Sebuah
Cerpen
Pizza baru
tersaji diatas meja. Mereka masih bernyanyi lagu ceria untuk bergembira
merayakan ulangtahun seorang anak laki-laki yang tertua. Minuman kola dingin dilirik
terus-menerus oleh Si Bungsu. Malas rasanya ia bernyanyi bersama dengan yang
lain. Konsentrasinya hanya ke segelas kola dingin itu. Mereka sedang
bergembira. Si Bungsu, yang saat itu masih TK, hanya tahu kalau hari ulangtahun
adalah saat bergembira. Itu sampai saat ia tumbuh dewasa dan mengetahui bahwa hari
itu adalah hari yang jauh dari kata “menggembirakan”, untuk kaumnya.
Keceriaan
itu tadi berganti menjadi kesenyapan ketika telepon genggam Ibu keluarga itu
berdering. Ayah beralih fokus ke ibu yang berbicara dengan teleponnya.
“Kalian
dimana?” tanya seseorang didalam telepon.
“Lagi
makan-makan Nikolas nih. Dia lagi ulangtahun kan. Kenapa ,Koh?”
“Cepet
pulang, sekarang. Kelender udah kena katanya.”
Perbincangan
itu nampak serius. Senyuman lebar yang baru beberapa detik lalu terpampang
menghilang dari raut wajah Ibu.
“Mbak,
tolong dibungkus ya,” tiba-tiba Ayah meminta salah seorang pelayan untuk membugkus
makanan-makanan mereka. Setelah itu yang ada hanya wajah tegang yang dipasang
oleh kedua orangtua disambut pandangan kosong Si Bungsu.
Mereka
sekeluarga, segera setelah makanan-makanan yang belum tersantap itu dibungkus
dengan rapi, segera menuju kendaraan dan pulang kerumah. Kedua anak tertua yang
usianya terpaut cukup jauh dari Si Bungsu tak ada yang mempertanyakan situasi yang
sedang terjadi. Mobil dipacu dengan cepat oleh Ayah. Si Bungsu yang masih bocah
hanya sibuk dengan kekesalannya tidak mendapatkan balon lucu di restoran itu. Si
Ibu didalam mobil sibuk berusaha menelepon adiknya yang tinggal tak jauh dari
rumah mereka. Ia nampak gelisah karena teleponnya tak kunjung terjawab.
Sambil
menyetir Ayah nampak begitu awas memandangi jalan sekelilingnya. Dari kawasan
Senen mobil itu melaju melewati Matraman, terus menuju Kampung Melayu, dan
berbelok ke arah Jatinegara. Sampai daerah Jatinegara orang-orang sibuk
berlarian di pinggir jalan. Ada yang menenteng barang-barang, ada yang hanya
berlari tak karuan. Didalam mobil putri sulung hanya memejamkan mata. Tak tahu
apakah berdoa, tidur, atau hanya berusaha menghilangkan ketakutan dengan
memilih memandang gelap. Sedangkan si anak kedua yang berulangtahun hanya bisa
pasrah dan terdiam memandangi jalanan. Si Bungsu sibuk memandangi jalanan dari
kaca depan dengan mata polosnya.
Ada
yang bilang bahwa mata anak kecil adalah mata kejujuran. Tak ada nilai yang
sudah terlalu dalam tertanam. Belum banyak sakit yang mendewasakan. Dan sebuah
momen yang berlalu dimasa kecilnya hanya bisa dinilai ketika usianya telah
menua. Namun apa yang diterima mata polosnya itu, adalah apa yang akan membentuknya
dimasa tuanya. Memandang dengan jujur setiap fenomena yang terjadi. Tak menilai,
hanya menerima.
Memasuki
Kelender kecepatan mobil mereka tak karuan. Pertama-tama kecepatannya
diperlambat. Namun seketika bisa dikebut oleh Ayah setelah sebelumnya melihat
sekeliling dengan waspada. Si Bungsu merasakan ada yang tidak enak dalam
situasi itu. Sama seperti bayi yang bisa menangis hanya ketika digendong oleh
orang yang tidak dikehendakinya. Tangisan yang menggambarkan sebuah rasa
ketakutan dan ancaman yang mendekat. Dan solusi yang bisa dilakukan oleh anak
itu hanya menutup matanya. Berusaha untuk tidur meski tahu rumahnya tak jauh
lagi.
