Senin, 06 Januari 2014

MEI

           Sebuah Cerpen

Pizza baru tersaji diatas meja. Mereka masih bernyanyi lagu ceria untuk bergembira merayakan ulangtahun seorang anak laki-laki yang tertua. Minuman kola dingin dilirik terus-menerus oleh Si Bungsu. Malas rasanya ia bernyanyi bersama dengan yang lain. Konsentrasinya hanya ke segelas kola dingin itu. Mereka sedang bergembira. Si Bungsu, yang saat itu masih TK, hanya tahu kalau hari ulangtahun adalah saat bergembira. Itu sampai saat ia tumbuh dewasa dan mengetahui bahwa hari itu adalah hari yang jauh dari kata “menggembirakan”, untuk kaumnya.


            Keceriaan itu tadi berganti menjadi kesenyapan ketika telepon genggam Ibu keluarga itu berdering. Ayah beralih fokus ke ibu yang berbicara dengan teleponnya.
            “Kalian dimana?” tanya seseorang didalam telepon.
            “Lagi makan-makan Nikolas nih. Dia lagi ulangtahun kan. Kenapa ,Koh?”
            “Cepet pulang, sekarang. Kelender udah kena katanya.”
            Perbincangan itu nampak serius. Senyuman lebar yang baru beberapa detik lalu terpampang menghilang dari raut wajah Ibu.
            “Mbak, tolong dibungkus ya,” tiba-tiba Ayah meminta salah seorang pelayan untuk membugkus makanan-makanan mereka. Setelah itu yang ada hanya wajah tegang yang dipasang oleh kedua orangtua disambut pandangan kosong Si Bungsu.
            Mereka sekeluarga, segera setelah makanan-makanan yang belum tersantap itu dibungkus dengan rapi, segera menuju kendaraan dan pulang kerumah. Kedua anak tertua yang usianya terpaut cukup jauh dari Si Bungsu tak ada yang mempertanyakan situasi yang sedang terjadi. Mobil dipacu dengan cepat oleh Ayah. Si Bungsu yang masih bocah hanya sibuk dengan kekesalannya tidak mendapatkan balon lucu di restoran itu. Si Ibu didalam mobil sibuk berusaha menelepon adiknya yang tinggal tak jauh dari rumah mereka. Ia nampak gelisah karena teleponnya tak kunjung terjawab.
            Sambil menyetir Ayah nampak begitu awas memandangi jalan sekelilingnya. Dari kawasan Senen mobil itu melaju melewati Matraman, terus menuju Kampung Melayu, dan berbelok ke arah Jatinegara. Sampai daerah Jatinegara orang-orang sibuk berlarian di pinggir jalan. Ada yang menenteng barang-barang, ada yang hanya berlari tak karuan. Didalam mobil putri sulung hanya memejamkan mata. Tak tahu apakah berdoa, tidur, atau hanya berusaha menghilangkan ketakutan dengan memilih memandang gelap. Sedangkan si anak kedua yang berulangtahun hanya bisa pasrah dan terdiam memandangi jalanan. Si Bungsu sibuk memandangi jalanan dari kaca depan dengan mata polosnya.
            Ada yang bilang bahwa mata anak kecil adalah mata kejujuran. Tak ada nilai yang sudah terlalu dalam tertanam. Belum banyak sakit yang mendewasakan. Dan sebuah momen yang berlalu dimasa kecilnya hanya bisa dinilai ketika usianya telah menua. Namun apa yang diterima mata polosnya itu, adalah apa yang akan membentuknya dimasa tuanya. Memandang dengan jujur setiap fenomena yang terjadi. Tak menilai, hanya menerima.
            Memasuki Kelender kecepatan mobil mereka tak karuan. Pertama-tama kecepatannya diperlambat. Namun seketika bisa dikebut oleh Ayah setelah sebelumnya melihat sekeliling dengan waspada. Si Bungsu merasakan ada yang tidak enak dalam situasi itu. Sama seperti bayi yang bisa menangis hanya ketika digendong oleh orang yang tidak dikehendakinya. Tangisan yang menggambarkan sebuah rasa ketakutan dan ancaman yang mendekat. Dan solusi yang bisa dilakukan oleh anak itu hanya menutup matanya. Berusaha untuk tidur meski tahu rumahnya tak jauh lagi.
