Jumat, 09 Desember 2011

Dengar Tapi Tuli

Ada orang yang dibilang cerewet. Ada juga yang begitu suka untuk ngomong tak berhenti-berhenti. Entah karena memang hobinya itu berbicara, senang melihat orang lain mendengar ceritanya, atau faktor lainnya. Banyak orang seperti itu, yang bisa berbicara dengan sangat lama. Namun , bisakah  orang mendengar dengan sangat lama?

Mendengar lebih sulit daripada berbicara. Orang lebih sulit untuk dinasehati daripada dinasehati. Ini ada realita yang tak perlu untuk ditutup-tutupi. Mulut kita begitu aktif dipergunakan dibandingkan dengan telinga kita. Kita hanya mau untuk didengar, tapi jangan harap mau mendengar. Kita semua, termasuk saya, termasuk yang bersikap demikian, entah sering ataupun jarang.

Anak muda seringkali sangat tidak ingin untuk didikte dalam perilakunya. Omongan orangtua seringkali tidak digubris. Walaupun saya juga setuju kalau omongan orangtua itu pasti baik dan jika tidak dijalankan akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik. Namun sikap memberontak dari seorang anak muda akan membuat pendengaran mereka sangat buruk untuk hal nasehat-nasehat. Tapi apakah itu berarti orangtua lebih mau mendengar? Tidak juga.

Semakin bertambahnya umur seseorang tidak menjamin dia lebih dewasa untuk mau mendengar. Malahan tak jarang mereka yang sudah tua lebih keras kepala dan tidak mau mendengar perkataan orang lain. Mereka akan terus memakai pemikirannya sendiri dan tidak akan ada satupun yang bisa merubahnya. Meskipun perilakunya sudah jelas-jelas salah atau harus diperbaiki, orang itu akan ngotot. Apalagi jika yang menasehati mereka adalah orang yang lebih muda, tak akan berhasil.

Pertengkaran antar pasangan juga salah satu contoh buruknya kemauan untuk mendengarkan. Suami-istri yang sering bertengkar salah satunya adalah karena masing-masing pihak tidak bisa saling mendengar. Tidak mendengar akan mengakibatkan tidak mengerti keinginan dari pasangan. Nantinya akan berdampak pada pertengkaran yang tak jarang masalahnya itu-itu saja. Padahal jika salah satu mau untuk mendengar, mungkin akan lain ceritanya. Hal ini juga termasuk dalam hubungan pacaran. Mendengar adalah satu bentuk perhatian bukan?

Di luar sana, budaya mendengarkan yang buruk terdapat di segala ruang kehidupan. Entah itu di sekolah, masyarakat, atau pemerintahan. Guru meminta didengarkan oleh siswanya, namun kadang guru tak peduli keinginan muridnya. Kelompok masyarakat tertentu tak mau mendengar penjelasan kelompok yang lain karena menganggap kelompoknyalah yang paling benar. Pemerintah meminta dukungan dari rakyat sedangkan keluhan rakyat tidak mau didengarkan.
Saat orang lain sedang berbicara, yang kita lakukan seringkali bukanlah mendengarkan perkataannya, melainkan hanya menunggu orang itu sampai selesai dengan pembicaraannya sampai akhirnya giliran kita untuk berbicara. Benar demikian? Anda bisa membuktikannya sendiri dari gelagat orangtua anda saat berbicara satu sama lain. Kenapa tidak dari gelagat kita sendiri? Karena kita seringkali menutupi kekurangan diri kita. Biar orang lain menjadi cermin bagi diri kita.

Saya terkadang juga capek mendengar politisi yang sedang berdebat ataupun berdiskusi di TV. Mereka berkoar-koar dengan pendapatnya namun banyak di antaranya malah begitu ingin memotong pembicaraan orang sehingga ia mendapat kesempatan untuk berbicara. Terkadang hal yang dibicarakan sebenarnya itu-itu saja namun diputar-putar dengan gaya bahasa semau mereka. Terkesan bahwa mereka hanya ingin terlihat berbicara padahal isinya ya itu-itu saja. Dengarlah dahulu pendapat orang, cerna, lalu baru tanggapi dengan pemikiran yang benar. Kalau sama saja, tak perlulah berkoar-koar hanya untuk mencari muka.

