Sebuah perbincangan unik terjadi
belum lama ini. Aktornya adalah penulis dan sahabat-sahabat yang salah seorang
di antaranya baru saja lulus dari universitas. Ia menjadi salah satu teman penulis
yang paling cepat mendapatkan gelar S1. Perbincangan sore itu berawal dari
pertanyaan akan bekerja dimanakah sahabat itu nantinya setelah wisuda.
Seperti
obrolan anak muda lainnya, kata-kata yang keluar sebagian besar adalah guyonan.
Namun obrolan itu menjadi menarik ketika salah seorang di antara sahabat itu
menyebut pekerjaan dengan gaji yang cukup tinggi. Pekerjaan itu tak lain adalah
jurumudi bus Transjakarta. Pekerjaan
yang mungkin sering ditemui oleh orang-orang Jakarta di kesehariannya,
khususnya yang menggunakan jasa transportasi model ini.
Yang
menarik adalah gaji yang diterima oleh jurumudi tersebut tidaklah sedikit.
Seorang jurumudi akan menerima gaji 7,7 juta rupiah setiap bulannya. Tentu itu
bukanlah jumlah yang sedikit. Dengan uang sebesar itu kehidupan yang layak bisa
didapat dengan jumlah keluarga kecil 3 sampai 4 orang. Namun gaji tersebut
ternyata tidak terlalu menggiurkan untuk sahabat penulis yang lulusan
universitas luar negeri itu. Perbincangan tersebut hanya berujung pada
kesimpulan bahwa ia tidak akan terpikir untuk mencoba pekerjaan itu karena
jurumudi , dalam bahasa sehari-hari ‘supir’, dianggap merupakan pekerjaan yang ‘rendah’.
Pertanyaannya
kemudian adalah, apakah benar pekerjaan seperti menjadi jurumudi itu pekerjaan
rendahan? Kalau dilihat dari gaji yang diterima, masih pantaskah kita
menyebutnya sebagai pekerjaan rendahan?
Kita
bisa melihat ini sebagai sebuah struktur sosial yang tak jauh berbeda dengan
era-era sebelumnya. Masyarakat masih dibatasi oleh kelas-kelas sosial. Meskipun
kelas tersebut sifatnya semu di tengah masyarakat. Begitu beragamnya jenis
pekerjaan yang ada di masyarakat dalam arti tertentu membentuk stratifikasi sosial
baru. Dan itu dilandasi oleh tingkat pendidikan, keahlian, serta yang utama
jenis pekerjaan itu sendiri.
Masyarakat
kita masih terbiasa melihat profesi seseorang dari pekerjaan ‘berdasi’ dan
tidak. Pekerjaan di kantoran dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang dipandang
tinggi. Namun bila dilihat, sebenarnya pekerjaan non-kantoran juga bisa menawarkan
gaji yang setimpal. Penulis ingin mengambil contoh dari pengalaman pribadinya
sendiri. Pekerjaan administrasi di sebuah kantor bisa sama saja dengan gaji
yang diterima oleh penulis di sebuah restoran siap saji. Kedua pekerjaan
tersebut pun memiliki jenjang karir. Jam kerja tak jauh berbeda. Hal yang
paling membedakan antara keduanya hanyalah pekerjaan yang dikerjakan
masing-masing. Bila yang satu harus mengurusi perihal urusan administratif perusahaan,
yang satu harus membuat hamburger
atau kentang goreng.
Kasus
di atas memang tidak bisa kita pakai dengan mengganti pekerjaan administratif
dengan pekerjaan yang membutuhkan keahlian tinggi seperti dokter atau ahli
pertambangan. Namun untuk lulusan S1 gaji yang diterima oleh seorang pekerja
dari semua rumpun ilmu kecuali , teknik dan kedokteran, hampir sama. Bila kita
tidak terkungkung pada pandangan harus memilih pekerjaan ‘berdasi’ tadi,
lapangan pekerjaan sebenarnya terbentang luas. Apalagi bila kita tidak
membatasi diri pada pekerjaan-pekerjaan utama yang biasanya berasal dari rumpun
ilmu kita.
Penulis
berpandangan bahwa sebuah pekerjaan adalah sebuah pilihan dari cara seseorang
untuk mendapatkan nafkah bagi kehidupannya. Saat memilih hal tersebut ia bisa
memilih berdasarkan minat dan bakatnya atau sekedar melihat angka gaji yang
akan diterimanya. Idealisme jarang berada pada urutan pertama dalam memilih
pekerjaan. Seorang koruptor hanya melihat angka uang yang akan ia terima tanpa
memandang idealismenya bukan? Yang terpenting tetaplah bagaimana rasa enjoy dalam bekerja. Penulis pernah
bertanya langsung kepada seorang pekerja restoran siap saji yang sudah begitu
lama bekerja di restoran tersebut. Ketika ditanya alasan apa yang membuat ia
begitu betah bekerja di tempat itu orang itu menjawab karena ia suka membuat hamburger. Baginya pekerjaan itu
memberikan rasa senang baginya saat bekerja. Alasan bahwa ia kesulitan mencari
pekerjaan tidak terlontar dari mulutnya.
