Senin, 10 Oktober 2011

Nenek di Jembatan Karet

Saya mendapatkan pengalaman menarik hari Sabtu kemarin. Seperti anak muda lainnya kebanyakan, malam minggu saya akan saya habiskan dengan jalan-jalan bersantai. Saya telah berjanji bertemu dengan teman wanita saya siang hari sekitar pukul dua siang. Yah dan seperti kebanyakan lelaki, saya pun juga menjemput teman wanita saya itu di kampusnya. Saya adalah salah satu warga yang lebih memilih untuk tidak menambah jumlah kendaraan di jalan raya, sehingga saya memilih naik angkot. Tapi ini bukan karena saya pelit loh. Tapi kalau mau dibilang kere juga tidak apa-apa juga sih.

Saya naik angkot mikrolet jurusan roxy-karet. Kampus teman wanita saya adalah di daerah karet. Tapi sepertinya anda juga tidak peduli mau dimana kampus teman wanita saya. Saya pun naik angkot nomor 03 tersebut, saat saya naik angkot tersebut masih kosong. Jalan sebentar, angkot berhenti di daerah Jembatan Gantung untuk menaikan penumpang yang menyetop. Naiklah kemudian dua ibu-ibu atau lebih tepat dipanggil dengan sebutan nenek-nenek ke dalam angkot yang saya naiki tersebut.

Sesaat sebelum naik, salah satu nenek tadi bertanya kepada supir angkot terlebih dahulu, "Karet ya Pak?". "Ya bu Karet," jawab si supir. Kedua nenek tersebut tampak lusuh dengan kerudung serta sarung yang mereka kenakan. Hanya sebuah kantong plastik lecek yang saya tak tahu isinya apa yang menjadi perbekalan mereka. Yang saya pikirkan hanya merasa kasihan kepada kedua nenek tersebut. Bagaimanapun juga kita pasti akan merasa simpati walaupun sedikit jika melihat nenek-nenek lusuh seperti itu, walau kadang kita berusaha menutup-nutupinya atau berusaha memalingkan pandangan. 

Saya turun lebih dahulu dari angkot dibanding kedua nenek itu. Saya pun menjemput teman wanita saya dari kampusnya. Dia tampak senang saat saya jemput, terlihat di wajahnya, walau mungkin tetap berangan-angan akan dijemput dengan mobil suatu saat. Maaf malah curhat. Saya dan teman wanita saya pun naik angkot 03 lagi menuju karet karena akan lanjut naik busway untuk pergi ke tempat berikutnya. Kemana saya pergi? Maaf itu rahasia penulis.

Kami pun sampai dan mulai menaiki jembatan busway. Saat kami sampai di tikungan jembatan, tampak seorang nenek-nenek sedang duduk. Ia pastilah sedang melakukan 'minta-minta'. Namun yang membuat saya sedikit terkejut adalah nenek yang duduk itu adalah nenek yang tadi naik angkot dengan saya tadi. Saya heran melihat nenek itu meminta-minta di jembatan itu, karena saya mengira ia ingin pergi ke suatu tempat di karet. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa ia ingin ke karet karena ingin meminta-minta. 

Saya langsung berpikir bahwa kegiatan maminta-minta yang dilakukan nenek tadi juga yang dilakukan pengemis lainnya adalah suatu profesi. Ya, mengemis sudah menjadi suatu profesi atau pekerjaan yang dilakukan oleh beberapa orang tidak mampu. Dari saya kecil saya sering mengira bahwa para pengemis yang duduk di jembatan, pinggir jalan, ataupun lampu merah adalah orang-orang miskin yang terus berjalan secara acak tanpa ada tujuan. Dimana kaki mereka membawa mereka, disitulah mereka akan menjadi pengemis. Mereka akan terus berjalan ke tempat yang baru. Ternyata anggapan saya selama ini keliru.

Nenek tadi pergi ke daerah karet dengan unsur kesengajaan. Ia memang berniat untuk mengemis di jembatan karet. Bukan tanpa sengaja ia berada di karet untuk mengemis. Mengemis adalah pekerjaan nenek tersebut, dan jembatan karet itulah tempat ia bekerja. Saya tidak tahu apakah setiap hari ia memang mengemis disana atau tidak. Atau mungkin ada yang bertugas sebagai penggerak nenek tersebut untuk mengemis di sana. Mungkin saja banyak pengemis di luar sana yang memang sama seperti nenek tadi. Atau bahkan semua pengemis.

Jumlah pengemis di ibukota ini sangatlah banyak. Mereka yang telah terbiasa sehari-hari mencari logam-logam rupiah dan secara tidak langsung menjadikan itu sebagai profesi mereka. Apa yang akan dilakukan pemda jika banyak pengangguran di luar sana dengan tingkat kemiskinan yang sangat rendah melakukan tindakan seperti nenek tadi? Sampai saat ini tak ada tindakan yang terlihat. Tak ada upaya untuk menggulangi atau menampung orang-orang miskin seperti nenek tadi. Menurut pendapat saya, orang-orang seperti nenek tadi lebih baik di tampung ke dalam suatu panti dibanding harus mengemis di jembatan seperti itu. Dengan ditampung mereka akan lebih terjamin kehidupannya terutama hal yang pokok seperti makanan tempat tinggal atau pakaian. Pengemis seperti itu haruslah dikurangi. Banyaknya profesi pengemis juga menjadi cermin tingkat perbedaan kelas sosial yang begitu tinggi di ibukota ini. Tidakkah anda miris jika melihat Gedung megah di samping-samping jembatan karet namun berpapasan dengan seorang nenek yang mengemis? Seperti inikah pembangunan yang kita inginkan? Tapi bagaimanapun juga ini hanya opini saya. 

2 komentar:

  1. saat ini sudah ada beberapa pihak yang bergerak dengan memberdayakan orang orang yang hidup di jalan dengan cara menampung mereka di suatu tempat. mereka diberi tempat tinggal, makanan, pendidikan, serta berbagai keterampilan. hasilnya? sebagian besar dari mereka hanya bertahan di tempat tersebut kurang dari 3 bulan. kegiatan mereka dijalan yaitu mengemis dan ngamen dianggap sebagai sesuatu yang lebih mudah oleh mereka, karena tanpa keterampilan apapun, mereka tetap dapat hidup. pendidikan dan belajar adalah sesuatu yang merupakan beban bagi mereka. karena itu salah satu hal yang dapat kita lakukan sekarang adalah dengan TIDAK memberi mereka uang saat mereka "bekerja" di jalanan. dengan uang yang kita berikan tersebut, mereka akan menganggap hidup dapat dijalani tanpa pendidikan dan profesi yang layak. semangat untuk memperbaiki hidup pun menjadi rendah. ada pepatah " jangan memberi ikan kepada orang yang lapar, berilah kailnya. jangan hanya memberi kail, ajari dia memancing". jangan memberi yang instant, hanya berguna untuk saat itu, melainkan kita harus memberi sesuatu yang akan membantu mereka untuk jangka panjang. sementara itu memang tingkat kesenjangan kita masih sangat tinggi. indek gini ( indeks yang menunjukkan gap atau tingkat kesenjangan sosial ekonomi) pada tahun 2010 mencapai angka 0,8 dan dapat dikategorikan tinggi.

    BalasHapus