             Sesampainya dirumah orangtua keluarga itu sibuk mengambil barang-barang penting yang ingin dibawa. Seadanya dimasukkan kedalam tas mereka. Dipilih tas-tas paling besar yang mereka punya. Kedua anak tertua sibuk disuruh ini itu. Sedangkan Si Bungsu malah asik duduk menyetel TV dan duduk manis di sofa. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi. Tidak, bukan haya dia. Semua anak kecil Tionghoa saat itu mungkin tak ada yang mengerti mengapa orang-orang dewasa dirumah mereka begitu panik hari itu. Tak ada satupun keluarga yang bisa dengan santai melewati hari itu. Yang berbeda hanyalah seberapa siap keluarga-keluarga ini mengepaki barang mereka, dan sejauh mana mereka bisa mengungsi atau melarikan diri. Namun pertanyaannya, mengapa melarikan diri? Salah apa mereka? Kalaupun salah, apakah semuanya?
            “Gimana Bu, sudah bisa dihubungi adikmu?” tanya Ayah.
            “Sudah-sudah, kita ngungsi aja kerumahnya. Sama-sama kita diem dibelakang. Nanti tunggu kabar Kokoh lagi,” percakapan itu tak dibarengi dengan tatap muka karena masing-masing sibuk mengepaki barang.
            “Mamiiii, kita mau kemana? Kerumah tante yaa,” Si Bungsu yang tak kenal situasi dengan lugu bertanya pada ibunya.
            “Kerumah tante Elisa ,Dek. Udah cepetan kamu kebawah sekarang,” Si Bungsu hanya menurut dan menuruni tangga rumahnya yang ruko itu.
            Dengan menggunakan mobil itu mereka sekeluarga pindah ke rumah keluarga adik Ibu yang berada di komplek perumahan persis dibelakang ruko tempat mereka tinggal. Barang yang dibawa hanya seadanya. Tak banyak makanan yang bisa terangkat. Hanya makanan-makanan instan dan sedikit cemilan yang sempat terambil. Jalanan depan ruko mereka yang berderet dengan ruko-ruko lainnya nampak sepi. Pagar-pagar tertutup dengan rapat. Toko fotokopi yang biasa paling rajin terbuka tertutup rapat pagarnya. Begitu juga dengan bengkel mobil disebelahnya.
            “Lis!” Ibu memanggil adiknya dari luar pagar rumah. Tak lama adiknya itu keluar membuka pintu untuk keluarga itu.
            “Cuman sempet bawa ini nih.”
            “Yaudah gapapa kok, udah cepetan masuk kedalem,” keluarga itupun masuk kedalam rumah dan memarkir mobil mereka diluar rumah.
            Seperti hari-hari biasa dimana ia pergi ke rumah tantenya itu, Si Bungsu asik bermain bersama sepupu perempuannya. Begitu juga dengan kedua kakaknya yang turut serta bermain dengan asik. Keasikan mereka berbeda jauh dengan orangtua mereka. Ibu dan adikknya itu sibuk di bagian dapur dan menyiapkan makan. TV dinyalakan dengan suara keras-keras agar terdengar sampai segala sisi rumah yang cukup sempit. Ayah jarang berada didalam rumah. Jam demi jam ia habiskan berbicara serius diluar rumah dengan banyak bapak-bapak penghuni komplek yang sama. Hari mulai sore, beberapa ibu rumah tangga turut masuk kedalam rumah. Mereka para ibu sibuk dibelakang. Tak jarang obrolan mereka yang nampak serius terdengar sampai ke telinga anak-anak kecil yang sudah mulai bosan bermain di ruang keluarga. Channel TV yang tidak boleh diganti dari sajian berita cukup membuat anak-anak kecil itu kesal. Yang bisa disaksikan oleh Si Bungsu hanya seorang pembawa berita dengan mimik serius yang tak hentinya melakukan telepon langsung dengan reporter yang berada di jalanan yang penuh sesak dengan orang berlari-larian.