Bila
kita mengesampingkan pendapatan yang diterima, sebuah pekerjaan sering dilihat
rendah ketika kita melihat apa yang dilakukan seorang pekerja di dalam
pekerjaannya itu. Seorang pelayan , dimanapun tempat makannya, bertugas untuk
melayani konsumen. Tak jarang mereka bertugas untuk mengelap meja atau
membersihkan makanan yang tumpah di lantai. Ketika ia melakukan kesalahan, bahkan
sekecil apapun, maka ia akan mendapat komentar pedas dari pengunjung. Karena
menganggap bahwa yang melayaninya lebih rendah, maka pengunjung bisa dengan
mudahnya memarahi seorang pelayan. Alasan yang keluar tak jauh dari hal telah
membayarkan sejumlah besar uang, maka harus mendapatkan pelayanan semaksimal
mungkin. Begitu juga dengan pembantu rumah tangga yang pekerjaannya juga
melayani. Kerap penghargaan terhadap pekerjaan yang dipilih itu tidak
diperhatikan.
Pekerjaan
melayani seperti di atas juga bisa kita lihat di penataan kota seperti Jakarta.
Pekerjaan sebagai petugas kebersihan atau lebih sering kita sebut ‘tukang
sampah’ tidak diberi perhatian lebih. Dengan demikian jangan harap kota ini
akan semakin bersih ketika pekerjaan menjaga kebersihannya saja tidak dihargai.
Kita juga jangan mengharapkan pintu air bisa terawat dengan baik ketika
kesejahteraan petugasnya saja tidak diperhatikan. Pemerintah bahkan menjadi
salah satu unsur yang membuat pekerjaan-pekerjaan mulia tersebut begitu ‘rendah’
nilainya di tengah masyarakat. Pekerjaan melayani yang tidak menjanjikan
keuntungan bisa penulis simpulkan tidak digubris oleh pemerintah. Di samping
itu masyarakat umumnya terus meminta pelayanan maksimal dari pemberian minimal
bagi negara.
Bagaimana
ketika seorang petugas kebersihan diberi gaji setinggi gaji seorang jurumudi Transjakarta? Apakah kelas sosial mereka
bisa naik? Penulis yakin bahwa menaikkan status sebuah pekerjaan adalah dengan
menaikkan upah atau gaji yang diterima. Kesejahteraan akan berimbang dengan
pelayanan maksimal yang diberikan dalam pekerjaan itu. Di luar itu, kita memang
sudah sepatutnya memberikan nilai lebih kepada pekerjaan melayani yang sangat
penting namun sangat tidak diperhatikan. Kurang mulia apakah pekerjaan petugas
pengumpul sampah di rumah-rumah ketimbang tugas seorang polisi? Yang satu
menjaga kebersihan dari sampah yang jumlahnya tak terhitung lagi, dan yang satu
menjaga keamanan dari ancaman yang tak terhitung pula jumlahnya.
Struktur
kelas sosial yang telah lama kita ikuti memang telah lama membuat diri kita
tidak bebas. Kita terbiasa berpikir untuk mengikuti trend yang sudah ada. Pilihan kemudian menjadi begitu kaku dan
seakan-akan terbatas. Lapangan pekerjaan diartikan sebanyak apa kantor yang
membuka lowongan pekerjaan ketimbang sebanyak apa kesempatan yang bisa diambil
sebagai cara mendapatkan uang. Pencarian pekerjaan tak lebih dari pencarian
terhadap status tinggi.
Pada
dasarnya tulisan ini hanyalah buah kegelisahan akan pandangan kolot yang begitu
dipelihara oleh masyarakat. Kita masih kerap memandang sebuah pekerjaan dari
segi kelasnya ketimbang nilai pekerjaan itu.
Jadilah kita tidak berubah dari masyarakat dalam sistem kasta. Kuasa
kita masih sangat minim dalam merombak itu semua. Namun bagaimanapun juga, ini hanya opini saya.
Apakah Anda bersedia menjadi jurumudi Transjakarta setelah Anda lulus? :)
BalasHapusBagaimana ketika petugas kebersihan digaji setinggi gaji jurumudi Transjakarta? Bagaimana jika banyak orang lantas memilih menjadi petugas kebersihan? Toh sia2 pendidikan 12 tahun + 4 tahun kuliah, gaji lebih rendah dari petugas kebersihan yg kualifikasi dan keterampilannya adalah? Yup, menyapu dan memilah sampah!
~erc
Pertanyaannya adalah, kenapa harus sia2? Kita perlu melihat konteksnya. Kalau untuk mereka yang memang menuntut ilmu silahkan mencari pekerjaan yang memang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Masih banyak yang belum mendapatkan pekerjaan diluar sana karena tingkat pendidikan yang rendah dan tidak diberdayakan. Hasilnya mereka mencari jalan mencari uang dengan cara yang tidak semestinya. Petugas kebersihan padahal bisa dijadikan solusi untuk lapangan pekerjaan yang layak. Tapi konstruksi sosial telah menutup itu. Kalau kita tanya lagi, memilah sampah itu sebenarnya pekerjaan yang nilainya tinggi atau rendah? Perbedaan pendapat bisa membuat kita kaya. Terimakasih banyak untuk komennya ya :D
Hapusaduh gaji lagi dinaik2in.... INFLASI coy nanti, mreka kan bagian dari biaya produksi... kalo mau naikin tuh jangan "jumlah" gajinya, tapi "nilai" gajinya....
BalasHapusThx bgt ya komennya. Menurut saya tetap itu patut dicoba. Bahkan mereka belum digaji loh, baru diupah yang jumlahnya tak seberapa. Bertambahnya lapangan pekerjaan bagi saya baik. Perbedaan pendapat itu membuat semakin kaya. Terimakasih ya :D
Hapus