seringkali buruk rupanya karena rangkaian yang salah, ataupun bolong dengan pecahan yang tak terpasang atau hilang. Tugas kitalah para pewaris sejarah untuk menyusun kepingan-kepingan tersebut dan belajar darinya.

                Tak cukup hanya mendengar dari dalam kelas selama waktu wajib belajar saja. Tak cukup hanya mendengar dari cerita tidur para orangtua. Tak cukup pula mendengar cerita yang hanya berhenti pada subjudulnya semata. Kita punya banyak waktu untuk menggali sejarah itu. Kita sudah punya banyak cangkul dan sekop untuk menggali itu semua. Buku bisa membawa kita jauh ke bawah tanah, sejarah yang telah tertimbun oleh zaman.


                Sedikit menengok ke masa perjuangan bangsa kita mempertehankan kemerdekaan. Sebuah masa lanjutan yang ternyata lebih menyulitkan dibanding memproklamirkan Indonesia. Dari masa panjang itu mari kita menyelinap sedikit ke kamar yang lebih sempit. Pada tahun 1948-1949, masa dimana Belanda kembali ingkar janji dan melakukan agresi militernya yang kedua.

                Dari satu tahun yang sempit itu ada banyak hal yang bisa kita pelajari untuk bercermin dengan para pembuat sejarah yang sedang beraksi di masa ini. Banyak tokoh yang ingin turut tampil menguraikan cerita-cerita. Ada para protagonis seperti Soekarno, Hatta, atau Sudirman. Ada juga antagonis seperti dua Radjawali Belanda, Simon Spoor dan Beel. Namun biarlah panggung kita berikan terlebih dahulu kepada Sultan yang sudah gatal ingin bersua, Sultan Hamengkoe Boewono IX. Sang aktor itupun ingin tebang ke masa ini dan bertanya kepada cucuk-cicitnya yang hidup saat ini.

                Sri Sultan ingin bertanya kepada para pemilik modal ataupun uang. Kepada para golongan priayi, saudagar,maupun raja-raja. Bisakah mereka memiliki wibawa sesungguhnya sebagai manusia yang terlahir ataupun dengan kerja keras bisa menjadi kalangan atas? Wibawa yang bisa menjadi panutan dan tempat bersandar paling tegak bagi para pengikut dan rakyatnya.

                Bisakah mereka membuka sendiri simpanan uang mereka untuk secara sukarela membantu pemerintah yang kesulitan mendanai para pekerjanya? Layaknya yang dilakukan oleh Sultan pada masa-masa itu. Dimana uang simpanan Keraton dibuka dan diambil untuk kemudian dikirimkan masing-masing kepada para birokrat agar tetap bisa memihak kepada negara sendiri di saat pihak asing sedang mengancam kesetiaan seorang warga negara. Uang memang dapat sangat menggiurkan. Sisi itu sebenarnya bisa digunakan untuk melawan balik nafsu yang timbul karena tekanan kebutuhan. Jika memang bisa digunakan untuk menjadi magnet bagi bangsa sendiri, mengapa harus membiarkan rakyat pergi mencaplok pancingan dari penjajah?

                Sanggupkah juga para pemilik tanah menutup pintu untuk asing yang hanya ingin menggerogoti negara kita? Mampukah mereka  seperti Sultan Hamengkoe Boewono IX yang dengan tetap angkuh menutup pintu Keraton bagi Belanda yang ingin masuk menerobos. Pintu tetap ditutup rapat-rapat dan dari dalam dengan tenang mengayomi rakyatnya dan membantu pemerintahan yang sekarat. Kelimpahan uang bukanlah alasan untuk meminta lebih, melainkan alasan untuk tetap teguh membantu Indonesia. Ia memang raja, namun Indonesia tetap negaranya. Keraton akan dibuka untuk mereka yang memang dengan maksud baik ingin bekerjasama untuk membangun dan pastinya saling menguntungkan. Namun untuk mereka yang hanya ingin meraup lebih dan memporak-porandakan? Sejengkalpun tak dapatlah izin untuk masuk ke dalam.
          