            “Jadi mau gimana bapak-bapak sekalian?” tanya ketua RW kepada bapak-bapak yang berkumpul didepannya.
            “Tadi gerombolan pakai motor sudah mulai mondar-mandir didepan,” jawab seorang ketua RT.
            “Barusan saya dengar dari teman kalau Kelender sudah habis. Toko-toko yang ada disepanjang jalan juga sudah kena. Kalau gini ceritanya bentar lagi, paling tidak malam lah, mereka sampai sini,” sambut bapak yang lain sambil menggenggam telepon genggamnya. Keringat dingin mengucur deras di wajahnya.
            Mereka semua saling bertukar pandang dan berbisik-bisik satu sama lain. Mereka menghadapi satu kepanikan yang sama. Sebuah situasi yang mungkin tak pernah terpikirkan akan terjadi. Tak ada bantuan yang mereka bisa harapkan akan datang menghampiri. Ancaman mereka bukan tentara asing yang ingin menjajah. Melainkan bangsa mereka sendiri yang ingin menjarah.
            “Yasudah bapak-bapak,” ketua RW nampak telah memutuskan sesuatu. “Kita lepaskan saja ruko-ruko depan. Lalu kita berlindung dan diam didalam. Biarkan mereka menjarah didepan dan kita tidak perlu hadapi. Terlalu berisiko.”
            “Enak saja! Mana bisa begitu Pak! Apa-apaan!” Ayah berkata dengan nada keras ditengah bapak-bapak itu. “Bapak pikir lah. Memangnya setelah ruko habis mereka jarah mereka akan berhenti? Kalau ruko-ruko itu terbakar, rumah-rumah yang ada dibelakangnya juga akan terbakar. Kan bangunannya menempel. Betul tidak ,Pak?” ia menunjuk pada salah seorang bapak. Tunjukkannya itu hanya dibalas oleh anggukan yang penuh keraguan.
            “Iya tapi gimana lagi? Harus ada yang dikorbanin kalo kayak gini,” sambut seseorang.
            “Bapak mau istri anak kita juga jadi korban?! Benar kata Pak Widjaya tadi, kita musti keluar. Bawa aja senjata seadanya,” kata seorang bapak yang nampak cukup senior dibanding dengan yang lain dari segi usia.
            “Ya, benar! Habis ruko dilahap, pasti mereka akan bergerak kedalam komplek. Lama-lama juga pasti rumah-rumah akan kena. Jangan mau diem aja dong!” Ayah menambahkan.
            Perdebatan terjadi diantara mereka. Naluri manusia menentukan apa yang akan mereka ambil. Disatu sisi ketakutan yang begitu besar melanda mereka. Yang akan mereka hadapi adalah hidup dan mati. Bukan hidup mereka saja melainkan juga keluarga mereka. Mereka bisa memilih untuk diam dan bersembunyi menunggu sampai gerombolan binatang berwajah manusia datang dan menemukan mereka dibawah kasur. Lalu menarik anak perempuan dan istri mereka. Membunuh anak laki-laki terlebih dahulu. Lalu setelah itu mengikat mereka sambil memukulinya. Dan setelah babak belur membiarkan mereka melihat istri dan anak perempuannya diperkosa didepan matanya sendiri. Atau mereka bisa pula menunggu terbakar oleh lalapan api yang tanpa pandang bulu menyerang rumah mereka dari luar. Namun mereka juga bisa memilih untuk berdiri didepan rumah mereka. Siap melawan. Meski kemungkinan bertahan sangatlah kecil dan tak menjanjikan mereka bisa lepas dari kejadian tadi. Ini adalah pilihan taruhan yang tak mungkin bisa dimenangkan.
            Jabatan ketua RW tak ada bandingnya dengan pangkat militer. Hanya sebuah jabatan dimana kekeluargaan menjadi modal utama dalam menjaring kerukunan warganya. Musyawarah adalah satu-satunya yang ia bisa lakukan. Disaat genting manusia akan menunjukkan sifat aslinya. Naluri untuk mempertahankan hidup akan keluar ketika hidup terancam. Dan nampaknya naluri itu mengalahkan rasa takut yang melanda bapak-bapak komplek itu. Kepasrahan kepada Tuhan yang sering mereka lupakan. Rasa cinta pada pasangan-pasangan hidup mereka. Dan keinginan untuk mendengar panggilan nyaring anak kecil mereka di esok hari sambil berlarian ke arah pelukan mereka adalah alasannya.