Sesampainya dirumah orangtua keluarga itu
sibuk mengambil barang-barang penting yang ingin dibawa. Seadanya dimasukkan
kedalam tas mereka. Dipilih tas-tas paling besar yang mereka punya. Kedua anak
tertua sibuk disuruh ini itu. Sedangkan Si Bungsu malah asik duduk menyetel TV
dan duduk manis di sofa. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi. Tidak, bukan haya
dia. Semua anak kecil Tionghoa saat itu mungkin tak ada yang mengerti mengapa
orang-orang dewasa dirumah mereka begitu panik hari itu. Tak ada satupun
keluarga yang bisa dengan santai melewati hari itu. Yang berbeda hanyalah
seberapa siap keluarga-keluarga ini mengepaki barang mereka, dan sejauh mana
mereka bisa mengungsi atau melarikan diri. Namun pertanyaannya, mengapa
melarikan diri? Salah apa mereka? Kalaupun salah, apakah semuanya?
“Gimana
Bu, sudah bisa dihubungi adikmu?” tanya Ayah.
“Sudah-sudah,
kita ngungsi aja kerumahnya. Sama-sama kita diem dibelakang. Nanti tunggu kabar
Kokoh lagi,” percakapan itu tak dibarengi dengan tatap muka karena
masing-masing sibuk mengepaki barang.
“Mamiiii,
kita mau kemana? Kerumah tante yaa,” Si Bungsu yang tak kenal situasi dengan
lugu bertanya pada ibunya.
“Kerumah
tante Elisa ,Dek. Udah cepetan kamu kebawah sekarang,” Si Bungsu hanya menurut
dan menuruni tangga rumahnya yang ruko itu.
Dengan
menggunakan mobil itu mereka sekeluarga pindah ke rumah keluarga adik Ibu yang
berada di komplek perumahan persis dibelakang ruko tempat mereka tinggal.
Barang yang dibawa hanya seadanya. Tak banyak makanan yang bisa terangkat. Hanya
makanan-makanan instan dan sedikit cemilan yang sempat terambil. Jalanan depan
ruko mereka yang berderet dengan ruko-ruko lainnya nampak sepi. Pagar-pagar
tertutup dengan rapat. Toko fotokopi yang biasa paling rajin terbuka tertutup
rapat pagarnya. Begitu juga dengan bengkel mobil disebelahnya.
“Lis!”
Ibu memanggil adiknya dari luar pagar rumah. Tak lama adiknya itu keluar
membuka pintu untuk keluarga itu.
“Cuman
sempet bawa ini nih.”
“Yaudah
gapapa kok, udah cepetan masuk kedalem,” keluarga itupun masuk kedalam rumah
dan memarkir mobil mereka diluar rumah.
Seperti
hari-hari biasa dimana ia pergi ke rumah tantenya itu, Si Bungsu asik bermain
bersama sepupu perempuannya. Begitu juga dengan kedua kakaknya yang turut serta
bermain dengan asik. Keasikan mereka berbeda jauh dengan orangtua mereka. Ibu
dan adikknya itu sibuk di bagian dapur dan menyiapkan makan. TV dinyalakan dengan
suara keras-keras agar terdengar sampai segala sisi rumah yang cukup sempit.
Ayah jarang berada didalam rumah. Jam demi jam ia habiskan berbicara serius
diluar rumah dengan banyak bapak-bapak penghuni komplek yang sama. Hari mulai
sore, beberapa ibu rumah tangga turut masuk kedalam rumah. Mereka para ibu
sibuk dibelakang. Tak jarang obrolan mereka yang nampak serius terdengar sampai
ke telinga anak-anak kecil yang sudah mulai bosan bermain di ruang keluarga. Channel TV yang tidak boleh diganti dari
sajian berita cukup membuat anak-anak kecil itu kesal. Yang bisa disaksikan
oleh Si Bungsu hanya seorang pembawa berita dengan mimik serius yang tak
hentinya melakukan telepon langsung dengan reporter yang berada di jalanan yang
penuh sesak dengan orang berlari-larian.