Bagaimana bangsa ini bisa maju jika para politisi ataupun pemerintah hanya mau berbicara tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain. Yang ada hanyalah pertengkaran dan saling curiga antara satu sama lain. Padahal jika mau lebih mendengar pasti akan tercipta suatu pendapat bersama yang bisa dipakai unutk kepentingan bersama.

Mari kita mulai belajar untuk mendengar. Mulailah dari hal-hal kecil seperti di dalam keluarga atau di sekolah maupun di kantor. Jika ada orang lain sedang berbicara hargailah dahulu perkataannya, cermati dahulu sebelum anda memotong pembicaraannya, dengarkan dahulu maksud dari kata-katanya sebelum anda memikirkan kata-kata yang ingin anda keluarkan berikutnya saat orang itu selesai dengan perkataannya, dan lihat wajahnya saat ia sedang berbicara karena itu berarti anda menghargai orang yang sedang berbicara tersebut. Dengan didengarkan, orang akan merasa diterima. Jika anda ingin merasa demikian maka lakukanlah itu kepada orang lain.

Bagi anda yang memiliki pasangan cobalah mulai untuk lebih mendengarkan pasangan anda. Itu adalah cara termudah untuk melatih diri untuk mau mendengarkan, karena ada alasan tertentu yang seharusnya membuat kita lebih mau untuk mendengarkan perkataan orang yang kita sayangi. Dengarkanlah keluhannya atau apapun. Mungkin anda bisa lebih baik dalam hal mendengarkan. Untuk yang tidak punya pasangan, carilah pasangan agar bisa berlatih mendengarkan dengan cara itu.

Itulah sifat kita sebagai manusia. Hal kecil namun sangat penting dalam suatu relasi dengan orang lain, mendengarkan. Ya, memang sulit namun bisa untuk dilakukan. Jangan jadikan telinga anda 'tuli' dengan perilaku anda. Kita diberi telinga ini bukan hanya untuk mendengar ucapan mulut kita sendiri namun juga untuk mendengar perkataan, keluhan, permintaan, nasehat, atau hal lainnya dari orang di sekitar kita. Tapi sekali lagi, bagaimanapun juga ini hanya opini saya.

7 komentar:

  1. Bolehkah saya juga berbagi opini, menanggapi opini anda :)?
    Secara keseluruhan, saya setuju dengan pendapat anda. Tapi, ada beberapa hal yang menurut saya perlu diperhatikan. Pertama adalah perbedaan "mendengar", dengan "mendengarkan". "To hear", dengan "to listen", jelas memiliki makna yang cukup berbeda. Mendengar belum tentu mendengarkan. Hal ini saya anggap penting, karena "mendengar aspirasi" sering dipakai sebagai kedok oleh para politisi, sedangkan "mendengarkan aspirasi" tidak pernah mereka lakukan. Bagaimanapun saya sependapat, bahwa hanya untuk mendengar politisi saja sudah membuat lelah, apalagi mendengarkan.
    Dengan kata lain, budaya mendengarkan yang perlu ditanamkan di negeri ini, bukan sekedar mendengar.
    Koreksi lain, orang lebih sulit dinasehati daripada menasehati.
    Tapi apa motivasi orang untuk mendengarkan? Mengapa orang sulit untuk mendengarkan? Bagaimana jika pertanyaan itu saya balik? Mengapa orang sulit didengarkan?
    Ada 2 hal yang dapat membuat orang didengarkan. Yang pertama adalah bahwa ia mendegarkan orang lain sebelumnya secara sadar. Dan yang kedua adalah ia memiliki dan menunjukan intensi untuk didengarkan.
    Sependapat dengan anda, contohnya adalah komunikasi antar guru dan murid yang terjadi saat ini. Ya, guru minta didengarkan oleh muridnya. Tetapi, guru masa kini jarang didengarkan oleh muridnya. Karena guru tersebut tidak mendengarkan sebelumnya, dan guru tersebut tidak memiliki intensi (kewibawaan, ketegasan) untuk didengarkan. Guru seperti itu, tidak dapat memberi contoh bagaimana mendengarkan kepada siswanya. Siswa pun tidak mendengarkan gurunya. Lingkaran setan.
    Tetapi berbeda jika dibandingkan dengan guru - guru senior. Pertama-tama mereka mendengarkan muridnya. Mereka memahami apa kebutuhan murid. Yang kedua mereka menunjukan intensi untuk didengarkan, melalui teguran, penegasan, atau beberapa guru lain memiliki wibawa yang besar, sehingga dengan berdiri saja ia dapat membuat satu sekolah diam. Guru ini jelas, mendapatkan tempat di hati murid-muridnya. Begitu juga dengan siswa. Ada siswa yang berinisiatif dengan mendengarkan terlebih dahulu, lalu menunjukan intensi untuk didengarkan. Siswa demikian biasanya lebih dihargai oleh gurunya.
    Namun, ada juga siswa dan guru yang memiliki dan menunjukan intensi untuk didengar, sedangkan ia sendiri tak mau mendengarkan. Arogansi namanya. Saya yakin anda mengetahui dan memahami maksud saya ini.
    Maaf , jika saya jadi panjang lebar, karena kebetulan persoalan ini mengusik hati saya akhir-akhir ini. Keadaan ini persis terjadi di sekolah saya, dimana tak ada pihak yang betul-betul mendengarkan. Kepala sekolah tidak memiliki intensi untuk didengarkan, dan siswa tidak mau mendengarkan guru mereka. Tak ada yang benar-benar memperhatikan saat apel pagi, bahkan saat pengibaran bendera. Dan baik kepala sekolah dan guru tak menunjukan ketegasan.
    Mendengarkan membuat orang didengarkan. Sama seperti jika ingin dihargai, maka harus menghargai terlebih dahulu. Budaya mendengarkan memang sulit untuk diterapkan. Tapi saya yakin, sepersen populasi yang mendengarkan dapat “menularkan” kebiasaan mendegarkan itu kepada orang lain. Seperti api semangat yang menyebar luas.
    Terakhir, lepas dari tulisan kali ini, saya adalah salah seorang pengaggum tulisan anda :). Anda dapat menyuarakan hal-hal yang berbeda dari kebanyakan remaja masa kini, dan itu memberi saya banyak inspirasi. Anda adalah seorang, yang saya yakin mampu membawa perubahan. Maka dari itu saya harap anda mau mengirimkan tulisan anda kepada media cetak. Toh tak ada salahnya dicoba?
    Terakhir, terimakasih jika anda mau membaca tanggapan saya ini. Ya, ini juga opini saya, dan belum tentu benar seluruhnya. Maaf jika ada tanggapan yang terkesan dangkal, atau menyinggung anda tanpa sengaja. Tetapi pemikiran ini yang terlintas di benak saya setelah membaca opini anda, membuat saya ingin menyampaikan nya pada anda. Sekali lagi terimakasih. Semoga cita-cita Anda (menjadi Presiden?) terwujud. Doa saya menyertai Anda, Tuhan memberkati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih banyak untuk komennya ya. Karena alasan itu juga saya ingin menulis terus, membagikan apa yang saya pikirkan. Tak ebrharap banyak perubahan besar dulu, tapi dimulai dari bertukar pikiran. GBU too :D

      Hapus
  2. edbert gani,
    komen2nya dibales dong utk menunjukkan bahwa elu jg mendengarkan opini gw/kami. elu posting tulisan elu utk apa? utk dibaca netizen, kan? kalo nga mo ada tanggapan dr netizen, nga usah disediain kolom komentar aja :P atau tulis aja di diari dan bukan blog -_-

    lebih dari itu, akan lebih sopan jika elu bilang terima kasih krn ada yg kasi komen, itu artinya tulisan elu dibaca dan dianggap. it's simple but it matters! :)

    elu ngakhirin tulisan2 elu pake kalimat: bagaimanapun juga ini hanya opini saya. gw kira elu humble... tapi kok nga bales komen2 yg ada. cih.

    ~erc

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai saudara yang tidak mencantumkan namanya dengan jelas, salam kenal ya :)
      Pasti dibalas kok komennya. Hanya waktu belakangan sedang tidak sempat buka blog lagi. Mungkin saudara terlalu sensitif ya orangnya haha. Sebelumnya, tidak ada yang bisa membatasi seseorang untuk membuat blog kok, setidaknya untuk sekarang. Terimakasih banyak atas komennya yah :D

      Hapus
    2. pake ngeles dan ngatain gua sensitif -_-" . komennya pasti dibalas, tp setelah dua tahun? (liat komen atas gua -_-). anyway, salam kenal dan terima kasih juga karena Anda tidak tuli dan mendengarkan masukan saya :D.

      ~erc

      Hapus
    3. Sebenarnya belum bisa dikatakan kita berkenalan karna anda tidak memperkenalkan anda siapa :)

      Hapus
    4. saya erica. salam kenal.

      ~erc

      Hapus