            “Baik. Jam setengah 6 kita sudah berkumpul didepan ruko-ruko. Bawa pentungan atau apa saja yang ingin dibawa. Saya coba hubungi polisi. Jangan biarkan anak-anak laki ikut. Hanya yang sudah besar-besar saja yang boleh ikut keluar. Itupun dengan izin bapak,” instruksi itu menjadi ketuk palu untuk apa yang akan mereka lewati dimalam itu.
            “Tapi jangan semuanya didepan Pak. Harus ada yang tetap keliling komplek untuk jaga. Kayak ronda malam aja. Biar anak istri jangan ditinggal sendirian juga dibelakang,” Ayah memberi saran.
            “Bener-bener, sepakat,” usulan itu diterima oleh mereka. Selesai pembagian tugas bapak-bapak itu kembali kerumah masing-masing untuk bersiap-siap.
            Ayah mencium anak laki-lakinya yang berulang tahun hari itu. Berjanji bahwa makan-makan hari itu akan digantikan. Kemudian ia menciumi putri sulungnya. Gadis itu nampak ketakutan dan tak bisa menahan tangis sambil memejamkan mata. Dipeluknya gadis itu dan dibisikinya dengan lembut. Entah kata apa yang sanggup terucap pada anak sulungnya yang siswi SMP itu. Si Bungsu yang mengantuk tak kuat untuk berdiri memeluk ayahnya. Ia hanya terbaring dengan matanya yang terbuka setengah, dan diciumlah ia di kening. Terakhir Ayah ke pintu dan berpamit pada istrinya.
            “Kunci pintu. Lampu matiin aja beberapa. Jangan keluar-keluar ya sama si Elis,” kemudian Ibu diciumnya dan dipeluknya. Entah mengapa tak tergambarkan itu sebuah pertemuan terakhir. Si Bapak nampak yakin ia masih bisa bermain dengan Si Bungsu esok pagi. Dielusnya perut istrinya. Lalu ia pun pergi kedepan, bergabung dengan bapak-bapak yang lain.
            Didepan ruko laki-laki dewasa dari komplek itu telah berkumpul. Ada yang berkopiah dan membawa pentungan. Ada yang hanya bermodal perut buncit dan mata sipit yang terbungkus dengan keberanian. Ada yang mengalungi lehernya dengan rosario. Dan ada pula seorang anak muda yang membawa samurai ditangannya.
            “Hei! Mau ngapain kamu?” Ayah bertanya pada anak muda itu.
            Pemuda itu tak menjawab dan hanya menatap mata Ayah. Tangannya gemetar memegang samurai itu. Wajahnya nampak pucat.
            “Jangan sok jago kamu! Mendingan kamu kebelakang sana, bawa pedangmu! Jangan macam-macam, Dek! Kalau kamu gak berani, jangan sok berani! Nanti bukan lawan yang kamu potong, tapi bapak-bapak yang ada disampingmu! Nanti malah membahayakan yang lain.”
            “Ada apa Pak?” seorang bapak menghampiri.
            Bapak itu dan Ayah meminta anak itu untuk pulang kerumahnya. Nampak jelas anak itu ketakutan. Tapi beban sebagai laki-laki yang sudah beranjak dewasa dan kondisi lingkungannya yang membutuhkan tenaga seorang lelaki menyudutkannya. Sebilah samurai bukanlah bukti keberanian seorang lelaki. Yang membuat seorang lelaki kuat adalah cintanya pada apa yang ingin dilindungi. Dibutuhkan akal sehat untuk menghadapi segerombolan manusia yang kesetanan. Bukan tangan gemetar yang menanti ajal.
            Akhirnya anak muda itu diperintah Pak RW untuk kembali kerumahnya. Ia harus membiarkan samurainya itu tetap bersih dari noda. Entah rasa lega atau kesal ketika perintahnya untuk mundur itu ia lakukan. Namun tak perlu malu untuk mundur. Kematian adalah hal yang wajar dihadapi dengan ketakutan. Terlebih di usia yang masih mendambakan pernikahan yang menjadi idaman.