“Jadi
mau gimana bapak-bapak sekalian?” tanya ketua RW kepada bapak-bapak yang
berkumpul didepannya.
“Tadi
gerombolan pakai motor sudah mulai mondar-mandir didepan,” jawab seorang ketua
RT.
“Barusan
saya dengar dari teman kalau Kelender sudah habis. Toko-toko yang ada
disepanjang jalan juga sudah kena. Kalau gini ceritanya bentar lagi, paling
tidak malam lah, mereka sampai sini,” sambut bapak yang lain sambil menggenggam
telepon genggamnya. Keringat dingin mengucur deras di wajahnya.
Mereka
semua saling bertukar pandang dan berbisik-bisik satu sama lain. Mereka menghadapi
satu kepanikan yang sama. Sebuah situasi yang mungkin tak pernah terpikirkan
akan terjadi. Tak ada bantuan yang mereka bisa harapkan akan datang
menghampiri. Ancaman mereka bukan tentara asing yang ingin menjajah. Melainkan bangsa
mereka sendiri yang ingin menjarah.
“Yasudah
bapak-bapak,” ketua RW nampak telah memutuskan sesuatu. “Kita lepaskan saja
ruko-ruko depan. Lalu kita berlindung dan diam didalam. Biarkan mereka menjarah
didepan dan kita tidak perlu hadapi. Terlalu berisiko.”
“Enak
saja! Mana bisa begitu Pak! Apa-apaan!” Ayah berkata dengan nada keras ditengah
bapak-bapak itu. “Bapak pikir lah. Memangnya setelah ruko habis mereka jarah
mereka akan berhenti? Kalau ruko-ruko itu terbakar, rumah-rumah yang ada
dibelakangnya juga akan terbakar. Kan bangunannya menempel. Betul tidak ,Pak?”
ia menunjuk pada salah seorang bapak. Tunjukkannya itu hanya dibalas oleh
anggukan yang penuh keraguan.
“Iya
tapi gimana lagi? Harus ada yang dikorbanin kalo kayak gini,” sambut seseorang.
“Bapak
mau istri anak kita juga jadi korban?! Benar kata Pak Widjaya tadi, kita musti
keluar. Bawa aja senjata seadanya,” kata seorang bapak yang nampak cukup senior
dibanding dengan yang lain dari segi usia.
“Ya,
benar! Habis ruko dilahap, pasti mereka akan bergerak kedalam komplek. Lama-lama
juga pasti rumah-rumah akan kena. Jangan mau diem aja dong!” Ayah menambahkan.
Perdebatan
terjadi diantara mereka. Naluri manusia menentukan apa yang akan mereka ambil. Disatu
sisi ketakutan yang begitu besar melanda mereka. Yang akan mereka hadapi adalah
hidup dan mati. Bukan hidup mereka saja melainkan juga keluarga mereka. Mereka bisa
memilih untuk diam dan bersembunyi menunggu sampai gerombolan binatang berwajah
manusia datang dan menemukan mereka dibawah kasur. Lalu menarik anak perempuan
dan istri mereka. Membunuh anak laki-laki terlebih dahulu. Lalu setelah itu
mengikat mereka sambil memukulinya. Dan setelah babak belur membiarkan mereka
melihat istri dan anak perempuannya diperkosa didepan matanya sendiri. Atau mereka
bisa pula menunggu terbakar oleh lalapan api yang tanpa pandang bulu menyerang
rumah mereka dari luar. Namun mereka juga bisa memilih untuk berdiri didepan
rumah mereka. Siap melawan. Meski kemungkinan bertahan sangatlah kecil dan tak
menjanjikan mereka bisa lepas dari kejadian tadi. Ini adalah pilihan taruhan
yang tak mungkin bisa dimenangkan.
Jabatan
ketua RW tak ada bandingnya dengan pangkat militer. Hanya sebuah jabatan dimana
kekeluargaan menjadi modal utama dalam menjaring kerukunan warganya. Musyawarah
adalah satu-satunya yang ia bisa lakukan. Disaat genting manusia akan
menunjukkan sifat aslinya. Naluri untuk mempertahankan hidup akan keluar ketika
hidup terancam. Dan nampaknya naluri itu mengalahkan rasa takut yang melanda
bapak-bapak komplek itu. Kepasrahan kepada Tuhan yang sering mereka lupakan. Rasa
cinta pada pasangan-pasangan hidup mereka. Dan keinginan untuk mendengar
panggilan nyaring anak kecil mereka di esok hari sambil berlarian ke arah
pelukan mereka adalah alasannya.
