Minggu, 13 Oktober 2013

DASI YANG MEMBUAT KAKU


            Sebuah perbincangan unik terjadi belum lama ini. Aktornya adalah penulis dan sahabat-sahabat yang salah seorang di antaranya baru saja lulus dari universitas. Ia menjadi salah satu teman penulis yang paling cepat mendapatkan gelar S1. Perbincangan sore itu berawal dari pertanyaan akan bekerja dimanakah sahabat itu nantinya setelah wisuda.

                Seperti obrolan anak muda lainnya, kata-kata yang keluar sebagian besar adalah guyonan. Namun obrolan itu menjadi menarik ketika salah seorang di antara sahabat itu menyebut pekerjaan dengan gaji yang cukup tinggi. Pekerjaan itu tak lain adalah jurumudi bus Transjakarta. Pekerjaan yang mungkin sering ditemui oleh orang-orang Jakarta di kesehariannya, khususnya yang menggunakan jasa transportasi model ini.


                Yang menarik adalah gaji yang diterima oleh jurumudi tersebut tidaklah sedikit. Seorang jurumudi akan menerima gaji 7,7 juta rupiah setiap bulannya. Tentu itu bukanlah jumlah yang sedikit. Dengan uang sebesar itu kehidupan yang layak bisa didapat dengan jumlah keluarga kecil 3 sampai 4 orang. Namun gaji tersebut ternyata tidak terlalu menggiurkan untuk sahabat penulis yang lulusan universitas luar negeri itu. Perbincangan tersebut hanya berujung pada kesimpulan bahwa ia tidak akan terpikir untuk mencoba pekerjaan itu karena jurumudi , dalam bahasa sehari-hari ‘supir’, dianggap merupakan pekerjaan yang ‘rendah’.

                Pertanyaannya kemudian adalah, apakah benar pekerjaan seperti menjadi jurumudi itu pekerjaan rendahan? Kalau dilihat dari gaji yang diterima, masih pantaskah kita menyebutnya sebagai pekerjaan rendahan?

                Kita bisa melihat ini sebagai sebuah struktur sosial yang tak jauh berbeda dengan era-era sebelumnya. Masyarakat masih dibatasi oleh kelas-kelas sosial. Meskipun kelas tersebut sifatnya semu di tengah masyarakat. Begitu beragamnya jenis pekerjaan yang ada di masyarakat dalam arti tertentu membentuk stratifikasi sosial baru. Dan itu dilandasi oleh tingkat pendidikan, keahlian, serta yang utama jenis pekerjaan itu sendiri.

                Masyarakat kita masih terbiasa melihat profesi seseorang dari pekerjaan ‘berdasi’ dan tidak. Pekerjaan di kantoran dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang dipandang tinggi. Namun bila dilihat, sebenarnya pekerjaan non-kantoran juga bisa menawarkan gaji yang setimpal. Penulis ingin mengambil contoh dari pengalaman pribadinya sendiri. Pekerjaan administrasi di sebuah kantor bisa sama saja dengan gaji yang diterima oleh penulis di sebuah restoran siap saji. Kedua pekerjaan tersebut pun memiliki jenjang karir. Jam kerja tak jauh berbeda. Hal yang paling membedakan antara keduanya hanyalah pekerjaan yang dikerjakan masing-masing. Bila yang satu harus mengurusi perihal urusan administratif perusahaan, yang satu harus membuat hamburger atau kentang goreng.

                Kasus di atas memang tidak bisa kita pakai dengan mengganti pekerjaan administratif dengan pekerjaan yang membutuhkan keahlian tinggi seperti dokter atau ahli pertambangan. Namun untuk lulusan S1 gaji yang diterima oleh seorang pekerja dari semua rumpun ilmu kecuali , teknik dan kedokteran, hampir sama. Bila kita tidak terkungkung pada pandangan harus memilih pekerjaan ‘berdasi’ tadi, lapangan pekerjaan sebenarnya terbentang luas. Apalagi bila kita tidak membatasi diri pada pekerjaan-pekerjaan utama yang biasanya berasal dari rumpun ilmu kita.

                Penulis berpandangan bahwa sebuah pekerjaan adalah sebuah pilihan dari cara seseorang untuk mendapatkan nafkah bagi kehidupannya. Saat memilih hal tersebut ia bisa memilih berdasarkan minat dan bakatnya atau sekedar melihat angka gaji yang akan diterimanya. Idealisme jarang berada pada urutan pertama dalam memilih pekerjaan. Seorang koruptor hanya melihat angka uang yang akan ia terima tanpa memandang idealismenya bukan? Yang terpenting tetaplah bagaimana rasa enjoy dalam bekerja. Penulis pernah bertanya langsung kepada seorang pekerja restoran siap saji yang sudah begitu lama bekerja di restoran tersebut. Ketika ditanya alasan apa yang membuat ia begitu betah bekerja di tempat itu orang itu menjawab karena ia suka membuat hamburger. Baginya pekerjaan itu memberikan rasa senang baginya saat bekerja. Alasan bahwa ia kesulitan mencari pekerjaan tidak terlontar dari mulutnya.