            Para bapak telah berdiri sejajar. Di seberang mereka lewat motor-motor yang bergerombol dari arah kiri pandangan mereka. Kebanyakan mereka adalah lelaki dewasa dan banyak yang masih muda usianya. Orang yang berada didepan menggas motornya dengan keras dan mengeluarkan suara bising yang memuakkan. Orang yang dibonceng dibelakang ada yang menenteng jirigen minyak yang isinya tak jarang keluar-keluar dari dalam karena goncangan motor. Beberapa dari gerombolan itu membawa tongkat kayu. Tak tahu senjata apa lagi yang mereka bawa dibalik baju dan celana. Motor itu mondar-mandir dijalan seberang ruko-ruko.
            Bapak-bapak itu hanya diam menatapi motor-motor itu. Tak jarang ada yang bertukar pandang dengan orang-orang di motor itu. Ayah fokus memelototi pemuda-pemuda itu dari seberang. Ia berdiri tegak didepan rukonya. Posisinya salah satu yang paling depan diantara bapak-bapak itu. Ketua RW menunjukkan raut wajah penuh ketegaran. Bapak berkopiah menggenggam tongkat ditangan kanannya. Bibirnya tak hentinya berkomat-kamit membisikkan doa untuk dirinya. Entah apa yang terpikirkan dibenak semua bapak-bapak itu. Tak beberapa kilometer dari tempat mereka berdiri banyak keluarga yang tengah menjerit dan mati. Harta benda habis dijarah dan dirusak. Mereka, di hari yang sudah menggelap itu, berdiri tanpa tahu apakah mereka akan senasib atau tidak.
            Tak terpikirkan dibenak bapak-bapak itu siapa yang sebenarnya diincar oleh gerombolan itu. Tak ada yang berpikir dirinya lebih aman ketimbang yang lain. Cara doa yang berbeda tidak membedakan diri mereka yang sedang ketakutan sekaligus berani menantang maut. Juga diantara mereka tak ada yang ingin mengorbankan sesamanya, tak menanyakan asal usul nenek moyang orang yang berdiri disampingnya, terlebih menyalahkan. Yang mereka tahu mereka harus jadi satu untuk melindungi rumah mereka bersama yang harus dijaga. Mereka sedang menghadapi ancaman yang sama dari luar yang mengharuskan mereka bahu-membahu bersama. Ya, ancaman dari luar memang merupakan salah satu alat pemersatu. Namun yang kau boleh debatkan, mengapa mereka sama-sama merasa terancam? Hanya kesatuan dan kekompakkan dari mereka yang bisa menyebabkan kaki mereka bisa berdiri bersama.
            Bapak-bapak itu sudah siap dengan ancaman itu. Mereka tak berdiri mematung ditempat. Mereka bergerak berputar-putar didepan barisan ruko dengan pandangan tetap fokus ke gerombolan bermotor.  Lalu motor-motor gerombolan itu beberapa berhenti, tepat diseberang ruko Ayah. Beberapa motor lainnya mengebut-ngebut berkeliling daerah Buaran itu, seperti mencari mangsa. Para Bapak telah bersiap menghadapi yang terburuk. Mereka tahu ini tak akan bisa diselesaikan dengan berbicara saja. Panggilan Tuhan disebut ribuan kali dalam hati mereka.
           
            Dirumah Si Bungsu telah terlelap dalam tidur. Kedua kakaknya dipaksa tidur oleh Ibu. Sambil menunggu anaknya tidur, Ibu dan adiknya berdoa sambil duduk bersila disamping anak-anak mereka. Malam mencekam itu terasa lama. Jarum jam nampak begitu berat untuk bergerak.  
Tiba-tiba ditengah kesunyian itu, suara keras berkumandang dari mesjid komplek itu, “Allahuakbar, Allahuakbar...!”
           


*** *** ***

2 komentar:

  1. mei 1998?
    coba perhatiin penulisan kata depan di vs bentuk pasif di-.

    ~erica

    BalasHapus