“Baik.
Jam setengah 6 kita sudah berkumpul didepan ruko-ruko. Bawa pentungan atau apa
saja yang ingin dibawa. Saya coba hubungi polisi. Jangan biarkan anak-anak laki
ikut. Hanya yang sudah besar-besar saja yang boleh ikut keluar. Itupun dengan
izin bapak,” instruksi itu menjadi ketuk palu untuk apa yang akan mereka lewati
dimalam itu.
“Tapi
jangan semuanya didepan Pak. Harus ada yang tetap keliling komplek untuk jaga. Kayak
ronda malam aja. Biar anak istri jangan ditinggal sendirian juga dibelakang,”
Ayah memberi saran.
“Bener-bener,
sepakat,” usulan itu diterima oleh mereka. Selesai pembagian tugas bapak-bapak
itu kembali kerumah masing-masing untuk bersiap-siap.
Ayah
mencium anak laki-lakinya yang berulang tahun hari itu. Berjanji bahwa
makan-makan hari itu akan digantikan. Kemudian ia menciumi putri sulungnya.
Gadis itu nampak ketakutan dan tak bisa menahan tangis sambil memejamkan mata.
Dipeluknya gadis itu dan dibisikinya dengan lembut. Entah kata apa yang sanggup
terucap pada anak sulungnya yang siswi SMP itu. Si Bungsu yang mengantuk tak
kuat untuk berdiri memeluk ayahnya. Ia hanya terbaring dengan matanya yang
terbuka setengah, dan diciumlah ia di kening. Terakhir Ayah ke pintu dan
berpamit pada istrinya.
“Kunci
pintu. Lampu matiin aja beberapa. Jangan keluar-keluar ya sama si Elis,”
kemudian Ibu diciumnya dan dipeluknya. Entah mengapa tak tergambarkan itu
sebuah pertemuan terakhir. Si Bapak nampak yakin ia masih bisa bermain dengan
Si Bungsu esok pagi. Dielusnya perut istrinya. Lalu ia pun pergi kedepan,
bergabung dengan bapak-bapak yang lain.
Didepan
ruko laki-laki dewasa dari komplek itu telah berkumpul. Ada yang berkopiah dan
membawa pentungan. Ada yang hanya bermodal perut buncit dan mata sipit yang
terbungkus dengan keberanian. Ada yang mengalungi lehernya dengan rosario. Dan ada
pula seorang anak muda yang membawa samurai ditangannya.
“Hei!
Mau ngapain kamu?” Ayah bertanya pada anak muda itu.
Pemuda
itu tak menjawab dan hanya menatap mata Ayah. Tangannya gemetar memegang
samurai itu. Wajahnya nampak pucat.
“Jangan
sok jago kamu! Mendingan kamu kebelakang sana, bawa pedangmu! Jangan
macam-macam, Dek! Kalau kamu gak berani, jangan sok berani! Nanti bukan lawan
yang kamu potong, tapi bapak-bapak yang ada disampingmu! Nanti malah
membahayakan yang lain.”
“Ada
apa Pak?” seorang bapak menghampiri.
Bapak
itu dan Ayah meminta anak itu untuk pulang kerumahnya. Nampak jelas anak itu
ketakutan. Tapi beban sebagai laki-laki yang sudah beranjak dewasa dan kondisi
lingkungannya yang membutuhkan tenaga seorang lelaki menyudutkannya. Sebilah samurai
bukanlah bukti keberanian seorang lelaki. Yang membuat seorang lelaki kuat
adalah cintanya pada apa yang ingin dilindungi. Dibutuhkan akal sehat untuk
menghadapi segerombolan manusia yang kesetanan. Bukan tangan gemetar yang
menanti ajal.
Akhirnya
anak muda itu diperintah Pak RW untuk kembali kerumahnya. Ia harus membiarkan
samurainya itu tetap bersih dari noda. Entah rasa lega atau kesal ketika
perintahnya untuk mundur itu ia lakukan. Namun tak perlu malu untuk mundur. Kematian
adalah hal yang wajar dihadapi dengan ketakutan. Terlebih di usia yang masih
mendambakan pernikahan yang menjadi idaman.