      Kemudian Sri Sultan juga ingin bertanya kepada para cucu-cucu lulusan perguruan tinggi di luar negeri yang telah memperoleh gengsi gelar yang tinggi. Apakah mereka mampu untuk dengan tegap menantang bicara asing yang ingin menggunakan keangkuhan negara maju untuk mengeksploitasi kelemahan negara lemah dalam berbicara tatap muka langsung dengan penuh wibawa kebangsaan yang kuat? Titel pendidikan yang tinggi dan bergengsi sepatutnya bisa digunakan untuk meninggikan martabat bangsa dibanding hanya sebatas mencari gengsi pribadi. Sultan pun juga merupakan lulusan perguruan tinggi luar negeri, dan ia bahkan bisa menggunakan itu untuk melawan keangkuhan tentara Belanda yang ingin menggeledah Keraton karena kecurigaan menjadi tempat bersembunyi para gerilyawan.

Dikisahkan dalam Tahta Untuk Rakyat dan dipetik ulang ole Julius Pour dalam Doorstoot Naar Djokja, Letnan Kolonel Scheers yang merupakan insinyur lulusan Universiteit Delf memaksa masuk dengan membawa pasukan ke dalam keraton. Sultan pun beranjak dan menemuinya bertatap muka. Tak ada rasa takut meski senjata telah terpasang di depan muka. Universiteit Leiden tempat Sultan bersekolah memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding universitas sang Letnan Kolonel karena merupakan universitas tertua. Derajat yang lebih tinggi tersebut membuat orang-orang dari universitas lain tidak berani macam-macam. Tak terkecuali sang Letnan Kolonel tersebut. Dengan derajat pendidikannya yang lebih rendah letnan Belanda itu tak berani berbuat banyak dan harus pergi dari Keraton.

Tak berhenti disitu datanglah orang dengan pangkat lebih tinggi ke Keraton. Sultan menang wibawa dalam percakapan dan bahkan berani berkata untuk membunuh dirinya terlebih dahulu sebelum berani mengacak-acak Keraton. Kali ini lawan bicaranya bahkan seorang Jenderal bernama Meijer. Pembawaan yang sangat tegas memberikan respek yang tinggi dari pihak Belanda. Namun memang itulah sebenarnya yang dibutuhkan, ketegasan terhadap pihak luar. Belanda menaruh respek dan pergi dengan terlebih dahulu menjabat tangan Sri Sultan.

Di akhir lakonnya Sultan ingin menutupnya dengan bertanya kepada seluruh daerah-daerah dan lapisan rakyat Indonesia. Masihkah ingin menjadi bagian dari Republik? Seperti yang dilakukannya kepada kesultanannya. Posisi Keraton sangat menentukan nasib perundingan sat itu. Mereka tidak memihak Belanda, namun juga tidak terlibat langsung dalam perang gerilya. Ketika diharuskan memilih untuk mengikuti pemerintahan Belanda atau berpihak kepada Indonesia, pilihan kedua tak perlu lagi dipikirkan. Tak menjadi seorang pemimpin Bunglon yang pada saat itu banyak terjadi di pemerintah yang ingin mencari aman. Menanggalkan patriotisme  untuk sekedar menambah waktu hidup bersama asing yang telah jelas-jelas melanggar sebuah janji dengan mengadakan agresi militer.

Di dalam sebuah negara terdapat pemimpin-pemimpin yang memegang kendali atas rakyat. Bahkan ada raja-raja kecil yang memonopoli ekonomi daerah. Sultan Hamengkoe Boewono IX juga seorang raja. Bahkan seorang raja yang sangat dihormati oleh rakyat Jogja. Ia cerdas dan kaya. Namun ia tidak pernah mendusta bahwa ia bukan bagian dari Indonesia. Memilih menjadi Indonesia dan bertanggungjawab akan hal itu.


                Layar panggung ditutup. Sang penulis sekali lagi inging mengingatkan, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar