Senin, 04 Juli 2016

OPEN DATA DI TINGKAT KAMPUS: UI KAPAN?


            Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah kampanye Pemilihan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) level kampus, penulis membawa isu mengenai transparansi. Pada saat itu tidak terlalu banyak yang paham atau pun setuju akan pemilihan isu ini. Tidak sedikit pula yang memandang sebelah mata. Transparansi bagi penulis penting untuk menjawab permasalahan yang selama ini selalu saja terjadi berulang-ulang di level kampus. Protes akan berbagai fasilitas yang tidak memadai, uang semester yang semakin tinggi, dosen yang tidak sesuai dengan harapan dalam membimbing, serta mahasiswa yang berlaku tidak sesuai dengan harapan dosen, adalah hal-hal yang terus menjadi masalah tanpa adanya solusi yang benar-benar tepat sasaran. Dampaknya adalah sebuah kualitas belajar-mengajar atau pun lingkungan akademis yang seringkali mengecewakan bagi civitas akademika.
            Sampailah akhirnya penulis berkesempatan untuk mengenal dan menyelami apa yang disebut dengan open data. Konsep open data tidaklah sama dengan transparansi. Akan tetapi keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Keterkaitan itu berasal dari potensi besar yang dimiliki dari open data untuk menciptakan transparansi manajemen lembaga pada level yang tinggi. Konsep ini pun sangat mungkin untuk diadaptasi dalam lingkup perguruan tinggi. Open data penulis rasa dapat menjadi salah satu solusi untuk mendorong pembangunan universitas ke arah yang lebih transparan dan tepat sasaran. Namun ada baiknya kita melihat sekilas terlebih dahulu tentang apa sebenarnya yang disebut dengan open data.

Selasa, 29 Desember 2015

SUU KYI MENANG, MADURO TURUN, INDONESIA NONTON TV : SEBUAH REFLEKSI AKHIR TAHUN

Demokrasi hanya berjalan kalau disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada demokrasi tanpa tanggung jawab. Dan, demokrasi yang melewati batasnya dan meluap menjadi anarki akan menemui ajalnya dan digantikan sementara waktu oleh diktator.” – Moh. Hatta

Pada penghujung tahun 2015 ini terdapat fenomena-fenomena menarik terkait dengan demokrasi. Mungkin salah satu berita yang paling menyedot perhatian kita selama 2015 adalah soal terorisme, dengan ISIS sebagai aktor utamanya. Selain itu perang dan penyerangan yang tidak berkesudahan di Timur Tengah menjadi fakta yang berjalan berdampingan. Meski bukan berarti masalah tersebut tidak berkaitan dengan demokrasi, penulis tidak ingin mengulas mengenai ini. Penulis lebih ingin mengulas dua fenomena, yang sebenarnya juga luar biasa, dalam konteks demokrasi, yang mungkin terlewat dari pengamatan kita. Fenomena ini terjadi di negara berkembang yang punya kesamaan dengan negara kita dalam kadarnya masing-masing.

Transisi Myanmar dan jatuhnya sosialisme Venezuela
            Pertama mari kita bergerak ke salah satu negara Asia Tenggara yaitu Myanmar. Pada tahun ini, di bulan November, negara tersebut mengadakan pemilu yang bersejarah karena memenangkan Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Ini adalah sebuah fenomena bersejarah setelah sebelumnya hal yang sama juga terjadi pada tahun 1990. Akan tetapi pada tahun 1990 yang terjadi adalah pihak militer tidak menerima hasil tersebut dan menahan Suu Kyi, Alhasil sebuah negara yang sedang berharap terjadinya reformasi harus dikecewakan dengan transisi yang tertunda. Pada tahun ini harapan itu muncul kembali. Suu Kyi dan partainya berada pada posisi yang sama. Mereka menang pemilu dan berharap bisa melakukan transisi pemerintahan ke arah yang lebih demokratis.  
            Militerisme telah lama berkuasa di Myanmar. Segala sendi kehidupan bisa dikatakan berada di bawah kontrol militer. Hal ini pula yang memungkinkan militer untuk tidak mengakui hasil pemilu 1990. Hal ini mungkin saja terjadi lagi di tahun ini. Namun nampaknya de ja vu semacam itu sulit untuk terjadi. Kondisi politik global telah jauh berubah dari tahun 1990. Myanmar memang bisa dikatakan terlambat melakukan demokratisasi, atau melangkah mundur, saat tidak mengakui kemenangan Suu Kyi dan partainya. Akan tetapi setelah tahun-tahun tersebut, demokrasi telah semakin mapan di berbagai negara dan memberikan efek domino.
Tantangan yang dihadapi Myanmar ini sangat menarik untuk kita ikuti. Kita punya sejarah yang hampir mirip. Meski dikatakan terlambat dari negara-negara lain dalam gelombang demokratisasi ketiga menurut Huntington, reformasi akhirnya lahir pada 1998 ketika sudah lebih dari tiga puluh tahun Indonesia dipimpin oleh militer. Perbedaannya adalah Indonesia mengalami transisi yang bisa dibilang sukses. Militer mengalami reformasi dari dalam dan perubahan politik cepat terjadi. Kedaulatan sipil bisa terwujud. Akan tetapi Myanmar telah mengalami transisi yang gagal pada tahun 1990. Perkembangan yang menarik dari transisi yang terjadi di tahun ini adalah pihak militer Myanmar masih akan masuk dalam pemerintahan di kementrian yang strategis. Sementara itu Suu Kyi, yang juga seorang peraih nobel, tidak bisa mendapatkan kursi sebagai presiden karena terhambat undang-undang yang dibuat oleh militier yang berkaitan dengan statusnya. Sehingga di negara yang tidak jauh letaknya dari kita itu, demokrasi sedang diperjuangkan sebagai barang mahal dan langka. Sama seperti Indonesia dahulu.
            Fenomena kedua terjadi di belahan Amerika Selatan, khususnya Venezuela. Di bulan Desember ini negara tersebut mengalami pergantian kekuasaan yang cukup mengagetkan. Rezim sosialis yang telah bertahan 17 tahun lamanya tumbang dalam pemilu. Nikolas Maduro dan Partai Sosialis yang sebelumnya berkuasa kalah oleh koalisi oposisi. Maduro adalah penerus jalan politik Chavez yang anti Amerika. Venezuela adalah salah satu negara Amerika Latin yang sangat menarik untuk dibahas. Jalan sosialisme baru yang dikumandangkan oleh Hugo Chavez berhasil berkuasa lewat jalur demokrasi elektoral. Kemenangan Chavez membawa Venezuela melakukan perlawanan terhadap ekonomi Barat, khususnya Amerika Serikat. Konsistensi selama 17 tahun ini pun akhirnya harus berakhir lewat demokrasi elektoral yang tadinya menjadi alat mereka untuk berkuasa. Kekalahan Maduro akan memberikan dampak yang besar dalam politik Venezuela, bahkan Amerika Latin. Ini menjadi semacam tamparan bagi gerakan kiri baru yang telah berkembang di Amerika Latin. Argentina bahkan telah memenangkan Mauricio Macri, seorang pebisnis berhaluan konservatif, sebagai presiden mereka.
Sosialisme yang berkembang di Amerika Latin sebelumnya telah menjadi contoh bagaimana demokrasi memiliki bentuknya sendiri-sendiri dan dapat dijadikan alat untuk perjuangan politik. Contohnya adalah Evo Morales di Bolivia. Ia merupakan presiden yang berasal dari kalangan masyarakat adat yang memiliki masalah ketimpangan di Bolivia. Sehingga saat menang, Morales menjadi harapan baru. Begitu pula saat Chavez berhasil menjadi pemimpin Venezuela. Masyarakat mendukung gerakan sosialisme yang digadang-gadang dapat memberikan kemakmuran bagi masyarakat. Independensi ekonomi dari modal Amerika Serikat menjadi tujuan utama Chavez. Amerika Latin memang sudah lama menjadi ‘halaman belakang’ bagi Amerika Serikat. Sehingga perjuangan sosialisme ini mendapat ancaman dari jatuhnya Maduro.
Lalu apa yang bisa kita ambil dari dua negara tersebut dalam konteks demokrasi yang ada saat ini di dunia? Setidaknya penulis merangkum tiga hal. Pertama, demokrasi elektoral bukanlah sebuah titik akhir. Bahkan tidak bisa kita hanya menjadikan itu satu-satunya dimensi dalam demokrasi. Tantangan utamanya adalah menciptakan kedaulatan sipil. Ini yang sedang dihadapi oleh Myanmar. Kedua, demokrasi menuntut adanya persaingan ideologis yang melibatkan masyarakat. Dengan kata lain demokrasi secara langsung mengundang masyarakat untuk bisa menjadi penentu atas arah politik ke depannya. Kemenangan golongan oposisi Venezuela adalah keniscayaan demokrasi. Ketiga, menyambung poin kedua, demokrasi digunakan oleh, dan menjadi arena kontestasi, semua aliran politik. Militer bersaing atau memanipulasi politik lewat sistem demokrasi elektoral. Ideologi sosialis dan liberalis bersaing mendapat kursi di parlemen. Sehingga sebenarnya demokrasi tidak bisa dimonopoli oleh satu paham saja dan membuka kesempatan bagi siapapun untuk bersaing. Ketiga poin ini saling berkaitan satu dengan yang lain.
Akan tetapi, ketiga poin tersebut akan bermuara pada satu hal yang sama. Hal itu adalah bahwa perjuangan sesungguhnya akan terjadi pasca pemilu. Apakah transisi dari militer ke pihak sipil benar-benar bisa diawasi dengan baik? Apakah arah ekonomi pihak oposisi benar-benar bisa menjadi solusi yang lebih baik dari arah partai sosialis? Pengawasan itu mau tidak mau kembali lagi kepada masyarakat dan konsolidasi para elit yang akhirnya berkuasa. Karena kita sering terjebak dengan mengkerdilkan demokrasi hanya sebatas pemilu. Tanpa sadar bahwa demokrasi adalah barang mahal, bukan karena biaya nominalnya, namun dalam hal substantif untuk membantu kita memperjuangkan hak politik, ekonomi, maupun sosial.

Bagaimana dengan Indonesia?
Dokumen Pribadi - Ruang Sidang Paripurna DPR RI
            Apakah Indonesia lebih baik ketimbang kedua negara di atas? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Ketiga negara ini, baik Indonesia, Venezuela, atau Myanmar, sama-sama sudah melakukan konsolidasi demokrasi. Pengertiannya adalah demokrasi telah disepakati menjadi sistem politik yang dipergunakan. Sehingga ketiganya tentunya telah masuk dalam diskursus mengenai demokrasi. Untuk membandingkannya kita perlu melihat pada tahap mana demokrasi kita berada. Namun tulisan ini tidak bertujuan untuk membandingkan ketiga negara. Hanya ingin memperlihatkan fenomena yang berbeda dari ketiga negara. Sehingga yang manakah yang lebih baik akan penulis kembalikan lagi pada pembaca.
            Untuk Indonesia, mari kita mulai dengan laporan dari Bank Dunia berjudul “Ketimpangan yang Semakin Lebar”. Laporan tersebut menyajikan fakta menarik tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ketimpangan ekonomi telah masuk dalam level yang sangat mengkhawatirkan. Data menunjukkan satu persen rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen dari seluruh kekayaan negara. Angka ini hanya kalah dari Rusia dan Thailand. Data tersebut menjadi representasi dari pola pertumbuhan ekonomi yang telah menemani Indonesia sejak masa Reformasi dimulai di negara ini. Sebagai catatan, Rusia dan Thailand sulit untuk bisa disebut dengan negara demokrasi seperti Indonesia. Rusia sering disebut oleh para ilmuan politik sebagai hybrid regime. Ini disebabkan otoriterisme pemerintah mereka dibalut dengan demokrasi elektoral (dalam hal ini pemilu) yang tetap berlangsung.  Sedangkan Thailand masih mengalami masalah yang tidak kunjung selesai dengan kudeta militer yang terus-menerus terjadi.
            Lalu apa makna yang bisa diambil dari data Bank Dunia tersebut? Sering kita mendengarkan demonstrasi dari mahasiswa atau LSM yang bertajuk ‘hapuskan oligarki’[1]. Ini mungkin berhubungan erat dengan data tersebut. Bila kita berandai-andai, mungkin angka satu persen tersebut bissa jadi hanya berputar di lingkaran oligark Indonesia, birokrasi, dan masyarakat kelas atas perkotaan. Mari kita bayangkan lewat perhitungan sederhana. Apabila penduduk Indonesia berjumlah 250 juta orang, dan kita anggap satu rumah tangga berjumlah empat orang, maka terdapat 62,5 juta rumah tangga. Satu persen kepala keluarga dengan demikian hanya berjumlah 625 ribu rumah tangga. Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan jumlah rumah tangga di Jakarta Pusat ditambah dengan Jakarta Selatan.[2]
Dengan demikian demokrasi elektoral yang sebenarnya bisa memberikan ruang politik alternatif bagi mayarakat yang terpojokkan, untuk menciptakan kesetaraan baik politik dan ekonomi, sebenarnya tidak terjadi di Indonesia. Tapi pertanyaannya adalah, apakah benar demokrasi diciptakan untuk menciptakan kesetaraan ekonomi? Tulisan ini tidak ingin menjawab hal itu. Akan tetapi faktanya adalah demokrasi memang bisa hidup di semua negara dengan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang berbeda-beda. Sehingga ini mematahkan anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah hal mutlak untuk menciptakan demokrasi. Setidaknya itulah yang diucapkan oleh Amartya Sen. Kita bisa lihat negara miskin seperti Banglades juga melakukan pemilu sebagaimana Amerika Serikat juga menjalankannya.
            Pada tahun ini Indonesia mencatatkan sejarah dengan menyelenggarakan Pilkada serentak. Pesta demokrasi ini menjadi yang terbesar di dunia. Banyak yang menilai ini sebagai prestasi. Benarkah demikian? Penilaian-penilaian tersebut bisa dikatakan menjadi sebuah hal yang dijadikan tolak ukur demokrasi kita belakangan ini. Kelancaran penyelenggaraan pemilu, banyaknya partisipasi pemilih, rekam jejak calon dalam hal korupsi dan berbagai hal lain yang sifatnya sistemik, menjadi hal-hal yang lebih disoroti ketika berbicara demokrasi. Hal ini memiliki kecenderungan menjadi semacam tren. Kacamata kita terhadap demokrasi menjadi hanya sebatas institusionalisasi. Dengan kata lain yang dicari hanyalah bagaimana bisa menjalankan demokrasi elektoral dengan lancar dan meraup suara masuk yang maksimal. Tidak salah mencari sistem terbaik. Namun demokrasi tidak bisa hanya dilihat dalam satu kacamata saja.
Bersamaan dengan gegap gempita demokrasi elektoral, politik sendiri telah menjadi komoditas bisnis yang menjanjikan. Media dan lembaga-lembaga yang mengatasnamakan ‘lembaga survei’ atau ‘pengamat politik’ bersatu atas nama pengawasan, dan tentunya saling menguntungkan. Demokrasi dibentangkan hanya sebatas pemilu dan partai politik. Bahkan seringkali politik dikerdilkan sebatas cara berkomunikasi dengan baik. Tanpa niat menyinggung beberapa profesi ini, kondisi ini membuat masyarakat memerlukan niat dan tenaga lebih untuk mau lebih ‘mencari ilmu’ di luar media (termasuk media sosial).          
Demokrasi yang diimani di Indonesia telah kehilangan daya juang dan semangat kritisnya. Ketimpangan ekonomi dan juga monopoli definisi demokrasi – menjadi hanya sekedar hal yang bersifat institusional- yang disebutkan di atas semakin memperlihatkan hal ini. Dalam sudut pandang lain, bisa jadi ini adalah wajah demokrasi yang dimiliki oleh masa yang kita sebut sebagai ‘Reformasi’ ini.  Politik tak ubahnya ‘dunia hiburan’.
            Kampus yang seharusnya menjadi tempat diskursus dan diskusi ilmu juga bergerak statis. Pola pemikiran institusionalis yang cenderung tidak kritis justru semakin banyak berkembang, bila tidak bisa dikatakan bertahan. Sehingga yang ada hanyalah pengertian-pengertian demokrasi dan politik yang sebatas sistem pemilu, sistem pemerintahan, kebijakan publik, atau ulasan partisipasi politik yang itu-itu saja. Ini semua membentuk sebuah gerak yang stagnan dari demokrasi di dalam negeri. Dalam hal ini bukan berarti hal-hal tersebut tidak perlu dipelajari. Itu penting. Namun perlu diimbangi dengan kekritisan, yang seharusnya menjadi modal utama sebuah ilmu untuk bisa berkembang. Bila tidak, maka kampus tidak bisa memberikan alternatif bagi demokrasi kita yang stagnan ini dan hanya berada pada lingkaran yang sama dengan sektor lain di atas.[3]

Lalu apa?
            Demokrasi kita menjadi stagnan karena tidak jelas apa yang diperjuangkan lewat sistem tersebut. Identitas ideologi yang tidak jelas membuat sebenarnya persaingan yang ada hanya bersifat semu, bila tidak bisa dikatakan kosong. Pengertian penulis adalah bahwa sebenarnya tidak ada yang benar-benar diperbenturkan selain kepentingan uang para kontestan. Jatuhnya pemerintahan sosialis Venezuela dikarenakan evaluasi negatif masyarakat terhadap ekonomi negara tersebut yang sedang terpuruk. Akan tetapi persaingan mereka jelas secara ideologis. Sehingga ketika Maduro kalah kita bisa mengatakan akan ada perubahan haluan yang besar dari politik negara tersebut. Sedangkan yang ada di Indonesia hanyalah lompatan dari satu aktor ke aktor lainnya yang sama-sama menggunakan populisme semata. Kedua negara sama-sama menerapkan demokrasi. Namun perbedaan mendasar terlihat dengan jelas. Masalahnya sebenarnya bukan pada Jokowi. Namun ada pada bagaimana kita mengawasinya.
            Kita seharusnya sudah jauh meninggalkan Myanmar dalam hal demokrasi. Namun bukan berarti jalan yang sama akan dilalui oleh Myanmar. Dari usianya, seharusnya masyarakat kita sudah dalam kemapanan akan sistem demokrasi ini. Akan tetapi perlu kita uji apakah benar posisi kita sekarang adalah sebuah kemapanan, ataukah jalah buntu? Cara kita mengetahui apakah kita berada di posisi itu atau tidak adalah dengan daya kritis. Kita perlu mengerti untuk apa demokrasi ini ada dan sampai dimanakah kemampuannya dalam mengakomodir kebebasan politik, sosial, dan ekonomi kita dalam bernegara. Transisi dari pemerintahan militeristik telah menjadi cerita lama bagi kita. Tantangan selanjutnya adalah berusaha keluar dari hanya membicarakan soal pemilu.
            Selain di Myanmar dan Venezuela, tahun 2015 juga memuat berbagai fenomena menarik terkait demokrasi. Arab Saudi untuk pertama kalinya memperbolehkan perempuan memilih dalam pemilu lokal. Warga Catalunya di Spanyol memenangkan pemilu referendum, yang tentunya semakin mendorong terjadinya kemerdekaan. Serta berbagai fakta menarik lainnya yang terlewatkan oleh kita yang setiap hari memegang gadget ini. Kita semua adalah penikmat demokrasi. Namun sampai dimana kita bisa menikmatinya hanya bisa kita ketahui apabila kita berusaha, barang sedikit, untuk mencari tahu lebih. Namun bagaimanapun juga ini hanya opini saya.  Selamat menyambut Tahun Baru 2016!




[1] Dalam hal ini penulis ingin mengomentari mengenai penggunaan konsep ‘oligarki’ oleh masyarakat. Sebelumnya kita perlu terlebih dahulu mengenal konsep oligark. Definisi oligark adalah segelintir orang yang memiliki kekuasaan sumber daya modal yang besar yang menguasai ekonomi sebuah negara. Ia punya kekuatan yang lebih besar ketimbang elit politik. Jumlah mereka sedikit, namun sangat berkuasa. Sedangkan oligarki adalah politik pertahanan kekayaan oleh para oligark tersebut. Seringkali masyarakat menggunakan kata oligarki dan oligark dengan makna yang sama. Sehingga pertanyaannya adalah yang mana sebenarnya harus dihapuskan? Apakah mungkin oligarki dihapuskan? Pembahasan mengenai hal ini menarik untuk dibahas dalam tulisan yang lain.
[2] Dengan pola generalisasi yang sama apabila jumlah penduduk Jakarta Pusat 900 ribu jiwa dan Jakarta Selatan sekitar 1,8 juta jiwa.
[3] Dalam dunia kampus pandangan kritis seringkali hanya disematkan pada mereka yang memiliki ideologi Marxis. Saya kurang sepkt akan hal ini. Memang ‘ibu’ dari pemikiran kritis atas teori-teori Marx. Akan tetapi sebenarnya kritis yang saya maksud di sini secara sederhana lebih kepada daya untuk menghadirkan diskursus ke dalam sebuah fenomena. Masalahnya sekarang adalah tidak ada usaha untuk saling membenturkan pemikiran, atau kemunculan antitesa terhadap tesis tertentu jarang ditemukan dalam hemat saya. Mahasiswa hanya sebatas konsumen dan dosen tak ubahnya seperti dewa. 

Minggu, 20 September 2015

ISU ETNISITAS SEBAGAI TANTANGAN DALAM TRANSISI MENUJU DEMOKRASI: STUDI KASUS NEGARA MYANMAR

Pendahuluan

Salah satu diskursus yang menarik dalam studi tentang demokrasi adalah mengenai transisi. Apa yang disebut dengan transisi ini adalah sebuah proses panjang yang harus dilalui oleh sebuah negara untuk bisa sampai pada sebuah demokrasi yang terkonsolidasikan. Atau dengan kata lain transisi demokrasi membicarakan apa saja yang harus dihadapi oleh sebuah negara yang non demokratis untuk bisa berubah menjadi negara demokrasi. Menarik bagi kita kemudian untuk mengamati apa saja tantangan yang harus dihadapi oleh sebuah negara dalam transisi demokrasi. 

Rabu, 05 Agustus 2015

SURAT TERBUKA

Kampus UI sering dibilang sebagai sebuah miniatur Indonesia. Namun, Bapak-Ibu yang Terhormat, Indonesia yang saya tahu dan impikan sampai sekarang adalah sebuah negara yang penuh akan toleransi. Salah satu unsur dari toleransi yang saya yakini selama ini adalah adanya pengakuan akan adanya perbedaan. Hal ini tidak saya temukan di salah satu program yang Bapak-Ibu, selaku pemangku kebijakan kampus, wajibkan kepada semua mahasiswa baru UI tahun 2015 yang sedang kita sambut. Bapak-Ibu yang terhormat mewajibkan semua mahasiswa baru untuk ikut serta di pembukaan dan penutupan acara MTQ Mahasiswa Nasional XIV Tahun 2015 di kampus Universitas Indonesia sebagai bagian dari Kamaba. Akan tetapi, lagi-lagi Bapak-Ibu yang Terhormat, tidak semua mahasiswa baru kita adalah umat Islam. Ada dari mereka yang beragama Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, maupun Konghucu. Atas dasar apa mereka semua yang berbeda ini diwajibkan (atau kalau bisa disebut dikomandokan) untuk ikut serta dalam acara MTQ yang merupakan acara bernuansa Islami tersebut. Hal seperti ini sama sekali tidak mencerminkan negara dan bangsa Indonesia yang kita cintai. Seharusnya kampus seperti UI sadar akan hal ini.

Nama saya Edbert Gani Suryahudaya, UI 2012, mahasiswa biasa dari kampus kita tercinta Bapak-Ibu. Saya tidak ingin membiarkan surat ini menjadi surat kaleng semata. Saya sebutkan nama saya dengan jelas. Alangkah baiknya apabila Bapak-Ibu, atau rekan-rekan lainnya, juga dapat secara terbuka membantu saya untuk memberikan kejelasan atas dasar apa hal yang telah disebutkan di atas dilakukan. Apakah hanya masalah kuota pengunjung yang ditargetkan? Lupa bahwa ternyata tidak semua mahasiswa baru beragama Islam? Atau apa? Semoga kegelisahan ini bisa terjawab dengan cepat dan imajinasi buruk yang mulai tercipta dalam benak bisa langsung terhapuskan. Surat ini saya tulis berdasarkan inisiatif saya sendiri tanpa membawa nama kelompok manapun.
            
        Saya sebenarnya bingung kemana surat ini harus saya sampaikan. Ingin sekali surat ini langsung saya sampaikan ke tangan Bapak-Ibu. Tapi saya tahu di tengah kesibukan Bapak-Ibu, dan sedang berjalannya acara yang disebutkan di atas, surat semacam ini tidak akan berarti apa. Karena itu lebih baik saya bagikan ke teman-teman yang lain agar berartilah suara saya.

Catatan: Pertanyaan maupun kegelisahan saya di atas tidak mengurangi apresiasi saya kepada teman-teman satu fakultas dan yang lainnya yang sedang bertanding di MTQ. Semoga kerjakeras teman-teman sekalian bisa mendapatkan hasil yang memuaskan.