                Bila kita mengesampingkan pendapatan yang diterima, sebuah pekerjaan sering dilihat rendah ketika kita melihat apa yang dilakukan seorang pekerja di dalam pekerjaannya itu. Seorang pelayan , dimanapun tempat makannya, bertugas untuk melayani konsumen. Tak jarang mereka bertugas untuk mengelap meja atau membersihkan makanan yang tumpah di lantai. Ketika ia melakukan kesalahan, bahkan sekecil apapun, maka ia akan mendapat komentar pedas dari pengunjung. Karena menganggap bahwa yang melayaninya lebih rendah, maka pengunjung bisa dengan mudahnya memarahi seorang pelayan. Alasan yang keluar tak jauh dari hal telah membayarkan sejumlah besar uang, maka harus mendapatkan pelayanan semaksimal mungkin. Begitu juga dengan pembantu rumah tangga yang pekerjaannya juga melayani. Kerap penghargaan terhadap pekerjaan yang dipilih itu tidak diperhatikan.

                Pekerjaan melayani seperti di atas juga bisa kita lihat di penataan kota seperti Jakarta. Pekerjaan sebagai petugas kebersihan atau lebih sering kita sebut ‘tukang sampah’ tidak diberi perhatian lebih. Dengan demikian jangan harap kota ini akan semakin bersih ketika pekerjaan menjaga kebersihannya saja tidak dihargai. Kita juga jangan mengharapkan pintu air bisa terawat dengan baik ketika kesejahteraan petugasnya saja tidak diperhatikan. Pemerintah bahkan menjadi salah satu unsur yang membuat pekerjaan-pekerjaan mulia tersebut begitu ‘rendah’ nilainya di tengah masyarakat. Pekerjaan melayani yang tidak menjanjikan keuntungan bisa penulis simpulkan tidak digubris oleh pemerintah. Di samping itu masyarakat umumnya terus meminta pelayanan maksimal dari pemberian minimal bagi negara.

                Bagaimana ketika seorang petugas kebersihan diberi gaji setinggi gaji seorang jurumudi Transjakarta? Apakah kelas sosial mereka bisa naik? Penulis yakin bahwa menaikkan status sebuah pekerjaan adalah dengan menaikkan upah atau gaji yang diterima. Kesejahteraan akan berimbang dengan pelayanan maksimal yang diberikan dalam pekerjaan itu. Di luar itu, kita memang sudah sepatutnya memberikan nilai lebih kepada pekerjaan melayani yang sangat penting namun sangat tidak diperhatikan. Kurang mulia apakah pekerjaan petugas pengumpul sampah di rumah-rumah ketimbang tugas seorang polisi? Yang satu menjaga kebersihan dari sampah yang jumlahnya tak terhitung lagi, dan yang satu menjaga keamanan dari ancaman yang tak terhitung pula jumlahnya.

                Struktur kelas sosial yang telah lama kita ikuti memang telah lama membuat diri kita tidak bebas. Kita terbiasa berpikir untuk mengikuti trend yang sudah ada. Pilihan kemudian menjadi begitu kaku dan seakan-akan terbatas. Lapangan pekerjaan diartikan sebanyak apa kantor yang membuka lowongan pekerjaan ketimbang sebanyak apa kesempatan yang bisa diambil sebagai cara mendapatkan uang. Pencarian pekerjaan tak lebih dari pencarian terhadap status tinggi.

                Pada dasarnya tulisan ini hanyalah buah kegelisahan akan pandangan kolot yang begitu dipelihara oleh masyarakat. Kita masih kerap memandang sebuah pekerjaan dari segi kelasnya ketimbang nilai pekerjaan itu.  Jadilah kita tidak berubah dari masyarakat dalam sistem kasta. Kuasa kita masih sangat minim dalam merombak itu semua.  Namun bagaimanapun juga, ini hanya opini saya.

4 komentar:

  1. Apakah Anda bersedia menjadi jurumudi Transjakarta setelah Anda lulus? :)

    Bagaimana ketika petugas kebersihan digaji setinggi gaji jurumudi Transjakarta? Bagaimana jika banyak orang lantas memilih menjadi petugas kebersihan? Toh sia2 pendidikan 12 tahun + 4 tahun kuliah, gaji lebih rendah dari petugas kebersihan yg kualifikasi dan keterampilannya adalah? Yup, menyapu dan memilah sampah!

    ~erc

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pertanyaannya adalah, kenapa harus sia2? Kita perlu melihat konteksnya. Kalau untuk mereka yang memang menuntut ilmu silahkan mencari pekerjaan yang memang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Masih banyak yang belum mendapatkan pekerjaan diluar sana karena tingkat pendidikan yang rendah dan tidak diberdayakan. Hasilnya mereka mencari jalan mencari uang dengan cara yang tidak semestinya. Petugas kebersihan padahal bisa dijadikan solusi untuk lapangan pekerjaan yang layak. Tapi konstruksi sosial telah menutup itu. Kalau kita tanya lagi, memilah sampah itu sebenarnya pekerjaan yang nilainya tinggi atau rendah? Perbedaan pendapat bisa membuat kita kaya. Terimakasih banyak untuk komennya ya :D

      Hapus
  2. aduh gaji lagi dinaik2in.... INFLASI coy nanti, mreka kan bagian dari biaya produksi... kalo mau naikin tuh jangan "jumlah" gajinya, tapi "nilai" gajinya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thx bgt ya komennya. Menurut saya tetap itu patut dicoba. Bahkan mereka belum digaji loh, baru diupah yang jumlahnya tak seberapa. Bertambahnya lapangan pekerjaan bagi saya baik. Perbedaan pendapat itu membuat semakin kaya. Terimakasih ya :D

      Hapus