Para
bapak telah berdiri sejajar. Di seberang mereka lewat motor-motor yang
bergerombol dari arah kiri pandangan mereka. Kebanyakan mereka adalah lelaki
dewasa dan banyak yang masih muda usianya. Orang yang berada didepan menggas
motornya dengan keras dan mengeluarkan suara bising yang memuakkan. Orang yang
dibonceng dibelakang ada yang menenteng jirigen minyak yang isinya tak jarang
keluar-keluar dari dalam karena goncangan motor. Beberapa dari gerombolan itu
membawa tongkat kayu. Tak tahu senjata apa lagi yang mereka bawa dibalik baju
dan celana. Motor itu mondar-mandir dijalan seberang ruko-ruko.
Bapak-bapak
itu hanya diam menatapi motor-motor itu. Tak jarang ada yang bertukar pandang
dengan orang-orang di motor itu. Ayah fokus memelototi pemuda-pemuda itu dari
seberang. Ia berdiri tegak didepan rukonya. Posisinya salah satu yang paling
depan diantara bapak-bapak itu. Ketua RW menunjukkan raut wajah penuh
ketegaran. Bapak berkopiah menggenggam tongkat ditangan kanannya. Bibirnya tak
hentinya berkomat-kamit membisikkan doa untuk dirinya. Entah apa yang
terpikirkan dibenak semua bapak-bapak itu. Tak beberapa kilometer dari tempat
mereka berdiri banyak keluarga yang tengah menjerit dan mati. Harta benda habis
dijarah dan dirusak. Mereka, di hari yang sudah menggelap itu, berdiri tanpa
tahu apakah mereka akan senasib atau tidak.
Tak
terpikirkan dibenak bapak-bapak itu siapa yang sebenarnya diincar oleh
gerombolan itu. Tak ada yang berpikir dirinya lebih aman ketimbang yang lain. Cara
doa yang berbeda tidak membedakan diri mereka yang sedang ketakutan sekaligus
berani menantang maut. Juga diantara mereka tak ada yang ingin mengorbankan
sesamanya, tak menanyakan asal usul nenek moyang orang yang berdiri
disampingnya, terlebih menyalahkan. Yang mereka tahu mereka harus jadi satu
untuk melindungi rumah mereka bersama yang harus dijaga. Mereka sedang menghadapi
ancaman yang sama dari luar yang mengharuskan mereka bahu-membahu bersama. Ya,
ancaman dari luar memang merupakan salah satu alat pemersatu. Namun yang kau
boleh debatkan, mengapa mereka sama-sama merasa terancam? Hanya kesatuan dan kekompakkan
dari mereka yang bisa menyebabkan kaki mereka bisa berdiri bersama.
Bapak-bapak
itu sudah siap dengan ancaman itu. Mereka tak berdiri mematung ditempat. Mereka
bergerak berputar-putar didepan barisan ruko dengan pandangan tetap fokus ke
gerombolan bermotor. Lalu motor-motor
gerombolan itu beberapa berhenti, tepat diseberang ruko Ayah. Beberapa motor
lainnya mengebut-ngebut berkeliling daerah Buaran itu, seperti mencari mangsa.
Para Bapak telah bersiap menghadapi yang terburuk. Mereka tahu ini tak akan
bisa diselesaikan dengan berbicara saja. Panggilan Tuhan disebut ribuan kali
dalam hati mereka.
Dirumah
Si Bungsu telah terlelap dalam tidur. Kedua kakaknya dipaksa tidur oleh Ibu.
Sambil menunggu anaknya tidur, Ibu dan adiknya berdoa sambil duduk bersila
disamping anak-anak mereka. Malam mencekam itu terasa lama. Jarum jam nampak
begitu berat untuk bergerak.
Tiba-tiba
ditengah kesunyian itu, suara keras berkumandang dari mesjid komplek itu, “Allahuakbar, Allahuakbar...!”
*** *** ***
mei 1998?
BalasHapuscoba perhatiin penulisan kata depan di vs bentuk pasif di-.
~erica
Terimakasih kritiknya :D
Hapus