Kepal jari jadi tinju! UI UI kampusku! Bersatu almamaterku! UI!

Senin, 13 Juli 2015

POLITIK ALTERNATIF: BELAJAR DARI ZAPATISTA

Susan Stokes mengatakan bahwa berbicara tentang politik berarti berbicara tentang distribusi sumber daya yang ada. Untuk bisa mendapatkan distribusi tersebut pada kenyataannya memang tidak mudah. Akan tetapi bisa dikatakan pengertian seperti demikianlah yang nampaknya masih bisa memberikan optimisme bagi perkembangan ilmu politik ke depannya. Ketika kita mengatakan tentang aliran sumber daya berarti ada ruang perjuangan yang bisa kita isi. Sebuah alternatif selalu dibutuhkan bila ingin keluar dari pengaruh dominan pihak yang berkuasa agar bisa mendapatkan akses terhadap sumber daya. Terkait hal ini nampaknya Indonesia masih perlu belajar banyak. Begitu banyak kelompok masyarakat yang sebenarnya memiliki kepentingan akan distribusi sumber daya, namun tidak berakhir dengan sebuah perjuangan yang tepat. Berkaca kepada kondisi negara lain selalu dapat menjadi pelajaran yang baik. Amerika Latin adalah contoh yang baik dalam hal perjuangan itu.

Rabu, 01 April 2015

MINORITAS TIONGHOA DI THAILAND: SEBUAH PEMBANDING

Seperti yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara lainnya, etnis Tionghoa juga menjadi salah satu isu menarik di Thailand. Kelompok etnis ini memang menjadi minoritas di Thailand yang secara sejarah cukup penting perannya dalam hal ekonomi maupun politik. Tetapi bidang ekonomi memang lebih banyak dibanding politik yang perannya banyak dimainkan oleh etnis Tionghoa. Hal unik yang terjadi pada etnis Tionghoa di Thailand adalah bahwa ada usaha untuk mengintegrasikan atau mengasimilasi etnis ini ke nasionalitas bangsa Thai. Hal serupa jarang kita temui di negara-negara Asia Tenggara lain. Kita dapat membandingkan dengan negara Malaysia yang bahkan memberlakukan kebijakan yang berdasarkan perbedaan etnis untuk mengelompokkan golongan Melayu, Tionghoa, dan India. Begitu juga dengan Indonesia pada masa Orde Baru yang sangat membatasi warga Tionghoa dalam kehidupan sosial politik. Sehingga masalah etnis Tionghoa di Thailand sangat menarik untuk dikaji.

Jumat, 20 Maret 2015

DEADLOCK GERAKAN BEM SE-UI

Tinggalkan ranjang lihat lebih jeli. Dengan lebih bening. Mulai , Tuan-tuan. Makin jauh tertinggal dari golongan-golongan lain, akan makin sulit mengejar....makin hina bangsa kita di kemudian hari..” – Pramoedya Ananta Toer.

Belakangan ini cukup ramai tweet-tweet atau pun jarkom yang mengajak mahasiswa Universitas Indonesia (UI) untuk ikut bergerak dengan aksi bersama melawan korupsi di Indonesia. Salah satunya adalah ajakan aksi bersama pada Jumat, 20 Maret 2015 ini. ILUNI UI dikatakan mengambil peran dengan bergabung dalam aksi bersama mahasiswa UI ini. Namun permasalahannya muncul ketika tidak semua BEM Fakultas yang ada di UI ini ikut serta. Niatnya ingin melakukan gerakan bersama, tetapi jadinya adalah ketidaksepakatan antara BEM UI dengan beberapa BEM Fakultas yang memilih untuk tidak bergabung. Banyak pihak berusaha memanaskan situasi dengan kritik pedas bagi yang tidak mau terlibat dalam aksi. Hal yang menarik adalah justru beberapa mantan mahasiswa yang berusaha untuk memanaskan situasi, bahkan sebelum BEM Fakultas menyatakan sikap mereka terhadap aksi tersebut. Alih-alih menyadarkan, banyak pihak justru semakin tinggi sentimennya. Alhasil tidak ada satu suara untuk bergerak bersama. Kalau sudah begini, mau apa?